Halaman

Senin, 31 Oktober 2011

MEREKONSTRUKSI PERAN ISTERI DI DALAM MASYARAKAT DAN BUDAYA PATRIARKHI



Merekonstruksi Peran Istri Di Dalam Masyarakat & Budaya Patriarkhi[1]



Pendahuluan
Saat ini peran istri di dalam hidup perkawinan, tampaknya menjadi semakin sulit. Selama tahun pertama dan tahun kedua perkawinan pasangan suami istri biasanya harus melakukan penyesuaian utama satu sama lain, terhadap anggota keluarga masing-masing dan teman-temannya. Sementara mereka sedang melakukan penyesuaian, sering timbul ketegangan emosional karena baik suami mau pun istri mempunyai konsep yang tidak realistis tentang makna perkawinan berkenaan dengan pekerjaan, deprivasi, pembelanjaan uang, atau perubahan dalam pola hidup. Seorang suami yang dibesarkan dalam keluarga yang menempatkan laki-laki sebagai “tuan” atau “majikan” misalnya, akan mengalami kesulitan ketika keluarga, teman dan rekannya memperlakukannya sebagai “suami Jane.” Demikian pula seorang perempuan karier yang berhasil, ia bisa saja kehilangan identitas dirinya sebagai individu yang sangat dijunjung dan dinilai tinggi sebelum perkawinan, ketika keluarga, teman dan rekannya menganggap dirinya hanya sebagai “ibu rumah tangga.” Kecenderungan terhadap perubahan peran dalam perkawinan bagi laki-laki dan perempuan, dan konsep yang berbeda tentang peran ini yang dianut kelas sosial dan kelompok religius yang berbeda, membuat penyesuaian dalam perkawinan semakin sulit sekarang daripada di masa lalu ketika peran masih begitu ketat diatur oleh adat istiadat dan budaya[2]. Oleh karena itu konsep perkawinan yang tidak realistik, khususnya yang berkenaan dengan masalah keuangan keluarga, dapat menimbulkan hambatan dan rintangan dalam proses penyesuaian perkawinan.  


Pandangan Alkitab tentang Kesetaraan Harkat Perempuan dan Laki-laki
Alkitab memberikan gambaran kepada kita, bahwa perempuan diciptakan dari rusuk laki-laki. Hal ini mau memperlihatkan, bahwa keduanya mempunyai sumber yang sama, dan mereka adalah suatu kesatuan dan keutuhan, sebagaimana yang diikrarkan sendiri oleh Adam, “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku” (Kej. 2:23). Keyakinan yang paling fundamental yang terungkap di sini ialah bahwa perempuan adalah manusia sepenuhnya dan harus diperlakukan demikian.[3]  Hal ini menunjukkan kepada kita, bahwa laki-laki dan perempuan, keduanya diciptakan Allah sebagai manusia yang setara dan sederajat (equality) dalam kesamaan dan perbedaan mereka, dan mereka akan menghayati kemanusiaannya dalam hubungan timbal balik (mutuality).[4] Rosemary Radford Ruether, dalam bukunya yang berjudul Perempuan dan Tafsir Kitab Suci  (1998) menyatakan, bahwa “apa pun yang mengurangi kemanusiaan penuh kaum perempuan harus dianggap bukan merefleksikan yang ilahi atau relasi yang otentik dengan yang ilahi” dan prinsip kemanusiaan yang penuh didasarkan pada konsep “imago Dei,” bahwa perempuan secara setara dibebaskan oleh Kristus, dan secara setara dikuduskan oleh Roh Kudus.  Eksistensi manusia yang terdalam, bahwa manusia adalah ciptaan Allah dan manusia ciptaan Allah itu adalah laki-laki dan perempuan terungkap di dalam Kejadian 1:27. Kredo ini menggaris bawahi kesamaan harkat dan martabat laki-laki dan perempuan di hadapan Allah. Sebab itu tidak ada yang lebih tinggi atau yang lebih rendah terhadap yang lain, keduanya diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kejadian 1:26).


Merekonstruksi Peran Istri Di Dalam Masyarakat & Budaya Patriarkhi
Saat ini peran dan fungsi seorang isteri, tidak lagi ditentukan oleh adat. Setiap pasangan hendaknya mempunyai konsep yang pasti mengenai bagaimana seharusnya peranan seorang suami dan istri, atau setiap orang mengharapkan pasangannya memainkan perannya. Penyesuaian terhadap pasangannya, berarti mengorganisasikan pola kehidupan, merubah persahabatan dan kegiatan-kegiatan sosial, serta merubah persyaratan pekerjaan, terutama bagi seorang istri. Penyesuaian-penyesuaian ini mungkin akan diikuti oleh konflik emosional. Akan tetapi dengan latar belakang pendidikan yang baik, konflik dan penyesuaian yang buruk akan teratasi. 


Di dalam masyarakat modern, suami dan isteri dapat bekerja sama secara seimbang demi kepentingan bersama. Dominasi pada satu pihak dan kepasrahan di pihak yang lain dapat dinilai sebagai kegagalan dalam usaha mempertahankan hubungan timbal balik antara suami dan isteri sebagai dua subyek yang sejajar. Iman Kristen menemukan kembali keyakinan bahwa baik laki-laki mau pun perempuan diciptakan sebagai gambar Allah (imago Dei) setingkat dalam perbedaan mereka dan sama-sama dipanggil untuk mengasihi dan berkarya menurut kemampuan masing-masing. Kesadaran ini mengubah pengertian tentang hubungan pernikahan. Hal ini diperkuat oleh kenyataan bahwa Yesus tidak membenarkan keluarga patriarkhal. Itu sebabnya makin banyak orang Kristen yang mencita-citakan model pernikahan yang di dalamnya suami dan isteri dapat mengikat hubungan timbal balik sebagai dua subyek yang saling menghormati dan menerima dengan kekuatan dan kelemahan masing-masing. Mereka harus saling mencintai dan mengasihi, serta bersama-sama mengatur rumah tangga mereka.[5]  Pembagian tugas akan berubah, sesuai dengan situasi dan umur, keberadaan anak kecil atau yang sudah besar, adanya dan perlunya pekerjaan di luar rumah untuk salah satu atau keduanya, adanya tugas lain dalam keluarga, masyarakat dan gereja. Usaha ini tidak dapat dinilai tinggi atau rendahnya, atau apakah harus dilakukan laki-laki atau perempuan, sebab semuanya penting untuk kehidupan bersama dan itulah yang menentukan nilainya. ***





Dalam tulisan ini, kata “masyarakat patriarkhi” menunjuk pada arti “pola atau tatanan yang ditentukan oleh kaum laki-laki.” Dalam masyarakat patriarkhal, kaum laki-laki menentukan pola masyarakat dan kaum perempuan dinomorduakan. Dominasi kaum laki-laki atas kaum perempuan pada umumnya dibenarkan oleh paham kodrat. Menurut paham ini, kodrat laki-laki adalah kuat, pemberani, rasional, produktif, menciptakan kebudayaan, dan sanggup membuat perencanaan. Sedangkan kodrat perempuan adalah lemah lembut, penakut, perasa, reproduktif, memelihara dan merawat kehidupan, biasa melayani dan suka dipimpin. Dengan pandangan seperti ini, tempat kaum laki-laki adalah di ruang publik, dalam masyarakat luas sementara kaum perempuan di ruang domestik atau privat (di rumah dan sekitarnya). Masalah-masalah ”besar” seperti membeli rumah atau tanah, pengelolaan saham atau keuangan keluarga, adalah masalah yang menyangkut laki-laki. Masalah-masalah perempuan, seperti pemeliharaan anak, masak, pendidikan anak dan urusan rumah tangga yang lainnya jarang disinggung, dan sering ”disembunyikan.”
[
Dalam perundang-undangan kebanyakan Negara di Eropa tidak ada lagi “suami sebagai kepala keluarga” dan isteri “sebagai pengatur rumah tangga.” Perkawinan adalah persekutuan  suami isteri demi kepentingan bersama. Mereka bebas mengaturnya sesuai dengan keinginan mereka. Dalam masyarakat patriarkhal, suami menjadi kepala rumah tangga dan berwibawa di hadapan isteri dan anak-anaknya yang harus tunduk padanya. Teologi Feminis, yang tidak lagi rela memahami perempuan sebagai obyek (yang ditentukan oleh masyarakat), melainkan sebagai subyek yang sedang mencari sejarah serta jati dirinya sendiri dan tidak bersedia menyamakan dirinya dengan laki-laki saja. Perempuan membebaskan diri dari pola dan tatanan yang ditentukan oleh kaum laki-laki atau paling sedikit, sedang berusaha membebaskan dirinya. Anna Nasimiyu-Wasika, seorang biarawati dari Kenya dalam Feminism and African Tehology membuat definisi sebagai berikut : “Femenisme menuju suatu masyarakat yang di dalamnya semua orang mampu mewujudkan keutuhan hidupnya. Semua orang berperan menghayati bakat dan kesempatannya sejauh mungkin dan dengan itu menunjang pembangunan kemanusiaan secara utuh. Karena feminisme menunjang hidup ... ia menentang dengan tegas segala lembaga yang mengeksploitasi perempuan, membatasi mereka pada peran tertentu, menyangkal kesempatan bahwa mereka dapat mewujudnyatakan bakat dan kemungkinannya sambil menempatkan mereka pada kedudukan yang rendah.”

