Halaman

Minggu, 19 Februari 2012

MENJADI SUMBER KEHIDUPAN DAN SUMBER PENGHIBURAN




Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan yang biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai, Ia akan memberikan kepadamu jalan keluar, sehingga kamu dapat  menanggungnya (1 Korintus 10:13)

Konon di Jepang hiduplah seorang petani tua yang setiap hari harus menelusuri jalan setapak beberapa kilometer ke ladangnya sambil menenteng sebuah ember penuh berisi air. Karena termakan usia, lambat-laun ember itu pun aus hingga berlubang pada salah satu sisinya. Akibatnya jumlah air yang terangkut setiap hari selalu berkurang menjadi dua pertiga. Meskipun demikian, petani itu tidak pernah bermaksud mengganti ember kesayangannya itu.

Di sepanjang jalan setapak yang dilalui petani itu, bunga-bunga tapal kuda senantiasa tumbuh subur bermekaran. Tapi ketika musim kemarau tiba, sedikit demi sedikit bunga-bunga itu layu dan mati. hanya bunga yang persis dilalui si ember bocor tetap tumbuh dengan indah,  membuat Pak Tani tetap bertekun di bawah cuaca yang kurang bersahabat.

Tapi hal itu tidak disadari oleh si ember. Ia hanya berpikir tentang dirinya yang sudah usang, tidak berguna dan hanya menyusahkan. Maka mulailah si ember bocor mengeluh, tidak lagi berminat mengerjakan tugasnya.
Petani yang menyadari sikap ember itu mulanya hanya diam saja, hingga pada suatu hari tidak tahan lagi mendengar keluh kesah embernya.
“Hai emberku, mengapa kamu mengeluh terus karena bocor ?”
“Iya, Tuan,” jawab ember dengan lunglai, “Aku frustrasi karena tidak bisa melaksanakan tugasku dengan baik.”
“Apa benar begitu ?” tanya petani lagi, “Siapa yang setiap hari selalu menemaniku membawa air ?”
“Saya Tuan,” ember bocor itu menjawab, masih dengan tanpa semangat,  Tapi  saya tak sanggup lagi membawa semuanya kan, Tuan ?”
“Betul,” kata petani, “Terus memang kenapa kalau bocor ?” petani balik bertanya.
“Ya, saya merasa tidak berguna. Cuma merepotkan tuan saja,” ungkap si ember.

Melihat ember yang begitu kehilangan jiwa, petani mulai memperlambat  bicaranya. Dengan penuh kesabaran, ia berkata, "Coba layangkan matamu ke sekeliling dan ceritakan apa yang engkau lihat?”
Si ember memalingkan mukanya ke kiri dan kekanan. “Tidak ada yang istimewa Tuan, hanya bunga tapal kuda yang setiap hari aku lihat.”
“Benar sekali,” kata sang petani tua, “sekarang kamu coba melayangkan pandanganmu lebih jauh lagi, apakah  kamu juga menemukan hal yang sama ?”

Kembali si ember melihat kiri kanan. beberapa saat kemudian dia punmenjawab, “Kegersangan Tuan. Hanya tanah gersang yang aku lihat. Bunga-bunga mengering, debu-debu berterbangan, tidak ada kehidupan sama sekali …”
“Tepat sekali wahai emberku,” kata petani, “Apakah kamu tidak merasa aneh dengan semuanya itu ? Kegersangan ada di mana-mana, namun di dekat kita justru tumbuh dengan subur bunga tapal kuda yang indah. Kamu tahu kenapa bisa begitu ?”
“Tidak Tuan. Bisa Tuan jelaskankepadaku ?”
“Ember … ember. Itu semua berkat kamu. Selama ini tidak pernah kamu sadari, bahwa kamu adalah sumber kehidupan bagi bunga tapal kuda di sekeliling kita. Memang kamu bocor, tapi justru dari sanalah mereka mendapatkan air dan kesegaran, sehingga mereka bisa bertahan hidup. Jadi janganlah pernah menganggap dirimu gagal, tetapi berbanggalah untuk itu.”
Semenjak itu si ember menemukan kembali kegembiraan dan kebahagiaan dalam melaksanakan tugasnya.

Sahabat, bila kita merefleksikan kisah Pak Tua dan si ember bocor tadi, maka kehadiran Tuhan dalam hidup kita, dapat kita gambarkan seperti Si Pak Tua yang menelusuri jalan setapak beberapa kilometer di ladang-Nya sambil menenteng sebuah ember penuh berisi air. Dan posisi kita, sama seperti Si ember yang penuh berisi air. Karena termakan usia, maka ember itu pun aus hingga berlubang pada salah satu sisinya. Akibatnya, jumlah air yang terangkut setiap hari selalu berkurang, menjadi dua sepertiga. Jadi walau pun usia kita sudah semakin tua, dan kondisi tubuh kita renta, Tuhan tidak pernah bermaksud mengganti kita dengan ember yang baru. Persoalannya, adalah ketika usia kita sudah semakin tua; ketika kesehatan kita kerapkali terganggu; ketika beban kehidupan melibas kita; ketika kita kehilangan suami atau istri yang kita kasihi; kita melihat diri kita seperti ember bocor, yang sudah tidak berguna. Selalu gagal dan hanya merepotkan saja.

Dulu mungkin kita punya pekerjaan dan penghasilan yang tetap. Sekarang, kita hanya mengandalkan pensiunan dan bantuan dari anak.  Dulu mungkin kita bisa aktif di gereja, dan melakukan berbagai kegiatan pelayanan. Namun sekarang, karena berbagai gangguan kesehatan (sakit jantung, darah tinggi, ostheophorosis, dll) tidak ada lagi kegiatan lain yang kita lakukan, selain nonton TV, baca koran dan jaga rumah. Anak-anak, menantu dan cucu-cucu sudah tidak lagi punya banyak waktu, dan kita merasa sepi, seorang diri. Akibatnya, kita jadi suka mengeluh dan tersinggung. Persoalan kecil saja sudah memancing kemarahan kita.

Jangan-jangan keadaan kita sama seperti orang-orang Israel di padang gurun. Perjalanan yang sulit di tengah padang belantara, membuat orang-orang Israel terkabar kulitnya pada waktu siang hari, dan kedinginan di waktu malam hari. Persediaan makanan dan minuman yang terbatas atau yang hanya itu-itu saja (yaitu roti mana, roti tidak beragi, dan air minum seadanya. Tidak ada lagi daging yang enak untuk di makan), membuat orang-orang Israel jadi ember bocor.  Mereka merasa diri tidak berguna, dan gagal. Hanya merepotkan Tuhan dan Musa saja. Karena lapar dan haus, mereka jadi gampang marah dan tersinggung. Mempersalahkan Tuhan dan mempersalahkan Musa. Selalu teringat masa lalu di tanah Mesir, dan gamang melihat masa depan, tanah Kanaan yang dijanjikan oleh Tuhan. Setiap hari mereka bersungut-sungut dan berkeluh kesah, bahkan menghujat Tuhan. Akibatnya mereka digigit ular tedung, dan tidak diijinkan oleh Tuhan masuk ke tanah Kanaan. 

