Halaman

Senin, 28 Mei 2012

MENTRANSFORMASIKAN PRAKTIK-PRAKTIK HIDUP MENGGEREJA LOKAL DALAM KONTEKS INDONESIA YANG MULTIRELIGIUS DAN MULTIKULTURAL





Pendahuluan
Wilfred Cantwell Smith adalah seorang teolog dan ahli sejarah agama terkenal yang mengabdikan kehidupan dan kariernya sebagai salah satu kontribusi terbesar bagi penelitian dan pemahaman tentang sejarah global kehidupan religius manusia. Tulisan ini akan membahas gagasan-gagasan utama Smith dalam lima bagian. Pertama, kita akan membahas gagasannya tentang kehidupan keberagaman sebagai partisipasi dalam sejarah umat manusia. Kedua, kita akan merespon konsep Smith mengenai dua komponen dasar kehidupan keberagaman manusia, yaitu “iman” dan “tradisi.” Manusia mengalami peran sertanya melalui kedua komponen dasar ini. Menurut Smith, iman dapat menghubungkan atau menghimpun umat dari berbagai tradisi keagamaan yang berbeda. Kita akan membahas masalah ini dalam bagian ketiga. Dalam membahas tentang hubungan Kristen dan Islam, Smith lebih suka berbicara dari perspektif arti “iman” (faith) daripada “kepercayaan” (belief). Hal ini akan menjadi pusat perhatian kita pada bagian keempat. Setelah mengamati gagasan-gagasan teoritisnya mengenai hubungan Kristen-Islam, kita akan membahas berbagai saran Smith mengenai misi dan dialog pada bagian kelima.

Kehidupan Religius Sebagai  Partisipasi  Dalam  Proses
Agama sebagai Peristiwa (Event)
            Menurut Smith, kata “agama” dan konsep-konsep yang berhubungan dengannya tidak lagi memadai bagi pemahaman yang utuh tentang seluruh isi dan makna dari hal keberagaman manusia. Smith membahas gagasan ini dalam karya utamanya The Meaning and End of Religion  (1963), yang sekarang telah menjadi sebuah “studi agama-agama klasik modern (a modern classic of religious studies), dan ia terus mengembangkan gagasan ini dalam semua karyanya.
            Menurut Smith, istilah agama pada umumnya digunakan dalam empat pengertian yang berbeda. Pertama, berkaitan dengan pengertian tentang kesalehan pribadi, yang berhubungan erat dengan pelaksanaan kehidupan keberagaman seseorang di dalam setiap tradisi religius. Kedua, berkenaan dengan entitas historis, yaitu yang berhubungan dengan sistem tertentu (doktrin, upacara/ritual, etika dan sebagainya). Ketiga, penggunaan kata “agama” merujuk kepada suatu sistem yang ideal, yang lebih dari sekadar entitas aktual karena agama merupakan sesuatu yang melampaui kedirian (transenden). Keempat, Smith mengatakan ada pengertian generik atau umum yang berhubungan dengan agama. Pengertian ini meliputi semua bentuk kesalehan, semua sistem keagamaan (ideal dan empiris) dan semua tata cara penerapannya. Bagi Smith, pengertian yang pertama, membedakan antara keterikatan manusia dengan agama dalam kehidupannya dengan sikap pembakangan atau sikap masa bodoh terhadap segala sesuatu yang bersifat keagamaan. Yang kedua dan yang ketiga membedakan antara agama yang satu dengan agama yang lainnya. Yang keempat melihat agama sebagai hal yang terpisah dari aspek-aspek kehidupan manusia, seperti seni atau ilmu ekonomi.
Menurut Smith, tidak ada sebuah definisi tentang agama dalam setiap pengertian ini. Sehubungan dengan keempat pengertian tersebut, Smith mengatakan bahwa penggunaan kata “agama” dan konsep-konsepnya (kecuali yang berhubungan dengan pengertian tentang hal-hal pribadi) akan menyesatkan, karena istilah “agama” sendiri adalah istilah yang membingungkan dan tidak bermanfaat, khususnya dalam pengertian pertama dan keempat. Sedangkan pengertian yang kedua dan ketiga bersifat distorsif. Smith berpendapat bahwa vitalitas iman pribadi di satu pihak, dan di lain pihak, perkembangan iman (bahkan pada tingkat akademis) tentang berbagai umat lain di seluruh dunia, kedua-duanya benar-benar terhalang oleh usaha kita untuk mengkonseptualisasikan apa yang termasuk dalam setiap kasus tentang (suatu) agama.
          Smith berpendapat, bahwa arti agama haruslah bersifat personal. Maksudnya, berbicara mengenai apa itu agama berarti berbicara tentang apa yang secara pribadi didalami, dijumpai dan dihayati oleh manusia dalam kehidupan religiusnya setiap hari. Dalam tesisnya Participation : The Changing Christian Role in Other Cultures, Smith menjelaskan bahwa menjadi orang yang beragama berarti berpartisipasi dalam suatu proses yang terus berjalan. Karena itu dalam bukunya Toward a World Theology  Smith mengeneralisasi tesisnya dan mengajukan sebuah “konseptualisasi proses sejarah sebagai konteks kehidupan keberagaman dan partisipasi sebagai cara dari kehidupan keberagaman.” Dalam buku ini ada dua aspek yang ditekankan oleh Smith. Pertama, konteks kehidupan keberagaman manusia harus dihayati sebagai suatu proses historis, karena agama bukanlah suatu realitas yang statis. Agama adalah suatu peristiwa yang dinamis; agama adalah sebuah peristiwa historis. Berbicara mengenai agama, berarti berbicara mengenai suatu kajian menyeluruh dari suatu rangkaian panjang peristiwa-peristiwa dalam sejarah umat manusia. Agama bukan suatu bentuk pengulangan dari apa yang terjadi di masa lampau.
Agama merupakan suatu peristiwa yang senantiasa berubah dalam sejarah umat manusia dengan cakupan tiga dimensi waktu : masa lampau, sekarang dan masa yang akan datang. Aspek kedua, cara seseorang mengalami, menghadapi dan menghayati kehidupan keberagamannya adalah dengan berperan serta dalam sejarah kehidupan keberagaman manusia secara menyeluruh. Jadi keberagaman memang bersifat personal, tetapi tidak bersifat individual karena tidak ada agama privat dalam pengertian apa pun. Karena itu agama yang bersifat personal dan historis yang mensyaratkan kesatuan umat manusia.

Keterlibatan ganda  
            Jika agama adalah suatu “peristiwa” (event), maka ini berarti bahwa orang yang beragama adalah orang yang berpartisipasi dalam peristiwa sejarah manusia yang terus berubah. Jenis peran serta dalam peristiwa ini, menurut Smith adalah “proses” dan “partisipasi.” Proses pada hakikatnya dibentuk oleh interaksi dari para partisipan dalam peristiwa atau tradisi tertentu. Dalam pengertian ini Smith menggunakan istilah “tradisi” dengan makna atau intensi yang dinamis, sedangkan partisipasi yang dimaksudkan oleh Smith adalah aktivitas “berpartisipasi” dalam suatu tardisi keagamaan secara sadar, dan pada waktu yang sama, “memberi bentuk” pada proses tersebut, yang berdampak pada tradisi di dalam mana orang itu berpartisipasi. Dalam “keterlibatan ganda” (berpartisipasi dan memberi bentuk) pada suatu tradisi keagamaan, membuat proses ini menjadi suatu sejarah yang pasti, sebuah pemberian yang terbuka, dan sebuah masa depan yang diukir oleh mereka semua, karena setiap orang yang beragama, apa pun bentuk kesetiaan keberagamaannya, berpartisipasi secara aktif dalam proses tersebut. Oleh karena itu menjadi Muslim berarti berpartisipasi dalam proses Muslim atau Islam, sama halnya dengan menjadi Kristen berarti berpartisipasi dalam proses Kristen, menjadi Hindu dalam proses Hindu dan sebagainya. Partisipasi orang beragama dalam proses-proses ini terjadi di sepanjang waktu dalam berbagai konteks yang berbeda dan khusus. Konteks khusus itu bisa jadi, antara lain, dalam kompleks historis, geografis, kultural dan sosial tertentu.
            Partisipasi seorang yang beragama adalah berpartisipasi dengan “iman,” yakni kemampuan untuk melihat yang ilahi, sebagai suatu katagori keagamaan yang fundamental. Kemampuan untuk melihat Sang Ilahi itu dialami di dalam dunia ini. Dengan demikian, menjadi seorang Kristen sejati, misalnya, adalah berpartisipasi dengan iman dalam tradisi keagamaannya. Kualitas dan bobot partisipasi inilah yang dipertanyakan pada Parousia (Hari Penghakiman) apakah seseorang telah berpartisipasi secara tepat atau hanya sebagai Kristen nominal.
            Sebuah proses religius – Kristen – Islam  atau Hindu – telah dan terus berlangsung untuk menjadi suatu kompleks ilahi manusia. Kedua unsur dari proses tersebut, yaitu yang ilahi dan yang manusiawi, harus ditanggapi sungguh-sungguh. Kegagalan dalam melihat unsur manusiawi di mana saja adalah absurd, dan kegagalan melihat unsur ilahi di mana saja adalah bebal. Kegagalan melihat hubungan antara keduanya adalah hal yang kuno. Hubungan antara kedua unsur tersebut berbeda dari generasi ke generasi; berubah-ubah dari satu individu kepada individu yang lain, bahkan dari waktu ke waktu.
            Penjelasan tersebut akan mengarahkan perhatian kita kepada keterlibatan umat beragama dalam berbagai tradisi keagamaan umat manusia. Aspek lain yang menjelaskan tentang keterlibatan umat beragama adalah keberadaan suatu komunitas religi yang merupakan periode di mana mereka “berinteraksi dengan” atau “berpartisipasi dalam” proses sejarah yang terus berlangsung. Dengan kata lain,  kita dapat mengatakan bahwa orang yang beragama adalah seseorang yang hubungannya dengan Allah, sedang dibentuk melalui keterlibatannya dalam proses yang terus berjalan dari suatu komunitas religius. Melalui partisipasi dalam suatu tradisi keagamaan, menurut Smith, kita masing-masing berpartisipasi “dalam kehidupan Allah.” Berpartisipasi berarti memberikan sesuatu kepada orang lain apa yang dapat diberikannya, dan sekaligus menerima dari orang lain sesuatu untuk dirinya. Menjadi orang Kristen selalu berarti berpartisipasi dalam Gereja Kristen melalui seluruh kelebihan dan kekurangannya; menerima masa lampau dan masa kininya dan memberikan dukungan untuk masa depannya. Smith mengatakan :
Kami memilih untuk berpartisipasi dalam proses sejarah Kristen karena melaluinya kami menemukan Allah; lebih tegas lagi, karena melaluinya Allah menemukan kami. Karena sejarahnya telah berlangsung selama berabad-abad dan institusi-institusinya yang diwarisi dari masa lampau dan kini diteliti secara seksama, melalui citra-Nya, ajaran-ajaran-Nya yang sudah dan masih terus dikembangkan, kelemahan-kelemahannya, kekurangan-kekurangannya dan kekayaannya, dan melalui umat-Nya baik para orang kudus dan orang berdosa seperti halnya diri kita, Allah menemukan kita dan memanggil kita untuk melayani Dia dan dunia-Nya.

