Halaman

Minggu, 20 November 2011

LET'S MAKE FRIENDS EVERYWHERE


LET’S MAKE FRIENDS EVERYWHERE
Bacaan Alkitab: Yohanes 15:9-10


Di dunia ini, sesungguhnya semua orang saling membutuhkan. Tak ada satu pun manusia yang bisa hidup sendirian tanpa bantuan orang lain. Sehebat apapun dia, pasti membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Contohnya, setiap hari kita membutuhkan pasokan makanan yang sehat. Dari bahan bakunya: nasi putih hingga nasi merah. Kemudian lauk-pauknya, dari ikan, daging ayam atau daging sapi. Sayur kangkung atau bayam, buah pisang atau jeruk atau mangga. Semuanya memang bisa kita peroleh di supermarket, di pasar atau di tukang sayur. Nah apa jadinya, kalau tidak ada yang memasok beras, telur, ikan, daging, sayur dan buah-buahan ke supermarket, pasar atau tukang sayur? Apa jadinya kalau tidak ada orang yang menanam padi, beternak ayam, sapi, menanam sayur-sayuran dan buah-buahan? Mungkin kita bisa mengolah atau memasak bahan baku makanan apa saja, tapi kalau tidak ada orang yang menjualnya atau yang mengadakannya untuk kita? Boleh jadi, kita harus menanam padi sendiri dan mengolahnya menjadi beras. Kemudian menanam sayur-sayuran dan buah-buahan, dan berternak ayam dan sapi untuk memenuhi kebutuhan pasokan makan kita setiap hari. Contoh lainnya: di Wahid Blog Dunia Informasi dan Pembelajaran, saya menemukan sebuah survey terhadap 2500 orang yang membuktikan bahwa 79 persen orang yang tidak bisa hidup atau tidak dapat melewatkan satu hari pun tanpa Facebook. Survei yang diselenggarakan oleh Busted Coverage, majalah Coed dan College Candy itu mengungkapkan, hampir 50 responden menyadari ketergantungan mereka terhadap media sosial untuk mendapatkan kabar-kabari seputar kehidupan teman mereka. Lebih dari 40 persen responden mengatakan, langsung membuka Facebook sebelum sikat gigi di pagi hari. Sangking kecanduannya, 20 persen responden yang menghapus akun mereka (karena kesal terhadap layanan Facebook) akhirnya membuat profil Facebook baru. Di Indonesia saja, pengguna Facebook sejumlah 22 juta jiwa dengan rata-rata kunjungan mereka ke Facebook 30 kali dalam sebulan, sedangkan Twitter 6 juta. Berarti setiap hari, orang selalu menempatkan dirinya dalam jejaring sosial atau membangun relasi dengan orang lain.
Survey ini juga membuktikan kepada kita, bagaimana orang saling membutuhkan, dan tidak mungkin orang bisa hidup sendirian tanpa teman atau orang lain. Oleh karena itu, percayalah, hidup kita akan sangat susah dan tidak menyenangkan, jika seandainya kita hidup seorang diri saja di dunia ini. Kita bersyukur kepada Tuhan, jika sampai hari ini, Tuhan menghadirkan begitu banyak orang (baik suami, istri, orangtua, anak, teman, saudara dan lain sebagainya) untuk membantu kita dalam mencukupi semua kebutuhan kita. Kita bersyukur pula, jika kita masih diberi kemampuan oleh Tuhan untuk berbagi dan membantu orang lain. Bagaimana pun juga sebagai makhluk sosial, kita semua saling tergantung dan saling membutuhkan satu sama lain. Dengan sangat indah misalnya, Martin Buber menggambarkan bagaimana seharusnya kita menempatkan orang lain di dalam kehidupan kita, dalam relasi I and Thou dan bukan I and It. Dengan menempatkan orang lain sebagai subyek, kita akan belajar untuk menghargai dan mengasihi mereka dengan segala kelebihan dan kekurangan mereka. Sebaliknya, dengan menempatkan orang lain sebagai obyek, kita akan memperlakukan orang lain sesuka hati kita. Bahkan memanfaatkan mereka demi kepentingan kita. Ibarat kata, habis manis sepah dibuang, maka selama mereka masih berguna atau bermanfaat, kita akan memperlakukan mereka dengan baik. Dan ketika orang itu sudah tidak kita perlukan, kita akan mengesampingkan atau menyingkirkannya dari kehidupan kita.