Menurut Rasul Paulus, apa yang dialami oleh orang-orang Israel di padang gurun itu, menjadi pelajaran buat kita agar kita semua bersikap hati-hati dan mawas diri. Jangan focus, hanya pada kekurangan diri kita, tetapi lihatlah anugerah dan berkat Tuhan yang terus dilimpahkan dalam kehidupan kita. Usia kita mungkin sudah semakin tua, dan kemampuan kita semakin terbatas, tetapi semangat karena Tuhan tetap mau memakai kita untuk menjadi alat-Nya. Memberi siraman yang menyejukkan hati dan pikiran orang lain, melalui pikiran, sikap dan tutur kata kita setiap hari. Karena itu Rasul Paulus berkata, “Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan yang biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai, Ia akan memberikan kepadamu jalan keluar, sehingga kamu dapat  menanggungnya” (1 Kor. 10:13).

Oleh karena itu ada tiga hal penting yang dikemukakan oleh Rasul Paulus kepada kita. Pertama, seberat apa pun ujian dan pencobaan yang harus kita hadapi, percayalah bahwa semuanya itu tidak akan pernah melampaui batas kekuatan kita. Jadi sekali waktu, mungkin kita dilibas oleh segudang persoalan dan pergumulan, atau tubuh kita digerogoti oleh sekian banyak penyakit tertentu, dan kondisi kita saat itu sudah tidak tertahankan lagi. Ingatlah, bahwa kita selalu mempunyai topangan yang menguatkan dan meneguhkan hati kita, yakni kehadiran Allah dalam hidup kita. Karena itu, hal kedua, yang dikatakan oleh Rasul Paulus adalah, Allah itu setia. Dia tidak akan membiarkan kita dicobai melampaui kekuatan kita. Kalau ujian dan pencobaan itu, begitu berat, yakinlah bahwa Allah itu setia. Dia tidak akan pernah membiarkan dan meninggalkan kita. Ketiga, pada saat kita dicobai, Allah pasti akan memberikan kepada kita jalan keluar, sehingga kita dapat menanggungnya. (Reminded song : Di tengah ombak, dan arus pencobaan … Yesus perhatikan, kehidupan tiap orang …)

Selama ini mungkin kita belum atau kurang menyadari, bahwa kehadiran kita masih dapat menjadi sumber kehidupan dan sumber penghiburan bagi orang-orang yang ada di sekeliling kita. Usia kita memang sudah semakin tua, kesehatan kita sudah semakin rapuh, tetapi kehadiran kita (kebaikan hati dan pelayanan kasih kita) menyegarkan hidup mereka, dan membuat mereka bisa bertahan dalam hidup karena keteladanan dan kasih kita. Karena itu janganlah memusatkan perhatian kita selalu kepada diri kita, tetapi lihatlah di sekeliling kita … karena Tuhan mau menghadirkan kita untuk menyegarkan hati anak-anak, menantu dan cucu-cucu kita. Janganlah beranggapan diri kita sudah tua, hanya menjadi sampah dan tidak berguna. Tetapi berbanggalah. Sebab  dalam Yesaya  46:4, Firman Tuhan berkata, “Sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu. Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus; Aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu!” Soli Deo Gloria!















YANG SEMPURNA HADIR MELALUI YANG TIDAK SEMPURNA





Ada dua kata kunci dalam tema kita yaitu “Yang Sempurna” dan “Yang Tidak Sempurna.”  Lalu apa definisi kita tentang “Kesempurnaan?” Apakah mungkin Yang Sempurna hadir melalui Yang Tidak Sempurna?  Dalam sebuah percakapan yang saya rilis di Yahoo, apa arti kesempurnaan bagi Anda, muncul sekian banyak jawaban yang berbeda-beda. Dari sekian banyak jawaban yang muncul di sana, saya tertarik dengan dua jawaban ini. Pertama, yang mengatakan bahwa Kesempurnaan hanya milik Tuhan, dan Kesempurnaan seorang manusia tidaklah mutlak sempurna. Contohnya, aku punya beberapa teman yang menurut aku kecantikan dan kegantengannya sempurna, tapi terus terang sifat mereka sangat buruk. Egois, atau hanya memikirkan diri sendiri, mudah tersinggung dan segudang sifat jelek yang lainnya.  Kedua, yang mengatakan bahwa Kesempurnaan ialah ketika kita bisa mensyukuri apa pun yang terjadi pada diri kita. 

Kedua jawaban tersebut, menurut saya sangat bijak. Siapa pun kita pasti setuju,  bahwa Kesempurnaan hanya milik Tuhan, dan tidak ada manusia yang sempurna, sebab kesempurnaan seorang manusia tidaklah mutlak sempurna. Begitu pula dengan setiap kita. Bisa jadi kita punya penampilan fisik yang ganteng dan cantik, tetapi jempol kaki kanan dan kaki kiri kita tidak sama, dan karakter kita buruk. Sombong, egois, gampang tersinggung dst. Atau mungkin penampilan fisik kita pas-pas an atau kurang menarik. Hidung pesek, rambur keriting tapi spiritualitas dan karakter kita baik. Baik hati dan suka menolong orang lain. Namun Alkitab katakan kepada kita, bahwa betapa pun tidak sempurnanya kita, Tuhan mau menerima dan mengasihi kita. Bahkan Tuhan tidak hanya mau menerima kita sebagaimana adanya kita saja, tetapi Ia juga mau menerima ketidaksempurnaan kita untuk mengambil bagian dalam pekerjaan-pekerjaan dan pelayanan-Nya. 

Saya jadi ingat sebuah kisah. William adalah seorang penasehat kerajaan yang disegani karena kebijaksanaannya. Raja sangat memperhatikan perkataan dan nasehatnya. Namun wajah buruk dan tubuhnya yang bongkok membuat putri raja iri hati. Ia bertanya sambil mengejek, “JIka engkau bijaksana, beritahu aku mengapa Tuhan menyimpan kebijaksanaan-Nya dalam diri orang yang buruk rupa dan bongkok?” Mendengar pertanyaan itu, William balik bertanya, “Apakah ayahmu mempunyai anggur?”
“Semua orang tahu ayahku mempunyai anggur terbaik, pertanyaan bodoh macam apa itu?!” jawab putrid raja dengan sinis.
“Di mana ia meletakkannya?” William bertanya lagi.
“Yang pasti di dalam bejana tanah liat.”
Mendengar itu William tertawa, “Seorang raja yang kaya akan emas dan perak seperti ayahmu menggunakan bejana tanah liat?” Mendengar itu putri raja pergi meninggalkannya dengan rasa malu. Ia segera memerintahkan pelayan-pelayannya untuk memindahkan semua anggur yang ada di istana dari dalam bejana tanah liat ke dalam bejana yang terbuat dari emas dan perak.