Partisipasi dalam tradisi orang lain
Menurut Smith, seorang yang beragama, juga dapat berpartisipasi dalam proses tradisi orang lain. Untuk mendukung pandangan ini, ia mengambil contoh Martin Buber, sebagai seorang cendekiawan Yahudi yang telah memainkan peran penting dalam pemikiran Kristen. Smith yakin, sulit bagi banyak orang untuk tidak melihat Martin Buber sebagai seorang tokoh penting dalam perkembangan teologi Kristen modern, misalnya melalui konsepnya yang terkenal “I and Thou.” Martin Buber, menurut Smith telah memberikan suatu kontribusi yang berharga bagi umat Kristen dalam pengembaraan teologisnya.
Dengan demikian berpartisipasi di dalam proses tradisi keagamaan lain, menunjukkan bahwa ada “kesaling-tergantungan yang produktif” di antara para partisipan dalam tradisi-tradisi keagamaan. Smith juga beranggapan bahwa para misionaris sebagai  kelompok orang yang telah berpartisipasi dalam tradisi-tradisi agama lain, entah dengan maksud baik atau tidak baik. Gerakan misionaris Kristen di Asia pada abad ke-19 sangat significan, bukan terutama dalam hubungan dengan sejarah Gereja Kristen di Asia, melainkan lebih pada peranan yang secara sadar atau tidak sadar dimainkan dalam perkembangan religius dunia non-Kristen, apa pun akibatnya.
Partisipasi dalam suatu tradisi keagamaan, menurut Smith dapat diwujudkan oleh semua peranan personal, baik dari perseorangan maupun kelompok-kelompok. Disamping itu, beberapa unsur dari berbagai tradisi keagamaan dapat juga memainkan peranan penting dalam partisipasi tersebut, misalnya melalui pengaruh bahasa, arsitektur dan cara berpakaian.  Dalam proses setiap tradisi, ada partisipasi dialektis (timbal balik). Sebagian dari tradisi Yahudi, misalnya digunakan dalam tradisi Kristen. Kemudian keduanya, digunakan dalam tradisi Islam. Hal ini seharusnya sama untuk semua agama di dunia, khususnya dalam era globalisasi sekarang ini.
Mengenai partisipasi dialektik (timbal balik) ini, menarik untuk melihat bahwa Smith tidak menggunakan kata “pengaruh” (influence). Smith tidak menggunakan istilah tersebut sejak ia mulai merenungkan secara lebih mendalam mengenai bagaimana sebenarnya sejarah berlangsung. Menurut Smith, kata “pengaruh” pada dasarnya bukan suatu konsep ilmiah maupun historis, melain sebuah konsep astrologis. Penggunaan istilah “pengaruh” dalam menggambarkan persoalan partisipasi timbal-balik di antara umat beragama dari berbagai tradisi keagamaan harus dihindari. Mengapa? Karena dalam mempengaruhi seseorang, kita mungkin tidak dapat membedakan antar sambutan yang hangat dan penolakan yang berapi-api. Boleh jadi kita dipengaruhi oleh mereka yang justru kita tolak, sama seperti kita dipengaruhi oleh orang-orang yang kita sambut dan terlibat bersama dalam tradisinya. Smith mengatakan :
Kata “pengaruh” pada hakikatnya agak merugikan : berbicara tentang pengaruh dari satu kelompok, satu tradisi dan khususnya satu “agama” terhadap yang lain sudah mengandung arti bahwa keduanya (yang mempengaruhi dan yang dipengaruhi) dalam pengertian tertentu terpisah, walaupun sebenarnya sama sekali tidak demikian. Pernyataan yang sudah sering dibuat, misalnya bahwa selama berabad-abad sebelum dan sesudah mulainya era agama Kristen, agama orang Yahudi dipengaruhi atau dimasuki oleh unsur-unsur kebudayaan Persia dan Mesopotamia (Hellenistik). Fakta-fakta tersebut mungkin lebih tepat diekspresikan dengan menyatakan bahwa perkembangan kehidupan religius suatu kelompok tertentu dari suatu bangsa di wilayah ini dapat dipahami tidak semata-mata dengan melihat perkembangan itu di dalam dirinya sendiri, melainkan jika dilihat di dalam konteks wilayah yang lebih luas, dalam mana sejarah, termasuk sejarah keagamaan adalah sejarah para partisipan.

Loyalitas Ganda
Partisipasi timbal balik di antara agama-agama dunia menjadi konteks kehidupan keberagaman saat ini. Agama Kristen dan sejarahnya, menurut Smith berpartisipasi di dalam dan memberi bentuk terhadap proses dari agama-agama dunia lain. Demikian juga sebaliknya, agama-agama lain juga berpartisipasi di dalam kehidupan agama Kristen. Dalam bentuk partisipasi seperti ini, seorang peneliti suatu tradisi keagamaan yang bukan komunitasnya tidak lagi bisa dianggap hanya sebagai orang luar (outsider) semata. Orang-orang luar dapat berpartisipasi dalam proses sebuah tradisi yang sedang berlangsung. Karena itu dalam konsep Smith mengenai partisipasi terdapat tuntutan akan perlunya “loyalitas ganda,” yaitu loyalitas terhadap tradisi sendiri sekaligus terhadap tradisi-tradisi lain. Hal ini berarti tidak ada alternatif lain bahwa umat Kristen harus berpartisipasi sebagai orang Kristen dalam sejarah religius umat manusia. Umat Muslim berpartisipasi sebagai orang Muslim, umat Yahudi berpartisipasi sebagai orang Yahudi, umat Hindu berpartisipasi sebagai orang Hindu, dan umat Buddhis berpartisipasi sebagai orang Buddhis dalam sejarah religius umat manusia. Konteks hubungan antar-agama ini merupakan realitas historis zaman kita. Konvergensi atau “pertemuan ke arah satu titik bersama” antara umat Kristen, Hindu, Buddhis serta Muslim, sedang terjadi secara aktual. Ini merupakan suatu perkembangan yang sangat menarik, yang pada akhirnya akan membawa setiap orang dan setiap kelompok berpartisipasi dalam sejarah keagamaan umat manusia, demikian kata Smith.
Konvergensi ini terjadi karena dorongan kesadaran diri dalam konteks iman orang beragama sebagai yang berproses dalam satu alur sejarah keagamaan yang sama, yang oleh Smith dicirikan sebagai sejarah keagamaan umat manusia yang utuh. Karena itu sama sekali tidak mungkin, bahkan aneh, jika loyalitas ganda dalam partisipasi itu diingkari, karena ia adalah fakta historis, terlebih lagi dalam perkembangan globalisasi yang berlangsung secara significan dalam era kita sekarang ini.
Konvergensi tersebut, kata Smith, dalam batas tertentu dapat saja menakutkan atau membingungkan, atau mungkin juga menggembirakan, namun kita harus berusaha untuk memahaminya. Salah satu usaha untuk memahami indikator utama dari mengenali kehidupan keberagaman umat manusia adalah memahami profil partisipasinya baik dalam tradisi keagamaan itu sendiri maupun dalam tradisi keberagaman sesama, disadari maupun tidak disadari. Mengapa demikian? Karena sejarah kehidupan keberagaman umat manusia yang di dalamnya setiap orang beragama berpartisipasi, terjadi dalam proses sejarah yang tunggal. Smith berbicara tentang dirinya sebagai berikut :
Saya adalah seorang Presbiterian; akan tetapi komunitas di mana saya berpartisipasi di dalamnya bukanlah Presbiterian, melainkan komunitas Kristen pada umumnya. Sebagai seorang Calvinis yang tradisinya telah termodifikasi pula dalam komunitas Kristen pada umumnya, saya dengan sadar berpartisipasi ke dalamnya. Dengan cara yang sama, saya memilih untuk berpartisipasi sebagai seorang Kristen dalam proses konvergensi keagamaan global.

Partisipasi dalam Sejarah Keselamatan
          Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, Smith menekankan kesatuan sejarah dari kehidupan keberagaman umat manusia. Penekanan ini menunjuk kepada arti bahwa semua agama dunia membentuk sebuah pertalian atau kesatuan, karena semua agama dunia berpartisipasi dalam sebuah proses bersama. Namun kita tidak dapat mencampuradukkan kesatuan historis (historical unity) agama-agama dunia dengan gagasan kesatuan (oneness) agama-agama dunia, yang berusaha mempersatukan semua agama ke dalam satu sistem keagamaan tertentu. Smith menegaskan bahwa unity (kesatuan) yang ia maksudkan adalah koherensi (pertalian). Semua agama dunia bertemu dalam satu proses historis, dan Smith menggambarkan proses konvergensi religius ini dengan menggunakan analog sebuah sungai dengan anak-anak sungainya. Agama-agama dapat digambarkan sebagai sungai-sungai di mana banyak cabang atau anak-anak sungai mengalir. Lalu ada beberapa tempat tertentu yang berfungsi sebagai titik pertemuan dari anak-anak sungai tersebut; kemudian mereka harus terus mengalir lagi secara terpisah. Sebagaimana sebuah sungai dan anak-anak sungainya, proses mengalir agama-agama memiliki karakter yang bergerak, yang bergantung pada keadaan dan kompleksitas anak-anak sungai yang berpartisipasi di dalamnya. Jadi semua agama dunia membentuk suatu koherensi (pertalian) atau suatu konvergensi yang mempersatukan (a uniting convergence).
Usaha untuk berbicara tentang agama-agama, kata Smith,  harus dimulai dengan pembicaraan mengenai unitas atau koherensi sejarah keberagaman umat manusia. Unitas ini merupakan sebuah fakta historis dan sebuah kebenaran teologis, karena itu mereka yang percaya pada kesatuan umat manusia dan percaya pada keesaan Allah, harus dipersiapkan untuk menemukan unitas sejarah keagamaan umat manusia. Menurut Smith, karakter unitas sejarah keagamaan manusia dapat terpahami dengan baik dalam konteks sejarah keselamatan yang diprakarsai Allah dan yang diekspresikan dalam sejarah manusia, termasuk dalam sejarah semua agama manusia. Berbicara sebagai seorang Kristen, Smith mengatakan :
Salah satu hal yang telah saya pelajari dari warisan Kristen saya adalah bahwa bagian dari kebenaran Kristen, dan yang saya maksud adalah bagian dari kebenaran azasi yang universal, adalah bahwa seluruh umat manusia pada dasarnya merupakan satu komunitas. Merupakan suatu kegembiraan bagi saya untuk menemukan bahwa hal ini juga adalah bagian dari kebenaran Islam, bagian dari kebenaran Hindu dan bagian dari kebenaran Buddha. Salah satu tugas yang terbuka bagi kita dewasa ini dan yang memberi isyarat kepada kita adalah berpartisipasi dalam proses kreatif Allah yang sedang menjadikan realitas aktual yang sampai sekarang menjadi realitas ideal belaka, yaitu komunitas umat manusia yang meliputi seluruh dunia.