Minggu, 30 Oktober 2011

KERJASAMA ANTAR UMAT BERAGAMA, SEPERTI APA?


Bacaan: Daniel 6:1-12, Yohanes 3:16-17


Tema kita kali ini adalah Kerjasama antar umat beragama, seperti apa ... ?!  Tema ini  kerapkali muncul dalam percakapan-percakapan dan agenda rapat-rapat kita, tetapi perhatian kita tidak tertuju ke sana karena kita punya cukup banyak alasan untuk tidak menempatkan realitas kemiskinan serta kemajemukan budaya dan agama, sebagai prioritas kita. Kalau pun ada kepedulian kita, kerjasama antar umat beragama masih kita pahami sebagai bantuan karitatif yang dilakukan oleh gereja dalam bentuk mengunjungi orang dalam penjara dengan membawa makanan dan memimpin renungan, menyediakan beras untuk membantu keluarga miskin, serta mendirikan poliklinik gratis atau murah untuk orang miskin. Pertanyaannya, adalah apakah tidak ada cara-cara bergereja lainnya, yang dapat kita lakukan dengan misi yang membangun kesejahteraan bersama untuk orang-orang yang berbeda agama, gereja dan aliran?

Melihat potret gereja kita saat ini, rasanya tidak berlebihan bila dikatakan bahwa hampir semua cara bergereja yang kita lakukan mengikuti model dari Eropa dan Amerika, dan pemahaman teologi gereja kita masih berakar pada teologi altar yang kita terima dari Barat. Kebaktian-kebaktian kita, pola-pola pembinaan kita masih mengikuti model Barat. Nah, seperti apakah wajah teologi gereja kita saat ini?  Wajah teologi kita saat ini memiliki beberapa ciri : Pertama, teologi kita sangat menekankan keselamatan pribadi dan hal-hal yang bersifat rohani. Akibatnya Pola PI (Pekabaran Injil) kita, tidak dilihat sebagai Kabar Baik untuk orang miskin, tetapi sebagai panggilan untuk dibaptis dalam gereja dan mendapatkan keselamatan sesudah mati. 


Kedua, teologi kita saat ini lebih menekankan pernyataan (theology of statement) daripada tindakan (theology in action). Oleh karena itu gereja tampak lebih sibuk merumuskan dogma, atau melakukan kebaktian dan sakramen, daripada melakukan advokasi (atau memberdayakan atau memulihkan) martabat orang yang telah diperlakukan secara tidak adil. Ketiga, isi teologi kita  tenggelam dalam dogma yang bersifat rutin dan konvensional, sehingga dogma dan ajaran gereja tidak pernah dikritisi tapi juga tidak pernah menjadi bagian yang menyatu dengan diri kita. Keempat, perspektif teologi kita lebih memihak kepada golongan penguasa (agama, sosial, ekonomi dan politik) daripada golongan akar rumput (kaum tertindas, wong cilik). Kelima, iman dan kepercayaan bersifat universal untuk segala tempat dan waktu. Akibatnya sangat sulit bagi kita untuk menerima dan menghargai orang-orang yang diluar komunitas/berbeda dengan kita. Teologi seharusnya memperhatikan kinteks, tempat dan waktu.  Dibutuhkan kepercayaan dan iman yang bersifat kontekstual.


Indonesia, adalah sebuah negara di Asia dengan jumlah penduduk yang sangat padat (Menurut data statistik, pada tahun 2005 jumlah penduduk Indonesia adalah 218.868.791 juta, dan terdiri dari lebih 520 suku bangsa) dengan beraneka budaya, bahasa, suku bangsa dan beranekaragam agama-agama karena Indonesia mempunyai populasi jumlah orang-orang Muslim terbesar di antara semua negara-negara di dunia, dan orang-orang Kristen menjadi kelompok minoritas. Kerjasama dan dialog antar umat beragama sangat kita butuhkan untuk menjernihkan dan menipiskan kecurigaan-kecurigaan dan stereotipe-stereotipe tertentu yang menghasilkan trauma dan sikap eksklusif kita. Menurut David Tracy, percakapan sejati dapat terjadi di antara berbagai perspektif keagamaan yang berbeda-beda, bahkan yang bertentangan sekalipun. Oleh karena itu, melalui dialog, kita belajar untuk menghargai dan menerima orang lain yang berbeda suku, ras dan agama sebagai keutuhan ciptaan Tuhan.

Melalui dialog, kita diingatkan, bahwa siapa pun kita (apakah itu Islam, Hindu, Budha, Kristen maupun yang lainnya) “hadir ke dunia” justru untuk mengatasi dan memerangi musuh-musuh bersama, yaitu : kemiskinan, pelanggaran Hak-hak Azasi Manusia, persoalan sosial-politik, ekologi dan bukan mencari musuh di antara pemeluk agama lain. Dengan demikian, dialog adalah usaha membuat orang-orang merasa nyaman berada di rumah “kemajemukan.” Bukankah Allah menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar?[1] Bukankah Petrus berkata, “Sesungguhnya aku telah mengerti bahwa Allah tidak membedakan orang. Setiap orang dari bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepada-Nya.

Di dalam Alkitab tidak banyak diperlihatkan pedoman yang spesifik, yang diberikan oleh Yesus kepada kita untuk mencoba berelasi dengan orang-orang yang berasal dari komitmen iman dan tradisi-tradisi agama lain. Namun Alkitab memberikan sebuah contoh yang indah melalui kehidupan Daniel. Berada di pembuangan, sebagai tawanan tentu bukanlah sebuah pengalaman hidup yang menyenangkan. Seandainya Daniel bisa memilih, tentu saja dia tidak ingin berada di dalam situasi dan kondisi yang terus menerus mengancam hidupnya. Menghadapi segala bentuk konspirasi yang dilakukan oleh para pejabat istana Nebukadnezar, yang berupaya untuk mencelakakannya. Namun toh semuanya itu tidak membuat Daniel menutup diri, dan membangun tembok yang tebal demi untuk menyelamatkan dirinya. Dengan kebesaran hatinya, ia tetap berpegang teguh dengan identitas dan integritasnya.

Suatu pedoman yang diberikan adalah cara Yesus untuk membangun relasi dengan yang lainnya, yaitu dengan kasih-Nya dan kesediaan-Nya untuk berbela rasa. Yesus menerima orang-orang lainnya sebagaimana mereka adanya. Contohnya, adalah perjumpaan Yesus dengan perempuan Samaria dan perempuan Siro Fenisia, dan Perumpamaan Orang Samaria yang baik hati, yang merefleksikan dengan jelas penghargaan Allah terhadap keberagaman dan perbedaan, agar setiap kita dapat saling mengenal dan memahami, dikasihi dan mengasihi. Bahkan menjadi orang-orang Samaria yang baik hati di jaman modern sekarang ini. Mengikuti Yesus berarti harus mengenal dan menghayati visi Yesus, dan visi Yesus adalah mewujudkan kedatangan Kerajaan Allah di bumi. Oleh karena itu visi pelayanan gereja, bukanlah sekedar dibangunnya gedung gereja, bertambahnya orang yang dibaptis, dan makin besarnya pengaruh kekuasaan atau politik orang Kristen, namun tugas panggilan untuk menjalankan misi Allah untuk membebaskan dan mendamaikan dunia dari ketidakadilan dan dosa sosial. Akhirnya dari Yesus, kita belajar untuk hidup berdampingan dengan orang-orang yang berbeda agama, karena tidak ada satu orangpun yang dapat melakukan semuanya sendiri. Oleh karena itu marilah kita bangun persahabatan dan dialog kehidupan, serta  belajar hidup dalam kemajemukan.





[1] Matius 5:45.

OPTIMIS DAN POSITIF?