Suatu hari raja mengadakan pesta bagi para tamu kerajaan. Alangkah kagetnya ia karena anggur yang diminumnya rasanya sangat asam. Lalu dengan geram ia memanggil semua pelayan istana, yang kemudian menceritakan kepadanya bahwa anggur yang disuguhkan tadi berasal dari bejana emas dan perak atas perintah puteri raja sendiri. Lalu raja menegur keras perilaku putrinya itu.
Sang putri kemudian bertanya kepada William, “Mengapa engkau menipu aku? Aku memindahkan semua anggur ke dalam bejana emas dan perak, tapi hasilnya semua anggur jadi terasa asam.”
Dengan tersenyum William menjawab, “Sekarang engkau tahu mengapa Tuhan lebih suka menempatkan kebijaksanaan dalam wadah yang sederhana, dan buruk rupa. Kebijaksanaan itu sama seperti anggur. Ia hanya cocok dalam bejana dari tanah liat.” Ketika Tuhan mencari wadah dan sarana yang ingin dipakai-Nya, Ia tidak harus mencari yang terbuat dari emas dan perak, tetapi dari tanah liat yang sederhana.

Pembacaan Alkitab kita kali ini juga mau memperlihatkan kepada kita, bagaimana Tuhan memakai orang-orang yang tidak sempurna untuk memperlihatkan kebijaksanaan-Nya dan pekerjaan-pekerjaan-Nya dalam hidup kita.  Ambil saja contohnya Daud. Ia berhasil mengalahkan Goliat, namun tidak mampu mengalahkan keinginan hatinya untuk mengambil Betsyeba sebagai istrinya. Akibatnya, Daud tidak diijinkan Tuhan untuk membangun Bait Allah. Namun pengalaman hidup Daud bersama Tuhan menjadi pelajaran bagi kita semua.  Contoh yang kedua, adalah Paulus. Siapa di antara kita yang tidak mengenal Paulus?! Di dalam surat 1 Korintus 1 dan di dalam surat-suratnya yang lain, kita melihat bagaimana Paulus dipakai oleh Tuhan untuk mengabarkan Injil, walaupun sebelumnya, ia telah menganiaya banyak murid Kristus. Paulus yang menanam, Apolos yang menyiram, dan Tuhan yang menumbuhkan. Pengalaman hidup Paulus bersama Tuhan, juga menjadi pelajaran bagi setiap kita agar tidak mudah putus asa di tengah berbagai tekanan, penolakan dan bahaya yang mengancam jiwa kita. Contoh yang ketiga, adalah Petrus, Yakobus, Andreas dan Yohanes yang dipanggil Yesus untuk menjadi murid-murid-Nya. Mereka adalah orang-orang sederhana. Sehari-hari, mereka hanya bekerja sebagai nelayan : mencari ikan dan menjualnya, untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun dari orang-orang yang sederhana dan yang tidak sempurna ini, Injil diberitakan sampai ke seluruh dunia.

Jika Tuhan secara sengaja memilih orang-orang sederhana, yang dengan tulus hati mau dipakai sebagai alat-Nya, maka semuanya itu tentu ada maksud dan tujuan-Nya. Maksud dan tujuan-Nya adalah menghadirkan Terang Ilahi itu dalam kehidupan konkret mereka. Nah sekarang bagaimanakah halnya dengan kita? Maukah kita dipakai oleh Tuhan untuk menghadirkan Terang Ilahi-Nya dalam kehidupan sehari-hari kita?  Diperlukan kesungguhan dari setiap kita, untuk menepis setiap godaan-godaan yang bisa menjatuhkan kita. Dalam surat 1 Korintus 2:9 Firman Tuhan berkata, “Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia, semua disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia!” Semoga Terang Ilahi Allah dalam Kristus selalu menerangi hati sanubari kita, sehingga ketika Tuhan mencari wadah dan sarana yang ingin dipakai-Nya, Ia dapat memakai setiap kita sebagai alat-Nya.


Kamis, 16 Februari 2012

QUOTES OF MARSHALL ROSENBERG




Every moment each human being is doing the best we know at that moment to meet our needs. We never do anything that is not in the service of a need, there is no conflict on our planet at the level of needs. We all have the same needs. The problem is in strategies for meeting the needs.

Conflicts, even of long standing duration, can be resolved if we can just keep the flow of communication going in which people come out of their heads and stop criticizing and analyzing each other, and instead get in touch with their needs, and hear the needs of others, and realize the interdependence that we all have in relation to each other. We can't win at somebody else's expense. We can only fully be satisfied when the other person's needs are fulfilled as well as our own.

Peace requires something far more difficult than revenge or merely turning the other cheek; it requires empathizing with the fears and unmet needs that provide the impetus for people to attack each other. Being aware of those feelings and needs, people lose their desires to attack back because they see the human ignorance leading to those attacks. Instead, their goal becomes providing the empathic connection and education that will enable them to transcend their violence and engage in cooperative relationships.

Labeling and diagnosis is a catastrophic way to communicate. Telling other people what's wrong with them greatly reduces, almost to zero, the probability that we're going to get what we're after.

I would like us to create peace at three levels and have each of us to know how to do it. First, within ourselves. That is to know how we can be peaceful with ourselves when we're less than perfect, for example. How we can learn from our limitations without blaming and punishing our self. If we can't do that, I'm not too optimistic how we're going to relate peacefully out in the world. Second, between people. Nonviolent Communication training shows people how to create peace within themselves and at the same time how to create connections with other people that allows compassionate giving to take place naturally. And third, in our social systems. To look out at the structures that we've created, the governmental structures and other structures, and to look at whether they support peaceful connections between us and if not, to transform those structures.

PUISI INDAH WS RENDRA







Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku,
bahwa sesungguhnya ini hanya titipan,

bahwa mobilku hanya titipan Nya,

bahwa rumahku hanya titipan Nya,

bahwa hartaku hanya titipan Nya,

bahwa putraku hanya titipan Nya,

tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku?

Untuk apa Dia menitipkan ini pada ku?

Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?

Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?

Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?

Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah

kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka,

kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah derita.

Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,

aku ingin lebih banyak harta,

ingin lebih banyak mobil,

lebih banyak rumah,

lebih banyak popularitas,

dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan,

Seolah semua "derita" adalah hukuman bagiku.

Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika :

aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan

Nikmat dunia kerap menghampiriku.

Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan Kekasih.

Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku", dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku,

Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah...

"ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja"




MENAFSIR ALKITAB DENGAN PERSPEKTIF PEREMPUAN




 
I  profess that I believe in God
And that my faith roots on my human experience.
I believe that God is the power which connects us with
the entire human race, and even with the entire universe.
God is the power which creates.
Is the power which built an equal relationship in history.
God is the tongue which binds us to one another,
that each of us is enabled to grow,
to work, to play, to love, and to be loved.
God created the right and equal relationship amongst us.
He does not only become a power which connects us,
He is even the source of power;
He is the fountainhead of power to know ourselves
as people who relate.
To this God we pray. He is God who flows prosperity
and who endlessly helps us. We love Him, and we trust,
that he loves us as well, He is our mother or sister,
He is our brother, father, or friend.
 (Isabel Carter Heyward)1




1 Quoted from Marie C. Barth with further citation from Isabel Carter Heyward. The Redemption of God, A Theology of Mutual Relation. (University Press of America, 1982). Marie Claire Barth Frommel, Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu (Jakarta : BPK Gunung Mulia, Cet-2, 2006),145-146.

Pada hakikatnya manusia diciptakan laki-laki dan perempuan. Sejauh yang kita ketahui, sejarah mencatat dengan pasti (sebagai realitas yang diciptakan oleh kaum laki-laki), bahwa kaum laki-laki menentukan pola masyarakat dan kaum perempuan disubordinasikan. Dominasi kaum laki-laki atas kaum perempuan pada umumnya dibenarkan oleh paham kodrat. Menurut paham ini, kodrat laki-laki adalah kuat, pemberani, rasional, produktif, menciptakan kebudayaan, dan sanggup membuat perencanaan. Sedangkan kodrat perempuan adalah lemah lembut, penakut, perasa, reproduktif, memelihara dan merawat kehidupan, biasa melayani dan suka dipimpin. Dengan pandangan seperti ini, tempat kaum laki-laki adalah di ruang publik, dalam masyarakat luas sementara kaum perempuan di ruang domestik atau privat (di rumah dan sekitarnya).Masalah-masalah ”besar” seperti membeli rumah atau tanah, pengelolaan saham atau keuangan keluarga, adalah masalah yang menyangkut laki-laki. Masalah-masalah perempuan, seperti pemeliharaan anak, masak, pendidikan anak dan urusan rumah tangga yang lainnya jarang disinggung, dan sering ”disembunyikan.”

Pandangan ini dibenarkan oleh filsafat klasik, baik di Barat mau pun di Timur. Menurut Aristoteles, ”Alangkah layak dan tepat bahwa tubuh dipimpin oleh jiwa dan perasaan oleh pemikiran yang berakal; seandainya keduanya sejajar, bahkan jika tatanannya terbalik, maka pasti akan menimbulkan kecelakaan. Menyangkut kelamin pun laki-laki lebih tinggi secara naluri dan perempuan lebih rendah; laki-laki memerintah dan perempuan diperintah.  Hal yang sama berlaku dalam filsafat Tionghoa : Yang (maskulin) dihubungkan dengan dunia atas (langit) dan Yin (feminin) dengan dunia bawah. Dengan demikian kaum laki-laki memerintah perempuan, dan tatanan ini ditekanlah dalam tradisi Confucinisme. Muncul kecenderungan untuk menilai kaum perempuan dari sudut pandang laki-laki dengan menekankan ”kekurangan-kekurangannya” dibandingkan dengan ”laki-laki.” Akibatnya, hanya kaum laki-laki saja yang dipandang sebagai manusia sejati sementara perempuan hanyalah pelengkap. Dalam naskah-naskah yang penting di bidang hukum, sejarah, filsafat dan agama (sebagai realitas yang diciptakan oleh laki-laki) sering dipakai istilah ”manusia” dan sebenarnya yang dimaksudkan hanyalah laki-laki dewasa yang mampu menentukan kehidupannya sendiri, dan pokok tentang perempuan ”tidak kelihatan” karena dianggap sudah termasuk dalam konsep tentang ”manusia.”

Stigma sosial yang dikenakan kepada kaum perempuan sebagai kaum yang dikesampingkan dan dipinggirkan (karena dianggap ”tidak kelihatan” dan ”tidak ada”) kerapkali diabaikan dan tidak tersentuh, apalagi teratasi dengan membaca Alkitab hanya dari perspektif kaum laki-laki. Hal ini disebabkan karena corak budaya dan sikap kaum laki-laki yang mendominasi dan meminggirkan kaum perempuan itu sudah sangat berakar dalam ”jantung” kehidupan masyarakat. Perempuan disamakan dengan nature (alam, segala sesuatu yang naluriah) dan laki-laki dengan culture (kebudayaan dan penanaman). Dalil ini sangat berpengaruh di Barat. Antara abad ke-16 dan ke-19, jutaan perempuan dihukum mati dan dibakar hidup-hidup sebagai ”tukang sihir” yang dianggap membahayakan masyarakat. Hal itu didukung oleh ajaran rasional baru dan ajaran gereja.Akibatnya, ialah perempuan membenci dirinya sendiri.Dalam bukunya  Sexism and God Talk, Rosemary Radford Ruether menyatakan,
“Jika seksisme berarti kekerasan dan pelanggaran terhadap integritas tubuh perempuan, kemanusiaan, dan kapasitas untuk pengembangan diri, seksisme juga menjadi distorsi bagi kemanusiaan laki-laki. Meski pun laki berusaha untuk memonopoli tugas-tugas kemanusiaan yang paling dihargai, … untuk menguasai kebudayaan dan kreativitas, mereka tidak berhasil dalam mengaktualisasikan suatu kemanusiaan yang kita cita-citakan. Dalam kebrutalan dan dalam abstraksi intelektualnya seksisme mendistorsi kemanusiaan laki-laki dan dengan demikian mendistorsi semua kegiatan manusia. Bila distorsi terhadap kemanusiaan perempuan merupakan suatu tragedi menjadi korban dalam banyak segi, maka distorsi terhadap kemanusiaan laki-laki merupakan suatu penyakit endemis yang akan menghancurkan baik kemanusiaan dan dunia kita sendiri jika tidak terjadi pertobatan yang dramatis.

Selanjutnya, yang lebih ironis lagi, Alkitab sendiri mengandung banyak teks yang secara sepintas atau pun langsung meminggirkan, dan bahkan menindas kaum perempuan. Teks-teks semacam itu sudah sangat sering digunakan, dan dilegitimasi (dijadikan sebagai pengesahan atau pembenaran) untuk memperkokoh subordinasi kaum perempuan dalam masyarakat maupun gereja. Para penulis Alkitab pada umumnya dipengaruhi oleh budaya jamannya yang patriarkhal.  Sebab itu berita Injil mengenai manusia laki-laki dan perempuan sebagai gambar Allah (Kejadian 1-2) dan kesamaan martabat manusia perempuan dan laki-laki di dalam Kristus (Galatia 3:28) sering dikaburkan oleh ayat-ayat Alkitab lainnya yang mengagungkan laki-laki dan merendahkan perempuan. 