Ketika kita berbicara tentang keselamatan manusia, tegas Smith, maka kita sedang berbicara mengenai keselamatan seluruh sejarah umat manusia. Allah menyatakan tindakan penyelamatan-Nya dalam seluruh sejarah umat manusia. Di dalam proses sejarah seperti inilah terjadi partisipasi umat manusia melalui kehidupan iman dan tradisi religiusnya. Ini berarti tidak ada komunitas religius yang sejarahnya tidak terhisab ke dalam sejarah keselamatan ini. Tidak ada komunitas religius yang dapat dianggap sebagai yang berada di jalur pinggiran sejarah keselamatan, dan tidak ada partisipasi komunitas religius yang dapat dianggap tidak sah dalam proses sejarah keselamatan. Menurut Smith :
Seluruh sejarah manusia adalah Heilsgeschichte (sejarah keselamatan). Bukan hanya sejarah Israel, yang lama atau yang baru, melainkan sejarah dari setiap komunitas religius. Hal ini selalu demikian, namun kita adalah generasi umat Kristen pertama, yang perlu melihat hal ini secara sungguh-sungguh dan bersama-sama ... Kita adalah generasi pertama umat Kristen yang harus mencermati misi Allah bagi manusia dalam gerakan Buddhis, dalam Hindu, dalam Islam, juga dalam agama Yahudi dan Kristen. Setelah mencermatinya, kita jangan sampai gagal memberikan respons.

Iman personal dan tradisi kumulatif
            Seperti yang dikemukakan sebelumnya, Smith menganggap istilah “agama” tidak pantas lagi digunakan untuk memahami proses historis secara tepat dalam kehidupan keberagaman umat manusia. Menurut Smith, istilah  “agama” seharusnya dihapus saja dalam wacana ilmiah. Sebagai gantinya, Smith mengusulkan dua konsep alternatif yang dapat dipakai sebagai konsep dasar kegiatan bidang studi agama-agama : iman dan tradisi kumulatif. Garis yang menghubungkan keduanya adalah pribadi yang hidup (the living person). Hal ini berarti, kedua konsep ini hanya dapat dielaborasi dengan tepat sepanjang kedua konsep dasar itu memiliki relasi faktual dengan manusia secara personal dalam komunitas religius yang juga faktual, dan bukan dikaitkan dengan sebuah ide tentang manusia dan masyarakat pada umumnya. Dengan menguraikan kedua konsep ini, Smith menggambarkan tugas studi agama-agama. Ia mengatakan bahwa dengan menggunakan kedua konsep tersebut, maka kita dimungkinkan untuk memahami dan menggambarkan apa saja yang pernah terjadi dalam sejarah kehidupan keberagaman umat manusia, dalam komunitas keagamaan kita sendiri atau dalam komunitas keberagaman orang lain.

Iman dan tradisi : dua komponen dasar kehidupan religius
            Menurut Smith, iman menunjuk pada relasi antara manusia dengan Allah, antara manusia sebagai realitas kodrati dengan Allah sebagai realitas adikodrati yang transenden, yang dalam bahasa global Smith disebut Sang Realitas Utama (The Ultimate Reality). Iman dalam pengertian relasi itu diekspresikan dalam dan diberi bentuk oleh banyak ragam tradisi religius di dalam satu komunitas religius tertentu, yang gema relasinya itu akan berdampak pada komunitas-komunitas lain. Karena iman itu diekspresikan di dalam komunitas, maka dengan sendirinya akan terjadi interaksi dinamis dengan apa yang ada di dalam komunitas dan sekaligus diberi corak dan warna oleh komunitas. Selanjutnya, iman berkorelasi pada dimensi-dimensi eksistensial dan eksperiensial kehidupan religius. Iman adalah “suatu kemampuan untuk melihat yang ilahi,” dan pada saat yang sama, iman adalah “suatu cara pandang terhadap dunia.” Mengenai kemampuan dan cara pandang ini, Smith menjelaskan lebih lanjut :
Merupakan kemampuan seseorang untuk melihat kecantikan dari apa yang cantik; melihat perbedaan antara keadilan dan ketidakadilan; melihat pentingnya kebenaran yang menakjubkan; melihat tujuan dari pemberian segelas air dingin yang dilakukan dengan kasih; atau melihat maksud seseorang yang mati di atas salib. Bila kita melihat apa yang dinanti untuk dilihat dalam kehidupan di dunia kita yang aneh ini, tentu saja jangan menanti di permukaan saja, tetapi masuklah ke dalamnya, dan semakin dalam lagi, maka kita akan memiliki iman. Bila kita melihat, walaupun sedikit, kita segera akan menemukan semakin banyak. Jika kita tidak melihat, jika kita sama sekali tidak melihat sesuatu dibalik permukaannya, maka itu justru merupakan tragedi kehidupan yang dasyat, dan itu berarti kita tidak memiliki iman.

Definisi Smith yang lainnya tentang iman, antara lain iman adalah partisipasi manusia dalam kepedulian Allah terhadap manusia. Iman merupakan partisipasi atau penyertaan diri (engagement) atau pelibatan diri (envolvement) seseorang ke dalam kehidupan dan kepedulian Sang Ilahi (dengan Allah dan dengan Kristus serta sakramen) dan dengan norma-norma moral dan dengan komunitas.Dengan  demikian, berbicara tentang iman personal, menurut Smith, adalah berbicara mengenai kesadaran dari seorang yang beragama atas keterlibatannya dalam suatu hubungan kreatif dengan yang transenden dan yang ilahi. Kesadaran itu merupakan suatu momen yang subyektif, yang melaluinya seseorang yang beragama mengejar sesuatu (seseorang) yang lain. Oleh karena itu “terlampau mendalam, terlampau personal dan terlampau ilahi untuk eksposisi publik.” Di lain pihak, iman bukanlah sesuatu yang lahiriah. Iman bukanlah sesuatu yang dapat disentuh atau suatu aspek keagamaan yang dapat diuji atau dievaluasi dengan sistem berpikir kita. Iman adalah kualitas ajektifal kehidupan seseorang dalam kaitannya dengan yang transenden.
Komponen lain dari kehidupan religius adalah tradisi kumulatif. Yang dimaksudkan Smith dengan tradisi kumulatif adalah :
Segala sesuatu menyangkut data obyektif yang jelas dan yang membentuk  kandungan historis ... dari kehidupan keberagaman umat di masa lampau : kuil, kitab suci, sistem teologi, bentuk tarian, institusi hukum dan sosial lainnya, konvensi, kode moral, mitos, dan sebagainya; segala sesuatu yang dapat dialihkan dari satu orang, satu generasi, kepada orang atau generasi lainnya, dan yang dapat diamati oleh seorang sejahrawan.

Dengan menggambarkan tradisi religius sebagai sesuatu yang bersifat kumulatif, Smith ingin menegaskan sifat dinamis dari tradisi tersebut. Tradisi-tradisi kehidupan religius bukanlah sistem-sistem yang stagnan atau mandeg. Tradisi-tradisi itu terus berubah sepanjang sejarah umat manusia.
Apakah implikasinya dari rekonseptualisasi atau pembedaan agama ke dalam iman dan tradisi ketika Smith mengatakan bahwa keseluruhan realitas dari keberagaman umat manusia dapat secara tepat dijelaskan dengan kedua pengertian ini? John Hick membuat ringkasan dari beberapa pokok implikasi dari rekonseptualisasi tersebut sebagai berikut :
(1) Untuk membebaskan kita dari pengertian mengenai agama-agama sebagai entitas-entitas sosio-teologis yang saling bertentangan, yang juga berarti membebaskan kita dari pertanyaan tak berguna, “Dari semuanya, mana agama yang benar?” (2) Untuk mengidentifikasi hal-hal religius yang penting dan sekaligus problematik secara filosofis, mengenai tempat iman dan pengalaman personal batiniah; (3) Untuk bebas mempelajari tradisi-tradisi kumulatif dari berbagai ilusi monolitis, sehingga membiarkan berbagai variasi tampil secara detail, bukan hanya di antara tradisi-tradisi, tetapi juga di dalam setiap tradisi.

Dengan demikian menjadi jelas, bahwa bagi Smith, agama-agama sebagai tradisi kumulatif harus dilihat sebagai proses yang terus berubah. Semua institusi keagamaan, doktrin-doktrin dan upacara-upacara berada dalam kondisi bergerak. Kelangsungan hidup suatu tradisi terjadi dalam kehidupan komunitasnya, dan kelangsungan hidup komunitasnya ditentukan oleh anggota-anggotanya yang selalu berubah dari generasi ke generasi. Oleh karena itu, makna suatu tradisi bagi orang-orang beragama (bahkan beberapa unsur yang kelihatannya relatif stabil) juga berubah dari generasi ke generasi. Namun ini tidak berarti bahwa tidak ada tema-tema sentral yang telah berlangsung sepanjang sejarah suatu tradisi keagamaan. Tetapi berbagai tuntutan tema sentral sebuah tradisi, seperti ajaran cinta kasih dalam agama Kristen, perlu diinterpretasikan kembali dalam setiap zaman. Sebuah tema yang telah sangat dikenal dan menjadi keyakinan pada suatu fase atau zaman yang cukup lama, bahkan telah menjadi begitu sentral dalam kelangsungan hidup suatu tradisi, seperti eksklusivitas agama Kristen, mungkin saja bisa berakhir.Oleh  karena itu, tradisi kumulatif sangat terbuka untuk dirumuskan secara baru di masa depan.
Tradisi kumulatif terletak seluruhnya dalam dunia yang tidak kekal dan sepenuhnya terbuka bagi observasi historis. Akan tetapi hal ini sangat berbeda apabila mengatakan bahwa seluruh sejarah dan hakikat sebuah agama terletak dalam ruang lingkup ini, sehingga sebuah agama dapat disamakan dengan karier duniawinya yang dapat dilihat. Dari posisi yang dianjurkan di sini, seseorang dapat bersikeras bahwa tradisi-tradisi duniawi hanya berlangsung selama disegarkan kembali, setiap generasi diperbarui, oleh iman dari setiap partisipan; dan bahwa iman ini, karena bersifat personal, tidak terkungkung pada apa yang ada dalam sejarah.