Bacaan: Roma 8:26-30

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering diperhadapkan dengan dua karakter yang berbeda dari setiap orang. Pertama, orang-orang yang selalu optimis dan positif dalam menghadapi setiap persoalan yang mereka hadapi. Wajah mereka biasanya selalu riang dan gembira, seolah-olah tidak punya beban. Kalaupun ada masalah, mungkin mereka hanya diam dan cemberut sesaat, tetapi kemudian kembali riang dan gembira. Kedua, orang-orang yang selalu pesimis dan negatif dalam menghadapi setiap persoalan yang mereka hadapi. Wajah mereka biasanya kusut dan tidak ceria, karena segudang persoalan yang mereka hadapi. Kalau ada masalah, mereka pasti akan bersungut-sungut, kesal dan marah. Lha wong tidak ada masalah saja, wajahnya kusut dan cemberut. Terus terang, akan lebih menyenangkan bagi kita untuk berteman dengan orang-orang yang berkarakter optimis dan positif, karena bagi mereka, tidak ada masalah yang tak dapat diatasi. Jadi pola pikirnya problem solving. Masalah boleh dan pasti ada, tapi pasti ada solusinya. Sebaliknya, kalau kita berteman dengan orang-orang yang berkarakter pesimis dan negatif, akan melelahkan kita, karena fokus perhatian mereka selalu tertuju kepada masalah dan masalah. Oleh karena itu, orang-orang yang seperti ini, akan selalu negative thinking, under-estimate – atau mudah menyerah dan putus asa. Oleh karena itu, mereka akan berupaya untuk mencari kambing hitam atau mempersalahkan orang lain untuk semua permasalahan yang mereka hadapi. Nah menurut Saudara2, mana yang lebih banyak : orang-orang yang termasuk dalam kelompok pertama, yang optimis dan positif ataukah orang-orang yang termasuk dalam kelompok kedua, yang pesimis dan negatif? Lalu termasuk di dalam kelompok manakah kita? Pertama, ataukah kedua kah? 
Ada banyak faktor yang membentuk seseorang sehingga ia menjadi pribadi yang berkarakter optimis-positif, maupun yang berkarakter pesimis-negatif. Berawal dan dimulai dari kehidupan keluarga. Orangtua yang berkarakter optimis-positif, pada umumnya, akan mendidik dan membesarkan anak-anak mereka dengan karakter yang sama, yaitu optimis-positif. Pilar selanjutnya, adalah sekolah dan gereja. Lingkar pengaruh dari guru dan teman-teman yang optimis-positif pada umumnya akan melahirkan sikap optimis-positif. Sebaliknya, pengaruh dari guru dan teman-teman yang pesimis-negatif, akan melahirkan sikap pesimis-negatif. Demikian pula di dalam komunitas gereja. Bila kita berada di dalam lingkar pengaruh orang-orang yang berpikir dan bersikap optimis-positif, kita pasti akan menjadi orang-orang yang berkarakter optimis-positif. Begitu pula sebaliknya, bila kita berada di bawah lingkar pengaruh orang2 yang bersikap pesimis-negatif, maka kita pun akan menjadi orang-orang yang berkarakter pesimis-negatif. Oleh karena itu, betapa pentingnya bagi setiap kita untuk memiliki identitas dan integritas yang utuh – agar tidak terbawa arus dan hanyut dalam lingkar pengaruh yang pesimis dan negatif.
            Optimis berasal dari bahasa Latin optimum, artinya paling baik. Optimisme adalah suatu cara pandang yang menempatkan hidup, manusia, peristiwa dan segala sesuatu sebagai ”yang terbaik.”  Karena itu sikap optimis melihat segala peristiwa hidup secara positif . Contohnya : kegagalan dipandang sebagai keberhasilan yang tertunda, kecelakaan sebagai peringatan, dan malapetaka sebagai sumber hikmah. Orang yang bergaya hidup optimis biasanya tampak lebih ceria dan bersemangat, karena mereka melihat masa lalu, masa kini dan masa depan dengan kaca mata positif. Dengan demikian sikap optimis positif, memampukan seseorang melihat,mengambil sikap dan menikmati hidup sebagai sesuatu yang indah. 
Pesimis adalah lawan dari optimis. Dari bahasa Latin pessimum, yang berarti ”paling buruk atau paling jahat.” Orang yang pesimis mempunyai cara pandang yang menempatkan segala sesuatu sebagai yang buruk. Sikap pesimis membuat orang tidak dapat menghargai hidup. Bagi orang optimis, kesulitan adalah tantangan, tapi bagi orang pesimis kesulitan adalah musibah dan bencana, karena mereka tidak memiliki identitas dan jatidiri yang utuh.
Alkitab, memberikan sebuah contoh yang indah melalui kehidupan Daniel (Daniel 6:1-12). Berada di pembuangan, sebagai tawanan tentu bukanlah sebuah pengalaman hidup yang menyenangkan. Seandainya Daniel bisa memilih, tentu saja dia tidak ingin berada di dalam situasi dan kondisi yang terus menerus mengancam hidupnya. Menghadapi segala bentuk konspirasi yang dilakukan oleh para pejabat istana Nebukadnezar, yang terus berupaya untuk mencelakakan dirinya, dan juga teman-temannya (Sadrach, Mesakh dan Abednego), Daniel tetap bersikap optimis dan positif. Berada di dalam gua singa sekalipun, Daniel tidak merasa takut dan putus asa, karena ia yakin, bahwa ia memiliki Allah yang hidup. Bukankah iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat? (Ibrani 11:1) Hasilnya, Daniel dilepaskan dari gua singa, dan menjadi orang yang lebih berkarakter lagi, karena memiliki iman yang teguh dan tangguh.
Contoh berikutnya, adalah Yusuf. Berada di Mesir, sebagai seorang tawanan dan budak, tentu sebuah pengalaman hidup yang sangat menakutkan. Dari seorang anak yang manja dan rapuh, Yusuf dibentuk oleh Tuhan menjadi seorang yang tangguh, yang mampu bersikap optimis dan positif dalam segala permasalahan yang dihadapi. Mnghadapi kenyataan, bahwa kakak dan saudara-saudaranya, karena iti hati dan dengki, berani dan tega menjual dirinya kepada saudaragar Mesir. Menjadi budak di keluarga Potifar, difitnah memperlakukan istri tuannya dengan tidak senonoh, kemudian masuk ke dalam penjara, adalah kenyataan yang amat sakit menyakitkan di hati. Pertanyaannya, adalah apakah dengan semua pengalaman yang sangat menyakitkan itu, Yusuf kemudian menjadi seorang pemuda yang berkarakter pesimis dan negatif, serta berperilaku sangat buruk? Tidak. Alkitab menyaksikan kepada kita,  bagaimana Yusuf tetap memiliki jatidiri yang utuh dan tangguh, serta berperilaku sangat baik selama berada di penjara. Selanjutnya, Yusuf  diangkat menjadi penguasa di Mesir, dan ia menjadi seorang penguasa yang adil dan bijaksana. Bahkan ketika berjumpa dengan kakak dan saudara-saudaranya, Yusuf tetap bersikap optimis dan positif. Ia tidak melampiaskan kemarahan dan sakit hatinya kepada kakak dan saudara-saudaranya, walaupun kesempatan ada dan posisi atau jabatan dia amat sangat memungkinkan hal itu. Dalam Kejadian 45:4-8, Yusuf berkata kepada kakak dan saudara-saudaranya begini. “Akulah Yusuf, saudaramu, yang kamu jual ke Mesir. Tetapi sekarang, janganlah bersusah hati dan menyesali diri ... karena untuk memelihara kehidupanlah, Allah menyuruh aku mendahului kamu ... Dialah yang menempatkan aku sebagai bapa bagi Firaun dan tuan atas seluruh istananya dan sebagai kuasa atas seluruh tanah Mesir ... untuk memelihara hidupmu, sehingga sebagianbesar dari kamu tertolong.

