Halaman

Selasa, 26 Juni 2012

MEMINDAHKAN BATU KE PINGGIR JALAN



Zaman dulu ada seorang Raja, yang menempatkan sebuah batu
besar di tengah-tengah jalan. Raja tersebut kemudian bersembunyi,
untuk melihat apakah ada yang mau menyingkirkan batu itu dari jalan.
Beberapa pedagang terkaya yang menjadi rekanan raja tiba ditempat itu,
dan mereka  berjalan melingkari batu besar tersebut. Banyak juga orang 
yang datang, yang mencaci maki sang Raja, karena tidak membersihkan
jalan dari rintangan batu itu. Tetapi tidak ada satupun yang mau melancarkan
jalan dengan menyingkirkan batu itu.

Tidak lama kemudian datanglah seorang petani, yang menggendong banyak 
sekali sayur mayur. Ketika semakin dekat, petani ini berhenti dan meletakkan
semua sayur yang dibawanya, dan mencoba memindahkan batu itu kepinggir jalan.
Setelah berusaha keras mendorong dan mendorong, akhirnya ia berhasil
menyingkirkan batu besar itu. Ketika si petani ingin mengangkat
kembali sayurnya, ternyata ditempat batu tadi ada kantung yang berisi
banyak uang emas dan surat Raja. Surat  yang mengatakan bahwa emas ini
hanya untuk orang yang mau menyingkirkan batu tersebut dari jalan.
Petani ini kemudian belajar satu hal, bahwa  di dalam setiap rintangan, tersembunyi
berkat  (dan juga kesempatan) yang dapat dipakai untuk memperbaiki hidup kita
di masa depan. Blessing in Disguise!

”Ia membuat segala sesuatu indah  pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan
dalam hati mereka ...” (Pengkotbah 3:11)

TERLUPUT DARI BADAI


Bacaan Alkitab: 
Ayub 38:1-11, Markus 4:35-41

Ada sebuah nasihat yang mengatakan, "Dari pada mengutuki kegelapan, lebih baik mengambil sebuah lilin dan menyalakannya." Sebuah nasihat yang sederhana' tetapi tidak mudah untuk dilakukan. Mengapa? Kegelapan seringkali kita identikkan dengan masalah, persoalan, kesulitan, ancaman dan tantangan. Reaksi yang biasa ditunjukkan seseorang ketika ada dalam kegelapan adalah mengeluh, marah, kecewa, dan putus asa. Bahkan tidak jarang dalam kegelapan, orang mengambil keputusan dengan meninggalkan iman kepada Tuhan Yesus Kristus.

Nasihat sederhana ini mau mengajak kita untuk mengambil sikap dan tindakan yang berbeda, atau lebih dari yang biasa. Ketika diperhadapkan dengan segala bentuk masalah, persoalan, dan kesulitan dan di dalam pekerjaan, di dalam keluarga dan pelayanan, ambil lah sebuah lilin dan nyalakan. Artinya, jangan biarkan kegelapan menguasai dan membelenggu hidup kita. Yang harus kita lakukan adalah berjuang untuk berkuasa atas kegelapan itu.  Nah, apa yang harus kita lakukan? Kita bisa berusaha keras dan berjuang dengan akal budi kita. Tapi hasilnya, kita pasti kecewa karena berulang kali kita dapat mengalami kegagalan. Bersandar, berharap dan percaya kepada Tuhan, adalah pilihan yang terbaik agar kita terluput (dalam arti terhindar atau terlepas) dari badai kehidupan ini.

Bukankah hidup kita manusia tidak selamanya senang, tetapi juga tidak selalu susah? Sampai hari ini rasa senang dan sedih, tawa dan air mata, tenang dan badai selalu datang silih berganti. Ada saat-saat dimana kita merasa begitu senang dan bahagia. Namun ada saat-saat di mana kita merasa begitu lelah dan tertekan. Dalam keadaan seperti itu, Allah adalah satu-satunya penolong yang sungguh-sungguh dapat kita harapkan, kita andalkan dan kita percayai. Bisa saja kita mencari kebahagiaan yang semu, dengan berjam-jam berdiam di mall-mall atau tempat-tempat hiburan. Namun itu semua tidak akan mampu menolong kita untuk menjadi lebih tegar dan tangguh dalam menjalani hidup ini.