        Dalam perikop yang kita baca tadi, Tuhan Yesus menggambarkan dua dimensi Kasih yang sangat penting dalam hidup kita. Pertama, kasih yang kita alami dari Allah, yang diekspresikan melalui Tuhan Yesus Kristus. Kedua, kasih yang kita alami dalam komunitas (baik keluarga, rekan kerja dan lain sebagainya) kita sebagai dampak dari kasih Allah kepada kita. Kedua dimensi Kasih itu sama seperti Hukum Kasih, mau menegaskan kepada kita, bahwa kita harus mengasihi Allah dengan mengasihi sesama. Dengan mengasihi sesama, kita melakukan perintah-perintah-Nya. Maka kasih Allah itu menjadi dasar untuk mengasihi sesama. Inilah esensi dari mengasihi sesama, karena itu dengan mengasihi Allah, kita juga dituntut untuk mengasihi sesama. Dengan mengasihi sesama, kita akan belajar untuk mengubah pola pikir dan pola hidup kita, yang semula hanya terarah kepada diri sendiri saja, untuk kemudian hidup di dalam rumah kasih dan mengungkapkan kasih kita kepada orang lain yang ada di sekitar kita. Itulah sebabnya mengapa Tuhan Yesus mengatakan, “Tinggallah di dalam kasih-Ku itu.” Dengan tinggal di dalam kasih-Nya, Tuhan Yesus menginginkan kita untuk membuka cara berpikir yang baru: hidup di dalam kasih. So let’s make friends everywhere and always keep a Good relationship with them. Dengan memiliki banyak teman dan bersikap baik dengan mereka, semakin banyak pula orang yang tergerak untuk mau membantu kita ketika kita sedang berada dalam posisi sulit. Oleh karena itu banyak sekali manfaat yang bisa kita dapatkan dengan memiliki banyak teman dan selalu membina hubungan baik kepada orang lain. Contohnya, semakin banyak orang yang peduli terhadap kita, akan semakin banyak pula support yang bisa didapatkan untuk memotivasi kita dalam melakukan sesuatu. Seperti sekarang ini, kita perlu memiliki networking. Networking yang luas dapat membantu atau memudahkan jalan kita terhadap sesuatu. Contohnya saja, ketika kita berusaha mencari sponsor untuk acara kita. Pasti pernyataan yang sering ditanyakan adalah “Eh, kamu punya link sponsor ini nggak ? Kalau link media partner itu ada nggak ?”. Atau seandainya kita sedang mencari bintang tamu untuk acara kampus, pasti kita akan senang kalau ada teman kita yang berkata, “Eh si artis ini temen saya nih, bisa lah nanti dikasih murah”. Nahhh … menyenangkan bukan kalau kita memiliki banyak kenalan? Apalagi orang yang kita kenal adalah orang-orang yang hebat, karena tentunya hal tersebut merupakan suatu bentuk keberhasilan kita dalam memperluas networking. Dalam surat Roma 12:9-10 Rasul Paulus berkata, “Hendaklah kasih itu jangan pura-pura! Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik. Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat.”  Semoga kita semua mampu membuka telinga terhadap suara kasih Tuhan yang tersembunyi di dalam hati kita. Amin.









KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN



Dalam kehidupan keluarga, gereja dan masyarakat, semua orang pasti pernah mengalami ketidakbaikan, atau pengalaman yang buruk, yang meninggalkan bekas-bekas luka yang sulit dipahami dan diterima. Bisa jadi seseorang pernah disakiti, disalahpahami, dikecewakan, kehilangan kepercayaan, ditertawakan, diejek, kehilangan muka, dan ditindas. Semua orang pernah mengalami penderitaan semacam itu, namun penderitaan juga dapat diwarnai oleh gender (atau masalah jenis kelamin : laki-laki dan perempuan). Bagi laki-laki, kejahatan adalah sesuatu yang dibuat dan dapat dihilangkan lagi. Tetapi bagi kaum perempuan, ketidakbaikan atau ketidakadilan itu terjalin dalam dirinya. Keperempuanan itu sendiri kerapkali dipandang tidak baik, atau paling tidak merupakan suatu tembok atau batas kemanusiaan. Bila seorang perempuan melakukan sesuatu yang buruk, hal itu dipandang sebagai ’kodratnya’ yang memang dipenuhi oleh ketidakbaikan, karena perempuan bertanggungjawab atas kejatuhan manusia ke dalam dosa.
Kekerasan merupakan masalah di mata Allah, karena menyangkut hidup dan kehidupan (perempuan dan anak-anak). Kekerasan adalah penghancuran hak manusia yang paling hakiki, yaitu hak untuk hidup dengan aman.

Kekerasan adalah masalah iman.  Karena manusia (baik laki-laki maupun perempuan adalah gambar dan rupa Allah). Oleh karena itu kekerasan adalah penghancuran akan gambar dan citra Allah itu. Inilah yang menjadi alasan utama mengapa segala bentuk kekerasan harus dihentikan dari kehidupan manusia di dunia ini, baik di dalam kehidupan rumah tangga, keluarga, dan bahkan gereja. Bentuk-bentuk kekerasan atau penindasan itu dapat kita lihat dalam 5 bentuk :
(1) Dominasi/Subordinasi. Laki-laki adalah tuan, dan majikan (karena tempatnya adalah di luar/publik), dan perempuan adalah kaum yang lemah, karena itu tempatnya adalah di rumah (memasak, mengurusi suami dan anak dsb).
(2) Marginalisasi. Marginalisasi bisa dalam bentuk diskriminasi. Sikap kita sebagai orangtua, kerapkali tidak adil. Anak laki-laki boleh melakukan apa saja, termasuk hal-hal yang buruk, karena dia adalah laki-laki. Sedangkan anak perempuan, harus pandai mematut-matut diri dan tunduk kepada ayahnya. Upah buruh perempuan sangat rendah dibandingkan dengan laki-laki, karena dia dianggap punya suami, dan lebih bodoh dari laki-laki. Di gereja, tempat perempuan hanya di bagian konsumsi dan sekretariat. mereka tidak dilibatkan untuk mengambil keputusan, karena mereka tidak tahu apa-apa.
(3) Stereotyping. Cap atau stempel, bahwa perempuan itu lemah, dan kurang terdidik dalam menangani masalah-masalah sosial-ekonomi dan politik. Pekerjaan perempuan hanya memasak dan mengurusi suami, anak dan keluarganya.
(4) Unjust burden (beban yang tidak adil antara laki-laki dan perempuan). Bila seorang istri bekerja sebagai pegawai atau guru dan karyawan, dia dituntut untuk bisa menangani sekaligus urusan di dalam keluarganya. Melayani suami dan anak-anaknya, bahkan mertuanya.
(5) Kekerasan, baik secara fisik (dengan memukul, menampar dan sebagainya) maupun secara psikis (dengan kata-kata kasar, umpatan, caci maki, tidak memberi nafkah kepada istri dsb)

Dalam kaitan itu, Gereja seharusnya adalah pihak pertama yang harus bertanggung jawab untuk terlibat secara aktif dalam upaya penghentian kekerasan. Gereja adalah saudara dan saya, dan bukan bangunan gereja ini. Kita harus merombak atau mengubah entah itu ajaran, tradisi atau budaya yang telah secara langsung atau pun tidak langsung mengakibatkan kekerasan terhadap umatnya, khususnya kaum perempuan dan anak-anak. Karena terbukti, dan Gereja tidak bisa mengingkari, bahwa telah terjadi begitu banyak kekerasan yang dilakukan di dalam keluarga-keluarga kita, bahkan di dalam gereja-gereja  dan lembaga-lembaga pendidikan kita. Anna Julia Cooper, seorang pendidikan perempuan, lebih dari seratus tahun lalu sudah menuliskan, ”dunia perlu mendengar suara perempuan” yang sekian lama dibungkam, termasuk di dalam membaca ”teks-teks Kitab Suci” untuk menempatkan pengalaman manusia secara keseluruhan baik laki-laki maupun perempuan.”