Masih banyak lagi contoh yang diberikan oleh Alkitab kepada kita, untuk bersikap optimis dan positif serta menjadi pribadi yang utuh dan tangguh. Pertanyaannya sekarang, adalah, sudahkah kita menjadi seorang yang optimis dan positif, serta peribadi yang utuh dan tangguh dalam kehidupan sehari-hari kita? Selama ini mungkin, ada banyak orang yang bersikap negatif, atau malah mungkin bersikap opressor dengan kita. Semua pasti ada alasannya, dan mungkin kita tidak dapat mempersalahkan mereka 100% karena harus kita akui, kita juga punya andil (mungkin 20%, atau 50%) sehingga mereka bersikap seperti itu. Namun belajar dari Daniel dan Yusuf, kita dapat memaknai dan menjadikan semua pengalaman hidup kita dan bahkan semua pengalaman buruk kita, untuk menjadi “kawah candra dimuka” untuk menempa setiap kita untuk menjadi pribadi yang optimis-positif, serta kuat dan tangguh dalam menghadapi setiap permasalahan hidup kita. Dalam Roma 8:28, Rasul Paulus mengajak kita untuk meyakini, bahwa “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yangmengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah!”  Mengapa demikian? Menurut Paulus, karena dari sejak semula kita telah dipilih dan ditetapkan oleh Allah  untuk menjadi anak-anak-Nya,  dan menjadi serupa dengan Kristus, dalam segala perkara kehidupan kita. Menjadi serupa dengan Kristus, berarti meneladani Kristus : berpikir dan bersikap seperti Kristus, selalu optimis dan positif, serta kuat dan tangguh dalam menghadapi segala tantangan dan hambatan. Dan yang paling penting, adalah tetap setia dan taat kepada Allah.
Oleh karena itu, marilah kita tinggalkan sikap pesimis-negatif kita dan menggantikannya dengan sikap optimis-positif, kuat dan tangguh! Renungan ini saya akan akhiri dengan sebuah kisah : To Small To Give Influence?
Seorang anak kecil merasa bahwa dirinya terlalu kecil untuk memberikan pengaruh bagi dunia. Dia berpikir begitu banyak masalah sosial yang terjadi, tetapi dia tidak bisa apa-apa. Tidak punya uang, tidak punya kenalan, tidak punya pengaruh. Begitulah keluh si anak ini pada kakeknya. Kakeknya yang memahami persoalan cucunya ini mengajaknya keluar rumah. Kebetulan, di luar rumah, biasanya ada banyak nyamuk ketika hari mulai gelap. Dan dengan tangannya, si kakek menangkap seekor nyamuk di tangannya lalu berkata,
"Kamu masih ingat saat ketika kamu tidur dan seekor nyamuk seperti ini membuatmu tidak bisa tertidur?'
"Iya, Kek. Dan mengganggu sekali"
"Betul sekali. Nah, kalau kamu berpikir dirimu terlalu kecil untuk memberikan pengaruh. Pikirkanlah seekor nyamuk ini!"
Insight dari kisah ini!
Jangan mengeluhkan dirimu terlalu kecil untuk memberikan pengaruh. Masalahnya hanya terletak di pikiranmu, mau atau tidak mau. Ingat kembali kisah di atas,
"Jika kamu berpikir terlalu kecil untuk memberikan pengaruhmu, pikirkan bagaimana seekor nyamuk dengan tubuhnya yang begitu kecil bisa memberikan pengaruh, meski menganggu!"
Nah, nyamuk saja bisa, apalagi diri kita.

MENGHASILKAN BUAH-BUAH KEBAIKAN, KEADILAN DAN KEBENARAN


Bacaan: Matius 21:33-46


Saat ini kita hidup di tengah-tengah situasi yang semakin berat dan sulit. Aksi bom bunuh diri di Solo, Kasus GKI Bogor di Taman Yasmin, Kerusuhan di Ambon, Krisis ekonomi global, yang pengaruhnya semakin kita rasakan saat ini, menunjukkan penderitaan seakan-akan tidak pernah berhenti. Rasa aman, dan sikap saling percaya kepada sesama juga semakin menipis dan berkurang. Orang-orang lebih mudah saling curiga dan takut kepada sesamanya. Kegembiraan dirasakan semakin meredup, kebahagiaan semakin menipis, dan kedamaian juga semakin pudar. Di saat kita mengalami situasi kehidupan yang berat dan sulit seperti ini, mungkin muncul pertanyaan-pertanyaan dalam benak kita, ”Di manakah kebaikan Tuhan? Jika Tuhan itu baik, mengapa semua penderitaan Ia ijinkan terjadi dalam kehidupan manusia? Atau jangan-jangan kebaikan Tuhan itu hanya sebatas perkataan saja: kata Alkitab, kata Pendeta, tapi tidak ada dalam kenyataan?”   Mungkin juga pertanyaan-pertanyaan lain yang bernada protes atau ungkapan kekecewaan kepada keberadaan Allah.
Allah adalah Pencipta dunia dengan segala isinya. Karena Dia yang menciptakan dunia ini, dunia beserta isinya, termasuk manusia manusia adalah milik-Nya. Pada saat menciptakan dunia ini, Allah sudah menata kehidupan dunia ini dengan sangat baik. Tatanan Allah ini berubah saat manusia jatuh dalam dosa. Tatanan yang baik tadi menjadi rusak oleh karena dosa.
Mengetahui bahwa ciptaan-Nya rusak, Allah tidak tinggal diam. Ia merancang keselamatan untuk manusia. Ia memanggil Abraham dan keturunannya, termasuk bangsa Israel untuk menyampaikan keselamatan dari Tuhan untuk dunia. Mereka harus menjadi teladan dan menunjukkan kebaikan Allah, seperti yang sudah mereka alami, agar kebaikan Allah dan keselamatan dari Allah juga bisa dialami dan dirasakan oleh bangsa-bangsa lain. Hal ini harus dilakukan agar tatanan dunia yang telah rusak oleh dosa, dapat kembali menjadi baik. Tetapi nampaknya bangsa Israel tidak mampu menjalankan tugas panggilan tersebut, karena mereka sering melakukan ketidakadilan, kejahatan dan kelaliman. Tetapi Tuhan masih berkenan menunjukkan kebaikan-Nya. Ia masih berkenan mengingatkan bangsa Israel melalui nabi-nabi-Nya. Salah satunya adalah melalui Nabi Yesaya. Melalui nabi Yesaya, Tuhan mengingatkan Israel sebagai umat yang telah dipilih agar mereka memperbaiki kehidupan mereka. Mereka harus bisa hidup di dalam kebenaran dan keadilan. Tetapi nampaknya peringatan yang disampaikan melalui Yesaya, tidak membuat Israel takut, sehingga mereka gagal menjadi teladan kebaikan Allah.
Upaya Allah untuk menyelamatkan dan memperbaiki tatanan di dunia ini tidak berhenti sampai di situ. Ia kemudian mendatangkan Anak-Nya Yang Tunggal, yaitu Yesus Kristus ke dunia untuk menghadirkan Kerajaan Allah di dunia. Kerajaan yang penuh dengan keadilan, kedamaian dan cinta kasih. Oleh karena itu Tuhan Yesus memanggil orang-orang percaya untuk ikut berkarya dalam mewujudkan Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia ini. Menghasilkan buah-buah kehidupan yang nyata dalam keseharian hidup kita.
Bagaimana caranya? Sama seperti yang diharapkan dari Bangsa Israel, kita juga diberi tugas & tanggung jawab untuk menunjukkan kasih dan kebaikan Allah yang sudah kita rasakan melalui perkataan dan perbuatan kita setiap hari. Bagaimana kita dapat melakukan segala kebajikan dan perbuatan yang patut dipuji di dalam kehidupan sehari-hari kita agar kasih dan kebaikan Allah dapat dirasakan oleh orang banyak. Oleh sebab itu, kita tidak bisa menjalankan tugas panggilan ini hanya disaat kita senang saja, atau saat kita ingat saja. Tetapi dalam setiap aspek kehidupan, kita harus dengan sungguh-sungguh menjalankan tugas panggilan ini. Memang banyak tantangan dan hambatan yang harus kita hadapi, tetapi bukankah Tuhan sudah berjanji, ”Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau” (Ibrani 13:5b)?
Seperti perumpamaan Tuhan Yesus, saat ini kita dipercaya oleh Tuhan untuk mengelola kebun anggur-Nya. Apakah kita akan menjadi penggarap kebun anggur yang baik ataukah menjadi pengelola yang jahat seperti dalam perumpaan tadi, karena hanya mencari keuntungan untuk kita sendiri dan merampas hak Tuhan? Contohnya, di saat kita melakukan perbuatan baik, kita ingin nama kita yang disanjung dan dipuji oleh orang lain. Itu merampas hak Tuhan, karena kita masih memikirkan kepentingan diri sendiri. Jika kita hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, kita tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah, seperti kata Rasul Paulus dalam Galatia 5:19-21 tadi.
Disaat-saat situasi yang berat dan sulit seperti sekarang ini, sebagai pribadi, maupun sebagai gereja-Nya, kita dipanggil untuk menyatakan kebaikan Allah dan Kerajaan Allah di dunia ini. Oleh karena itu, kita dapat mengupayakan terwujudnya Kerajaan Allah dalam kehidupan kita, dengan cara: menunjukkan buah-buah Kerajaan Allah, yaitu melakukan kebaikan, kebenaran, keadilan, dan kejujuran dalam setiap aspek kehidupan kita. Apakah kita mau menolong orang-orang yang mengalami beban atau permasalahan hidup yang berat. Misalnya, menjadi pendamping untuk mendengarkan keluh kesah dan bersama-sma mencari jalan keluar yang terbaik bagi permasalahan yang dialami oleh saaudara-saudara kita. Oleh karena itu, marilah kita berikan kesempatan dan ruang kepada Allah untuk berkarya dalam diri kita, sehingga melalui kita, kebaikan Allah itu menjadi nyata dan banyak orang mengalami kebaikan dalam hidupnya.