Hal itu disebabkan karena Alkitab bernada androsentris (andros=laki-laki, sentris=berhubungan dengan inti) menentukan budaya, yakni segala peristiwa dilihat dari sudut laki-laki. Pandangan perempuan tersembunyi.  Sama halnya dengan naskah dasar agama-agama yang lain, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru bersifat androsentris. Naskahnya ditulis oleh laki-laki dengan pandangan laki-laki dan mula-mula dialamatkan terutama bagi kaum laki-laki sebagai imam, pengajar dan pemberita. Oleh karena itu :  
1. Dalam Sepuluh Firman (Kel. 20:17), dikatakan, ”Janganlah mengingini istri sesamamu.” Larangan itu dialamatkan pada kaum laki-laki dan tidak terdapat larangan yang sepadan untuk perempuan. 
2.  Laki-laki (Ibr : isy) sering dipakai dalam arti manusia, misalnya dalam perintah Kel. 21:12, 18, 20, 22, 26, 33; kebijaksanaan, misalnya Ams. 12:25, Mzm. 37:7; rumus berkat Mzm. 1:1, 112:1,5 dsb.; kutukan Ul. 27 dst. Di situ ”perempuan” termasuk secara tersembunyi atau kurang penting. Hal yang sama terdapat dalam Perjanjian Baru dengan adelphos, saudara laki-laki dalam surat rasuli, misalnya, Rm. 8:19, 9:3; 14:10, 13, 15 dsb. 
3.  Nama murid perempuan sering dilupakan, sedangkan nama murid laki-laki diingat. Bnd. Mrk. 14:3; Kis. 1:14. 
4.  Kotbah di Bukit merupakan pembicaraan dari seorang laki-laki kepada laki-laki lainnya (Mat. 5:21-26, antara saudara laki-laki; Mat. 5:27-30 dan 5:31-32, suami).
5.  Perempuan-perempuan sering ”disembunyikan,” misalnya makanan dibagikan kepada 5.000 orang laki-laki (Mrk. 6:44; Luk. 9:14; Yoh. 6:10; hanya Mat. 14:21 yang menambahkan informasi bahwa perempuan dan anak-anak ikut serta.
6.  Kita ”kebetulan” mendengar tentang mertua Simon Petrus (Mrk. 1:29-34), tetapi isterinya tidak ditampilkan, entah hidup entah mati. Akan tetapi, Paulus mengatakan bahwa rasul-rasul, termasuk Simon Petrus, sering berjalan bersama isteri mereka (1 Kor. 9:5). Nada tersebut dipertajam lagi oleh tafsiran patriarkhal yang ditemukan dalam Alkitab sendiri :
1.  Hawa dianggap orang kedua, pelengkap belaka. Ia pun menjadi orang pertama yang dicobai (2 Kor. 11:3) dan yang jatuh ke dalam dosa (1 Tim. 2:13, 14). Baik Kej. 1:26 tentang laki-laki dan perempuan yang dijadikan bersama menurut gambar Allah maupun Rm. 5:12 (tentang maut yang masuk ke dalam dunia melalui Adam) diabaikan. Sebab itu perempuan dipimpin oleh laki-laki karena Hawalah yang menjatuhkan Adam ke dalam dosa (Gal. 3:16; Ef. 5:21-33; Kol. 3:18-25; Titus 2:2-5). Jadi tugas perempuan adalah memelihara anak dan hidup patuh pada laki-laki.
2.  Sejak Hosea menyamakan Israel dengan seorang istri yang berzinah (Hos. 2), seluruh sejarah Israel dipandang dalam kiasan itu. Bnd. Yer. 3:1-2; 2:20-25 dan Yeh. 16. Bila kiasan Allah sebagai suami dan umat sebagai istri dikenakan pada Kristus dan Gereja, maka ia dipakai untuk mengesahkan secara rohani tatanan keluarga patriarkhal : ”Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan” (Ef. 5:22).
3.  Kedua belas rasul, pemimpin utama Gereja, adalah laki-laki (wakil para kepada 12 suku Israel); generasi pemimpin berikutnya juga laki-laki (Timotius, Titus dsb.).
4.  Allah juga digambarkan sebagai laki-laki (abba) dan tentu Yesus sendiri. 
5.  Paulus menggantikan dewi kesuburan Asia (Artemis) dengan Allah Bapa orang Yahudi (Kis. 19:23-27). Paulus mengandaikan tatanan sosial hierarkhis-patriarkhal yang bersifat “alamiah” dan dibenarkan oleh agama (1 Kor. 11:7-9; 14:34-36).

            Kecenderungan yang sama menentukan sebagian besar tafsiran Alkitab, nas tertentu dipakai untuk membatasi kebebasan dan hak perempuan :
1.   Meskipun dominasi laki-laki atas perempuan dilihat sebagai akibat dosa dalam Kej. 3:16, ia sering dipandang sebagai “hukum Allah,” dengan menjustifikasikan surat rasuli, “Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan” (Ef. 5:22).
2.  Sistem dominasi laki-laki mengajarkan sikap yang negatif tentang tubuh perempuan : pendarahan perempuan adalah najis, melahirkan sebagai masalah, dan alat-alat reproduksinya sebagai hal yang kotor. Karena itu perempuan dinyatakan najis selama haid dan setelah melahirkan (Bil. 12:1-8), dan mereka tidak diperbolehkan ikut serta dalam ritual-ritual keagamaan selama masa kenajisan tersebut. Perempuan yang sedang menstruasi dilarang beribadah di dalam gereja masih dipraktikkan di beberapa gereja di Afrika, di dalam beberapa gereja di Indonesia pendeta perempuan yang sedang hamil dilarang memimpin ibadah di gereja. Bahkan ada gereja yang tidak memperbolehkan pendeta perempuan melayani sakramen disebabkan pemahaman yang negatif itu. Penghinaan terhadap perempuan dan tubuhnya telah melegitimasikan misogyny (kebencian terhadap perempuan) dan kekerasan terhadap perempuan. Rosemary R. Ruether, misalnya mengatakan : ”Sejarah Kekristenan menyebut perempuan sebagai lebih rendah, subordinat, dan cenderung kepada kejahatan. Citra-citra ini membenarkan kekerasan yang hampir tidak terbatas terhadap perempuan bila perempuan bersebrangan dengan kemauan laki-laki di rumah atau di masyarakat. Perempuan sebagai korban adalah kaum pinggiran dalam sejarah yang patriarkhal ...”
3.   Yesus memanggil dua belas orang laki-laki untuk tinggal bersama Dia dan untuk diutus memberitakan Kerajaan Allah (Mrk. 6:7). Berdasarkan fakta itu hanya mereka sajalah yang dianggap sebagai rasul (ditambah Paulus sebagai pengganti Yudas). Pada saat Yesus mengumpulkan para murid-Nya untuk Perjamuan Kudus (Mrk. 14:22-25) atau menghembuskan Roh dan memberikan kepada mereka hak untuk mengampuni dosa (Yoh. 20:19-23), maka tradisi memberi tempat hanya bagi kedua belas rasul tanpa memperhatikan bahwa perempuan-perempuan pun termasuk murid-murid Yesus, dan mereka hadir pada Perjamuan Kudus pertama.
4.   Ketika Paulus meminta agar perempuan berdiam diri dalam pertemuan jemaat (1 Kor. 14:34), kita lupa bahwa nasihat itu ditujukan pada istri yang dapat ”menanyakan suaminya di rumah” (ay. 35) dan tidak boleh membantah pandangan suami di depan umum. Terlebih-lebih diabaikan bahwa Paulus mengenal perempuan yang berdoa dan bernubuat di depan jemaat (11:5). Nasihat Paulus dipakai sebagai larangan, yakni perempuan tidak boleh memegang jabatan di gereja (kecuali dalam pelayanan diakonia-sosial dan dalam pembinaan anak-anak serta perempuan). Nas yang sama dipakai untuk menolak hak suara para perempuan dan menghindarkan mereka untuk memilih dan dipilih dalam masyarakat umum (sampai pertengahan abad ke-20 di Barat).