Selasa, 01 November 2011

MEREKONSTRUKSI PERAN SUAMI DI TENGAH MASYARAKAT DAN BUDAY APATRIARKHI


Pendahuluan
Rekonstruksi peran suami di tengah masyarakat & budaya patriarkhi, memperhadapkan kita pada kehidupan seharian istri atau keperempuanan yang terdiskriminasi oleh budaya dan tradisi, dan hampir dapat dipastikan di dalam diskriminasi terdapat kekerasan atau opresi secara fisik, psikis, mental dan spiritual, baik secara perseorangan maupun komunitas perempuan. Dalam budaya patriarkhi, dominasi suami atas istri pada umumnya dibenarkan oleh paham kodrat, sebab kodrat suami (sebagai laki-laki) diyakini kuat, pemberani, rasional, produktif, dan sanggup membuat perencanaan. Sedangkan kodrat istri (sebagai perempuan) adalah lemah lembut, penakut, perasa, reproduktif, memelihara dan merawat kehidupan, biasa melayani dan suka dipimpin. Akibatnya tempat suami (dan atau laki-laki) adalah di area publik, sementara istri di ruang domestik (di rumah dan sekitarnya). 

Adapun pengambilan keputusan dalam masalah-masalah besar seperti membeli rumah, pengelolaan saham atau keuangan keluarga, ada di dalam otoritas suami karena ia adalah kepala keluarga. Dalam konteks budaya kita, sistem patriarkhal memberikan seorang suami kekuasaan penuh atas istri dan anak-anaknya. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan pemeliharaan dan pendidikan anak dan urusan rumah tangga lainnya, dianggap tidak cukup berharga untuk dilirik, apalagi untuk diketahui orang lain, karena posisi istri sebagai perempuan, ditempatkan dalam posisi rendah dan lemah. Sebab itu, tugas utama dalam kehidupan seorang istri adalah dalam kekuasaan ayahnya (ketika ia belum menikah), dalam kekuasaan suami (ketika ia menikah), dan dalam kekuasaan anak laki-laki (ketika ia tua).

Menurut Tissa Balasuriya dalam bukunya Teologi Ziarah (2004), diskriminasi terhadap istri dan atau perempuan terdapat dalam banyak masyarakat Asia (termasuk di Indonesia). Dalam kenyataannya, para suami sering berlaku kasar dan tidak adil terhadap istri mereka, sekalipun mereka menaruh sikap hormat terhadap perempuan dan ibunya sendiri. Hal ini disebabkan karena sejak lahir, anak perempuan diperlakukan secara berbeda, tidak diinginkan dan kurang diasuh, sedangkan anak laki-laki selalu diperlakukan secara istimewa, disambut dengan gembira dan diutamakan oleh keluarganya. Sepanjang hidupnya kaum perempuan diatur sedemikian rupa agar cocok dengan peran rumah tangga yang disediakan bagi mereka. Mereka tidak diizinkan untuk mengatur langkahnya sendiri dan mengambil keputusan.[2] Perasaan takut senantiasa ditanamkan. Sebab itu secara piskologis dan fisik, mereka menjadi sangat bergantung pada kaum laki-laki. Menjelang akil-balik, para gadis didesak agar segara menikah dan ”berumah-tangga.” Dengan demikian para orangtua terbebas dari tanggung jawab untuk mengasuh anak gadisnya. Setelah berumah-tangga, maka tempatnya adalah di rumah, menjadi alat prokreasi untuk melahirkan anak, serta memelihara suami dan keluarganya.[3] Mereka diharuskan untuk memilih peran ”bergantung sepenuhnya” kepada suaminya, di mana mereka merasa dipelihara, dan berperan sebagai ibu dan pengasuh, serta dapat menyatakan perasaan keibuannya, kesabaran, kelemah-lembutan, dan sambutan hangatnya kepada suami dan anak-anaknya.