BERDAMAI




BERDAMAI merupakan satu jawaban yang menjadikan kita tetap tegar menapaki jalan hidup terpahit sekalipun.
BERDAMAI menjadikan kita rendah hati, bersyukur dan bahagia.
BERDAMAI menunjukkan bahwa kita memang tidak selalu memiliki hal terbaik dalam hidup.Tetapi kita selalu berusaha menjadikan setiap apapun yang hadir dalam hidup dan menjadi yang TERBAIK.

Doa dan Perilaku Hidup

Bacaan: Matius 23:14, Markus 12:38-40

Doa adalah unsur hakiki dalam kehidupan orang Kristen. Sebab itu doa sering kita sebut sebagai “nafas iman” atau laksana udara, untuk menyebutkan betapa penting dan mutlaknya doa bagi orang beriman. Mulai sejak kecil kita diajari berdoa dan setelah besar juga masih selalu didorong untuk berdoa. Kita sama-sama tahu, bahwa orang Kristen harus menyediakan saat teduh atau waktu khusus setiap hari untuk berdoa, walaupun dalam kenyataannya, tidak semua dari kita melakukannya. Setiap pertemuan atau rapat-rapat orang Kristen selalu dibuka dan diakhiri dengan doa. Dan yang paling menarik, bila ada masalah atau kesulitan, banyak orang spontan berdoa. Sebagian orang berdoa bahkan semalam suntuk. Namun apakah sebenarnya doa itu?

1. DOA LEBIH DARI SEKEDAR ALAT MENDAPATKAN SESUATU
Banyak orang Kristen menghayati dan menggambarkan doa seperti alat (tools). Ibarat cangkul dan sekop untuk menggali harta karun, kunci untuk membuka pintu rumah atau lemari, galah dan tangga untuk memetik buah-buahan. Doa adalah alat untuk mendapatkan berkat Tuhan dan harta sorgawi. Semakin panjang galah atau tangganya, makin banyak dapat buahnya. Makin panjang doanya, makin banyak pula dapat berkatNya? Gambaran doa sebagai alat ini tidaklah salah. Yesus sendiri mengatakan “mintalah, maka kamu akan mendapat”. Namun menggambarkan doa sekedar alat untuk memperoleh sesuatu bukan saja mendangkalkan makna doa tetapi sangat riskan dan berbahaya. Mengapa? Jika ada alat lain yang lebih canggih, tentu kita akan meninggalkan yang lama. Jika untuk mendapat kesehatan, kekayaan, kesuksesan dan kebahagiaan ada alat yang lebih cepat, murah dan efektif : untuk apa berdoa? Selanjutnya, alat dapat disimpan di gudang bila tidak dipergunakan. Jika doa digambarkan laksana alat: Apakah kita hanya berdoa bila kita memerlukan sesuatu, dan berhenti berdoa bila merasa tidak butuh apa-apa? Di sini kita dapat terjebak memanipulasi doa untuk kepentingan diri sendiri semata, dan itulah yang seringkali terjadi.
2. DOA ADALAH UNGKAPAN DIRI
Alkitab dan khususnya Kitab Mazmur, mengajak kita menjadikan doa sebagai ungkapan diri kita seutuhnya dan sepenuhnya di hadapan Allah. Doa bukanlah sekedar “kata-kata mantra” untuk menyulap atau mewujudkan sesuatu keinginan, tetapi merupakan seluruh ungkapan keberadaan (eksistensi) diri dan hidup kita di hadapan Tuhan. Berdoa berarti membuka pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan kita yang paling mendalam dan tersembunyi kepada Tuhan. Sebab itu doa pada hakikatnya bukan seni ketrampilan berkata-kata, namun seni mengungkapkan perasaan yang paling dalam di hadapan Tuhan. Dalam doa, yang penting bukanlah “kata yang indah” tetapi “kata yang tepat” menggambarkan isi hati yang terdalam atau realitas hidup si pendoa. Karena itu pertanyaan yang harus kita ajukan: apakah doa kita keluar dari pikiran dan hati yang terdalam, atau cuma kata-kata kosong belaka?
Barangkali jika kita jujur, tidak selamanya dan tidak seluruhnya diri kita ingin kita buka di hadapan Tuhan. Kadang atau selalu ada hal-hal yang ingin kita sembunyikan, agar Tuhan tidak usah “tahu” apalagi mencampurinya. Kadang kita tidak ingin bisnis kita, adat-istiadat, permainan politik, dan seksualitas kita atau urusan-urusan sangat pribadi lainnya dicampuri Tuhan sebab itu tidak mau kita beritahu dan sampaikan kepadaNya dalam doa-doa kita. Di sini kita disadarkan tentang pemahaman kekristenan tentang penyatuan ibadah dan hidup sehari-hari: agenda doa harus sama dengan agenda kerja. Apa yang kita doakan itulah yang kita kerjakan. Apa yang kita kerjakan itulah yang kita doakan. 
Berbeda halnya dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang Farisi. Bagi mereka, doa adalah alat untuk mendapatkan sesuatu dan memanipulasi doa untuk kepentingan diri sendiri. Dalam doa, mereka tergila-gila untuk pamer dan dihormati orang lain. Tidak segan-segan mereka mengubah tujuan doa, dari tujuan memuliakan Tuhan, menjadi tujuan untuk memuliakan diri sendiri (=mencuri kemuliaan Tuhan). Pendekatan pribadi kepada Tuhan, menjadi pendeklamasian untaian kata-kata yang indah di dengar, namun dalam kenyataannya, sikap, ucapan dan perilaku mereka menjadi batu sandungan. Tuhan Yesus mengajar kita, untuk menjadikan hidup kita seutuhnya dan seluruhnya sebagai sebuah doa, melalui doa dan di dalam doa, Tuhan masuk ke dalam hati kita dan berkomunikasi dengan perasaan-perasaan yang terdalam dari pikiran kita. Karena itu Tuhan Yesus mengajar kita Doa Bapa Kami. Dengan Doa Bapa kami, Tuhan Yesus mau mengajar kita, untuk menjadikan seluruh hidup kita – seutuhnya dan sepenuhnya – sebagai sebuah doa, sehingga apa yang kita doakan itulah yang kita kerjakan, dan apa yang kita kerjakan itulah yang kita doakan. Tentang hal ini Bapa Gereja kita, Martin Luther berkata, “Melalui doa, seharusnya kita lebih mewajibkan diri kita sendiri, daripada mewajibkan Dia!"



Pernikahan: Antara Jodoh dan Pilihan

Bacaan: Kejadian 24:1-10

Banyak orang mengira bahwa Pernikahan atau Pasangan Hidup adalah jodoh yang diatur oleh Tuhan, sehingga mereka yakin bahwa pasangan hidupnya, adalah orang yang telah ditentukan oleh Tuhan bagi dirinya.  Persoalannya, adalah bagaimana caranya kita dapat menemukan orang yang telah ditentukan oleh Tuhan untuk menjadi pasangan hidup kita? Apa yang harus dilakukan, bila tiba-tiba seseorang datang kepada kita dan mengatakan bahwa Tuhan telah menentukan kita untuk menjadi pasangan hidupnya? Padahal kita sama sekali tidak mengenalnya, apalagi tertarik kepadanya. Persoalan selanjutnya, adalah bagaimana caranya kita dapat memahami pasangan hidup kita (baik suami ataupun istri kita) sebagai orang yang telah ditentukan Tuhan untuk menikah dengan kita?  Bila kehidupan perkawinan kita berjalan dengan mulus dan membuat kita bahagia, dengan mudah kita dapat mengatakan bahwa suami atau istri kita adalah orang yang dipilih Tuhan untuk menjadi pasangan hidup kita. Lalu bagaimana dengan mereka yang ditinggalkan oleh pasangan hidupnya untuk menikah dengan orang lain, ataupun melakukan hubungan gelap diluar perkawinan? Apakah Tuhan salah menentukan atau memilih pasangan hidup orang tersebut?

Dalam Alkitab, kita melihat bahwa hal-hal yang ditentukan oleh Tuhan dalam kehidupan manusia, adalah hal-hal yang bernilai kekal, seperti halnya keselamatan, pemulihan dan penyembuhan. Tuhan tidak pernah mengatur hal-hal yang menjadi kehidupan manusia secara detail, kecuali bila berhubungan dengan rencana kekekalan-Nya. Sehingga untuk masalah jodoh, Tuhan memberikan hikmat kepada manusia untuk memilih pasangan hidupnya. Tidak ada orang yang boleh menyalahkan Tuhan, karena menganggap Tuhan telah salah pilih atau memilihkan dia jodoh yang salah, karena Tuhan memberi kebebasan dan kebijaksanaan kepada manusia untuk memilih pasangan hidupnya, dan manusialah yang harus memilih dan menjalani pilihannya itu dengan penuh tanggung jawab. 