Bagi kaum feminis, Alkitab adalah ”buku yang berbahaya karena sering digunakan untuk menasihati kaum bawahan dan kaum perempuan agar mereka tunduk pada tuan-tuannya serta mengagumkan peperangan serta memberkatinya.” Sehubungan dengan hal tersebut di atas,  Elisabeth Schussler  Fiorenza menciptakan sebuah metode yang dinamai “a hermeneutic of suspicion,”tafsiran yang meragukan atau mempertanyakan naskah untuk memahami di mana dan apa sebabnya pengalaman perempuan hilang dan sejauh mana masih terdapat sisa yang dapat digali dan diangkat untuk memperoleh suatu gambaran yang lebih utuh. 

Menurut Elisabeth Schussler Fiorenza, “menganalisis secara kritis naskah Alkitab yang androsentris berguna secara positif untuk merekonstruksi kembali (membangun) dari permulaan umat Kristen untuk mengembangkan suatu kesadaran alkitabiah yang feminis.” Perempuan mengalami solidaritas dan persatuan sebagai golongan sosial bukan berdasarkan perbedaan biologis dibandingkan dengan laki-laki, tetapi berdasarkan pengalaman sejarah sebagai golongan yang tertindas dan yang berjuang untuk menentukan sejarah (menjadi full historical subjects). Sehubungan dengan hal tersebut, para teolog feminis Dunia Ketiga (di Asia dan Afrika) menghadapi tugas yang lebih sulit lagi. Sebab selain usaha menyingkirkan sikap patriarkhal dan androsentris, mereka juga harus mengatasi tradisi Barat yang berpikir secara eksklusif (yaitu yang tidak benar harus dinyatakan salah) dan individualis untuk menemukan kembali paham inklusif menuju persekutuan yang pluralis (hidup dalam kepelbagaian). Mereka mengalami sendiri suatu tradisi yang pernah memperalat Alkitab – dalam pemahaman Barat – sebagai tolok ukur atas budaya dan agama di Asia, Afrika dan Amerika Latin. 

Kwok Pui-Lan, seorang teolog perempuan dari Hongkong, mengingatkan kita, bahwa Alkitab dibawa oleh kaum kolonial. Sama seperti kaum Barat yang memerintah menurut polanya sendiri, demikian juga para penginjil memakai Alkitab untuk membenarkan diri dan menguasai orang Kristen baru menurut pola mereka. Agama, kitab suci atau tradisi lisan, warisan hikmat leluhur, kedudukan tinggi perempuan dalam kebudayaan tertentu, semuanya diremehkan atas nama suatu ”etnosentrisme” yang berinti pada tradisi umat Kristen Barat sebagai umat pilihan Allah. Kaum feminis meninggalkan warisan pemikiran eksklusif yang menentukan kebudayaan Barat yang dominan itu dan mencari pemikiran inklusif, yang menerima kepelbagaian sebagai kekayaan dan dorongan untuk mencari kebenaran yang lebih dalam dan utuh. Menurut Kwok Pui-Lan, ”Alkitab itu terlalu penting untuk ditaklukkan pada satu pola tafsir yang tunggal saja.” Metode ilmiah (historis-kritis) hanya dapat dilihat sebagai salah satu cara, ”hasilnya harus diuji oleh umat beragama di setiap tempat, oleh mereka yang membaca ulang Alkitab setiap hari serta berusaha menyalin sejarah dan perjuangannya sendiri dengan cerita Alkitab.”

Sehubungan dengan hal tersebut, Elisabeth Schussler Fiorenza terus menerus memberikan tantangan kepada kita “… to challenge white Eropean and American feminist movements and articulations to abandon their cultural imperialism, white supremacy, and exclusivist definition of feminism in terms of middle-class white women’s experiences.”Hal ini mau menegaskan, bahwa kita tidak dapat menguniversalisasikan pengalaman perempuan, atau mencoba menggolongkan realitas perempuan ke dalam satu kata “tertindas,” atau “korban” atau “menderita,” karena dengan melakukan kedua hal tersebut di atas, itu berarti kita mengabaikan bahwa setiap teori tentang apa pun terbatas secara kultural dan historis, termasuk tentang perempuan. 

Kita perlu melihat adanya realitas yang multi wajah (perspektif feminis yang beragam) ketika kita berbicara tentang patriarkhi sebagai sistem yang membelenggu terciptanya realitas kesetaraan dalam relasi laki-laki dan perempuan, karena keberagaman setiap kelompok masyarakat dan budaya, karena tidak ada pengalaman perempuan yang tunggal atau berwajah sama. Menurut Banawiratma, patriarkhi berarti ‘hak bapak kekuasaan bapak’ yang sebenarnya memperlihatkan bahwa sebelumnya bapak dan juga suami adalah juga tuan. Karena itu analisis baru muncul dengan istilah ‘kyriarkhi’ (Yun. Kyrios=tuan, arkhe=kuasa, penguasa) yang memperlihatkan bahwa dominasi dan subordinasi laki-laki terhadap perempuan berada dalam susunan dan jaringan sosial berlapis-lapis dan kompleks, menjadi satu dengan kolonialisme, penghisapan kelas, rasisme, dominasi dari penguasa, pembesar, tuan, pemilik, majikan dan juga suami. Yang paling dipedulikan adalah mereka yang hidup pada lapisan dasar dari susunan dan jaringan-jaringan sosial itu dengan segala bentuk dominasi, subordinasi dan penindasan yang diderita oleh perempuan dan laki-laki yang dipinggirkan, guna mencapai egalitarian community (suatu komunitas yang sederajat antara laki-laki dan perempuan).

Berangkat dari realitas gender sebagai struktur sosial yang mengatur fungsi sosial laki-laki dan perempuan, oleh kaum feminis Dunia Ketiga, khususnya di Asia telah dipakai sebagai alat analisis untuk melihat ketidakadilan yang berlangsung dalam masyarakat di mana peran perempuan dan laki-laki dibedakan, antara lain dalam bidang domestic/privat dan public. Namun demikian, harus diakui bahwa hidup dan suara perempuan tidak mempunyai satu entitas yang tunggal (seragam) melainkan jamak (beragam). Pluralitas atau kemajemukan ini mendorong para feminis untuk menekankan aspek kemajemukan dalam metode mereka, dan perbedaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa “there are women’s ways of knowing.” Metode-metode ini (khususnya dalam antropologi feminis) bertujuan untuk mentransformasikan dan memberdayakan kaum perempuan; menyebarkan pengertahuan tentang perempuan yang dapat memberi kontribusi pada pemberdayaan dan pembebasan perempuan demi kesetaraannya dengan laki-laki yang harus diwujudkan dalam seluruh aspek kehidupan. 

