Halaman

Kamis, 15 Desember 2011

PANGGILAN SEORANG GURU


Apa sesungguhnya yang diajarkan guru kepada muridnya? Apakah ilmu pengetahuan, kebaikan, kebenaran, nilai-nilai, kerohanian? Mengajarkan ilmu pengetahuan, kebaikan, nilai-nilai dan kerohanian memang menjadi bagian penting dari kinerja seorang guru. Namun, menyitir pendapat Parker J. Palmer, yang sering dilupakan dan jarang disadari oleh guru adalah bahwa ia sebenarnya sedang mengajarkan dirinya sendiri, dan hidupnya sendiri. Ilmu pengetahuan, kebaikan, kebenaran, nilai-nilai dan kerohanian itu adalah ekspresi luar dari apa yang dimilikinya. Karena itu, guru akan cepat merasa kering, bosan, tanpa semangat, jika mengajarkan sesuatu yang tidak pernah menjadi miliknya. Dengan kata lain, guru harus senantiasa memperbarui semangat dan akar yang mendasari panggilannya sebagai guru. Setiap guru tertantang untuk kembali mengenali dan menegaskan siapa identitas dirinya ketika ia berhadapan dengan para muridnya. Dengan mendasarkan diri pada inspirasi Sabda Allah, disertai dengan tekad untuk berkembang dan bertumbuh dalam iman dan keyakinan mendalam tentang makna panggilan hidupnya sebagai guru, maka akar panggilan kita sebagai orang Kristiani yang terpanggil menjadi guru akan semakin dalam dan kokoh. Setiap guru perlu menimba inspirasi yang sangat kaya dari kisah-kisah perjumpaan dengan Yesus, Sang Guru Sejati. dalam Injil Lukas 9:48, Yesus bersabda, "Barangsiapa menyambut anak ini dalam namaKu, ia menyambut Aku; dan barangsiapa menyambut Dia yang menyambut Aku, ia menyambut Dia yang mengutus Aku." Sabda Yesus ini menjadi dasar para guru Kristiani. Anak-anak yang dipercayaka kepada kita perlu kita sambut seperti kita menyambut Yesus. Di sinilah kita memahami lebih dalam makna paggilan kita sebagai guru Kristiani. Hari ini Yesus menyapa dan menantang kita, "Karena itu, haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna" (Matius 5:48).

Sumber:
A. Mintara Sufiyanta, Roh Sang Guru. Jakarta: Penerbit Obor, Cet-2, 2011.

Jakarta, 16 Desember 2011

Minggu, 11 Desember 2011

HIDUP INI ADALAH HADIAH DARI TUHAN


Kita semua dikejutkan dengan sebuah trend baru, yakni Mall Menjadi Tempat Favorit Untuk Bunuh Diri. Pada tanggal 5 Desember yang lalu, kita dikejutkan dengan berita Cavin Moniaga, yang menjatuhkan diri dari gedung parkir lantai 10 Grand Indonesia, Jakarta Pusat. Kasus ini merupakan kasus yang ketiga yang terjadi di Grand Indonesia. Masih banyak kasus bunuh diri lainnya. Pada tanggal 30 Nopember 2009, misalnya Ice Juniar menjatuhkan dirinya dari Lantai V Grand Indonesia, dan pada hari yang sama, Reno melompat dari pembatas kaca Lantai V Senayan City. Sangat sulit bagi kita untuk memahami, mengapa sebagian kaum muda, lebih senang melakukan aksi bunuh diri dengan cara melompat dari gedung tinggi, seperti Mall atau pun Gedung. Dari data-data yang diperoleh VIVanesw, pada tanggal 21 Januari 2009, Jamaludin nekad mengakhiri hidupnya dengan menjatuhkan dirinya dari Lantai VI Gedung Walikota Jakarta Utara. Bulan berikutnya, 12 Januari 2009, Jimmy Martin menjatuhkan dirinya dari Lantai VI Toko Elizabeth, Bandung. Selanjutnya, 13 Agustus 2009, percobaan bunuh diri dilakukan oleh Ibu Sutowo. Ia melompat dari Lantai V Mall Slipi Jaya. Pada tahun 2008, Nova Mirawati, seorang mahasiswi Psikologi UI, terjun dari Lantai VII Pusat Grosir Cililitan (PGC) Kramat Jati. Tercatat tanggal 17 Desember 2008. Dua hari sebelumnya, Hendrawan Winata, mahasiswa YAI, tewas setelah terjun dari Lantai VI Kampus Atmajaya. Fenomena merebaknya kasus bunuh diri di kalangan kaum muda ini, membuat kita semua bertanya-tanya, “Ada apa sebenarnya dengan anak-anak muda ini? Mengapa mereka mengambil jalan pintas dengan bunuh diri di Mall-mall dan Gedung-gedung yang tinggi?”

Ada banyak alasan yang mungkin dapat dikemukakan mengapa anak-anak muda ini bunuh diri. Salah satu di antaranya, adalah sengaja mengambil tempat di Mall atau Gedung yang bergengsi, agar semua perhatian orang tertuju kepada mereka, dan masuk dunia dalam berita, baik di layar Televisi mau pun Media Cetak. Saya berpikir, mungkin selama ini, mereka merasa dirinya “bukan siapa-siapa” dan dengan “aksi bunuh diri di Mall dan Gedung bergengsi” tiba-tiba mereka menjadi “selebirtis” karena seluruh media cetak dan stasiun Televisi menyampaikan “breaking news tentang kematian mereka.” Karena itu ada beberapa hal penting yang dapat kita refleksikan dari fenomena merebaknya aksi bunuh diri di kalangan anak-anak muda tersebut. Pertama, anak-anak muda ini bisa jadi, atau sangat mungkin mengalami problem perasaan diri tidak berharga. Bagi kita mungkin aneh, mengapa orang-orang yang pandai, sukses dalam studi, karier dan pekerjaan koq merasa diri tidak berharga?! Biasanya perasaan diri tidak berharga muncul sebagai akibat karena seseorang gagal memiliki sesuatu atau tidak berhasil mencapai sesuatu yang dianggap paling berharga dalam hidupnya. Sesuatu itu mungkin prestasi kerja yang ingin dicapai, promosi jabatan dan atau pasangan hidup yang diidam-idamkan, kesalah-pahaman dan konflik dengan ortu yang tidak terselesaikan, dst, dsb. Kedua, anak-anak muda ini mempunyai akseptasi atau tuntutan yang sangat tinggi terhadap orang lain, tanpa mengukur kemampuan dirinya. Akibatnya, ketika orang lain tidak mampu memenuhi keinginan hatinya, muncul pikiran pendek, ingin mati atau bunuh diri. Beberapa kesempatan, saya melihat di Facebook, bagaimana anak-anak sekolah yang punya segudang masalah, curhat dan mengemukakan kekesalan dan kemarahan mereka terhadap ortu dan ingin mati. Ketiga, tingkat pendidikan yang cukup tinggi, sukses dalam studi dan karier dan pekerjaan, tidak dengan sendirinya dapat membentuk karakter dan kepribadian Kristiani yang tangguh. Buktinya, koq mereka bunuh diri. 

Bunuh diri dengan alasan apa pun tidak dapat dibenarkan, karena hidup ini adalah HADIAH dari TUHAN. Perasaan diri berharga seharusnya tidak lagi ditentukan karena kita memiliki banyak hal atau berhasil mencapai sesuatu. Kita semua berharga dan mulia karena kita dapat mengalami, bagaimana kita dicintai tanpa syarat oleh ALLAH, SANG SUMBER KEHIDUPAN. Bagaimana kasih Allah yang tanpa syarat itu, menghisapkan diri kita sebagai ANAK-ANAKNYA. Sabda Tuhan dalam kitab Yesaya  43:4 mengatakan, "Oleh karena engkau berharga di mataKu dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau."  Penyingkapan diri Allah tidak pernah lepas dari KASIHNYA yang menghubungkan, menjembatani dan merangkul kita. Oleh karena itu nilai kemuliaan atau keberhargaan manusia merupakan wujud pemberian Allah dalam karya penebusan Kristus. Tanpa anugerah dan rahmat Allah kita manusia hanyalah makhluk yang celaka dan hidup dalam kesia-siaan.

MEMBUAT KRISTUS HIDUP, NYATA DAN DIALAMI OLEH BANYAK ORANG

Bacaan: Yohanes 1:6-8, 19-28


Hari Rabu, tanggal 7 Desember 2011 yang lalu, saya bersama dua orang Pengurus berada di Nanggroe Aceh Darussalam. Kami melakukan kunjungan dan evaluasi terhadap tiga orang guru yang dikirimkan dari Jakarta untuk membantu Sekolah Metodist di Banda Aceh, dan kami sungguh menikmati pelayanan ini. Proyek kerjasama dengan Sekolah Metodist telah dilakukan sejak tahun 2005, sesudah peristiwa Tsunami. Bekerjasama dengan sekolah Ipeka, Lemuel, dan sekolah Ketapang, kami melakukan pembinaan dan pelatihan guru-guru di sana dan mendatangkan guru-guru dari Jakarta untuk kelangsungan hidup Sekolah tersebut. Hari itu kami dikejutkan dengan berita dari Jakarta.  Seorang laki-laki membakar dirinya di depan Istana Merdeka, sebagai protes keras atas korupsi dan pelanggaran Hak-hak Azasi Manusia yang dilakukan oleh para pejabat tinggi di negara ini. Siapakah laki-laki itu? Dia adalah Sondang Hutagalung, salah seorang mahasiswa Universitas Bung Karno. Selain itu, ia adalah salah seorang sahabat Munir, yang telah tewas dibunuh beberapa tahun yang lampau. Hari Sabtu malam, bersama seluruh rakyat Indonesia yang pernah berjuang bersamanya, kita turut berduka, karena Sondang Hutagalung telah menghembuskan nafas terakhirnya dan pengorbanannya, sungguh amat menyesakkan hati kita, karena kasus-kasus korupsi dan pelanggaran Hak-hak Azasi Manusia masih terus-menerus dibiarkan terjadi di negara ini. Bagaimana pun juga Sondang adalah pribadi yang heroik, yang berani menolak dengan tegas ketidakadilan dan dosa yang dilakukan oleh para pejabat tinggi negara ini.