Dengan demikian tradisi kumulatif seluruhnya bersifat historis, namun sejarah bukanlah suatu sistem yang tertutup, karena sebagai agen yang di dalamnya terdapat manusia, dalam tingkat tertentu, rohnya terbuka bagi yang transenden.

Syarat-syarat mempelajari agama
Dengan menggunakan kedua komponen tersebut, Smith berupaya memperjelas perbedaan posisi antara pengamat dari luar dengan komunitas dari suatu tradisi keagamaan. Menurut Smith, realitas sebuah tradisi keagamaan, dapat dilihat sebagai suatu proses historis, yang dipengaruhi baik oleh pengamat – yang sengaja berpartisipasi di dalamnya – maupun oleh komunitasnya sendiri. Oleh karena itu, sebuah tradisi keagamaan terbuka untuk diamati oleh mereka yang beriman dalam tradisi itu maupun oleh “para pengamat” yang tidak terlibat di dalamnya (non-engaged observer). Di lain pihak, karena sifatnya yang personal, iman hanya dapat didekati oleh para pengamat sejauh itu diekspresikan oleh orang-orang yang memiliki iman tersebut. Smith berpandangan bahwa seorang pengamat tidak dapat mensistematisasikan iman sesamanya. Karena itu yang harus dilakukan adalah bukan memahami hakikat iman personal, tetapi peranan iman dalam sejarah keagamaan umat manusia. Para pengamat jangan melihat iman seseorang, tetapi mengamat-amati ekspresi-ekspresi tentangnya dalam berbagai bentuk. Menurut Smith, “iman telah dinyatakan – secara lebih historis : iman telah diekspresikan, dapat diamati – dalam kata-kata, secara prosa maupun puisi; dalam tingkah laku, ritual maupun moralitas, dalam kesenian, institusi-institusi, hukum, komunitas, karakter, dan dalam banyak cara lagi.”
Jadi, iman sebagai suatu kualitas personal dapat dilihat dalam berbagai macam ekspresi. Akan tetapi hal itu tidak berarti bahwa seorang pengamat dapat mempelajari ekspresi-ekspresi iman tersebut tanpa memperhitungkan posisi mereka yang memiliki iman tersebut. Keabsahan mempelajari berbagai ekspresi iman yang personal – atau suatu agama – harus juga diakui dan diterima oleh komunitas iman tersebut. Dalam esainya Comparative Religion : Wither – and Why? Smith merumuskan syarat-syarat penting untuk studi agama-agama atau perbandingan agama :
adalah merupakan urusan ilmu perbandingan agama untuk membuat berbagai pernyataan mengenai agama yang dapat dipahami, setidaknya di dalam dua tradisi sekaligus. Hal ini penting secara intelektual dan mendesak secara historis.

Dengan demikian bagi Smith, meneliti dan mempelajari agama atau berbagai ekspresi iman pribadi sebagaimana diwujudkan dalam tradisi kumulatif, hanya akan berlangsung dengan cara kerjasama di antara para anggota berbagai tradisi keagamaan dan komunitas iman. Hal itu penting bagi keabsahan dan obyektivitas pengetahuan tentang diri kita dan tentang sesama kita.

Kesadaran diri
            Sehubungan dengan gagasannya mengenai kehidupan keberagaman sebagai partisipasi dalam proses, Smith menggambarkan cara umat beriman berpartisipasi di dalamnya sebagai “kesadaran diri.” Yang dimaksud adalah kesadaran akan hakikat agama yang terus berubah, yang berhubungan dengan perkembangan sejarah umat manusia. Hal ini mempertegas keyakinannya, bahwa perkembangan setiap agama terjadi dalam proses sejarah manusia yang global dan satu. Smith menekankan integritas dan hubungan dari kesadaran diri kita mengenai realitas sebagai manusia, yaitu realitas kemajemukan keagamaan, proses agama-agama yang berkelanjutan dan kesatuan sejarah umat manusia. Oleh karena itu, untuk memperoleh pengetahuan tentang suatu agama juga menuntut pengetahuan tentang kehidupan historis dari orang-orang atau sekelompok orang yang hidup dalam tradisi tertentu. Mengapa? Karena iman adalah menyangkut makna sebuah tradisi bagi umat beragama dan lokus iman adalah pribadi-pribadi.” Dengan demikian terbuka kemungkinan bagi orang luar untuk mengetahui iman tersebut dengan jalan memahaminya sebagai “seseorang yang menemukan dirinya sebagai yang dilibatkan dalam reorientasi tentang pemahamannya sendiri.” Apabila seseorang mempelajari agama atau “iman” sesamanya, ia harus melakukannya sesuai dengan posisinya sebagai “partisipan” dalam hubungannya dengan kehidupan keberagaman sesamanya, meskipun sebagai orang luar. Di lain pihak, dalam batas tertentu, sesamanya juga perlu memahami apa yang dimengerti si pengamat tersebut.
            Dalam pengertian inilah Smith berbicara tentang “kesadaran diri kritis bersama” (corporate critical self-consciousness). Pengetahuan tentang agama-agama dunia mengindikasikan suatu studi tentang konvergensi masalah-masalah kemanusiaan. Hal itu merupakan suatu studi tentang manusia oleh manusia atau pengetahuan humanis (humane knowledge), yang harus dilakukan dalam hubungan dengan kesadaran diri bersama secara kritis, komprehensif dan global. Karena itu ketika kita hendak mengenal iman atau agama sesama atau tetangga kita, hal itu harus “didasarkan pada” dan “dicirikan oleh” kesadaran bahwa seluruh umat manusia adalah satu komunitas. Dengan kata lain, kita baru dapat mengenal iman itu hanya jika kita bergerak menuju  komunitasnya. Melalui cara baru dalam mempelajari kehidupan keberagaman umat manusia tersebut, Smith menekankan perlunya suatu metodologi yang cocok bagi para pengamat luar maupun para partisipan. Karena kebenaran bagi kita semua adalah bagian dari kebenaran masing-masing kita.
          Kesadaran diri kritis bersama ini dapat membantu para pemikir keagamaan dan para intelektual menghadapi persoalan kemajemukan yang menjadi masalah utama berbagai agama dunia. Smith yakin bahwa cara berpikir atau sikap seperti ini merupakan cara yang cocok untuk memperluas visi seseorang mengenai kebenaran tanpa kehilangan ketaatan pada keyakinannya sendiri, bagaimanapun terbatasnya. Mengenai cara berpikir atau sikap kesadaran diri kritis bersama ini , Smith berkata :
... kesadaran diri yang kritis, rasional, induktif yang melaluinya sebuah komunitas dari sejumlah orang – setidaknya terdiri dari dua orang, yang satu sedang dipelajari dan yang lain sedang mempelajari, namun idealnya oleh semua ras manusia – menyadari akan suatu kondisi atau aksi kemanusiaan khusus yang ditemukan sebagai suatu keadaan atau tindakan tentang diorinya sebagai suatu komunitas. Namun kesadaran itu hanya sebagian, bukan keseluruhan tentang dirinya sebagai suatu komunitas; dan menyadarinya sebagaimana dialami dan dipahami secara serentak, baik secara subyektif (pribadi eksistensial) maupun secara obyektif (eksternal, kritis, analitis; yang biasanya disebut secara ilmiah).

Interelasi iman dan tradisi
            Apa hubungan antara iman personal dan tradisi kumulatif? Atau, bagaimanakah keduanya dapat saling “mengambil dari dan memberi kepada”? Apakah kita beranggapan bahwa bidang yang menyangkut iman personal itu bersifat transenden dan yang menyangkut tradisi kumulatif itu bersifat imanen atau duniawi? Bagaimanakah Smith menjelaskan hubungan antara “iman personal” dan “tradisi kumulatif” tersebut?
            Seperti yang telah kita lihat, tradisi itu beragam dan kumulatif. Tradisi merupakan konteks umat beragama, konteks setiap orang beriman; tetapi tradisi tidak memberikan definisi tentang iman. Seorang yang beriman menghadapi realitas yang bersifat duniawi dalam hubungannya dengan suatu dimensi ilahi atau transenden; itulah iman. Penting untuk kita catat, bahwa Smith tidak pernah berbicara tentang iman dalam bentuk plural. Bagi Smith, iman adalah “kualitas manusia global.” Iman merupakan suatu orientasi personalitas terhadap diri seseorang, terhadap sesamanya, terhadap alam semesta. Iman adalah suatu respons yang total; suatu cara memandang dan menangani dunia. Iman juga merupakan suatu kemampuan untuk hidup dalam tingkatan yang melebihi yang duniawi. Iman merupakan suatu kemampuan untuk melihat, merasa, bertindak sesuai dengan dimensi transenden. Sementara tradisi kumulatif menunjuk kepada kerangka-kerangka kerja sosial budaya yang di dalamnya umat beragama dapat bertumbuh dengan leluasa dan terbuka. Menurut Smith, iman dipelihara dan diberi bentuk oleh tradisi, dibentuk dan dalam pengertian lain ditopang oleh tradisi, akan tetapi iman mendahului dan melampaui tradisi, dan pada gilirannya menopangnya.
            Dengan demikian, iman harus sesuai dengan wajah tradisi keagamaan yang senantiasa berubah. Tradisi kumulatif dari suatu agama, dengan wajah seperti itu bersifat fleksibel atau tidak final, baik isinya maupun bentuknya. Tradisi kumulatif sebagai suatu konsep tidak diberikan oleh dunia, melainkan merupakan kontruksi manusia yang dipakai untuk mengatur hal-ihwal di dalam sejarah keberagamannya. Tradisi kumulatif merupakan suatu alat yang dengannya pikiran manusia secara optimal dapat menjelaskan tentang perubahan yang terus-menerus dari sejarah manusia atau bagian tertentu darinya. Tradisi kumulatif menunjuk pada sesuatu yang jelas dan secara empiris dapat diketahui, meskipun bukan suatu entitas indenpenden yang koheren secara intrinsik ataupun mandiri. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sama sekali tidak benar bila kita mendikotomikan agama dengan membaginya menjadi dua bagian : iman dan tradisi kumulatif.