Demikianlah identitas perempuan telah direkonstruksi oleh budaya, sehingga mereka mengalami subordinasi dan marginalisasi. Hal ini membuka ruang terjadinya kekerasan psikologis, psikis, mental dan spiritual terhadap seorang perempuan.[4] Perubahan demi perubahan telah terjadi, namun nilai budaya dalam keluarga dan masyarakat, sehingga sebagai perempuan, mereka mengalami berbagai tindak kekerasan budaya.[5] Untungnya hal ini tidak membuat mereka berdiam diri sebagai korban yang pasif. Berbekalkan pendidikan yang memadai, seorang perempuan dapat menyusun dan mengaplikasikan berbagai strategi untuk mengatasi kekerasan budaya dengan cara yang tidak frontal. Keperempuantionghoaan terlihat melalui cara mereka membentuk identitas baru yang terus menjadi. Sebab itu kemampuan perempuan untuk memakna-ulang budaya patriarkhi menjadi modal utama untuk menuju ranah publik.

Refleksi
Dominasi dan subordinasi laki-laki terhadap perempuan berada dalam susunan dan jaringan sosial berlapis-lapis dan kompleks, karena menempatkan laki-laki sebagai penguasa, pembesar, tuan, pemilik, majikan dan suami menurut tradisi dan budaya. Perjuangan kaum perempuan, adalah membangun egalitarian community (suatu komunitas yang sederajat antara laki-laki dan perempuan). Selanjutnya, adalah menumbuhkan kesadaran dan kepekaan kaum perempuan, dan menantang kaum laki-laki untuk melancarkan kritik, serta merekonstruksi bangunan-bangunan teoritis dan metodologis (dalam berbagai disiplin ilmu) yang melestarikan dominasi, ketimpangan dan ketidakadilan dalam realitas hubungan laki-laki dan perempuan, tekstual dan kontekstual.

Merekonstruksi peran suami di tengah masyarakat dan budaya patriarkhi, berarti menempatkan baik laki-laki maupun perempuan, sebagai manusia yangs etara dan sederajat (equality) dalam kesamaan dan perbedaan mereka, dan menghayati kemanusiaan mereka dalam hubungan timbal balik (mutuality).[6] Rosemary Radford Ruether dalam bukunya Sexism and God-Talk: Toward a Feminist Theology, mengatakan bahwa : upaya apapun yang mengurangi kemanusiaan kaum perempuan harus dianggap bukan “merefleksikan yang ilahi” atau “relasi yang otentik” dengan yang ilahi. Prinsip kemanusiaan yang penuh didasarkan pada konsep “imago Dei,” bahwa perempuan secara setara dibebaskan oleh Kristus dan secara setara dikuduskan oleh Roh Kudus. Berikutnya, kita perlu mengangkat serta menilai kaum perempuan ke dalam kesadaran masyarakat agar berkembang suatu hubungan baru yang didasarkan pada kesederajatan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, sehingga terbuka suatu cara berpikir yang terbuka dan inklusif demi terwujudnya keadilan, kebenaran, perdamaian serta keutuhan ciptaan.