Alkitab memperlihatkan kepada kita dua pribadi yang radikal dan heroik, yaitu Yohanes Pembaptis dan Elia. Bertahun-tahun lamanya sebelum kelahiran Yesus Kristus, nabi Maleakhi mempermaklumkan, bahwa nabi Elia akan datang kembali ke dunia sebelum kedatangan hari Tuhan. Dalam kitab Maleakhi 4:5 dikatakan, “Sesungguhnya Aku akan mengutus nabi Elia kepadamu menjelang datangnya hari Tuhan yang besar dan dasyat itu.” Empat ratus kemudian, Simon Petrus memproklamasikan bahwa “Yesus adalah Mesias, Anak Allah yang hidup.” (Matius 16:16) Namun bukankah Elia harus datang dulu sebelum kedatangan Sang Mesias? Hal ini membingungkan para murid, sehingga Yesus menjelaskan kepada para murid bahwa Elia telah datang dan menderita di tangan orang-orang yang tidak percaya (Matius 17:12). Dari kata-kata Yesus itu, para murid memahami bahwa yang dimaksudkan oleh Yesus adalah Yohanes Pembaptis, bentara Tuhan yang dipenggal kepalanya oleh Herodes (Matius 14:1-12).

Baik Yohanes Pembaptis maupun Elia dipandang sebagai pribadi-pribadi yang radikal. Kedua-duanya tinggal di padang gurun; menghayati suatu kehidupan yang ekstrim dan keras; tidak memiliki apa-apa; dan jauh dari hiruk-pikuknya kehidupan kota (lihat Matius 3:4, 1 Raja-raja 17:1-7). Dua-duanya adalah nabi, yang menolak dengan tegas ketidakadilan dan dosa yang ada dalam kehidupan mereka yang berkuasa. Yohanes Pembaptis melihat dosa Herodes, karena mengambil istri saudaranya sebagai “istri,” dan Yohanes Pembaptis kemudian melakukan penentangan dan protes keras terhadap sang Raja (Matius 14:3-5). Sedangkan Elia, ia mengenali tipu muslihat yang dilakukan oleh para nabi Baal, dan ia menantang para nabi Baal itu dalam sebuah “duel mati-hidup ilahi” (1 Raja2 18:17-39). Ia juga melakukan penentangan dan protes keras terhadap Raja Ahab da istrinya yang bernama Izebel, karena pembunuhan atas diri Nabot untuk mendapatkan kebun anggurnya (1 Raja2 21:17-29).

Bagaimana pun juga Yohanes Pembaptis dan Elia adalah pribadi-pribadi yang radikal dan heroic, yang menempatkan diri mereka dalam resiko – untuk setia memproklamasikan Sabda Allah. Di atas segalanya, taat kepada Allah adalah hal yang terpenting bagi mereka. Dalam masa Adven ketiga ini, kita diingatkan untuk meneruskan apa yang telah dilakukan oleh Yohanes Pembaptis, dan juga Elia. Membuat Kristus sungguh-sungguh hidup, nyata dan dialami oleh banyak orang, melalui kesaksian hidup kita itu adalah tugas terpenting bagi kita. Nah apa yang harus kita lakukan agar orang dapat melihat Kristus hidup, dan nyata dalam kehidupan kita? Sampai hari ini kita memang tidak makan belalang dan madu, hidup menyendiri di padang gurun, atau seorang diri melawan para penguasa jahat seperti yang dilakukan oleh Yohanes Pembaptis atau Elia. Namun demikian, kita semua dipanggil untuk mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hati kita, seperti kedua nabi itu. Dalam kehidupan kita yang lebih “biasa-biasa/normal”, kita dapat mohon kepada Allah agar memberikan kepada kita suatu visi yang lebih besar tentang apa artinya melayani Tuhan dalam situasi kita sehari-hari. Seringkali kita membatasi diri kita karena pandangan yang keliru - karena kita tidak dapat sehebat atau sebesar Yohanes Pembaptis atau Elia di masa lampau, maka tidak banyaklah yang dapat kita persembahkan. Akan tetapi, apabila kita membuka diri bagi kehendak Bapa, maka Dia dapat bekerja melalui kita sehebat yang telah dilakukan-Nya melalui Elia dan Yohanes Pembaptis. Contohnya adalah Florence Nightingale.

Pada masa Perang Krim, Perang yang terjadi sekitar tahun 1853-1856 yang melibatkan Kekaisaran Rusia melawan sekutu: Perancis, Britania Raya, Sardinia, dan kesultanan Utsmaniayah. Ada tokoh yang mencuat dan menjadi terkenal. Florence Nightingale, wanita cantik kelahiran tahun 1820 yang kelak menjadi pelopor pendidikan keperawatan modern. Ia juga dikenal sebagai seorang ahli statistik. Lahir dari keluarga bangsawan Italia. Tuan tanah yang kaya raya. Namun, hatinya terenyuh pada penderitaan yang terjadi di hadapannya. Peperangan telah membuat banyak orang menderita. Ia tidak memilih hidup di istana atau kastil. Ia memilih menjadi seorang juru rawat. Pada masa itu profesi perawat bukanlah sebuah profesi yang dapat dibanggakan. Tidak ada orang tua bangsawan yang rela apalagi bangga, jika anaknya memutuskan menjadi perawat. Pekerjaan perawat hampir sama dengan pekerjaan budak.

Pada suatu malam, Nigthingale berjalan di dalam rumah sakit. Ia menyempatkan diri untuk berhenti sejenak di samping tempat tidur seorang prajurit yang luka parah. Ketika ia membungkuk mendekati prajurit itu, maka prajurit itu menengadah kepadanya dan berkata :”Bagiku Anda sungguh nampak seperti Kristus.” Florence Nigthingale telah membuat Kristus menjadi hidup, nyata, dan dialami oleh orang yang ia layani. Nah sekarang, bagaimanakah halnya dengan kita? Apakah yang akan kita lakukan, agar Kristus menjadi hidup, nyata dan dialami oleh banyak orang? Maukah kita membuka visi kita lebar-lebar tentang melayani Tuhan dalam situasi hidup kita sehari-hari, seperti halnya Yohanes Pembaptis dan Elia?

Minggu, 04 Desember 2011

IMAN YANG MENGUBAH KEADAAN SESEORANG


Bacaan Alkitab: Yosua 2:8-24


Karena iman maka Rahab, perempuan sundal itu, tidak turut binasa bersama-sama dengan orang-orang durhaka, karena ia telah menyambut pengintai-pengintai itu dengan baik
(Ibrani 11:31)


Apa yang terjadi jika seorang perempuan memiliki iman yang luar biasa dan berpandangan luas? Hasilnya adalah luar biasa. Pertama, karena perempuan itu tidak kalah terhadap keadaan, tapi mengalahkan keadaan. Orang-orang yang membawa perubahan dalam dunia ini adalah orang-orang yang tidak kalah terhadap keadaan. Kedua, perempuan itu juga  mampu melihat peluang dan memanfaatkan peluang yang ada dengan sebaik-baiknya. Biasanya orang-orang yang seperti ini memiliki iman yang besar, sehingga ia mampu memanfaatkan peluang dan mengubah keadaan yang biasa-biasa menjadi luar biasa. Inilah iman yang mengubah keadaan seseorang. Mungkin Anda dapat mengatakan bahwa saya mengada-ada, dan itu omong kosong belaka. Namun fakta itulah yang terjadi dan Alkitab memberikan buktinya. 
Kalau kita membaca kisah Rahab dalam Kitab Yosua, mungkin kita akan berkata, “Sungguh tak masuk di akal” karena kita menemukan Rahab, seorang perempuan yang cerdik dan berpandangan luas pada masa itu. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah yang dilakukan Rahab, sehingga ia bisa menyentuh hati Allah dan mengubah kehidupannya, bagaikan mimpi di siang hari?! Saudara2, kita semua tahu bahwa pekerjaan Rahab adalah seorang PSK (Pekerja Seks Komersial). Pekerjaan yang jauh dari cita-cita kebanyakan orang, karena dianggap rendah dan hina. Namun ada hal yang sangat unik di sini karena Rahab bukan PSK biasa. Ia seorang primadona kelas atas dan cukup terkenal. Rahab juga bukan seorang yang tenar saja, tetapi ia juga dekat dengan para pembesar di papan atas. Darimana kita mengetahuinya? Pertama, Rahab mempunyai informasi yang banyak dan akurat. Ia bisa mengetahui keadaan negerinya yang sedang terancam (Yosua 2:9-11). Kedua, Rahab juga mempunyai kemampuan untuk bernegosiasi yang baik sekali. Kemungkinan itu diperoleh dari pengalamannya, sehingga ia bisa dekat dengan kalangan atas. Hal ini dapat kita lihat, pada saat ia berbicara dengan kedua pengintai tersebut. Ketiga, Rahab juga disegani. Ketenaran Rahab inilah yang menarik kedua orang pengintai garis depan Israel untuk singgah di rumahnya (Yosua 2:1).