Iman : titik berangkat bagi teologi interreligius
            Berdasarkan  uraian Smith mengenai konsep iman, menjadi jelas bahwa iman personal membentuk kualitas yang sangat penting dalam hubungan antar agama-agama dunia. Iman merupakan “elemen orisinal” dan sekaligus “faktor kreatif” tradisi-tradisi kumulatif. Iman merupakan tempat yang sebenarnya bagi kebenaran keagamaan, dan karenanya juga merupakan “komponen pemersatu” di antara seluruh umat dari berbagai tradisi keagamaan yang berbeda.

Teologi Tunggal
            Dengan cara memandang keberagaman tradisi keagamaan seperti itu, Smith berupaya mendobrak konsepsi yang keliru tentang berbagai klaim kebenaran di antara agama-agama di dunia. Keberagaman, menurut Smith, merupakan manifestasi dari satu kualitas manusia yang global, yakni iman. Dengan iman, umat beragama mengamati dan memahami dunia. Karena itu memahami iman sebagai aspek sentral dari kehidupan keberagaman umat manusia, yang memungkinkan mereka berpartisipasi dalam kehidupan Allah, sebagai bagian dari seluruh sejarah keselamatan (Heilsgeschichte) umat manusia. Smith menegaskan :
Iman adalah partisipasi manusia dalam Heilsgeschichte. Iman sebagai karakteristik manusia yang bersifat global, merupakan ... pelibatan diri manusia yang responsif dalam aktivitas Allah, sehubungan dengan kepedulian-Nya terhadap umat manusia : yakni  aktivitas yang terus berlangsung dan beraneka ragam.

            Pemahaman baru tentang iman ini merupakan fondasi yang penting bagi gagasan atau konsep Smith tentang “teologi dunia,” yakni sebuah teologi yang sungguh-sungguh memperhitungkan kesatuan historis dari kehidupan keberagaman umat manusia, yakni teologi yang tunggal. Dalam bukunya Toward a World Theology, Smith menegaskan, bahwa “kesatuan sejarah keagamaan umat manusia adalah jelas, yang dapat dilihat oleh seseorang. Akan tetapi, kita telah dilatih secara baik untuk tidak melihatnya. Bahkan lebih tegas, kita telah ditekan untuk tidak memikirkannya dan tidak merasakannya. Akan tetapi, sekarang hal itu justru mengusik pikiran kita.” 
Muncul pertanyaan, bagaimana Smith sampai kepada gagasan ini? Apakah ia bermaksud bahwa semua agama adalah sama, dan karena itu hanya ada satu teologi yang pantas untuk semua agama? Jika Smith mengakui kemajemukan keagamaan umat manusia, dan bahwa manifestasi iman itu berbeda-beda, lalu bagaimana ia bisa mempromosikan teologi yang tunggal? Untuk memperoleh pemahaman yang jelas mengenai maksud Smith dengan teologi dunia yang tunggal, kita harus berusaha memahami gagasannya tentang kesatuan umat manusia sebagaimana dikembangkannya secara konsisten, baik historis, intelektual maupun teologis.
Menurut Smith, teologi berbicara mengenai kebenaran Allah sebagai Realitas Tertinggi. Bagaimana manusia dapat berbicara tentang Allah yang melampaui pikiran dan kemampuannya? Jawaban atas pertanyaan ini kita jumpai dalam gagasan Smith tentang penyataan (wahyu). Penyataan, kata Smith, adalah suatu peristiwa historis dari suatu proses sejarah umat manusia yangberkelanjutan. Penyataan selalu merupakan pengungkapan tentang “sesuatu” kepada “seseorang.” Dalam pengertian ini, Smith memahami bahwa Allah tidak menyatakan diri-Nya dalam Yesus Kristus atau Qur’an sekali dan untuk selama-lamanya. Penyataan adalah peristiwa yang terjadi setiap hari dan terjadi pada setiap orang. Penyataan atau wahyu tidak sama dengan Dia yang menyatakan atau yang mewahyukan Diri-Nya. Sarana-sarana penyataan terdapat dalam sejarah kita, namun Dia yang menyatakan kehendak-Nya melampaui sejarah kita. Untuk memperoleh pengetahuan yang benar tentang apa yang telah dinyatakan Allah dalam sejarah, kita harus memahami seluruh sejarah umat manusia sebagai entitas yang utuh. Seluruh sejarah kehidupan keberagaman manusia membentuk suatu arena aktivitas Allah dalam kepedulian-Nya terhadap umat manusia. Oleh karena itu Smith mengklaim bahwa sejarah dari semua agama adalah satu basis teologi. Berbicara secara benar tentang Allah (berteologi) berarti menafsirkan secara tepat sejarah kehidupan keberagaman manusia di atas bumi ini.
Menurut Smith, ada tiga argumentasi untuk menjelaskan hal tersebut. Pertama, sejarah tentang satu agama – Islam atau Kristen – adalah sebagian dari sejarah kehidupan keberagaman umat manusia, suatu bagian dari sejarah keagamaan. Smith memasukkan sejarah Gereja Kristen dan sejarah pemikiran Kristen dalam sejarah keagamaan. Sejarah Kristen adalah sektor Kristen dalam sejarah dunia agama-agama. Kedua, apabila kita memiliki pengetahuan yang lebih lengkap tentang sejarah kehidupan keberagaman umat manusia secara keseluruhan, maka kita dapat mengetahui lebih lengkap tentang Allah dan kehendak-Nya yang dinyatakan dalam sejarah umat manusia. Sejarah menunjukkan bahwa sebagai manusia, kita mampu merumuskan teori-teori, mampu menggunakan hal-hal yang bermanfaat, serta mampu memposisikan diri di atas konsep-konsep. Ketiga, apabila Allah menyatakan kehendak-Nya dalam sejarah, maka tidaklah tepat untuk membedakan sejarah dan penyataan. Penyataan, menurut Smith, adalah persoalan historis dan lebih khusus, merupakan persoalan ‘sejarah keagamaan.’

Menggagas sebuah teologi untuk semua
            Dari pandangan Smith di atas, kita dapat memahami gagasannya, bahwa tugas kita dewasa ini berkaitan dengan realitas kemajemukan keagamaan adalah mencapai sebuah “teologi tentang sejarah iman kita sebagai umat manusia.” Dengan menyebutnya sebagai tugas “kita,” Smith mau menunjukkan bahwa berteologi dalam kemajemukan tradisi keagamaan manusia merupakan suatu usaha bersama. Jadi teologi yang hendak diusahakan adalah “sebuah teologi dunia” mengenai agama yang tunggal dan bukan sebuah teologi agama-agama. Mengapa? Menurut Smith, istilah teologi agama-agama merujuk kepada suatu usaha teologi yang menyangkut agama-agama atau iman orang lain, yang didasarkan pada sudut pandang satu agama atau iman saja. Iman tidak dapat direfleksikan sebagai sebuah obyek dari luar. Hal itu berarti iman tidak bisa dijadikan obyek studi teologis oleh orang luar. Iman hanya dapat dijadikan obyek berteologi dari dalam. Karena itu sebuah teologi Kristen tentang agama-agama, yang kemudian menjadi sebuah teologi Kristen tentang iman orang lain hampir menjadi istilah-istilah yang kontradiktif.  Pada dasarnya hal tersebut, menurut Smith, merupakan suatu konsep yang tidak sesuai, dan bahkan tidak rasional, karena konsep ini menempatkan umat beragama lain sebagai “yang lain” Smith menegaskan :
"Suatu perbandingan agama adalah proses ... di mana kita sebagai umat manusia belajar, melalui analisa kritis, penelitian empiris dan wacana kolaboratif untuk mengkonseptualisasikan suatu dunia di mana beberapa dari kita adalah orang Kristen, beberapa lagi adalah orang Islam, orang Hindu, Yahudi; dan kita semua adalah orang-orang yang rasional, yang saling mengenal satu sama lain sebagai makhluk."

Karena itu, apa yang dapat dan harus kita usahakan untuk dilakukan adalah memiliki sebuah teologi di mana agama-agama menjadi subyek dan bukan obyek. Maksudnya, sebuah teologi yang bersumber dari semua agama di dunia. Sebuah teologi yang muncul dari “semua komunitas keagamaan di dunia atau semua sub-komunitas keagamaan dari komunitas manusia di dunia.” Dengan memahami teologi sebagai suatu intelektualisasi kritis tentang sejarah dan sebagai intelektualisasi kritis bagi iman, maka yang ingin dibangun oleh Smith adalah “sebuah teologi yang akan menginterpretasikan sejarah dengan cara sedemikian rupa, sehingga memberikan ekspresi intelektual bagi iman kita, iman dari kita semua, dan bagi persepsi modern kita tentang dunia.”