Oleh karena itu, pepatah yang mengatakan bahwa jodoh di tangan Tuhan, tidak juga seluruhnya benar. Dalam kenyataannya, manusia kerapkali memaksakan keinginan hatinya, sehingga banyak persoalan yang harus dihadapi dalam Pernikahan. Sebaliknya, walaupun jodoh bukanlah di tangan Tuhan, tetapi itu bukan berarti bahwa Tuhan lepas tangan atau cuci tangan dalam menentukan pilihan yang terbaik dalam kehidupan manusia. Dalam surat Roma 8:28, Rasul Paulus berkata, bahwa “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah. Hal ini berarti, Tuhan ikut campur tangan untuk memimpin manusia dalam menentukan pilihan yang terbaik, dan jika Tuhan campur tangan dalam persoalan yang satu ini maka Ia memiliki kepentingan khusus terhadap orang pilihan-Nya. 

Dalam Kejadian 24:1-10, kita melihat bahwa sebenarya Tuhan memiliki kepentingan untuk menentukan siapa yang akan menjadi nenek moyang Israel. Tuhan seharusnya mengatakan kepada Abraham siapa jodoh Ishak yang sebenarnya, karena ia merupakan tokoh penting dalam sejarah Israel dan umat percaya, dan Abraham selalu mendengar suara dan perintah Tuhan. Namun untuk persoalan jodoh anaknya, Tuhan sama sekali tidak berbicara, apalagi menentukan. Abaraham harus berusaha melalui bujangnya untuk mendapatkan jodoh anaknnya, dan Abraham memiliki cara yang dapat dicontoh dalam menentukan pilihan untuk anaknya. Untuk menentukan istri bagi Ishak anaknya, Abraham menentukan kriteria atau syarat sebagai berikut :
1.   Syarat pertama, adalah mencari seorang perempuan yang sepadan dengan Ishak. Ia tidak boleh berasal dari negeri Kanaan. Oleh karena itu, dalam Kejadian 24:3 Abraham mengambil sumpah bujangnya, untuk tidak mengambil untuk Ishak seorang istri dari antara perempuan Kanaan, dan untuk menentukan pilihannya, hamba tersebut harus berdoa dan minta pertunjuk kepada Tuhan sebelum mengambil keputusan dan sesudah mengambil keputusan. Dalam Kejadian 24:21 dikatakan, “Dan orang itu mengamat-amatinya dengan berdiam diri untuk mengetahui, apakah Tuhan membuat perjalanannya berhasil ataukah tidak (Bnd. Ayat 14, 26, 27).
2.   Syarat kedua, adalah Bibit, Bobot dan Bebet. Ketiga B (Bibit, Bobot dan Bebet) ini merupakan hal yang penting. Siapa orangtuanya dan bagaimana dengan keluarganya? Siapa perempuan itu, dan bagaimana pendidikan, karakter dan kepribadiannya? Ribkah jelas memiliki asal usul keluarga yang jelas garis keturunannya. Ia adalah anak Betuel, yang masih memiliki hubungan kerabat dengan Abraham. Selain sangat cantik, Ribkah juga seorang perempuan yang rajin dan baik hati. Setiap hari ia menggembalakan ternak ayah dan ibunya, dan di sumur itu ia melayani hamba yang diutus Abraham dengan baik. Mencari dan menentuk seorang suami, dalam pemikiran saya, juga memerlukan kedua syarat ini. Mempunyai asal usul keluarga yang jelas, terpelajar, rajin bekerja, dapat dipercaya dan baik hati. Keberadaan keluarga, juga akan menentukan bagaimana sikap dan perilakunya. Oleh karena itu, Ribka memiliki keluarga yang baik dan cukup berada. Kemampuannya untuk mencukupi segala keperluan hidup mereka, tidak diragukan lagi.
Dari kisah pemilihan jodoh untuk Ishak ini, kita melihat peran aktif manusia untuk menentukan pilihan yang terbaik. Tentu saja dengan pertolongan Tuhan. Dari pihak Tuhan, Ia berperan dan terlibat aktif dalam menetapkan pilihan-Nya. Oleh karena itu setiap orang harus memahami, bahwa Tuhan senantiasa memberikan hikmat kepada mereka untuk memilih pasangan hidupnya. Tuhan memberikan kebebasan dan kebijaksanaan kepada kita untuk memilih pasangan hidup kita, dan kita lah yang punya tanggung jawab untuk memilih dan menjalani pilihan kita itu dengan penuh rasa tanggung jawab. Adapun acuannya adalah Firman Tuhan. Nah kepastian akan jodoh yang dari Tuhan itu akan terungkap jika seseorang berada dalam kehendakNya.  Untuk hal ini seseorang harus berusaha hidup bergaul erat dengan Tuhan, dan jangan pernah berharap kesempurnaan, karena tidak semua pernikahan yang pada awalnya yakin, bahwa mereka merupakan pasangan yang tepat, akan selalu berakhir dengan kebahagiaan. Sebuah pernikahan yang bahagia, bukan dilahirkan begitu saja, tetapi ia harus dikerjakan, diusahakan, dan diperjuangkan. 

Doa :
Tolonglah kami ya Tuhan, agar kami tidak memaksakan apa yang menjadi kehendak dan keinginan hati kami dalam menentukan pasangan hidup kami. Namun biarlah kami selalu mengikut-sertakan Engkau, sehingga dengan hikmat-Mu kami diberi kemampuan untuk menentukan pilihan yang terbaik, seturut dengan kehendak-Mu. Berikan pula keterbukaan bagi kami, untuk menerima segala bentuk kekurangan dan kelemahan dari pasangan hidup kami, sehingg ketidaksempurnaan mereka tidak membuat kami berhenti untuk mengasihinya. Demi Putra-Mu, Yesus Kristus kami berdoa. Amin.

Sabar dan Berpengharapan


Bacaan: Matius 13:24-30, 36-43

Dulu orangtua saya sering mengatakan : Orang sabar itu dikasihi Tuhan. Lalu saya pikir-pikir, jangan-jangan saya ini tidak dikasihi Tuhan, karena saya ini orangnya tidak sabaran. Tapi sampai hari ini, saya sungguh-sungguh merasa dikasihi Tuhan, karena punya suami yang sabar dan dua anak laki-laki yang perbandingannya 1:1. Maksudnya, yang satu sabar seperti bapaknya, dan yang satu lagi tidak sabaran, seperti ibunya. Jadi saya dan suami saya punya patner yang sama profilnya. Sebenarnya apa sih “kesabaran” itu? Ada orang bilang, sabar itu adalah sikap tenang, tidak terburu nafsu dan tahan dalam menghadapi segala macam situasi. Dalam kehidupan sehari-hari, mana lebih banyak, orang yang sabar atau orang yang tidak sabaran?! Di kota Jakarta seperti sekarang ini, rasanya sulit sekali menemukan orang-orang yang sabar, yang selalu bersikap tenang dan tahan dalam menghadapi segala situasi. Akan lebih mudah buat kita untuk menemukan orang-orang yang tidak sabaran. Hari Sabtu, misalnya di rumah sudah bikin janji, mau pergi dengan istri dan anak-anak ke suatu tempat. Maklum dari hari Senin sampai Jumat sudah kerja seharian, dan pulang selalu malam. Tiba-tiba hari Sabtu harus masuk kerja di kantor. Acara jadi berantakan, lalu istri dan anak-anak di rumah jadi marah-marah. Lalu di kantor, ketemu dengan atasan yang galak, dan customer yang cerewetnya bukan main. Akhirnya, sepanjang hari itu, bawaannya jadi mau marah terus.

Di dalam Alkitab, ada dua kata Yunani yang diterjemahkan sebagai kesabaran, yaitu Anexikakos (an-ex-ik'-ak-os), yang artinya adalah patient of ills or wrong (sabar dalam kesesakan/kesalahan) dan dari kata makrothumia (mak-roth-oo-mee'-ah) yang artinya patience, have long patience, longsufferings (kesabaran, menanti dengan sabar, ketekunan, ketahanan,).  Dengan demikian kesabaran adalah sikap tenang atau menanti dengan sabar, dan tahan menghadapi keadaan yang sulit. Dalam kitab Amsal 14:29 dikatakan, “Orang yang sabar besar pengertiannya, tetapi siapa cepat marah, membesarkan kebodohan!” Saudara2, kesabaran kita butuhkan dalam menjalani kehidupan ini, karena ada banyak masalah yang kita hadapi dalam kehidupan ini. Sekali waktu mungkin kita diperlakukan secara tidak adil, atau dijahati orang lain. Kalau kita bertindak gegabah, itu pasti akan merugikan atau mencelakakan diri kita sendiri. Oleh karena itu satu-satunya jalan, adalah minta pertolongan dan kekuatan dari Tuhan! Contohnya adalah Daud. Berulang kali Daud dijahati oleh Saul, tetapi Tuhan menolong Daud dan tidak mempermalukan Daud. Menurut Thomas Aquino, kesabaran adalah kebajikan dari Tuhan, yang memampukan kita untuk dengan tenang (artinya tanpa mengeluh dan tanpa kepahitan) menunggu terwujudnya kehendak Tuhan dalam kehidupan kita. Oleh karena itu dalam Injil Matius 13:24-30, 36-43 Tuhan Yesus mengajak kita untuk belajar dari perumpamaan tentang gandum dan ilalang. Gambaran tentang gandum dan ilalang itu akrab bagi para pendengar Yesus waktu itu. Ilalang adalah hama bagi petani gandum. Celakanya, bentuk pohon ilalang dan pohon gandum itu hampir sama. Pada awal pertumbuhannya, ilalang dan gandum sangat sulit dibedakan. Ilalang dan gandum baru dapat dibedakan saat keduanya berbulir, tetapi pada saat iitu ilalang tidak dapat dicabut, karena akar-akar ilalang dan gandum sudah saling terkait. Oleh karena itu, mereka harus menunggu masa panen tiba untuk memisahkan biji gandum dan biji ilalang, karena biji gandum dibutuhkan untuk kehidupan sehari-hari, sedangkan biji ilalang dibuang karena tidak ada gunanya.