Karena Rahab cukup terkenal, kabar ini langsung sampai di telinga penguasa Yerikho. Rumah Rahab segera dikepung para prajurit untuk menangkap kedua pengintai itu. Tentu saja, hal ini mengancam nyawa Rahab dan seisi rumahnya. Maklum saja, kota Yerikho dalam keadaan darurat perang dan upah pengkhianat adalah hukuman mati. Sekali lagi dengan modal koneksitasnya, para perwira pasukan Yerikho menerima mentah-mentah saja keterangannya. Ini membuktikan bahwa Rahab cukup disegani di kota tersebut. Saudara dan saya mungkin berkata, itu biasa saja. Tetapi apakah kita bisa menghadapi seorang perwira Kopassus yang berdiri di depan pintu rumah kita dengan anak buahnya yang bersenjata lengkap, dan menuding kita sebagai pengkhianat? Polisi saja sudah membuat kita gelisah, apalagi tentara. Kalau kita tidak punya koneksi, tentu saja kita akan mati konyol.

Rahab seorang perempua yang cerdik, beriman dan berpandangan luas. Ia telah mendengar keajaiban yang telah dilakukan Allah bagi bangsa Israel, dan ia melihat Allah bangsa Israel telah melakukan hal-hal yang sungguh tak masuk di akal. Melalui sedikit analisa, Rahab menarik kesimpulan, kalau Allah bangsa Israel dapat melakukan perkara-perkara yang besar dan tidak masuk di akal, tentunya Ia dapat membebaskannya dari keadaannya sekarang. Rahab melihat sedikit terang dalam kegelapan hidupnya, dan ia berusaha untuk meraihnya! Ia juga telah mempertimbangkan resiko atau kematiannya, kalau hal tersebut gagal. Jadi di kala semua prajurit Yerikho melakukan pengejaran dan pemblokiran di setiap jalan, sekali lagi ia melakukan perjanjian dengan kedua pengintai Israel untuk keselematannya dan seisi rumahnya. Da akhirnya, seperti yang kita ketahui, hanya rahab dan seisi rumahnya yang selamat saat seluruh Yerikho dihancurkan. Namun kisah Rahab tidak berakhir di sini. Karena imannya yang besar, dan kemauannya yang keras, Tuhan memulihkan hidup Rahab, dan bahkan Tuhan memberikan seorang suami kepadanya yang bernama Salmon (Matius 1:5). Suatu keadaan yang mustahil, jika mengingat latar belakang hidupnya. Namun Rahab dan keluarganya, menjadi salah satu keluarga yang terpandang di Betlehem dan bakal menjadi keluarga yang disegani di Israel. Dari kisah Rahab ini kita dapat mengambil satu kesimpulan, bahwa Tuhan tidak pernah memandang rendah latar belakang hidup seseorang. Bagaimana pun buruknya mereka. Tetapi Tuhan sangat menghargai iman dan kepercayaan, yang mampu mengubah keadaan biasa-biasa menjadi luar biasa, dan Rahab melakukannya. Nah bagaimana sekarang dengan Anda dan saya?  Bila kita memiliki iman yang mengubah keadaan kita, maka kita harus membongkar kemapanan berpikir kita tentang stigma diri seorang perempuan dan memberi makna baru pada status sosial perempuan itu. Kita semua harus belajar dari Yesus untuk menghargai harkat dan martabat seorang perempuan di dalam khasanah kehidupan kita. Saudara2, dalam konteks budaya Yahudi, perempuan tidak dihargai dan dianggap sebagai kaum yang lebih rendah martabatnya. Perempuan juga diperlakukan tak ada bedanya dengan barang atau benda, yang dapat dimiliki dan dibuang. Berbeda dengan orang-orang Yahudi lainnya, Yesus sebagai orang Yahudi justru sangat menghargai harkat dan martabat perempuan sebagai manusia. Dalam Injil Lukas kita dapat jumpai beberapa sosok perempuan seperti Elisabet, Maria dan Marta, Maria Magdalena dan perempuan janda yang berasal dari Nain. Potret perempuan sangat menonjol dalam Injil Lukas. Elisabet dan Maria, misalnya digambarkan sebagai dua orang perempuan yang dipakai Allah terkait dengan rencana-Nya untuk menyelamatkan dunia. Dalam pelayanannya, Yesus-pun melakukan berbagai mukjizat terhadap beberapa perempuan, seperti menyembuhkan mertua Petrus yang sedang sakit keras dan perempuan yang selama 18 tahun kerasukan roh. Membangkitkan anak perempuan janda di Nain, dan memberi diri-Nya disentuh perempuan yang sedang mengalami pendarahan. Perempuan tidak sekadar tampil sebagai kaum yang dibela, tetapi juga sebagai kaum yang terlibat aktif dalam pelayanan Yesus. Lukas melaporkan ada sejumlah perempuan yang menjadi murid Yesus. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa, laki-laki dan perempuan, keduanya diciptakan Allah sebagai manusia yang setara dan sederajat dalam kesamaan dan perbedaan mereka. Oleh karena itu mereka harus menghayati kemanusiaannya dalam hubungan timbal balik. Rosemary Radford Ruether, dalam bukunya yang berjudul Perempuan dan Tafsir Kitab Suci  (1998) menyatakan, bahwa “apa pun yang mengurangi kemanusiaan penuh kaum perempuan harus dianggap bukan merefleksikan yang ilahi atau relasi yang otentik dengan yang ilahi” dan prinsip kemanusiaan yang penuh harus didasarkan pada konsep “Imago Dei” – bahwa perempuan secara setara dibebaskan oleh Kristus, dan secara setara dikuduskan oleh Roh Kudus. Inilah agenda yang harus kita lakukan, bila kita memiliki iman yang mengubah keadaan kita.

MENGAPA KOMUNIKASI SUAMI DAN ISTERI SERINGKALI TIDAK BERKEMBANG?



Pernikahan dapat kita umpamakan sebagai sebuah perjalanan yang panjang. Perjalanan tersebut dapat saja menyebalkan, membuat kita sedih, kecewa, stress dan tertekan, bila jalannya penuh dengan onak dan duri, krikil dan lubang-lubang. Sebaliknya, perjalanan itu dapat menyenangkan dan membahagiakan kita, bila ikatan kasih di antara suami-istri dipupuk sehingga bertambah kuat dan mendalam. Dari berbagai pengalaman yang saya hadapi di lapangan kehidupan, ada banyak pasangan suami dan istri yang tidak dapat menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi dalam perkawinan, bukan karena hebatnya persoalan yang mereka hadapi, tetapi karena komunikasi yang terhambat dan tidak berkembang di antara mereka. Entah mengapa, pada umumnya mereka tidak lagi memiliki keyakinan diri dan percaya akan pasangannya. Ada kecurigaan dan ketakutan, bahwa suami atau istri ada main dengan orang lain atau dengan teman sekantornya, karena dirinya sudah tidak lagi ramping, ganteng atau cantik dan menarik. Ada kecurigaan dan ketakutan, bahwa suami atau istri mereka akan menolak, bersikap kasar dan melukai hati mereka. Oleh karena itu faktor-faktor yang perlu diperhatikan untuk mengenal lebih dekat pasangan kita, adalah memahami perbedaan-perbedaan yang dimiliki baik oleh suami mau pun istri kita. Perbedaan-perbedaan inilah yang seringkali menjadi pangkal sebab dari kesalah-pahaman yang menganggu ketenangan dan suasana aman dalam rumah tangga. Perlu kita sadari, bahwa sebagai suami dan istri, kita semua tidak sempurna dalam aspek-aspek tertentu. Maka dengan mengetahui keterbatasan dan kekuatan masing-masing, kita bisa melihat dengan perspektif yang benar dan mengetahui ke arah mana perbaikan harus diusahakan.

Pertama-tama, dalam hidup berdampingan tidak mungkin semua hal harus sama. Kita perlu mengetahui perbedaan-perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Contohnya, cara memandang dan melihat hal-hal tertentu, berbeda antara laki-laki dan perempuan. Bagi laki-laki, rumah lebih merupakan tempat bersantai, melepaskan segala kepenatan. Karena itu pekerjaan rumah dan anak-anak, tidak menjadi prioritas. Sebaliknya, bagi istri, urusan kantor bisa dibawa ke rumah. Melihat rumah yang berantakan dan tumpukan piring kotor, dapat membuat istri gampang kesal dan marah. Berikutnya, laki-laki dan perempuan memiliki sifat, karakter dan kepribadian yang berbeda. Perempuan, memiliki  derajat kematangan emosional lebih dari laki-laki, karena itu perempuan siap untuk peran dan pekerjaannya di rumah. Sebaliknya, laki-laki justru mencari harga diri dan suksesnya di luar rumah, karena itu dalam hal-hal tertentu istri dapat berperan membimbing. Namun pada kesempatan lain, suamilah yang berperan. Diperlukan keterbukaan hati, dan bukan sikap kasar dan agresif yang mengurangi rasa hormat atau harga diri pasangan. Dengan demikian kecenderungan untuk merendahkan atau melecehkan pasangan patut kita hindari. Sebagai gantinya, berupaya lah terus untuk menjadi pendamping yang terbaik bagi pasangan kita dan pupuklah minat bersama, bukan minat dan keinginan kita sendiri. Kesemuanya ini dapat kita laksanakan dengan, cinta kasih, sebagai landasannya. Kasih yang membebaskan dalam hubungan mana pun dapat dirumuskan sebagai kepedulian dan komitmen dari kita secara timbal balik, sehingga pasangan hidup kita dapat mewujudkan jati dirinya secara penuh. Ketidakbahagiaan dan konflik dalam perkawinan, kerapkali disebabkan karena hubungan yang tampaknya baik, tetapi bagaikan api dalam sekam, karena jalur komunikasi tertutup dan terjadi lingkaran saling menyerang dan mendendam. Dalam Kolose 3:12-15 Rasul Paulus mengemukakan, bahwa Cinta kasih dapat membuat orang bersikap toleran (dalam arti sabar, lemah-lembut dan mau mengampuni) terhadap orang yang dicintai. Cinta kasih menjadi pengarah perbuatan-perbuatan yang bijaksana dan membangkitkan respon yang benar (yakni sabar, lemah-lembut, rendah hati dan mau mengampuni).  Cinta itu tidak mementingkan diri sendiri, tidak egoistis, melainkan mencari kesempatan untuk lebih banyak memberi daripada menerima. Oleh karena itu cinta kasih patut kita tumbuhkembangkan, kita pelihara dan kita pertahankan sebagai bagian dari kehidupan.  Ungkapan cinta kasih dan cara-cara untuk menumbuhkembangkan cinta kasih yang langgeng dapat kita wujudkan, bukan hanya dalam bentuk seks, tetapi memelihara keintiman dan romantisme dalam kehidupan sehari-hari, agar hubungan kita sebagai suami dan istri tidak hambar dan dingin .