Hubungan antara Muslim dan Kristen : “iman” mempertemukan, “kepercayaan” membedakan
Perbedaan antara iman dan kepercayaan
            Smith adalah orang pertama yang mengajukan hasil penelitiannya tentang perbedaan antara “iman” dan “kepercayaan.”  Penyelidikan Smith menunjukkan bahwa “iman” yang menjadi katagori religius sentral dalam semua agama, bukan “kepercayaan.” Menurut Smith, “iman adalah sebuah kebajikan dan kepercayaan bukanlah kebajikan.” Imanlah yang mengarahkan terjadinya suatu relasi personal dengan Allah, sementara kepercayaan berasal dari iman, sebagai ekspresi intelektual dari iman. Smith menegaskan, bahwa “percaya kepada Tuhan” tidak memiliki makna yang sama dengan “beriman kepada Tuhan.”
            Dengan menyadari adanya perbedaan antara iman dan kepercayaan, maka kesempatan untuk memahami konvergensi dan divergensi antara menjadi seorang Muslim dan menjadi seorang Kristen, lebih terbuka dan bermakna. Untuk memperjelas maksudnya, Smith menggambarkan perbedaan antara iman dan kepercayaan dalam tiga cara., obyek iman biasanya adalah seorang pribadi (person), sedangkan obyek kepercayaan adalah sebuah gagasan atau teori. Jadi, iman kepada Allah menunjuk pada pengertian “penyerahan diri (surrender) kepada Allah, mempercayakan diri (trust) kepada-Nya, dan menjalin hubungan (engagement) dengan Allah. Iman merupakan suatu respon yang total, personal dan positif kepada Allah dan juga relasi yang total, personal dan positif dengan-Nya.  Sedangkan “kepercayaan (belief) kepada Allah” menunjuk pada pengertian : mempunyai suatu ide atau keyakinan bahwa “Allah itu ada.” Kepercayaan menandakan bahwa seseorang yang percaya itu memiliki opini tentang siapa Allah yang sebenarnya, dan bahwa ada konsekuensi-konsekuensi tertentu terhadap opini yang dimilikinya.
            Kedua, tindakan iman biasanya dipandang sebagai sebuah keputusan yang diambil dalam bentuk komitmen pribadi yang bersifat kosmik. Tindakan iman itu meningkatkan kesadaran diri, sedangkan hal percaya adalah suatu kondisi yang bersifat deskriptif, jika tidak pasif, dalam bentuk formula yang asumtif. Ketiga, perbedaannya tampak pula dalam suasana batin (mood) keduanya. Suasana batin iman biasanya mencakup relasi seseorang dengan hal-hal yang bersifat absolut, dengan realitas-realitas yang melampaui keagungan dan kepastian yang bersifat duniawi. Sedangkan, suasana batin kepercayaan, membawa relasi seseorang kepada hal-hal yang tidak pasti, kepada hal-hal yang keabsahannya secara eksplisit dapat dipertanyakan.
            Kemudian dengan menggunakan klarifikasi kategorial Smith menegaskan perbedaan di antara keduanya, yaitu bahwa “iman” merupakan “kata sifat,” sedangkan kepercayaan adalah “kata benda.” Perbedaan katagori dari kedua jenis kata ini memberikan kejelasan kepada kita pengertian iman yang dimaksudkan oleh Smith untuk melihat relasi Muslim-Kristen sebagai relasi yang konvergentif. Selanjutnya, dengan pengertian kepercayaan, kedua umat ini memiliki perbedaan-perbedaan lahiriah, sehingga dengan kepercayaannya masing-masing relasi keduanya menjadi divergentif. Perbedaan dari keduanya tampak dalam pernyataan Smith sebagai berikut :
Kata benda bersifat menyenangkan, kata sifat menuntut. Kata benda bersifat statis dan kata sifat dinamis. Kata benda menegaskan, kata sifat mengakui. Kata benda bersifat manusiawi, kata sifat bersuasana ilahi, kata benda bersifat formal, duniawi, yang menunjukkan keanggotaan dalam suatu komunitas historis sebagai kenyataan eksternal, sementara kata sifat berhubungan dengan isi, dengan sebuah hubungan antara manusia dengan surga, yang menunjukkan sikap dan orientasi internal.

Sebagai kesimpulan, Smith memahami istilah iman sebagai bahasa global yang menunjuk kepada kualitas koheren kehidupan religius umat manusia. Iman menunjuk pada aspek dinamis dari agama dalam proses sejarah kehidupan religius umat manusia. Sedangkan kepercayaan, sebagai ekspresi iman, meliputi semua manifestasi iman ke dalam suatu sistem atau institusi yakni sistem atau institusi religius.

Muslim dan Kristen : sebuah unitas ajektifal
            Berbicara tentang relasi Muslim-Kristen, Smith menyarankan kita perlu memberi perhatian lebih banyak terhadap persoalan religius yang utama. Katagori keagamaan yang final atau yang paling utama, sebagaimana digambarkan oleh Qur’an dan yang telah dinyatakan oleh Gereja, adalah katagori iman, katagori respons, yaitu katagori yang memiliki kualitas ajektif. Dengan demikian aspek terpenting dalam pembicaraan tentang hubungan Muslim-Kristen adalah kualitas ajektifal dari kehidupan keberagamannya, yakni iman kedua komunitas ini.
            Smith menekankan bahwa unitas atau kesatuan umat Kristen dan Muslim terletak pada kualitas ejektifal mereka (iman) dan bukan pada posisi mereka sebagai kata benda (kepercayaan). Namun hal ini tidak berarti bahwa kepercayaan sama sekali tidak penting bagi kehidupan keberagaman umat manusia. Kepercayaan, menurut Smith, tidak bisa disamakan dengan iman. Namun Allah berkehendak dan bersedia menggunakan kepercayaan sebagai acuan bagi iman manusia, yakni kehidupan manusia di dalam Allah sendiri. Sebagai umat Muslim dan Kristen, kepercayaan kita berbeda dan perbedaan ini penting untuk diperhatikan. Namun perbedaan ini bukanlah hal yang perlu diutamakan, karena bukan perbedaan itu yang pada akhirnya menjadi perhatian Allah.
            Sesuai dengan klarifikasi kategorialnya, Smith menegaskan bahwa, apabila seseorang adalah orang Kristen dalam katagori kata benda (berkaitan dengan kepercayaannya), maka orang tersebut tidak bisa menjadi seorang Muslim (kata benda). Di lain pihak, apabila seseorang adalah orang Kristen dalam katagori kata sifat (berkaitan dengan imannya), maka mestinya ada suatu prospek dalam mana seseorang sampai pada kesadaran diri sebagai seorang “muslim” dalam katagori kata sifat. Dalam kesadaran diri sebagai seorang Kristen ajektif, seseorang dapat sekaligus menyadari dirinya sebagai seorang Muslim ajektif. Sebaliknya, hal yang sama juga terjadi pada seseorang dengan predikat Muslim.
            Dalam tradisi Islam, kata “muslim” pada kenyataannya mencakup kedua klarifikasi kategorial tersebut. Sebagai kata benda, kata “muslim” menunjuk pada keanggotaan formal dalam suatu komunitas. Sedangkan, sebagai kata sifat kata itu menunjuk pada makna dari sikap penyerahan diri internal terhadap kehendak dan kebenaran ilahi. Jadi, arti ajektifal menjadi seorang Muslim berhubungan dengan kualitas spiritualitas, dengan kebajikan berupa ketaatan kepada Allah. Karena itu, baik umat Kristen maupun Muslim, menurut Smith, harus memahami dirinya sebagai komunitas yang dipertemukan oleh makna diri mereka dalam katagori ajektif. Dalam pertemuan atau konvergensi dari segi makna diri katagori ajektifnya, mereka dapat saling bertanya sejauh manakah mereka menjadi Kristen dan atau menjadi Muslim. Umat Kristen dapat bertanya kepada umat Muslim misalnya, bagaimana mereka menghubungkan diri dengan Kristus dan teladan-Nya – figur yang tidak mungkin terabaikan dalam Islam – khususnya perintah ilahi-Nya tentang “agape.” Di lain pihak, umat Islam dapat bertanya kepada umat Kristen, bagaimana mereka mentaati hukum ilahi dari para nabi sebagaimana yang tertera di dalam Qur’an. Pertanyaan-pertanyaan ini wajar karena kedua komunitas ini memiliki iman. Namun Smith menegaskan bahwa sistem-sistem yang dengannya kita mengkonseptualisasikan relasi kita dengan Allah, menformalisasikannya, memoralisasikan kepercayaan-kepercayaan kita, memang berbeda. Namun dengan tegas dan berani Smith menegaskan, bahwa “Konvergensi dan divergensi antara Muslim dan Kristen sudah terjadi, dan sungguh-sungguh sedang berlangsung “dalam sejarah keagamaan kita,” di mana “sebagian kita sudah menjadi Muslim dan sebagian lagi menjadi Kristen.” Untuk menjelaskan lebih lanjut tentang hal tersebut Smith mengatakan :
Sepanjang sejarahnya umat Kristen telah menjadi Muslim (dalam arti harafiah istilah tersebut; mereka telah menyerahkan dirinya pada kehendak dan kebenaran Allah) sepanjang mereka mampu menyadari bagaimana seharusnya menjadi Muslim; mereka dapat menjadi demikian sebagai hasil dari pancaran intelektual dan hati nurani yang terbaik. Sepanjang sejarahnya, umat Muslim telah menjadi Kristen (dalam arti harafiah istilah tersebut; mereka telah menjadi pengikut Kristus dan menghormati-Nya), sepanjang mereka mampu menyadari bagaimana seharusnya menjadi Kristen; mereka dapat menjadi demikian sebagai hasil dari pancaran intelektual dan hati nurani yang terbaik.

Dari kutipan tersebut di atas, kita dapat mengatakan, bahwa menurut Smith, seseorang yang menjadi Kristen dalam arti sesungguhnya, pastilah seorang yang berkemungkinan untuk menjadi Muslim, orang yang sungguh-sungguh menyerahkan diri secara total pada kehendak Allah. Sebaliknya, seorang Muslim dalam arti yang sesungguhnya, berkemungkinan pula untuk menjadi Kristen, orang yang sungguh-sungguh mengikuti Kristus, dalam arti mengikuti teladan-Nya. Ini semua terjadi dalam status Kristen atau Muslim ajektif, sebagai orang beriman. Iman merupakan karunia ilahi yang melaluinya seorang beriman dapat merespons inisiatif Allah yang memanggil dia untuk masuk ke dalam kehidupan-Nya. Kualitas kehidupan kita merupakan akibat dari perjumpaan kita dengan kasih ilahi. Jadi tegasnya, kehidupan keberagaman kita dimulai dalam fakta Allah, yakni suatu fakta yang meliputi inisiatif Allah, kasih Allah terhadap kita, umat Muslim dan umat Kristen, atau apa pun, tanpa diskriminasi. Kualitas respon kita terhadap inisiatif ilahi merupakan sesuatu yang kita, baik Muslim maupun Kristen miliki bersama, yakni “iman”. Berdasarkan pandangannya sebagai orang Kristen, Smith mengatakan :
Saya berusaha keras untuk menjadi Kristen sekarang, bukan dengan harapan bahwa apabila saya berhasil Allah akan menerima saya, tetapi berdasarkan pengetahuan bahwa Ia telah menerima saya, sebagaimana saya belajar dari Kristus; dan dengan gembira saya memberikan respons terhadap kasih-Nya. Saya berusaha keras untuk menjadi Kristen semampu saya, karena kasih-Nya menguasai saya. Untuk melakukan hal inilah Ia memberi inspirasi kepada saya. Hal-hal yang berhubungan dengan yang ajektif bukanlah persembahan saya kepada-Nya, tetapi itu adalah anugerah-Nya bagi saya; suatu anugerah yang mana untuk memanfaatkannya saya memiliki kebebasan dan kehormatan. Saya berusaha keras untuk menjadi Kristen semampu saya, karena kasih-Nya telah menunjukkan kepada saya bahwa hal itu penting. Bahkan saya berani mengatakan, seperti dikatakan teolog Islam, bahwa menjadi muslim ajektifal juga merupakan anugerah Allah dan respons manusia terhadap inisiatif-Nya.