Bahasa, juga menjadi substansi atau jalan masuk yang krusial (karena bias androsentrisme dan arogansi maskulin yang mengasingkan perempuan) bagi kaum feminis dalam proses menumbuhkan kesadaran dan kepekaan kaum perempuan, dan menantang kaum laki-laki, untuk melancarkan kritik, merekonstruksi bangunan-bangunan teoritis, metodologis (dalam berbagai disiplin ilmu) yang melestarikan dominasi, ketimpangan dan ketidakadilan dalam realitas hubungan laki-laki dan perempuan, tekstual dan kontekstual. Rekonstruksi bahasa dilakukan dengan memakai bahasa yang inklusif yang menempatkan diri pribadi dalam relasi yang lebih utuh dengan sesama dan alam, dengan menerima dan memakai kekayaan pengalaman, perspektif setiap orang, terutama perempuan dalam realitas yang plural. Inklusivitas itu bermuara pada hadirnya shalom dalam komunitas yang egaliter, di mana setiap laki-laki dan perempuan dapat mengalami makna kesetaraan dan setiap orang dapat mengalami realitas keadilan. Pendekatan kritis ini menjadi penting dalam rangka melihat dan memaknakan “pengalaman perempuan sebagai titik berangkat klaim feminisme, juga titik berangkat teologi feminis untuk kita refleksikan dan kontekstualisasikan di Indonesia. 

Teologi feminis tertuju pada “suatu visi masa depan yang di dalamnya maksud Allah bagi ciptaan-Nya yang diperbarui akan tampak. Tatanan patriarchal Kitab Suci, tradisi gerejawi dan teologi sedemikian kebal, sehingga, untuk memberikan kepada perempuan tempat yang layak di dunia laki-laki, dibutuhkan iman yang utopis, yaitu iman yang menemui Allah dalam keakanan, suatu dorongan yang mengubah apa yang kini ada.” Karena itu, meskipun terdapat sejumlah teori sesuai dengan situasinya yang berlainan, mereka “semua setuju, yakni mencari dan membela martabat manusia serta kesetaraan semua perempuan dan laki-laki.” Oleh karena itu perlu dipertanyakan,  mengapa, banyak di antara kita yang masih merasa enggan, dan bahkan merasa tidak nyaman, ketika menggunakan istilah ”feminisme atau feminis” dalam kehidupan sehari-hari? Beberapa atribut yang dikenakan kepada feminisme, misalnya, ”datang dari Barat,” ”tidak membumi di Indonesia,” ”terlalu radikal,” ”aliran kiri,” akan membatasi ruang gerak kita untuk berdiri, melompat, berlari, dan menari dalam keseharian kita dalam proses mendefinisikan ulang istilah ”feminisme,” berangkat dari realitas hidup kita sebagai kaum perempuan dan kaum laki-laki.

Constance Singam, seorang feminis dari Singapura, mengungkapkan betapa istilah tersebut masih menjadi momok yang menakutkan, bahkan oleh kaum perempuan sendiri, yang tidak ingin dicap feminis. Berangkat dari ketakutan dan kecurigaan yang seperti itulah, Constance kemudian menantang pembaca artikelnya, dan termasuk kita supaya :
... before you turn away from feminist, think for a moment what they are trying to accomplish and the work that still needs to be done. You can’t sit back and hope things will change. You only have to look at history to conclude that reform is not handed to you on a plate and equality is something that must be fought for again and again and is retained only by watchfulness.

Kesimpulan Constance memperlihatkan antara lain, dua unsur yang menjadi perjuangan kaum feminis, yaitu “reformasi” dan “kesetaraan laki-laki dan perempuan” yang beraras dalam setiap segi kehidupan. Bagi kaum feminis keyakinan yang paling fundamental ialah bahwa perempuan adalah manusia sepenuhnya dan harus diperlakukan demikian.Keyakinan ini menyangkut dua segi, yakni laki-laki dan perempuan, keduanya manusia setara dan sederajat (equality) dalam kesamaan dan perbedaan mereka, adalah mereka menghayati kemanusiaannya dalam hubungan timbal balik (mutuality). Rosemary Radford Ruether menyatakan, bahwa apa pun yang mengurangi kemanusiaan penuh kaum perempuan harus dianggap bukan merefleksikan yang ilahi atau relasi yang otentik dengan ilahi atau kabar baik dari penebus yang otentik.” Prinsip kemanusiaan yang penuh didasarkan pada konsep “imago dei” : bahwa perempuan secara setara dibebaskan oleh Kristus, dan secara setara dikuduskan oleh Roh Kudus.



Catatan:
1. Dalam tradisi Kristen selalu terdapat dua aliran : 
1) yang pertama, mementingkan segi kelembagaan, ia berwujud hierarkhis dan konservatif dan 
2) yang kedua bersifat nabiah, kritis terhadap ketidakadilan dan penggunaan kekuasaan. 


2. Ada kecenderungan di kalangan masyarakat dan juga di kalangan warga gereja untuk berpikir bahwa teologi feminis adalah teologi yang berat sebelah, yang hanya berbicara tentang perempuan yang mempromosikan kedudukan perempuan saja. Namun hal itu tidak seluruhnya benar. Harus diakui, bahwa teologi feminis bersumber pada, bertumbuh dari pengalaman riel kaum perempuan yang merasa tertindas, yang merasa dilecehkan dalam kehidupan bersama, tetapi fokus dan orientasi dari teologi feminis ini telah berkembang sedemikian rupa sehingga ia juga berorientasi bagi manusia dan keseluruhan alam semesta secara utuh. 

3. Ada lima teori feminis yang dapat kita jadikan perbandingan, antara lain : 
(1) Liberal Feminism (Social discrimination, Sexist socialization); 
(2) Traditional Marxist Feminism (Class society, capitalism); 
(3) Radical Feminism (Patriarchy, women’s biology, sex roles, ecspecially forced motherhood and sexual slavery); 
(4) Socialist Feminism (Capitalism and Patriarchy); 
(5) Third World Feminism (Imperialism, national oppression, class, gender, race/ethnicity).  
Teori feminisme Dunia Ketiga, melihat masalah gender sebagai salah satu sumber penindasan perempuan bersama dengan imperialisme, penindasan nasional, kelas dan etnisitas/ras di Dunia Ketiga. Dalam paparan ini, penulis menggunakan perspektif feminisme dunia ketiga, yang memperjuangkan keadilan dan kesetaraan perempuan dan laki-laki.