Sahabat,
Dalam perjalanan hidup pernikahan, kadang-kadang timbul masalah yang harus diatasi, baik di dalam mau pun di luar lingkungan keluarga, yang tidak jarang menimbulkan kesalahpahaman dan konflik dalam hubungan suami dan istri. Karena itu dibutuhkan upaya untuk mencapai kata sepakat upaya untuk menunjukkan pengertian, menghargai, saling memberi dukungan dan semangat, yang semuanya berperan dalam memupuk hubungan yang baik dan juga pada hubungan intim. Kunci dari komunikasi yang baik adalah kerelaan dan kemampuan untuk mendengarkan, menerima, memperhatikan dan  saling mengerti satu sama lain. Dalam kehidupan bersama yang begitu dekat dan akrab, pasti akan ada benturan emosional yang harus diterima. Namun masing-masing hendaknya tidak selalu mengingat kesalahan dan kegagalan pasangannya, tetapi justru menghargai kebajikan, kesetiaan dan pengabdian pasangan hidupnya. Dengan demikian,  bertambahnya usia pernikahan, maka bertambah pula kemahiran mengatasi masalah. Demikian pula membina dan memelihara komunikasi yang baik, membutuhkan tekad yang baik dan derajat toleransi yang tinggi untuk mengatasi bermacam-macam masalah, Kadang-kdang terlihat bahwa lebih mudah “menjalin” hubungan dengan orang lain di luar ikatan keluarga. Lebih banyak kesempatan untuk memupuk hubungan di tempat pekerjaan, karena hubungan dengan pasangan di rumah, justru terbentang jarak dan terbentur tembok yang tidak dapat ditembus. Oleh karena itu suami dan kistri perlu menunjukkan masih adanya kasih sayang, yang diungkapkan dalam ucapan-ucapan mau pun dalam perbuatan. Harus saling menghargai dan mengampuni peristiwa atau hal yang merusak hubungan baik antar suami dan istri. Berdua menghadapi masalah dan bersama-sama mengatasi kesulitan, adalah nasehat yang terbaik. Jangan menyimpan marah dan dendam, sehingga setiap hari yang baru dapat dimulai dengan suasana yang segar dalam “kasih dan damai” yang memberi kekuatan dan kesempatan bagi suami dan istri untuk mengembangkan dirinya. Untuk membina hubungan suami-istri yang serasi dibutuhkan upaya secara aktif dari suami untuk menciptakan hubungan serasi dengan istri, demikian pula sebaliknya. Dibutuhkan keterbukaan agar masing-masing memahami kekurangan, kelemahan dan kesediaan untuk berubah dan mengubah diri, sejauh diperlukan, untuk menciptakan suasa penuh kedamaian, keakraban dan kehangatan.  Karena itu, ada sepuluh tips yang perlu kita perhatikan untuk mengembangkan komunikasi yang baik dengan pasangan. Pertama, Perlu keyakinan diri dan percaya akan pasangan. Dua, Tetap punya waktu untuk diri sendiri. Tiga, Memelihara keintiman dan romantisme. Empat, Mengatur Keuangan Keluarga secara bersama-sama. Lima, Berbagi tugas rumah tangga dan pengasuhan anak. Enam, Jujur dan terbuka. Tujuh, Tidak memendam masalah. Delapan, Menghargai masing-masing pribadi yang berbeda. Sembilan, Bersikap ramah dan lemah-lembut. Sepuluh, Mengingat hal-hal yang terbaik yang dimiliki oleh pasangan. Tuhan memberkati! Amin.

The art of Marriage
A good marriage must be created
In marriage the little things are the big things
It is never being too old to hold hands
It is remembering to say, “I love you”
It is never going to sleep angry
It  is having a mutual sense of values and common objectives
It is standing together facing the world
It is forming a circle of love that gathers in the whole family
It is speaking words of appreciation and demonstrating gratitude in thoughtful ways
It is having the capasity to forgive and to forget
It is giving each other an atmosphere in which each can grow
It is not only marrying the right person
It is being the right partner.

Bacaan Alkitab:  3:12-15

Doa :
Terimakasih ya Tuhan, bila kami disadarkan betapa pentingnya komunikasi yang jujur dan terbuka bagi hubungan kami sebagai suami dan istri, sehingga kemarahan – sakit hati – kebencian yang belum teratasi tidak semakin berkembang dan memisahkan kami. Oleh karena itu bantulah kami, agar sebagai suami-istri kami sungguh-sungguh dapat mengenali dan meneguhkan kekuatan dan potensi yang terdapat dalam diri kami masing-masing sehingga dengannya kami dimampukan untuk membangun hubungan yang hangat, penuh perhatian dan cinta kasih. Kami berdoa, agar nyala ikatan kasih kami tak kan pernah padam, namun senantiasa menghangatkan hati kami untuk terus mau belajar menerima dan menghargai segala bentuk perbedaan yang ada di antara kami, dengan terus saling berbagi dan peduli. Demi Putra-Mu Yesus Kristus, kami berdoa. Amin.