Dalam relasi Muslim-Kristen, Smith membuat sebuah formula sederhana yang kaya makna : iman mempertemukan, kepercayaan memisahkan.

Misi, dialog dan kehendak Allah bagi kita
Menggagas sebuah arah kolaboratif
            Smith telah mengajukan gagasannya mengenai kehidupan keberagaman sebagai partisipasi dalam proses, dan mengenai kesatuan sejarah kehidupan keberagaman umat manusia. Maka pertanyaan teologisnya sekarang adalah, peran apakah yang dapat dimainkan oleh umat Kristen dalam proses sejarah agama-agama lain? Bagaimanakah seorang Kristen yang baik, atau sebagai seorang Kristen ejektifal yang menerima makna transenden dari meneladani Kristus, dapat memenuhi panggilan ilahinya dalam pengembangan tradisi religius atau kultural orang lain? Ketika ia berbicara tentang peranan misionaris (Kristen), Smith mempertegas bahwa seorang misionaris baru dapat dikatakan telah menggarami lingkungannya, bila apa yang disampaikannya disambut baik oleh masyarakat di mana ia melayani. Dengan memperhatikan partisipasi model Martin Buber, yang disebutkan oleh  Smith sebagai “model misionaris modern par excellence,” Smith menyarankan semacam percakapan interreligius yang oikumenis. Sehubungan dengan hal ini, Smith menyarankan agar badan-badan misionaris Kristen mengorganisir suatu percakapan interreligius bagi perencanaan kegiatan-kegiatan missionarisnya. Dia mengatakan,
Kesempatan untuk partisipasi model Buber dari umat Kristen ke dalam kehidupan dan pandangan komunitas-komunitas lainnya, yang bersifat hati-hati dan penuh pertimbangan, memiliki kesadaran diri dan bersifat konstruktif, dapat mulai direncanakan – dalam konsultasi dan kolaborasi dengan mereka yang menjadi alamat keterlibatan partisipan. Yang saya maksudkan adalah bahwa seleksi, pelatihan dan aktivitas para partisipan Kristen khususnya dalam proses sejarah Islam dapat, dan saya kira akan dapat, dilakukan oleh umat Muslim dan Kristen, dengan duduk bersama dan mendiskusikannya secara konstruktif dan mengimplementasikannya bersama-sama, dan seterusnya dalam setiap situasi.

Menurut Smith, saran ini layak dan bermanfaat jika relasi-relasi antar agama diperhatikan dengan serius. Ini berarti bahwa misi Kristen merupakan suatu usaha yang “terbuka.” Hal ini harus dilakukan sambil bergerak ke arah kerjasama atau kolaborasi, karena agama Kristen merupakan salah satu bagian dari kekayaan dan keagungan kehidupan keberagaman umat manusia. Dengan berbuat demikian, umat Kristen membuat karya misionaris Kristen disambut dengan baik oleh komunitas agama-agama lain. Dengan anjuran ini Smith berharap akan terjadi perubahan konsepsional tentang misi. Di dalam misi, sebagai partisipan, pertama-tama dibutuhkan kesediaan untuk saling belajar. Bagi Smith, misi harus berada pada arah yang kolaboratif atau tidak ada misi sama sekali. Dengan demikian, umat Kristen dapat memenuhi misi mereka sebagai suatu partisipasi yang tulus ke dalam kehidupan keberagaman semua umat manusia. Karena komunitas-komunitas keagamaan lain, yang dijumpai umat Kristen dalam misinya juga menaruh perhatian terhadap persoalan-persoalan sentral dan utama, yang tentu saja sama dengan apa yang dikemukakan oleh umat Kristen ketika menjalankan misinya.

Pemahaman tentang misi yang baru
            Setelah mengkaji perubahan arti dan makna terhadap penggunaan istilah misi di dalam sejarah Gereja, yaitu dari sekadar misi gereja kepada umat beragama lain, hingga kepada misi Allah dalam Gereja dan kemudian misi Allah kepada dunia, di dalam dan melalui Gereja, Smith mendesak kita untuk menggabungkan arti dan makna misi yang terakhir ini dengan pengertian baru tentang “kesatuan sejarah kehidupan keberagaman umat manusia.” Misi Allah dalam Gereja (gereja di seluruh dunia) merupakan salah satu bagian dari keseluruhan misi-Nya bagi dunia.
            Sejak pertengahan tahun 1960-an Smith memperkenalkan gagasannya mengenai pandangan baru tentang misi ini kepada anggota gerejanya sendiri, United Church of Canada. Dalam laporannya mengenai Misi Dunia, sebuah badan gerejawi dari gereja tersebut, Smith berkata,
Mengatakan bahwa “misi dalam pengertiannya yang paling dalam adalah jantung kehidupan Gereja atau bahwa Gereja dapat menjadi Gereja di dunia hanya apabila ia melibatkan diri dalam misi,” atau mengatakan bahwa “setiap orang Kristen adalah misionaris” atau bahwa “misi bukanlah sebuah opsi,” bukanlah menunjuk  pada “misi keluar” (foreign missions) dalam pengertian lama, tetapi menunjuk kepada konsepsi baru tentang misi, di mana “Allah melalui Yesus Kristus melibatkan Diri-Nya dalam kehidupan manusia demi penebusan manusia dan tugas Gereja adalah melanjutkan apa yang dilakukan-Nya melalui Kristus. Misi Allah terhadap dunia merupakan tugas Gereja yang belum selesai dan terus berkesinambungan. Itulah esensi dari seluruh kehidupan dan keberadaan Gereja. Allah telah menyatakan diri melalui Putera-Nya, Yesus Kristus. Dalam peristiwa ini, Gereja menemukan landasan yang khas tentang misi Kristen, menemukan kepedulian Kristen dan menemukan pula daya penggerak bagi partisipasi Kristen di dalam Misi.

Dalam artikelnya yang berjudul “The Mission of the Church and the Future of Missions, Smith menjelaskan lebih lanjut konsepsi baru tentang misi tersebut. Misi, tegas Smith, “bukan sebuah pemakluman tentang suatu pesan dari jauh, melainkan partisipasi dalam suatu aktivitas di mana pun.” Misi adalah “usaha (dan kesukaan) untuk berpartisipasi dalam karya Allah yang belum selesai di antara manusia, yang telah dimulai-Nya di Betlehem.” Inilah yang harus menjadi urusan Gereja dalam melaksanakan kehendak Allah, sebagaimana yang telah diperkenalkan dan dimungkinkan oleh Kristus.” Konsepsi baru tentang misi ini, menantang umat Kristen dan Gereja untuk melibatkan diri secara total dan semakin menyerahkan seluruh kehidupannya dalam rangka melaksanakan kehendak Allah, mengabdikan diri untuk berpartisipasi di mana saja dalam kasih Allah dan dalam aktivitas penebusan yang dinyatakan dan dilaksanakan melalui Kristus.
Dalam pengertian ini, Smith menekankan bahwa misi Gereja dalam bentuk apa pun belum tentu merupakan misi Allah di dalam dunia. Dalam arti bahwa bentuk-bentuk misi Gereja tidak dapat dengan sendirinya diidentikan dengan misi Allah di dalam dunia.  Bila misi Gereja adalah sebuah aktivitas partisipatif, maka secara teologis benar jika dikatakan bahwa misi Gereja bukanlah mencakup seluruh misi Allah di dunia. Mengapa? Karena Allah yang telah dinyatakan oleh Yesus Kristus, tetap berkarya di mana-mana. Menurut Smith, misi Allah terhadap umat manusia “tidak dapat, belum pernah dan tidak akan bisa” dibatasi oleh batas-batas geografis dunia kita atau oleh batas-batas organisasi gereja maupun gerakan keagamaan apa pun. Karena itu Smith mengingatkan kita untuk menaruh perhatian lebih banyak terhadap karya Roh Kudus yang bekerja di luar batas-batas gereja. 
            Dengan pemahaman tentang misi baru ini, Smith berharap masa depan misi Kristen beralih kepada bagaimana kita belajar melihat misi Allah di dalam dan melalui Gereja sebagai salah satu bagian dari keseluruhan misi-Nya terhadap manusia. Dengan berbuat demikian, kita akan dibebaskan dari bahaya kekeliruan karena ketidakpedulian di mana kita membatasi keseluruhan misi Allah hanya pada salah satu bagian dari umat manusia saja, dan sekaligus akan membebaskan kita dari perangkap kekeliruan karena arogansi di mana kita menganggap misi kita sebagai keseluruhan misi Allah terhadap semua umat manusia.
Dalam hubungan dengan kesadaran baru di dunia ini, Smith menolak dengan tegas semua sikap yang mempersempit misi Allah dan menganggapnya hanya berlangsung di dalam komunitas keagamaannya sendiri. Karena itu yang dibutuhkan sekarang adalah menanggapi sungguh-sungguh misi Allah dalam semua tradisi keagamaan. Hal ini berarti umat Kristen juga dituntut untuk mengakui dan mengalami misi Allah kepada umat manusia melalui agama-agama lain. Smith mengingatkan bwha jika kita tidak menanggapinya dengan sungguh-sungguh, maka itu merupakan pemiskinan kehidupan dan pemiskinan teologis. Kita harus bersedia mengakui bahwa sekarang ini terdapat misi Allah kepada kita melalui umat beragama lain dan tradisi-tradisinya. Keengganan kita terhadap pengakuan itu, lebih dari sekadar kesalahan, sebab secara teologis bahkan dapat dikatakan bahwa keengganan tersebutmerupakan sebuah penghujatan terhadap misi Allah.