4. Teologi Feminis bagi kebanyakan orang Timur diasosiasikan dengan pemikiran Barat yang memperjuangkan hak-hak dan kebebasan perempuan dalam berbagai bidang, dan karena itu banyak yang ”bias” terhadap istilah ini, mencapnya sebagai produk masyarakat Barat. Terlepas dari benar atau tidak sinyalemen ini, banyak kalangan yang mengkuatirkan bahwa teologi ini cenderung dikotomi dan konfrontatif dalam pendekatan, berbau individualistik serta condong menjadi eksklusif perempuan. Bagi masyarakat Timur yang lebih menekankan dimensi kehidupan komunitas tampaknya pendekatan gender dianggap lebih cocok. Namun banyak teolog feminis yang menganggap bahwa pendekatan ini terlalu lunak untuk dapat membongkar sistem patriarkhal yang telah mendarah daging, karena itu mereka lebih condong menggunakan istilah teologi feminis, sekalipun tidak semuanya seragam dalam pendekatan maupun fokus utamanya. Pluralitas teologi feminis maupun pendekatan tersebut dapat saling memperkaya dan saling mengoreksi. 

5. Di kalangan masyarakat Muslim, muncul feminisme Muslim pada tahun 90-an karena kaum perempuan menekuni studi kajian tafsir Al-Qur’an, sekali pun kegiatan ini menghadapi perlawanan seperti yang dialami oleh Fatima Mernissi (Sherine Hafez, The Term of Empowerment : Islamic Women Activist in Egypt, Cairo : AUC Press, 2003). Di Maroko, Fatima Mernissi memprakarsai suatu gerakan perempuan untuk membela hak-hak perempuan. Usaha ini menghasilkan revisi Undang-undang Personal oleh pemerintah Maroko pada tahun 2004. Ini berarti bahwa Undang-undang Perkawinan di Maroko menyediakan lebih banyak hak dan perlindungan kepada kaum perempuan dibandingkan dengan kebanyakan negara Muslim.

ADA BANYAK HAL YANG HARUS KITA HADAPI DAN KERJAKAN



Lee Icocca seorang lulusan Master di bidang tehnik dari Pricenton University.
Ia bekerja sebagai Insinyur Ford Motor. Dengan ketrampilan manajerialnya yang
tinggi, ia membuat terobosan dalam pengembangan produk Ford yang mengakibatkan
Perusahaan berkembang dan meningkat dengan pesat. Karena ketidakcocokan de-
ngan Henry Ford II, Lee dipecat dari posisinya. Lee tidak menyesali diri dan tidak
putus asa, tetapi dia tetap semangat.
Lee bergabung dan membangun Cgrysler (perusahaan yang hampir bangkrut) dengan
ketekunan, energi dan kemampuan manajerial yang ulung. Keuntungan Chrusler
meningkat sangat tinggi, dan bahkan dapat mengalahkan Ford sebagai Pemimpin
Besar. Lee terkenal dan menjadi salah satu CEO terbesar.

Inspirasi dari Kisah ini:
Hidup adalah sebuah arena pertandingan dan pergulatan. Setiap hari kita diperhadapkan
dengan fakta-fakta dan masalah kehidupan. Ada banyak hal yang harus kita hadapi dan
kerjakan, baik di rumah, di kantor, dan di masyarakat.
Ada kalanya kita dapat melakukan dengan baik, bahkan sangat baik. Tetapi adakalanya
kita gagal atau menghadapi kendala tertentu.
Kendala bukan berarti harus kita takuti dan hindari. Apalagi lari dan bersembunyi untuk
berhenti. Tetapi kita harus menguatkan hati dan mencoba lagi dan harus tetap tekun dan
tabah dalam menjalani kehidupan 
Selamat berkarya .....!


Sumber dari Milis Tetangga

Rabu, 15 Februari 2012

DUA TEMPAT TINGGAL YESUS



“Rabi di manakah Engkau tinggal?”

“Marilah, dan kamu akan melihatnya”

Dari pertanyaan dan dari jawaban ini mengalirlah seluruh Injil .......
Andreas dan temannya yang tinggal bersama Yesus, menyaksikan apa yang dikerjakan dan diajarkan Yesus dan mereka bertanya, "Rabi, di manakah Engkau tinggal?" Yesus menjawab pertanyaan mereka, kata-Nya, ”Aku tinggal dalam Bapa-Ku” (Yoh. 14:11). Jawaban dan pernyataan ini sebenarnya mau menunjukkan, bahwa Yesus memiliki kondisi ilahi, seperti Allah Bapa-Nya. Sebab itu Yesus berkata, ”Bapa dan Aku akan datang kepada orang yang menuruti firman-Ku dan tinggal bersama dia” (Yoh. 14:23). Pernyataan ini mau menegaskan kepada kita, bahwa Yesus mempunyai dua tempat tinggal. Yesus tinggal dalam Bapa-Nya, dan Yesus tinggal dalam diri semua orang yang menerima Yesus sebagai pusat kehidupannya. Bahkan lebih dari itu, Yesus tinggal dalam diri semua orang yang telah berbuat kasih bagi sesamanya. Sebab di mana ada hati yang baik, di sanalah Yesus tinggal. 

Kamis, 02 Februari 2012

LITANI KERENDAHAN HATI


Oleh Merry Cardinal del Val


O Yesus! Yang lemah lembut dan rendah hati, dengarkanlah seruanku.
Dari hasrat untuk dihargai, bebaskanlah aku
Dari hasrat untuk dikasihi, bebaskanlah aku
Dari hasrat untuk dikagumi, bebaskanlah aku
Dari hasrat untuk dihormati, bebaskanlah aku
Dari hasrat untuk dipuji, bebaskanlah aku
Dari hasrat untuk diistimewakan, bebaskanlah aku
Dari hasrat untuk didengar, bebaskanlah aku
Dari hasrat untuk diakui, bebaskanlah aku
Dari rasa takut akan dihina, bebaskanlah aku
Dari rasa takut akan direndahkan, bebaskanlah aku


Dari rasa takut akan direndahkan, bebaskanlah aku
Dari rasa takut akan dicela, bebaskanlah aku
Dari rasa takut akan difitnah, bebaskanlah aku
Dari rasa takut akan diabaikan, bebaskanlah aku
Dari rasa takut akan dilecehkan, bebaskanlah aku
Dari rasa takut akan diperlakukan tidak adil, bebaskanlah aku
Dari rasa takut akan dicurigai, bebaskanlah aku ya Yesus.  

Semoga orang lain lebih dikasihi daripada aku
Semoga orang lain lebih dihargai daripada aku
Semoga dalam pandangan dunia, orang lain semakin tinggi dan aku semakin rendah,
Semoga orang lain dipilih dan aku ditolak
Semoga orang lain dipuji dan aku diacuhkan
Semoga orang lain lebih diutamakan daripada aku dalam segala hal
Semoga orang lain menjadi lebih kudus daripada aku,
sementara aku berusaha menjadi kudus seperti yang seharusnya