Minggu, 20 November 2011

LET'S MAKE FRIENDS EVERYWHERE


LET’S MAKE FRIENDS EVERYWHERE
Bacaan Alkitab: Yohanes 15:9-10


Di dunia ini, sesungguhnya semua orang saling membutuhkan. Tak ada satu pun manusia yang bisa hidup sendirian tanpa bantuan orang lain. Sehebat apapun dia, pasti membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Contohnya, setiap hari kita membutuhkan pasokan makanan yang sehat. Dari bahan bakunya: nasi putih hingga nasi merah. Kemudian lauk-pauknya, dari ikan, daging ayam atau daging sapi. Sayur kangkung atau bayam, buah pisang atau jeruk atau mangga. Semuanya memang bisa kita peroleh di supermarket, di pasar atau di tukang sayur. Nah apa jadinya, kalau tidak ada yang memasok beras, telur, ikan, daging, sayur dan buah-buahan ke supermarket, pasar atau tukang sayur? Apa jadinya kalau tidak ada orang yang menanam padi, beternak ayam, sapi, menanam sayur-sayuran dan buah-buahan? Mungkin kita bisa mengolah atau memasak bahan baku makanan apa saja, tapi kalau tidak ada orang yang menjualnya atau yang mengadakannya untuk kita? Boleh jadi, kita harus menanam padi sendiri dan mengolahnya menjadi beras. Kemudian menanam sayur-sayuran dan buah-buahan, dan berternak ayam dan sapi untuk memenuhi kebutuhan pasokan makan kita setiap hari. Contoh lainnya: di Wahid Blog Dunia Informasi dan Pembelajaran, saya menemukan sebuah survey terhadap 2500 orang yang membuktikan bahwa 79 persen orang yang tidak bisa hidup atau tidak dapat melewatkan satu hari pun tanpa Facebook. Survei yang diselenggarakan oleh Busted Coverage, majalah Coed dan College Candy itu mengungkapkan, hampir 50 responden menyadari ketergantungan mereka terhadap media sosial untuk mendapatkan kabar-kabari seputar kehidupan teman mereka. Lebih dari 40 persen responden mengatakan, langsung membuka Facebook sebelum sikat gigi di pagi hari. Sangking kecanduannya, 20 persen responden yang menghapus akun mereka (karena kesal terhadap layanan Facebook) akhirnya membuat profil Facebook baru. Di Indonesia saja, pengguna Facebook sejumlah 22 juta jiwa dengan rata-rata kunjungan mereka ke Facebook 30 kali dalam sebulan, sedangkan Twitter 6 juta. Berarti setiap hari, orang selalu menempatkan dirinya dalam jejaring sosial atau membangun relasi dengan orang lain.
Survey ini juga membuktikan kepada kita, bagaimana orang saling membutuhkan, dan tidak mungkin orang bisa hidup sendirian tanpa teman atau orang lain. Oleh karena itu, percayalah, hidup kita akan sangat susah dan tidak menyenangkan, jika seandainya kita hidup seorang diri saja di dunia ini. Kita bersyukur kepada Tuhan, jika sampai hari ini, Tuhan menghadirkan begitu banyak orang (baik suami, istri, orangtua, anak, teman, saudara dan lain sebagainya) untuk membantu kita dalam mencukupi semua kebutuhan kita. Kita bersyukur pula, jika kita masih diberi kemampuan oleh Tuhan untuk berbagi dan membantu orang lain. Bagaimana pun juga sebagai makhluk sosial, kita semua saling tergantung dan saling membutuhkan satu sama lain. Dengan sangat indah misalnya, Martin Buber menggambarkan bagaimana seharusnya kita menempatkan orang lain di dalam kehidupan kita, dalam relasi I and Thou dan bukan I and It. Dengan menempatkan orang lain sebagai subyek, kita akan belajar untuk menghargai dan mengasihi mereka dengan segala kelebihan dan kekurangan mereka. Sebaliknya, dengan menempatkan orang lain sebagai obyek, kita akan memperlakukan orang lain sesuka hati kita. Bahkan memanfaatkan mereka demi kepentingan kita. Ibarat kata, habis manis sepah dibuang, maka selama mereka masih berguna atau bermanfaat, kita akan memperlakukan mereka dengan baik. Dan ketika orang itu sudah tidak kita perlukan, kita akan mengesampingkan atau menyingkirkannya dari kehidupan kita.
        Dalam perikop yang kita baca tadi, Tuhan Yesus menggambarkan dua dimensi Kasih yang sangat penting dalam hidup kita. Pertama, kasih yang kita alami dari Allah, yang diekspresikan melalui Tuhan Yesus Kristus. Kedua, kasih yang kita alami dalam komunitas (baik keluarga, rekan kerja dan lain sebagainya) kita sebagai dampak dari kasih Allah kepada kita. Kedua dimensi Kasih itu sama seperti Hukum Kasih, mau menegaskan kepada kita, bahwa kita harus mengasihi Allah dengan mengasihi sesama. Dengan mengasihi sesama, kita melakukan perintah-perintah-Nya. Maka kasih Allah itu menjadi dasar untuk mengasihi sesama. Inilah esensi dari mengasihi sesama, karena itu dengan mengasihi Allah, kita juga dituntut untuk mengasihi sesama. Dengan mengasihi sesama, kita akan belajar untuk mengubah pola pikir dan pola hidup kita, yang semula hanya terarah kepada diri sendiri saja, untuk kemudian hidup di dalam rumah kasih dan mengungkapkan kasih kita kepada orang lain yang ada di sekitar kita. Itulah sebabnya mengapa Tuhan Yesus mengatakan, “Tinggallah di dalam kasih-Ku itu.” Dengan tinggal di dalam kasih-Nya, Tuhan Yesus menginginkan kita untuk membuka cara berpikir yang baru: hidup di dalam kasih. So let’s make friends everywhere and always keep a Good relationship with them. Dengan memiliki banyak teman dan bersikap baik dengan mereka, semakin banyak pula orang yang tergerak untuk mau membantu kita ketika kita sedang berada dalam posisi sulit. Oleh karena itu banyak sekali manfaat yang bisa kita dapatkan dengan memiliki banyak teman dan selalu membina hubungan baik kepada orang lain. Contohnya, semakin banyak orang yang peduli terhadap kita, akan semakin banyak pula support yang bisa didapatkan untuk memotivasi kita dalam melakukan sesuatu. Seperti sekarang ini, kita perlu memiliki networking. Networking yang luas dapat membantu atau memudahkan jalan kita terhadap sesuatu. Contohnya saja, ketika kita berusaha mencari sponsor untuk acara kita. Pasti pernyataan yang sering ditanyakan adalah “Eh, kamu punya link sponsor ini nggak ? Kalau link media partner itu ada nggak ?”. Atau seandainya kita sedang mencari bintang tamu untuk acara kampus, pasti kita akan senang kalau ada teman kita yang berkata, “Eh si artis ini temen saya nih, bisa lah nanti dikasih murah”. Nahhh … menyenangkan bukan kalau kita memiliki banyak kenalan? Apalagi orang yang kita kenal adalah orang-orang yang hebat, karena tentunya hal tersebut merupakan suatu bentuk keberhasilan kita dalam memperluas networking. Dalam surat Roma 12:9-10 Rasul Paulus berkata, “Hendaklah kasih itu jangan pura-pura! Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik. Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat.”  Semoga kita semua mampu membuka telinga terhadap suara kasih Tuhan yang tersembunyi di dalam hati kita. Amin.









KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN



Dalam kehidupan keluarga, gereja dan masyarakat, semua orang pasti pernah mengalami ketidakbaikan, atau pengalaman yang buruk, yang meninggalkan bekas-bekas luka yang sulit dipahami dan diterima. Bisa jadi seseorang pernah disakiti, disalahpahami, dikecewakan, kehilangan kepercayaan, ditertawakan, diejek, kehilangan muka, dan ditindas. Semua orang pernah mengalami penderitaan semacam itu, namun penderitaan juga dapat diwarnai oleh gender (atau masalah jenis kelamin : laki-laki dan perempuan). Bagi laki-laki, kejahatan adalah sesuatu yang dibuat dan dapat dihilangkan lagi. Tetapi bagi kaum perempuan, ketidakbaikan atau ketidakadilan itu terjalin dalam dirinya. Keperempuanan itu sendiri kerapkali dipandang tidak baik, atau paling tidak merupakan suatu tembok atau batas kemanusiaan. Bila seorang perempuan melakukan sesuatu yang buruk, hal itu dipandang sebagai ’kodratnya’ yang memang dipenuhi oleh ketidakbaikan, karena perempuan bertanggungjawab atas kejatuhan manusia ke dalam dosa.
Kekerasan merupakan masalah di mata Allah, karena menyangkut hidup dan kehidupan (perempuan dan anak-anak). Kekerasan adalah penghancuran hak manusia yang paling hakiki, yaitu hak untuk hidup dengan aman.

Kekerasan adalah masalah iman.  Karena manusia (baik laki-laki maupun perempuan adalah gambar dan rupa Allah). Oleh karena itu kekerasan adalah penghancuran akan gambar dan citra Allah itu. Inilah yang menjadi alasan utama mengapa segala bentuk kekerasan harus dihentikan dari kehidupan manusia di dunia ini, baik di dalam kehidupan rumah tangga, keluarga, dan bahkan gereja. Bentuk-bentuk kekerasan atau penindasan itu dapat kita lihat dalam 5 bentuk :
(1) Dominasi/Subordinasi. Laki-laki adalah tuan, dan majikan (karena tempatnya adalah di luar/publik), dan perempuan adalah kaum yang lemah, karena itu tempatnya adalah di rumah (memasak, mengurusi suami dan anak dsb).
(2) Marginalisasi. Marginalisasi bisa dalam bentuk diskriminasi. Sikap kita sebagai orangtua, kerapkali tidak adil. Anak laki-laki boleh melakukan apa saja, termasuk hal-hal yang buruk, karena dia adalah laki-laki. Sedangkan anak perempuan, harus pandai mematut-matut diri dan tunduk kepada ayahnya. Upah buruh perempuan sangat rendah dibandingkan dengan laki-laki, karena dia dianggap punya suami, dan lebih bodoh dari laki-laki. Di gereja, tempat perempuan hanya di bagian konsumsi dan sekretariat. mereka tidak dilibatkan untuk mengambil keputusan, karena mereka tidak tahu apa-apa.
(3) Stereotyping. Cap atau stempel, bahwa perempuan itu lemah, dan kurang terdidik dalam menangani masalah-masalah sosial-ekonomi dan politik. Pekerjaan perempuan hanya memasak dan mengurusi suami, anak dan keluarganya.
(4) Unjust burden (beban yang tidak adil antara laki-laki dan perempuan). Bila seorang istri bekerja sebagai pegawai atau guru dan karyawan, dia dituntut untuk bisa menangani sekaligus urusan di dalam keluarganya. Melayani suami dan anak-anaknya, bahkan mertuanya.
(5) Kekerasan, baik secara fisik (dengan memukul, menampar dan sebagainya) maupun secara psikis (dengan kata-kata kasar, umpatan, caci maki, tidak memberi nafkah kepada istri dsb)

Dalam kaitan itu, Gereja seharusnya adalah pihak pertama yang harus bertanggung jawab untuk terlibat secara aktif dalam upaya penghentian kekerasan. Gereja adalah saudara dan saya, dan bukan bangunan gereja ini. Kita harus merombak atau mengubah entah itu ajaran, tradisi atau budaya yang telah secara langsung atau pun tidak langsung mengakibatkan kekerasan terhadap umatnya, khususnya kaum perempuan dan anak-anak. Karena terbukti, dan Gereja tidak bisa mengingkari, bahwa telah terjadi begitu banyak kekerasan yang dilakukan di dalam keluarga-keluarga kita, bahkan di dalam gereja-gereja  dan lembaga-lembaga pendidikan kita. Anna Julia Cooper, seorang pendidikan perempuan, lebih dari seratus tahun lalu sudah menuliskan, ”dunia perlu mendengar suara perempuan” yang sekian lama dibungkam, termasuk di dalam membaca ”teks-teks Kitab Suci” untuk menempatkan pengalaman manusia secara keseluruhan baik laki-laki maupun perempuan.”