Dialog sebagai misi kita
Smith menentang dengan keras mereka yang menolak masuk ke dalam relasi dialogis antar-agama, dengan menyebut mereka sebagai “orang yang tidak setia kepada Kristus,” bahkan lebih dari itu, karena “mereka menghina Allah.” Hal ini dikemukakan oleh Smith, karena ia yakin bahwa dialog dapat membantu umat Kristen untuk menjadi orang Kristen yang lebih transenden, dan karena itu melalui dialog mereka dapat berpartisipasi di dalam misi Allah dengan lebih lengkap, dibandingkan dengan tanpa dialog.
Apa yang menjadi kehendak Allah bagi kita? Bagi siapa sajakah kehendak Allah itu? Dalam pengertian umum, kehendak Allah adalah bagi seluruh umat manusia : bagi umat Hindu, Buddha, Muslim dan Kristen. Oleh karena itu, kita semua, umat Hindu, Buddha, Muslim dan Kristen diharuskan untuk saling mengerti satu dengan yang lain, saling membantu untuk membangun hidup bersama dan bersama-sama menuju suatu dunia yang kooperatif, dan yang secara ilahi dapat diterima. Itulah misi umat Kristen bersama dengan umat-umat lain. Misi kita dewasa ini adalah bekerjasama dengan seluruh umat manusia. Umat Kristen harus memiliki keberanian yang besar, yang terinspirasi oleh kesadaran diri yang mendalam, untuk berpartisipasi dalam kesatuan sejarah agama-agama dunia. Untuk menegaskan hal tersebut, Smith mengatakan,
"... sebuah hari baru telah menyingsing dalam sejarah keagamaan dunia. Hari itu adalah hari yang untuk pertama kali telah memungkinkan umat Kristen – dan ini adalah perintah ilahi – untuk bergabung dalam agama Kristen dengan gembira dan sukacita, dalam kolaborasi dengan semua umat lain dalam membangun dunia yang damai, yang ditandai oleh saling memahami, saling menghargai dan saling mengasihi; berusaha membangun suatu dunia yang ditandai oleh interpretasi yang cerdas tentang pelibatan diri dan komitmen yangberagam; dan membangun suatu dunia yang ditandai oleh eksplorasi kolaboratif mengenai berbagai visi kita tentang kebenaran dan kebaikan."

Smith menyadari kesulitan dalam membangun bersama dunia yang lebih baik, karena dunia modern telah menjadi tempat yang menyedihkan dan tanpa harapan. Sebagai umat Kristen, bersama-sama dengan umat beragama lain, kita dapat saja berhasil atau bahkan mungkin gagal dalam tugas melaksanakan kehendak Allah. Namun, Smith mengatakan, adalah jelas bahwa kehendak Allah bagi dunia ini, yaitu misi yang telah dipercayakan Allah kepada kita sebagai umat Kristen, Hindu, Buddha dan Muslim, dan kepada semua manusia, adalah sesuatu yang ideal untuk dilaksanakan. Smith percaya bahwa kita dapat membangun persahabatan, saling percaya dan saling mengasihi di antara umat beragama dari latar belakang apa saja. Hal ini adalah panggilan kita bersama sebagai umat beragama. Sebagai orang Kristen, Smith mengajak semua orang Kristen untukmenyadari pentingnya panggilan tersebut. Dia mengatakan,
"... tentu jelas bahwa kebenaran, yang harus diusahakan oleh teologi, adalah suatu kebenaran yang di dalamnya kita semua terlibat. Kita umat Kristen, sebagai salah satu bagian dari situasi global modern, mempunyai tugas moral dan intelektual untuk mencapai tujuan tersebut ... Mari kita katakan “ya” terhadap panggilan yang menggairahkan ini."

Konversi dan keselamatan
            Apakah konversi atau beralih agama dapat dipertimbangkan ketika kita berpartisipasi secara sukarela dan senang hati dalam proses kehidupan keberagaman dengan sesama yang berbeda agama?  Smith membedakan dua jenis konversi. Pertama, adalah apa yang ia sebut sebagai “konversi komunitas,” yaitu konversi dari komunitas keagamaan yang satu ke komunitas keagamaan yang lainnya. Di sini Smith tidak ingin terlibat dalam satu argumen teologis tentang arti dari jenis konversi tersebut. Ia hanya ingin menyatakan bahwa konversi antar komunitas atau proses proselitisasi “mungkin dipertimbangkan sebagai langkah konversi yang paling nyata dalam tradisi dan komunitas sejarah keagamaan di mana ia dibesarkan, melainkan sebagai gantinya berpartisipasi dalam tradisi dan komunitas keagamaan yang lain.”
            Kedua, konversi “intrakomunitas,” yaitu konversi yang terjadi di dalam komunitas dan tradisi keagamaan sendiri. Yang dimaksud Smith adalah setiap orang Kristen sejati, misalnya dapat berharap mengalami konversi setiap pagi, yaitu “untuk bergerak semakin dekat dan tetap dekat pada Allah dan pada kebenaran." Ini adalah sejenis reorientasi kepada iman kita sendiri. Bagi Smith, iman sebagai kualitas kehidupan seseorang, sebagai sbuah relasi yang terus menerus berlangsung dengan Allah Sang Transenden, adalah suatu realitas yang sangat personal. Jadi mengatakan bahwa kita diselamatkan oleh Allah, berarti bahwa kita diselamatkan oleh iman kita. Oleh karena itu, sama seperti umat Kristen telah terselamatkan oleh iman Kristen, demikian juga umat Muslim oleh iman Islam, umat Buddhis oleh iman Buddhis, dan seterusnya. Hal ini adalah suatu pernyataan yang historis.
            Jadi hal diselamatkan dan konversi (beralih agama) merupakan realitas iman. Pengertian tentang “diselamatkan” dalam pandangan Smith merupakan suatu bagian yang biasa darikehidupan kita dalam sejarah dan konteksnya. Demikian juga halnya dengan konversi. Ini merupakan suatu realitas sehari-hari yang bisa terjadi dalam kehidupan religius kita. Setiap hari, menurut Smith, kita mengalami konversi dengan berpartisipasi dalam proses panjang kehidupan keberagaman kita semua. Hal diselamatkan dan konversi terjadi dalam komunitas keagamaan kita sendiri, tetapi keduanya harus dialami dalam partisipasi kita dengan orang lain. “Diselamatkan” berarti “diselamatkan dari nihilisme, dari pengasingan diri, dari anomi dan keputus-asaan; dari kesedihan tanpa harapan karena kesia-siaan.” Diselamatkan dari ketidakbebasan, dari menjadi korban tingkah laku sendiri, diselamatkan dari orang yang hanya bereaksi semata-mata terhadap lingkungannya. Itu berarti bahwa keselamatan harus dipahami sebagai suatu situasi dan kondisi kehidupan yang bernilai, yang dialami dalam kebersamaan yang membangun dan saling melengkapi, dengan pengharapan yang pasti. Keselamatan yang dipahami sebagai situasi dan kondisi kehidupan yang berkebebasan untuk menyatakan diri secara utuh, yang dibebaskan dari penjara diri sendiri, dan kehidupan yang ditandai oleh kreativitas yang bersahabat dengan lingkungannya.
            Dengan demikian, setiap orang perlu mentransformasikan dirinya sebagai salah satu tuntutan kebersamaan. Namun dengan tetap setia hidup dan mengabdi di dalam tradisinya sendiri sebagai “pilihan” yang telah dilakukan dengan sadar dan bertanggung jawab. Bila ia berpegang teguh pada pilihannya sendiri untuk menjadi seorang Kristen dalam “ziarah rohaninya” tampak jelas dalam pengakuan Smith sendiri, “Saya adalah seorang Presbiterian dan tidak akan pernah melepaskan Puritanisme Calvinistis saya yang sungguh menggairahkan sampai saat kematian saya.”
Di bagian akhir refleksi ini kita dapat menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.      Smith dalam upaya mencari suatu pemahaman yang tepat mengenai hubungan antar agama Kristen dengan agama-agama dunia lain, lebih cenderung menggunakan pendekatan terhadap masalah ini dari sudut pandang teosentris.
2.      Smith mengembangkan gagasannya dari perspektif pemahaman historis. Kehidupan keberagaman suatu masyarakat, dari latar belakang apa saja, harus diterima sebagai partisipasi dalam suatu proses sejarah panjang kehidupan keberagaman umat manusia. Jadi, kehidupan keberagaman umat Kristen misalnya, adalah suatu partisipasi dalam seluruh sejarah kehidupan keberagaman semua agama dunia.
3.      Dalam partisipasi seperti itu, terdapat dua aspek yang membentuk unsur-unsur dasar agama, yaitu iman dan tradisi. Iman dipahami sebagai kualitas personal orang beragama yang membawanya kepada hubungan dengan Allah, Sang Realitas Tertinggi, dan yang memberinya kemampuan untuk melihat dunia. Sementara tradisi terdiri dari semua warisan, lambang-lambang dan institusi-institusi kehidupan keberagaman manusia. Kedua unsur ini bersifat dinamis. Iman harus dilihat sebagai sesuatu yang bersifat personal, dan tradisi sebagai sesuatu yang bersifat kumulatif. Ini berarti bahwa tradisi adalah sebuah entitas yang bergerak; yang bergerak dan berubah dalam suatu proses kehidupan keberagaman umat manusia yang senantiasa berubah.
4.      Smith percaya bahwa lebih baik memahami hubungan Kristen-Muslim dari perspektif konvergensi kedua komunitas ini, yaitu dari perspektif iman. Gagasan Smith, iman mempertemukan kedua komunitas ini, sedangkan kepercayaan membedakan dan membedakan mereka.
5.      Berdasarkan pandangannya mengenai iman yang personal dan tradisi yang kumulatif, Smith berpendapat bahwa sebuah teologi global harus dapat direalisasikan sebagai suatu usaha bersama yangbersifat multi-iman.
6.      Untuk melakukan usaha seperti itu, Hick mengajukan suatu revolusi “Kopernikan” di bidang teologi, yang menempatkan Allah dan Kerajaan-Nya sebagai pusat bersama dari semua agama. Konsekuensinya, Kristus dalam pertemuan Kristen dengan agama-agama lain harus dilihat sebagai yang absolut di dalam agama Kristen sendiri, tanpa menempatkan-Nya sebagai yang harus absolut bagi agama-agama lain. Smith mengingatkan kita untuk menaruh perhatian lebih banyak terhadap karya Roh Kudus sebagai kekuatan pembimbing yang bekerja di luar batas-batas gereja.

Berdasarkan akar historis yang majemuk, gagasan-gagasan dan pemahaman Smith tentang perjumpaan “iman” dan “tradisi” ini patut diperhitungkan untuk mentransformasikan praktik-praktik hidup menggereja lokal dalam konteks Indonesia yang multi-religius dan multikultural.



J. Woly, Nicholas. Perjumpaan di Serambi Iman (Jakarta : BPK Gunung Mulia, Cet-1, 2008), 411-480.  Wilfred Cantwell Smith menaruh perhatian besar terhadap refleksi teologis bersama dalam berbagai Studi Agama-agama dan Teologi. Ziarah intelektual dan akademisnya sebagai Guru Besar Ilmu Perbandingan Agama selama beberapa dekade terakhir, tidak diragukan keandalannya. Oleh karena itu, kita akan mencoba mencermati beberapa gagasan pokoknya untuk memahami posisinya mengenai hubungan antar agama.