[1] Dalam tulisan ini, kata “patriarkhi” menunjuk pada arti “pola atau tatanan yang ditentukan oleh kaum laki-laki.” Dalam masyarakat patriarkhal, kaum laki-laki menentukan pola masyarakat dan kaum perempuan dinomorduakan.
[2] Dalam tradisi keluarga Tionghoa tradisional, seorang istri harus tunduk dan patuh kepada suami dan keluarganya, sehingga hal-hal yang berkaitan dengan penatalayanan dan pengelolaan kehidupan keluarga, ada dalam kekuasaan suami dan keluarganya.
[3] Dalam bidang pekerjaan, perempuan tidak dianjurkan atau diharapkan mendapat pekerjaan tetap diluar rumah. Kalau mereka diperkerjakan, mereka sering mendapat upah yang lebih sedikit, atau bahkan tidak mendapatkan bayaran yang sepantasnya, ketimbang kaum laki-laki untuk jenis pekerjaan yang sama. Kaum perempuan sering dipekerjakan sebagai tenaga yang kurang trampil; pada umumnya menangani urusan administrasi atau pengawasan yang dianggap sepele oleh kaum laki-laki. Kaum perempuan juga dieksploitasi dalam zona-zona perdagangan bebas di hotel-hotel, restoran-restoran, dan pusat-pusat pariwisata, kadang-kadang sebagai pelacur (atau PSK), terutama kalau mereka tidak punya pekerjaan dan keluarganya sangat kekurangan.
[4] Menurut Tissa Balasuriya, seksisme adalah sistem budaya yang dikuasai laki-laki, yang menentukan tujuan, peran, dan nilai-nilai dari kehidupan perempuan. Perempuan dilihat lebih banyak sebagai pembantu (bnd. dalam sistem budaya Tionghoa yang bercorak paternalistik-hierarkhis). Kepribadian perempuan dipaksa mencari dan menemukan pemenuhannya dalam hubungannya dengan laki-laki. Laki-laki adalah norma-norma, perempuan adalah ’pihak lain.’  Pekerjaan laki-laki dianggap lebih produktif dan dibayar lebih mahal dibandingkan dengan perempuan. Secara ekonomis, politis dan sosial kebutuhan perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki. Karena itu, pada umumnya perempuan tidak mendapat kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan menjadi pejabat lebih sulit bagi perempuan. Mereka tidak diikut-sertakan dalam proses pengambilan keputusan, karena dianggap tidak memahami pelbagai kebijakan politik dan ekonomi. 

ADA MAKSUD TUHAN



Bacaan     : Markus 9: 2-13 

Tidak semua murid diperkenankan menyaksikan dan sekaligus merasakan sebuah peristiwa besar yang terjadi di atas Bukit Tabor, seperti yang dialami oleh Petrus, Yakobus dan Yohanes. Di sana mereka melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana Yesus yang dimuliakan dan mereka merasa sangat bahagia. Karena itu dengan penuh harap, mereka menawarkan diri untuk mendirikan kemah untuk Musa, Elia dan Yesus sendiri. Dengan demikian suasana yang penuh dengan kemuliaan bisa tetap dinikmati. Tetapi begitu mereka selesai berbicara, suasana berubah kembali seperti semula dan mereka diajak turun dari atas Bukit Tabor.

Bukan karena Yesus tidak setuju dengan usulan mereka, tetapi karena saat itu masih ada yang harus dikerjakan oleh Yesus dan para murid. Dan tugas itu dilakukan tidak di atas Bukit Tabor, tetapi di kota Yerusalem. Di sana Yesus akan memasuki saat-saat penderitaan, yang akan berakhir dalam peristiwa kematian. Sebagai umat Tuhan kita juga sering lupa dengan panggilan Tuhan dalam hidup ini. Kita ingin menciptakan suasana sorgawi dalam diri kita sendiri dan bagi diri kita sendiri. Tugas yang harus kita lakukan tidak berada di atas Bukit yang penuh dengan kemuliaan, tetapi di dalam kehidupan sehari-hari di dunia yang penuh dengan berbagai macam persoalan & tantangan, bahkan dunia yang penuh dengan berbagai macam permusuhan. Keinginan ketiga murid untuk mendirikan tiga kemah di atas Bukit Tabor boleh dikata, merupakan upaya mereka untuk menghindar dari tugas pokok mereka sebagai murid Yesus. 

Berada di ”zona aman” atau di atas Bukit yang penuh dengan kemuliaan ternyata lebih menyenangkan daripada hidup di dunia yang penuh dengan berbagai macam persoalan, tantangan dan permusuhan. Hampir dapat dipastikan, kita pun mempunyai keinginan yang sama dengan para murid. Namun ada maksud Tuhan di tengah-tengah situasi kehidupan yang semakin berat dan sulit yang kita hadapi saat ini, yaitu membawa terang kasih Kristus di dalam kehidupan sehari-hari kita dan tetap setia menjadi murid-Nya. Dalam Injil Markus 8:34-35  Tuhan Yesus berkata, ”Setiap orang  yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. Karena siapa yang mau menyelamatkan nyawanya; ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, ia akan menyelamatkannya.”