Selasa, 01 November 2011

MEREKONSTRUKSI PERAN SUAMI DI TENGAH MASYARAKAT DAN BUDAY APATRIARKHI


Pendahuluan
Rekonstruksi peran suami di tengah masyarakat & budaya patriarkhi, memperhadapkan kita pada kehidupan seharian istri atau keperempuanan yang terdiskriminasi oleh budaya dan tradisi, dan hampir dapat dipastikan di dalam diskriminasi terdapat kekerasan atau opresi secara fisik, psikis, mental dan spiritual, baik secara perseorangan maupun komunitas perempuan. Dalam budaya patriarkhi, dominasi suami atas istri pada umumnya dibenarkan oleh paham kodrat, sebab kodrat suami (sebagai laki-laki) diyakini kuat, pemberani, rasional, produktif, dan sanggup membuat perencanaan. Sedangkan kodrat istri (sebagai perempuan) adalah lemah lembut, penakut, perasa, reproduktif, memelihara dan merawat kehidupan, biasa melayani dan suka dipimpin. Akibatnya tempat suami (dan atau laki-laki) adalah di area publik, sementara istri di ruang domestik (di rumah dan sekitarnya). 

Adapun pengambilan keputusan dalam masalah-masalah besar seperti membeli rumah, pengelolaan saham atau keuangan keluarga, ada di dalam otoritas suami karena ia adalah kepala keluarga. Dalam konteks budaya kita, sistem patriarkhal memberikan seorang suami kekuasaan penuh atas istri dan anak-anaknya. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan pemeliharaan dan pendidikan anak dan urusan rumah tangga lainnya, dianggap tidak cukup berharga untuk dilirik, apalagi untuk diketahui orang lain, karena posisi istri sebagai perempuan, ditempatkan dalam posisi rendah dan lemah. Sebab itu, tugas utama dalam kehidupan seorang istri adalah dalam kekuasaan ayahnya (ketika ia belum menikah), dalam kekuasaan suami (ketika ia menikah), dan dalam kekuasaan anak laki-laki (ketika ia tua).

Menurut Tissa Balasuriya dalam bukunya Teologi Ziarah (2004), diskriminasi terhadap istri dan atau perempuan terdapat dalam banyak masyarakat Asia (termasuk di Indonesia). Dalam kenyataannya, para suami sering berlaku kasar dan tidak adil terhadap istri mereka, sekalipun mereka menaruh sikap hormat terhadap perempuan dan ibunya sendiri. Hal ini disebabkan karena sejak lahir, anak perempuan diperlakukan secara berbeda, tidak diinginkan dan kurang diasuh, sedangkan anak laki-laki selalu diperlakukan secara istimewa, disambut dengan gembira dan diutamakan oleh keluarganya. Sepanjang hidupnya kaum perempuan diatur sedemikian rupa agar cocok dengan peran rumah tangga yang disediakan bagi mereka. Mereka tidak diizinkan untuk mengatur langkahnya sendiri dan mengambil keputusan.[2] Perasaan takut senantiasa ditanamkan. Sebab itu secara piskologis dan fisik, mereka menjadi sangat bergantung pada kaum laki-laki. Menjelang akil-balik, para gadis didesak agar segara menikah dan ”berumah-tangga.” Dengan demikian para orangtua terbebas dari tanggung jawab untuk mengasuh anak gadisnya. Setelah berumah-tangga, maka tempatnya adalah di rumah, menjadi alat prokreasi untuk melahirkan anak, serta memelihara suami dan keluarganya.[3] Mereka diharuskan untuk memilih peran ”bergantung sepenuhnya” kepada suaminya, di mana mereka merasa dipelihara, dan berperan sebagai ibu dan pengasuh, serta dapat menyatakan perasaan keibuannya, kesabaran, kelemah-lembutan, dan sambutan hangatnya kepada suami dan anak-anaknya.

Demikianlah identitas perempuan telah direkonstruksi oleh budaya, sehingga mereka mengalami subordinasi dan marginalisasi. Hal ini membuka ruang terjadinya kekerasan psikologis, psikis, mental dan spiritual terhadap seorang perempuan.[4] Perubahan demi perubahan telah terjadi, namun nilai budaya dalam keluarga dan masyarakat, sehingga sebagai perempuan, mereka mengalami berbagai tindak kekerasan budaya.[5] Untungnya hal ini tidak membuat mereka berdiam diri sebagai korban yang pasif. Berbekalkan pendidikan yang memadai, seorang perempuan dapat menyusun dan mengaplikasikan berbagai strategi untuk mengatasi kekerasan budaya dengan cara yang tidak frontal. Keperempuantionghoaan terlihat melalui cara mereka membentuk identitas baru yang terus menjadi. Sebab itu kemampuan perempuan untuk memakna-ulang budaya patriarkhi menjadi modal utama untuk menuju ranah publik.

Refleksi
Dominasi dan subordinasi laki-laki terhadap perempuan berada dalam susunan dan jaringan sosial berlapis-lapis dan kompleks, karena menempatkan laki-laki sebagai penguasa, pembesar, tuan, pemilik, majikan dan suami menurut tradisi dan budaya. Perjuangan kaum perempuan, adalah membangun egalitarian community (suatu komunitas yang sederajat antara laki-laki dan perempuan). Selanjutnya, adalah menumbuhkan kesadaran dan kepekaan kaum perempuan, dan menantang kaum laki-laki untuk melancarkan kritik, serta merekonstruksi bangunan-bangunan teoritis dan metodologis (dalam berbagai disiplin ilmu) yang melestarikan dominasi, ketimpangan dan ketidakadilan dalam realitas hubungan laki-laki dan perempuan, tekstual dan kontekstual.

Merekonstruksi peran suami di tengah masyarakat dan budaya patriarkhi, berarti menempatkan baik laki-laki maupun perempuan, sebagai manusia yangs etara dan sederajat (equality) dalam kesamaan dan perbedaan mereka, dan menghayati kemanusiaan mereka dalam hubungan timbal balik (mutuality).[6] Rosemary Radford Ruether dalam bukunya Sexism and God-Talk: Toward a Feminist Theology, mengatakan bahwa : upaya apapun yang mengurangi kemanusiaan kaum perempuan harus dianggap bukan “merefleksikan yang ilahi” atau “relasi yang otentik” dengan yang ilahi. Prinsip kemanusiaan yang penuh didasarkan pada konsep “imago Dei,” bahwa perempuan secara setara dibebaskan oleh Kristus dan secara setara dikuduskan oleh Roh Kudus. Berikutnya, kita perlu mengangkat serta menilai kaum perempuan ke dalam kesadaran masyarakat agar berkembang suatu hubungan baru yang didasarkan pada kesederajatan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, sehingga terbuka suatu cara berpikir yang terbuka dan inklusif demi terwujudnya keadilan, kebenaran, perdamaian serta keutuhan ciptaan.





[1] Dalam tulisan ini, kata “patriarkhi” menunjuk pada arti “pola atau tatanan yang ditentukan oleh kaum laki-laki.” Dalam masyarakat patriarkhal, kaum laki-laki menentukan pola masyarakat dan kaum perempuan dinomorduakan.
[2] Dalam tradisi keluarga Tionghoa tradisional, seorang istri harus tunduk dan patuh kepada suami dan keluarganya, sehingga hal-hal yang berkaitan dengan penatalayanan dan pengelolaan kehidupan keluarga, ada dalam kekuasaan suami dan keluarganya.
[3] Dalam bidang pekerjaan, perempuan tidak dianjurkan atau diharapkan mendapat pekerjaan tetap diluar rumah. Kalau mereka diperkerjakan, mereka sering mendapat upah yang lebih sedikit, atau bahkan tidak mendapatkan bayaran yang sepantasnya, ketimbang kaum laki-laki untuk jenis pekerjaan yang sama. Kaum perempuan sering dipekerjakan sebagai tenaga yang kurang trampil; pada umumnya menangani urusan administrasi atau pengawasan yang dianggap sepele oleh kaum laki-laki. Kaum perempuan juga dieksploitasi dalam zona-zona perdagangan bebas di hotel-hotel, restoran-restoran, dan pusat-pusat pariwisata, kadang-kadang sebagai pelacur (atau PSK), terutama kalau mereka tidak punya pekerjaan dan keluarganya sangat kekurangan.
[4] Menurut Tissa Balasuriya, seksisme adalah sistem budaya yang dikuasai laki-laki, yang menentukan tujuan, peran, dan nilai-nilai dari kehidupan perempuan. Perempuan dilihat lebih banyak sebagai pembantu (bnd. dalam sistem budaya Tionghoa yang bercorak paternalistik-hierarkhis). Kepribadian perempuan dipaksa mencari dan menemukan pemenuhannya dalam hubungannya dengan laki-laki. Laki-laki adalah norma-norma, perempuan adalah ’pihak lain.’  Pekerjaan laki-laki dianggap lebih produktif dan dibayar lebih mahal dibandingkan dengan perempuan. Secara ekonomis, politis dan sosial kebutuhan perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki. Karena itu, pada umumnya perempuan tidak mendapat kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan menjadi pejabat lebih sulit bagi perempuan. Mereka tidak diikut-sertakan dalam proses pengambilan keputusan, karena dianggap tidak memahami pelbagai kebijakan politik dan ekonomi. 

ADA MAKSUD TUHAN



Bacaan     : Markus 9: 2-13 

Tidak semua murid diperkenankan menyaksikan dan sekaligus merasakan sebuah peristiwa besar yang terjadi di atas Bukit Tabor, seperti yang dialami oleh Petrus, Yakobus dan Yohanes. Di sana mereka melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana Yesus yang dimuliakan dan mereka merasa sangat bahagia. Karena itu dengan penuh harap, mereka menawarkan diri untuk mendirikan kemah untuk Musa, Elia dan Yesus sendiri. Dengan demikian suasana yang penuh dengan kemuliaan bisa tetap dinikmati. Tetapi begitu mereka selesai berbicara, suasana berubah kembali seperti semula dan mereka diajak turun dari atas Bukit Tabor.