Dari perumpamaan itu, Tuhan Yesus mau menyampaikan kepada kita, bahwa bila Ia menebarkan benih yang baik, maka si jahat menaburkan benih semacam ilalang yang sukar dibedakan dengan biji gandum yang ditaburkan. Oleh karena itu tidak perlu mempersalahkan orang lain, menghakimi atau membalas kejahatan dengan kejahatan, karena hanya Allah yang dapat membedakan mana yang baik dan mana yang jahat dan pada waktunya, Tuhan akan mengalahkan kejahatan dan menggantinya dengan Kerajaan Allah yang penuh damai sejahtera. Firman Tuhan dalam 16:32 berkata, “Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, dan orang yang menguasai dirinya melebihi orang yang merebut kota!”

Boleh Kuatir, Tapi Tetap Percaya


Bacaan: Matius 6:24-34
 
Boleh kuatir, tapi tetap percaya. Itulah tema KITA hari ini. Bagaimana pengalaman hidup Saudara dengan “boleh kuatir, tapi tetap percaya” ?! Mengapa hal itu terjadi? Apa penyebabnya? Bagaimana seharusnya?  Apa sebenarnya yang dimaksud dengan kuatir itu? Mengapa orang-orang kerapkali begitu kuatir? Bagaimana seharusnya? Selama ini mungkin kita sering merasa kuatir. Akan tetapi kita sendiri tidak tahu apa penyebabnya, dan bagaimana mengatasinya. Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Glenn Turner, bahwa “Kuatir itu seperti kursi goyang, yang memberikan sesuatu untuk Anda lakukan. Namun Anda tidak pernah sampai ke manapun.”  

Ada banyak alasan yang membuat kita kuatir. Mungkin, masa depan atau pasangan hidup. Mungkin pekerjaan atau pelayanan dan lain sebagainya. Ada banyak orang yang mengalami ”gangguan syaraf” (nervous breakdown) karena kuatir. Nah apakah Kekuatiran itu?  Mungkin karena kekuatiran itu begitu akrab dengan kita, maka kita sulit untuk mendefinisikan secara tepat kebiasaan yang menyusahan itu.
Menurut pendapat Dr. Thomas Borkovec, seorang peneliti di Penn State University, “Kekuatiran merupakan serangkaian pikiran dan gambaran-gambaran yang menghasilkan perasaan-perasaan negative. Pikiran-pikiran tersebut tidak dapat dikontrol, dan berkaitan dengan suatu masalah tertentu yang tidak pasti. Biasanya, para penguatir yakin bahwa kemungkinan besar akan terjadi satu hal atau lebih yang bersifat negative.” 
Ada beberapa ciri khas dari kekuatiran itu :
Kekuatiran selalu berhubungan dengan masa yang akan datang. Ketika kita kuatir, maka sebenarnya kita sedang mengantisipasi suatu kejadian yang akan mengancam kita. Beberapa orang mungkin mengatakan bahwa mereka kuatir tentang sesuatu yang telah terjadi di masa lalu. Tetapi sesungguhnya, isi dari kekuatiran itu berhubungan dengan sesuatu yang mungkin akan terjadi di masa depan, sebagai akibat dari kesalahan atau kekeliruan di masa lalu.
2.  Kekuatiran merupakan suatu bentuk perhatian yang berlebihan terhadap diri sendiri. Sebagian orang mungkin mengatakan bahwa kekuatiran mereka berkaitan dengan orang lain, tetapi sebenarnya pikiran-pikiran yang menganggu itu bersifat pribadi dan tidak disampaikan secara terbuka. Merasa sendirian atau kesepian merupakan salah satu gejala khas yang dialami oleh orang-orang yang selalu kuatir.
3.  Kekuatiran membuat orang terus menerus merasa gelisah, menghadapi situasi yang menekan batin, merasa sangat terkejut dan terganggu, dan tidak dapat menyesuaikan diri terhadap situasi yang dihadapi.
4.  Kekuatiran membuat orang terombang-ambing oleh pikiran yang sangat mengerikan, dan mereka tidak mampu menghentikan pikiran-pikiran itu Mereka selalu membayangkan hal yang paling buruk yang akan terjadi di suatu waktu nanti. Mereka takut akan menjadi bahan ejekan, dipermalukan, dihina, dan lain sebagainya.
Kalau ditanya, apakah Kekuatiran itu berguna? Atau apakah semua kekuatiran itu pasti buruk buat kita? Dalam  batas-batas atau tingkat-tingkat tertentu dan tidak terlalu berat, mungkin justru berguna bagi kita dan tidak menganggu kehidupan kita. Sebagai contoh, seseorang yang sedang menghadapi ujian, karena kuatir tidak lulus, maka ia akan mengerjakan ujian itu secara lebih baik. Sebaliknya, bila kekuatiran itu berlebihan atau kronis,  maka seseorang akan berpandangan sempit dan ruwet. Ia hanya memikirkan dirinya dan tidak peduli kepada hal-hal lain yang ada di sekitarnya dan akhirnya mengalami gangguan kejiwaan, karena terus menerus kuatir dalam banyak hal.
Di dalam Yesaya 49:8-16a tadi, mendengar janji keselamatan dan pengharapan dari Tuhan yang ditujukan kepada orang-orang Israel yang berada dalam pembuangan di Babel. Bagi umat Israel, hidup sebagai orang buangan di Babel itu menjadi suatu keadaan yang sangat mengerikan karena mereka telah ditaklukkan oleh bangsa-bangsa lain. Mereka merasa terhina dan dipermalukan. Akan tetapi Tuhan mengingatkan mereka, bahwa selama mereka berada di Babel, Tuhan akan tetap menyertai, menjaga dan memelihara hidup mereka. Pada waktunya nanti Tuhan akan melepaskan umat Israel dan memimpin mereka kembali ke tanah Palestina. Hal ini mengingatkan kita, bahwa sangat mudah bagi kita untuk tenggelam dalam keputus-asaan, sehingga tidak ada keberanian bagi kita untuk bangkit dan berbuat sesuatu. Pikiran kita, perasaan kita – semuanya hanya tertuju pada diri kita, dan tidak lagi percaya dan berserah kepada Tuhan. 
Dalam Matius 6:24-34, Yesus mengingatan kita, bahwa selalu ada alasan untuk kuatir. Kekuatiran yang berlebih-lebihan atas kebutuhan hidup sehari-hari, dan kekuatiran yang berlebih-lebihan atas harta kekayaan atau hal-hal yang bersifat kebendaan, akan melumpuhkan kita karena kita tidak lagi menempatkan Allah sebagai pusat dan sumber kehidupan kita. Sebagai gantinya, hidup yang mempunyai makna dan tujuan dari Allah, merupakan suatu keharusan bagi kita. Oleh karena itu, dalam Matius 6:33-34  Yesus berkata, “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari esok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari.”
Kerajaan Allah adalah situasi, suasana, atau tempat di mana Allah memerintah sebagai Raja. Kerajaan Allah menunjuk pada kekuasaan Allah yang kekal dan menyeluruh atas seluruh ciptaan-Nya. Kesempurnaan Kerajaan Allah akan terjadi, ketika kerinduan hati manusia dan kebutuhan umat manusia yang otentik akan keadilan, kedamaian, kesempurnaan dan keutuhan, kesatuan dan kebahagiaan, kepenuhan dan kelimpahan, kegembiraan dan kemenangan terpenuhi karena Allah adalah Allah yang menyelamatkan. Oleh karena itu mencari Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya, itu berarti menjadikan Allah sebagai satu-satunya focus kehidupan kita, umat percaya. Allah menjadi tuan, yang memerintah dan mengendalikan seluruh hidup kita. Mencari Kerajaan Allah tidak berarti tidak bekerja dan tidak memikirkan masa depan. Akan tetapi, seperti burung di udara dan rumput di padang, kita tetap akan sibuk dan bekerja. Namun kita tidak akan menjadikan kebutuhan hidup kita, harta kekayaan dan hal-hal yang bersifat kebendaan, sebagai satu-satunya prioritas dan tujuan hidup kita. 