Bukan karena Yesus tidak setuju dengan usulan mereka, tetapi karena saat itu masih ada yang harus dikerjakan oleh Yesus dan para murid. Dan tugas itu dilakukan tidak di atas Bukit Tabor, tetapi di kota Yerusalem. Di sana Yesus akan memasuki saat-saat penderitaan, yang akan berakhir dalam peristiwa kematian. Sebagai umat Tuhan kita juga sering lupa dengan panggilan Tuhan dalam hidup ini. Kita ingin menciptakan suasana sorgawi dalam diri kita sendiri dan bagi diri kita sendiri. Tugas yang harus kita lakukan tidak berada di atas Bukit yang penuh dengan kemuliaan, tetapi di dalam kehidupan sehari-hari di dunia yang penuh dengan berbagai macam persoalan & tantangan, bahkan dunia yang penuh dengan berbagai macam permusuhan. Keinginan ketiga murid untuk mendirikan tiga kemah di atas Bukit Tabor boleh dikata, merupakan upaya mereka untuk menghindar dari tugas pokok mereka sebagai murid Yesus. 

Berada di ”zona aman” atau di atas Bukit yang penuh dengan kemuliaan ternyata lebih menyenangkan daripada hidup di dunia yang penuh dengan berbagai macam persoalan, tantangan dan permusuhan. Hampir dapat dipastikan, kita pun mempunyai keinginan yang sama dengan para murid. Namun ada maksud Tuhan di tengah-tengah situasi kehidupan yang semakin berat dan sulit yang kita hadapi saat ini, yaitu membawa terang kasih Kristus di dalam kehidupan sehari-hari kita dan tetap setia menjadi murid-Nya. Dalam Injil Markus 8:34-35  Tuhan Yesus berkata, ”Setiap orang  yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. Karena siapa yang mau menyelamatkan nyawanya; ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, ia akan menyelamatkannya.”


 

Senin, 31 Oktober 2011

MEREKONSTRUKSI PERAN ISTERI DI DALAM MASYARAKAT DAN BUDAYA PATRIARKHI



Merekonstruksi Peran Istri Di Dalam Masyarakat & Budaya Patriarkhi[1]



Pendahuluan
Saat ini peran istri di dalam hidup perkawinan, tampaknya menjadi semakin sulit. Selama tahun pertama dan tahun kedua perkawinan pasangan suami istri biasanya harus melakukan penyesuaian utama satu sama lain, terhadap anggota keluarga masing-masing dan teman-temannya. Sementara mereka sedang melakukan penyesuaian, sering timbul ketegangan emosional karena baik suami mau pun istri mempunyai konsep yang tidak realistis tentang makna perkawinan berkenaan dengan pekerjaan, deprivasi, pembelanjaan uang, atau perubahan dalam pola hidup. Seorang suami yang dibesarkan dalam keluarga yang menempatkan laki-laki sebagai “tuan” atau “majikan” misalnya, akan mengalami kesulitan ketika keluarga, teman dan rekannya memperlakukannya sebagai “suami Jane.” Demikian pula seorang perempuan karier yang berhasil, ia bisa saja kehilangan identitas dirinya sebagai individu yang sangat dijunjung dan dinilai tinggi sebelum perkawinan, ketika keluarga, teman dan rekannya menganggap dirinya hanya sebagai “ibu rumah tangga.” Kecenderungan terhadap perubahan peran dalam perkawinan bagi laki-laki dan perempuan, dan konsep yang berbeda tentang peran ini yang dianut kelas sosial dan kelompok religius yang berbeda, membuat penyesuaian dalam perkawinan semakin sulit sekarang daripada di masa lalu ketika peran masih begitu ketat diatur oleh adat istiadat dan budaya[2]. Oleh karena itu konsep perkawinan yang tidak realistik, khususnya yang berkenaan dengan masalah keuangan keluarga, dapat menimbulkan hambatan dan rintangan dalam proses penyesuaian perkawinan.  


Pandangan Alkitab tentang Kesetaraan Harkat Perempuan dan Laki-laki
Alkitab memberikan gambaran kepada kita, bahwa perempuan diciptakan dari rusuk laki-laki. Hal ini mau memperlihatkan, bahwa keduanya mempunyai sumber yang sama, dan mereka adalah suatu kesatuan dan keutuhan, sebagaimana yang diikrarkan sendiri oleh Adam, “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku” (Kej. 2:23). Keyakinan yang paling fundamental yang terungkap di sini ialah bahwa perempuan adalah manusia sepenuhnya dan harus diperlakukan demikian.[3]  Hal ini menunjukkan kepada kita, bahwa laki-laki dan perempuan, keduanya diciptakan Allah sebagai manusia yang setara dan sederajat (equality) dalam kesamaan dan perbedaan mereka, dan mereka akan menghayati kemanusiaannya dalam hubungan timbal balik (mutuality).[4] Rosemary Radford Ruether, dalam bukunya yang berjudul Perempuan dan Tafsir Kitab Suci  (1998) menyatakan, bahwa “apa pun yang mengurangi kemanusiaan penuh kaum perempuan harus dianggap bukan merefleksikan yang ilahi atau relasi yang otentik dengan yang ilahi” dan prinsip kemanusiaan yang penuh didasarkan pada konsep “imago Dei,” bahwa perempuan secara setara dibebaskan oleh Kristus, dan secara setara dikuduskan oleh Roh Kudus.  Eksistensi manusia yang terdalam, bahwa manusia adalah ciptaan Allah dan manusia ciptaan Allah itu adalah laki-laki dan perempuan terungkap di dalam Kejadian 1:27. Kredo ini menggaris bawahi kesamaan harkat dan martabat laki-laki dan perempuan di hadapan Allah. Sebab itu tidak ada yang lebih tinggi atau yang lebih rendah terhadap yang lain, keduanya diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kejadian 1:26).


Merekonstruksi Peran Istri Di Dalam Masyarakat & Budaya Patriarkhi
Saat ini peran dan fungsi seorang isteri, tidak lagi ditentukan oleh adat. Setiap pasangan hendaknya mempunyai konsep yang pasti mengenai bagaimana seharusnya peranan seorang suami dan istri, atau setiap orang mengharapkan pasangannya memainkan perannya. Penyesuaian terhadap pasangannya, berarti mengorganisasikan pola kehidupan, merubah persahabatan dan kegiatan-kegiatan sosial, serta merubah persyaratan pekerjaan, terutama bagi seorang istri. Penyesuaian-penyesuaian ini mungkin akan diikuti oleh konflik emosional. Akan tetapi dengan latar belakang pendidikan yang baik, konflik dan penyesuaian yang buruk akan teratasi. 


Di dalam masyarakat modern, suami dan isteri dapat bekerja sama secara seimbang demi kepentingan bersama. Dominasi pada satu pihak dan kepasrahan di pihak yang lain dapat dinilai sebagai kegagalan dalam usaha mempertahankan hubungan timbal balik antara suami dan isteri sebagai dua subyek yang sejajar. Iman Kristen menemukan kembali keyakinan bahwa baik laki-laki mau pun perempuan diciptakan sebagai gambar Allah (imago Dei) setingkat dalam perbedaan mereka dan sama-sama dipanggil untuk mengasihi dan berkarya menurut kemampuan masing-masing. Kesadaran ini mengubah pengertian tentang hubungan pernikahan. Hal ini diperkuat oleh kenyataan bahwa Yesus tidak membenarkan keluarga patriarkhal. Itu sebabnya makin banyak orang Kristen yang mencita-citakan model pernikahan yang di dalamnya suami dan isteri dapat mengikat hubungan timbal balik sebagai dua subyek yang saling menghormati dan menerima dengan kekuatan dan kelemahan masing-masing. Mereka harus saling mencintai dan mengasihi, serta bersama-sama mengatur rumah tangga mereka.[5]  Pembagian tugas akan berubah, sesuai dengan situasi dan umur, keberadaan anak kecil atau yang sudah besar, adanya dan perlunya pekerjaan di luar rumah untuk salah satu atau keduanya, adanya tugas lain dalam keluarga, masyarakat dan gereja. Usaha ini tidak dapat dinilai tinggi atau rendahnya, atau apakah harus dilakukan laki-laki atau perempuan, sebab semuanya penting untuk kehidupan bersama dan itulah yang menentukan nilainya. ***





Dalam tulisan ini, kata “masyarakat patriarkhi” menunjuk pada arti “pola atau tatanan yang ditentukan oleh kaum laki-laki.” Dalam masyarakat patriarkhal, kaum laki-laki menentukan pola masyarakat dan kaum perempuan dinomorduakan. Dominasi kaum laki-laki atas kaum perempuan pada umumnya dibenarkan oleh paham kodrat. Menurut paham ini, kodrat laki-laki adalah kuat, pemberani, rasional, produktif, menciptakan kebudayaan, dan sanggup membuat perencanaan. Sedangkan kodrat perempuan adalah lemah lembut, penakut, perasa, reproduktif, memelihara dan merawat kehidupan, biasa melayani dan suka dipimpin. Dengan pandangan seperti ini, tempat kaum laki-laki adalah di ruang publik, dalam masyarakat luas sementara kaum perempuan di ruang domestik atau privat (di rumah dan sekitarnya). Masalah-masalah ”besar” seperti membeli rumah atau tanah, pengelolaan saham atau keuangan keluarga, adalah masalah yang menyangkut laki-laki. Masalah-masalah perempuan, seperti pemeliharaan anak, masak, pendidikan anak dan urusan rumah tangga yang lainnya jarang disinggung, dan sering ”disembunyikan.”
[
Dalam perundang-undangan kebanyakan Negara di Eropa tidak ada lagi “suami sebagai kepala keluarga” dan isteri “sebagai pengatur rumah tangga.” Perkawinan adalah persekutuan  suami isteri demi kepentingan bersama. Mereka bebas mengaturnya sesuai dengan keinginan mereka. Dalam masyarakat patriarkhal, suami menjadi kepala rumah tangga dan berwibawa di hadapan isteri dan anak-anaknya yang harus tunduk padanya. Teologi Feminis, yang tidak lagi rela memahami perempuan sebagai obyek (yang ditentukan oleh masyarakat), melainkan sebagai subyek yang sedang mencari sejarah serta jati dirinya sendiri dan tidak bersedia menyamakan dirinya dengan laki-laki saja. Perempuan membebaskan diri dari pola dan tatanan yang ditentukan oleh kaum laki-laki atau paling sedikit, sedang berusaha membebaskan dirinya. Anna Nasimiyu-Wasika, seorang biarawati dari Kenya dalam Feminism and African Tehology membuat definisi sebagai berikut : “Femenisme menuju suatu masyarakat yang di dalamnya semua orang mampu mewujudkan keutuhan hidupnya. Semua orang berperan menghayati bakat dan kesempatannya sejauh mungkin dan dengan itu menunjang pembangunan kemanusiaan secara utuh. Karena feminisme menunjang hidup ... ia menentang dengan tegas segala lembaga yang mengeksploitasi perempuan, membatasi mereka pada peran tertentu, menyangkal kesempatan bahwa mereka dapat mewujudnyatakan bakat dan kemungkinannya sambil menempatkan mereka pada kedudukan yang rendah.”

Minggu, 30 Oktober 2011

KERJASAMA ANTAR UMAT BERAGAMA, SEPERTI APA?


Bacaan: Daniel 6:1-12, Yohanes 3:16-17


Tema kita kali ini adalah Kerjasama antar umat beragama, seperti apa ... ?!  Tema ini  kerapkali muncul dalam percakapan-percakapan dan agenda rapat-rapat kita, tetapi perhatian kita tidak tertuju ke sana karena kita punya cukup banyak alasan untuk tidak menempatkan realitas kemiskinan serta kemajemukan budaya dan agama, sebagai prioritas kita. Kalau pun ada kepedulian kita, kerjasama antar umat beragama masih kita pahami sebagai bantuan karitatif yang dilakukan oleh gereja dalam bentuk mengunjungi orang dalam penjara dengan membawa makanan dan memimpin renungan, menyediakan beras untuk membantu keluarga miskin, serta mendirikan poliklinik gratis atau murah untuk orang miskin. Pertanyaannya, adalah apakah tidak ada cara-cara bergereja lainnya, yang dapat kita lakukan dengan misi yang membangun kesejahteraan bersama untuk orang-orang yang berbeda agama, gereja dan aliran?

Melihat potret gereja kita saat ini, rasanya tidak berlebihan bila dikatakan bahwa hampir semua cara bergereja yang kita lakukan mengikuti model dari Eropa dan Amerika, dan pemahaman teologi gereja kita masih berakar pada teologi altar yang kita terima dari Barat. Kebaktian-kebaktian kita, pola-pola pembinaan kita masih mengikuti model Barat. Nah, seperti apakah wajah teologi gereja kita saat ini?  Wajah teologi kita saat ini memiliki beberapa ciri : Pertama, teologi kita sangat menekankan keselamatan pribadi dan hal-hal yang bersifat rohani. Akibatnya Pola PI (Pekabaran Injil) kita, tidak dilihat sebagai Kabar Baik untuk orang miskin, tetapi sebagai panggilan untuk dibaptis dalam gereja dan mendapatkan keselamatan sesudah mati. 


Kedua, teologi kita saat ini lebih menekankan pernyataan (theology of statement) daripada tindakan (theology in action). Oleh karena itu gereja tampak lebih sibuk merumuskan dogma, atau melakukan kebaktian dan sakramen, daripada melakukan advokasi (atau memberdayakan atau memulihkan) martabat orang yang telah diperlakukan secara tidak adil. Ketiga, isi teologi kita  tenggelam dalam dogma yang bersifat rutin dan konvensional, sehingga dogma dan ajaran gereja tidak pernah dikritisi tapi juga tidak pernah menjadi bagian yang menyatu dengan diri kita. Keempat, perspektif teologi kita lebih memihak kepada golongan penguasa (agama, sosial, ekonomi dan politik) daripada golongan akar rumput (kaum tertindas, wong cilik). Kelima, iman dan kepercayaan bersifat universal untuk segala tempat dan waktu. Akibatnya sangat sulit bagi kita untuk menerima dan menghargai orang-orang yang diluar komunitas/berbeda dengan kita. Teologi seharusnya memperhatikan kinteks, tempat dan waktu.  Dibutuhkan kepercayaan dan iman yang bersifat kontekstual.


Indonesia, adalah sebuah negara di Asia dengan jumlah penduduk yang sangat padat (Menurut data statistik, pada tahun 2005 jumlah penduduk Indonesia adalah 218.868.791 juta, dan terdiri dari lebih 520 suku bangsa) dengan beraneka budaya, bahasa, suku bangsa dan beranekaragam agama-agama karena Indonesia mempunyai populasi jumlah orang-orang Muslim terbesar di antara semua negara-negara di dunia, dan orang-orang Kristen menjadi kelompok minoritas. Kerjasama dan dialog antar umat beragama sangat kita butuhkan untuk menjernihkan dan menipiskan kecurigaan-kecurigaan dan stereotipe-stereotipe tertentu yang menghasilkan trauma dan sikap eksklusif kita. Menurut David Tracy, percakapan sejati dapat terjadi di antara berbagai perspektif keagamaan yang berbeda-beda, bahkan yang bertentangan sekalipun. Oleh karena itu, melalui dialog, kita belajar untuk menghargai dan menerima orang lain yang berbeda suku, ras dan agama sebagai keutuhan ciptaan Tuhan.

Melalui dialog, kita diingatkan, bahwa siapa pun kita (apakah itu Islam, Hindu, Budha, Kristen maupun yang lainnya) “hadir ke dunia” justru untuk mengatasi dan memerangi musuh-musuh bersama, yaitu : kemiskinan, pelanggaran Hak-hak Azasi Manusia, persoalan sosial-politik, ekologi dan bukan mencari musuh di antara pemeluk agama lain. Dengan demikian, dialog adalah usaha membuat orang-orang merasa nyaman berada di rumah “kemajemukan.” Bukankah Allah menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar?[1] Bukankah Petrus berkata, “Sesungguhnya aku telah mengerti bahwa Allah tidak membedakan orang. Setiap orang dari bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepada-Nya.

Di dalam Alkitab tidak banyak diperlihatkan pedoman yang spesifik, yang diberikan oleh Yesus kepada kita untuk mencoba berelasi dengan orang-orang yang berasal dari komitmen iman dan tradisi-tradisi agama lain. Namun Alkitab memberikan sebuah contoh yang indah melalui kehidupan Daniel. Berada di pembuangan, sebagai tawanan tentu bukanlah sebuah pengalaman hidup yang menyenangkan. Seandainya Daniel bisa memilih, tentu saja dia tidak ingin berada di dalam situasi dan kondisi yang terus menerus mengancam hidupnya. Menghadapi segala bentuk konspirasi yang dilakukan oleh para pejabat istana Nebukadnezar, yang berupaya untuk mencelakakannya. Namun toh semuanya itu tidak membuat Daniel menutup diri, dan membangun tembok yang tebal demi untuk menyelamatkan dirinya. Dengan kebesaran hatinya, ia tetap berpegang teguh dengan identitas dan integritasnya.

Suatu pedoman yang diberikan adalah cara Yesus untuk membangun relasi dengan yang lainnya, yaitu dengan kasih-Nya dan kesediaan-Nya untuk berbela rasa. Yesus menerima orang-orang lainnya sebagaimana mereka adanya. Contohnya, adalah perjumpaan Yesus dengan perempuan Samaria dan perempuan Siro Fenisia, dan Perumpamaan Orang Samaria yang baik hati, yang merefleksikan dengan jelas penghargaan Allah terhadap keberagaman dan perbedaan, agar setiap kita dapat saling mengenal dan memahami, dikasihi dan mengasihi. Bahkan menjadi orang-orang Samaria yang baik hati di jaman modern sekarang ini. Mengikuti Yesus berarti harus mengenal dan menghayati visi Yesus, dan visi Yesus adalah mewujudkan kedatangan Kerajaan Allah di bumi. Oleh karena itu visi pelayanan gereja, bukanlah sekedar dibangunnya gedung gereja, bertambahnya orang yang dibaptis, dan makin besarnya pengaruh kekuasaan atau politik orang Kristen, namun tugas panggilan untuk menjalankan misi Allah untuk membebaskan dan mendamaikan dunia dari ketidakadilan dan dosa sosial. Akhirnya dari Yesus, kita belajar untuk hidup berdampingan dengan orang-orang yang berbeda agama, karena tidak ada satu orangpun yang dapat melakukan semuanya sendiri. Oleh karena itu marilah kita bangun persahabatan dan dialog kehidupan, serta  belajar hidup dalam kemajemukan.





[1] Matius 5:45.