Mencari Kerajaan Allah akan mengubah pola hidup dan pola pikir kita, sehingga hidup kita tidak lagi tertuju pada “apa yang bisa saya dapatkan” atau “saya dapat apa” atau “saya punya apa” melainkan “apa yang bisa saya berikan” kepada Allah dan sesama. Saudara2, dalam Filipi 4:6 Paulus berkata, “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. 



Kasih Seorang Sahabat


Bacaan: Yohanes 15:9-17

Dahulu kala ada sebuah desa di mana hanya diisi oleh orang-orang yang pendek dan gemuk atau yang jangkung dan kurus. Tidak ada jenis orang lain selain itu. Si ”Pendek” dan ”Jangkung”, begitu mereka disebut tidak saling menyukai. Orang-orang Pendek selalu mengejek orang-orang Jangkung dengan sebutan ”tiang bendera” bila mereka sedang membicarakan kesombongan orang-orang Jangkung. Sementara orang-orang Jangkung akan mengejek orang-orang Pendek dengan sebutan ”udang” karena ukuran tubuh yang pendek itu. ”Tiang bendera” dan ”udang” selalu bertengkar dan berkelahi, tidak pernah ada kedamaian di desa tersebut.
Si Pendek dan Si Jangkung tidak pernah saling mengenal dengan baik. Mereka tidak pernah mencoba menjalin persahabatan. Bahkan, mereka menolak bekerja sama. Si Pendek tidak ingin tinggal di rumah yang bersebelahan dengan Si Jangkung, demikian pula sebaliknya. Mereka tidak ingin berbelanja di toko yang sama, selalu memilih toko yang didatangi oleh sesama Pendek atau Jangkung. Anak-anak mereka pun bersekolah di dua sekolah yang berbeda pula. Gereja-gereja dan tempat-tempat ibadah selalu dibangun khusus untuk Si Pendek dan Si Jangkung. Semakin banyak orang yang meminta agar desa dibelah saja menjadi dua bagian, dan mulai terdengar desas-desus akan adanya perang antara ”tiang bendera” dengan ”udang.” Kedua belah pihak mulai membeli senjata. Pemimpin desa tidak pernah membantu menyelesaikan masalah. Bahkan, ia pun kadang menyalahkan Si Jangkung atas semua masalah yang terjadi di desa. Semakin menipisnya toleransi di desa ini, sampai anak-anak kecil pun selalu diberitahukan oleh orangtua mereka bahwa pihak yang satu lagi bukanlah orang yang baik. Anak-anak Si Pendek tidak boleh bersahabat dengan anak-anak Si Jangkung, dan begitu pula sebaliknya.
Kemudian suatu hari, terjadi sesuatu yang aneh. Semua orang di desa itu mendadak menjadi buta. Tidak ada satu orang pun yang bisa melihat. Kehidupan semua orang menjadi jungkir balik. Orang-orang terpeleset dan terjatuh, mencoba berjalan dari satu tempat ke tempat yang lain. Mereka saling bertabrakan dan terpelanting. Semua anak-anak kecil, para remaja, dan orang-orang dewasa membutuhkan bantuan, dan mereka pun akhirnya saling membantu. Orang-orang dewasa meminta tolong pada semua orang yang kebetulan bertabrakan dengan mereka, agar diberitahukan jalan yang benar.  Anak-anak kecil dibantu oleh anak-anak yang lebih dewasa, dan ibu-ibu kaum Pendek maupun Si Jangkung saling membantu menemukan anak-anak mereka.
Awalnya, Si Pendek tidak sadar bahwa mereka kadang dibantu oleh ”tiang bendera,” dan Si Jangkung kadang tidak sadar bahwa mereka dibantu oleh ”udang”. Mereka sangat menghargai semua orang yang membantu mereka dalam kebutaan mereka. Tetapi ketika mereka saling membantu dengan menggunakan tangan mereka, mereka mulai menyadari bahwa beberapa dari tangan-tangan tersebut ada yang panjang dan kurus, dan ada tangan-tangan yang pendek dan gemuk.
”Hmmph,” kata Miriam, salah seorang Pendek pada dirinya sendiri, ”aku berani bertaruh pasti Si Jangkung, yang tadi membantuku adalah satu-satunya ”tiang bendera” yang baik hati.” Tetapi Miriam sangat terkejut ketika ia menyadari bahwa ia baru saja dibantu oleh orang Jangkung yang lain ketika ia mencoba berbelanja di toko.
Ali, salah seorang Jangkung, juga terkejut. ”Udang-udang itu ternyata tidak begitu jahat,” pikirnya suatu hari ketika salah seorang Pendek membantunya menemukan adik kecilnya.
Satu, dua minggu sudah berlalu, dan semua orang mulai menyadari bahwa bentuk dan ukuran orang-orang yang ada di sekitar mereka sama sekali bukan masalah. Mereka mulai membangun pendapat tentang semua orang yang mereka temui berdasarkan perilaku dan bukan penampilan – yaitu apakah orang-orang tersebut baik hati atau pendengki. Mereka mulai menghargai teman-teman baru mereka dan memahami bahwa karakter seseorang ternyata jauh lebih penting daripada ukuran tubuh – dan bahwa sifat-sifat baik bisa ditemui dalam diri semua orang.
Dengan kesadaran ini, hati semua orang Pendek dan gemuk maupun Jangkung dan kurus mulai luluh. Mereka pun menjadi semakin baik hati terhadap semua orang yang mereka temui. Ketika mereka mulai bisa saling bersahabat, penglihatan mereka pun mulai kembali! Mereka tertawa senang ketika sudah bisa kembali melihat, dan mereka berjanji tidak akan lagi membiarkan mata mereka membohongi mata mereka.
Dari kisah si Pendek dan si Jangkung tadi, kita menangkap makna : Persahabatan kerapkali tidak terjalin secara otomatis, tapi membutuhkan proses yang panjang seperti besi menajamkan besi. Persahabatan sering menyuguhkan beberapa cobaan, tetapi persahabatan yang sejati bisa mengatasi semua cobaan itu, bahkan bertumbuh bersama karenanya. Kunci dari semuanya itu adalah Kasih. Kasih mampu meredam perbedaan, dan membangun kebersamaan. Kasih mempertautkan, dan bukan memisahkan, sehingga semua orang, baik yang pendek dan gemuk, mau pun yang jangkung dan kurus dapat hidup dalam relasi yang sangat akrab, dekat dan terbuka. Kasih seperti itulah sebenarnya yang kita perlukan untuk membangun dunia yang lebih indah dan nyaman ...
Menurut kesaksian Alkitab, manusia diciptakan Allah dalam relasi yang sangat akrab, dekat dan terbuka dengan Allah dan sesamanya. Namun oleh karena dosa, relasi itu menjadi rusak, karena manusia hanya memikirkan dirinya sendiri. Persahabatan tidak lagi mendapat ruang dan tempat, karena persahabatan hanya berada di kulit luar, tidak sampai ke dalam hati, kepada pengenalan antar pribadi yang mendalam dan penuh kasih. Bagi Tuhan Yesus, persahabatan itu nilainya sangat mahal, luhur dan mulia. Sebab itu Dia rela mati bagi kita sahabat-sahabat-Nya. Standard kasih seperti kasih Tuhan Yesus dimulai dengan hati. Hati yang mau mengasihi dengan segenap hati. Hati yang mau mengasihi Allah, yang diwujudkan dengan kasih kepada sesama. Siapakah sesama itu? Dia adalah orang-orang yang kita jadikan sebagai sahabat kita, dan bukan hamba. Bagi seorang sahabat, ada keterbukaan, kejujuran, ketulusan, dan kepedulian. Ada kedekatan yang tak ternilai selain dengan diri dan hidupnya. Sahabat berbeda dengan seorang hamba, yang memiliki status yang lebih rendah dengan tuannya. Tuhan Yesus mengajak kita untuk melihat sesama bukan dengan kaca-mata “tuan dan hamba”, tetapi dengan kacamata “sahabat” (Yohanes 15;15-17). Dengan kacamata “sahabat” kita diajak untuk melihat dan menempatkan orang-orang yang ada di sekitar kita dan menjadi sahabat di tengah-tengah segala kesulitan dan pergumulan hidup mereka. Dalam surat 1 Yohanes 3:18 Firman Tuhan berkata, “Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran.”
The greatest healing therapy
Is friendship and love
(Hubert H. Humphrey)