Melalui  Ayub 38:1-11, Markus 4:35-41, Alkitab mau memperlihatkan kepada kita, bahwa kenyataan hidup kita tidak selalu berjalan sesuai dengan yang kita inginkan, dan hidup ini tidak selalu memberikan apa yang kita harapkan. Ada banyak persoalan, pergumulan, ancaman, dan bahkan tantangan yang harus kita hadapi di sana dan di sini. Tapi tak perlu kita berkecil hati, karena Tuhan itu baik! Dia tidak pernah meninggalkan dan membiarkan kita, sekali pun kita harus mengalami tekanan dan pergumulan yang tak ada habisnya.


Salah satu contohnya adalah melalui kehidupan Ayub. Siapakah Ayub, tokoh yang kita bicarakan ini? Dia adalah seorang laki-laki di tanah Us. Orangnya saleh dan jujur, takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan. Ia mendapat tujuh anak laki-laki dan tiga anak perempuan. Ia memiliki tujuh ribu ekor kambing domba, tiga ribu ekor unta, lima ratus pasang lembu, lima ratus keledai betina, dan budak-budak dalam jumlah yang sangat besar, sehingga orang itu menjadi orang yang terkaya dari semua orang di sebelah timur pada saat itu. Namun apa yang terjadi? Ayub mengalami musibah. Ia kehilangan semua harta benda dan semua anak-anaknya. Ayub sendiri mengalami sakit kulit yang menjijikan. 

Penderitaan Ayub bertambah lagi karena sikap Elifas, Bildad, Zofar, dan Elihu, yang menghakimi dan memojokkan Ayub. Teman-teman Ayub beranggapan, bahwa musibah itu terjadi karena Ayub telah berbuat dosa kepada Tuhan, dan mereka mendesak Ayub untuk mengakui dosa-dosa yang telah diperbuatnya. Mungkin suatu saat dalam hidup ini, Anda pernah mengalami, dalam keadaan atau posisi terjepit. Mengalami musibah, tapi masih juga dipersalahkan dan dipojokkan oleh suami atau istri, orang tua atau anak, dan aktivis di gereja. Rasanya sungguh sangat menyakitkan! Entah mengapa, dalam situasi-situasi yang terbaik sekali pun, orang masih saja senang menyalahkan orang lain, padahal dia sendiri juga melakukan banyak kesalahan. Satu-satunya yang kita lakukan mungkin adalah mengeluh, marah, kecewa, dan putus asa. Sama seperti Ayub! 

Namun di tengah pergumulan dan ketidakmengertian Ayub atas semua yang terjadi dalam hidupnya, Tuhan berbicara kepadanya dalam badai. Hal itu mau menunjukkan, bahwa sama seperti cara badai bekerja, begitu pula cara Tuhan hadir untuk memberi kekuatan dan menolong Ayub untuk mengatasi persoalan dan pergumulan hidupnya, dan tidak ada satu pun manusia yang dapat melakukan hal itu. Hanya Tuhan yang bisa! 

Dari kisah Ayub ini, kita dapat melihat bahwa hidup kita manusia tidak terlepas dari badai, sekali pun dia adalah orang yang baik dan saleh. Yang penting bukan soal “Kenapa aku, kok bukan yang lain?” tetapi "Bagaimana aku menghadapinya?" "Bagaimana aku mengatasinya?Dari Ayub, kita belajar untuk tidak berharap kepada manusia, tetapi berharap kepada Tuhan. Manusia hanya akan membuat kita kecewa, karena memberikan penghakiman, tetapi Tuhan akan memberikan kelegaan dan kemenangan! Oleh karena itu, belajar untuk tidak menempatkan atau memposisikan diri kita sebagai “korban.”   


Dari Rasul Paulus, kita belajar untuk tetap sabar, dan tabah dalam menjalani hidup yang diwarnai dengan suka dan duka, tenang dan badai ini. Di dalam Filipi 4:13 Rasul Paulus berkata, “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku!”  Sebab itu, jangan takut menghadapi persoalan, tekanan dan pergumulan dalam hidup ini. Persoalan, pergumulan dan badai hidup bisa datang kapan saja dalam hidup kita, dan membuat kita menjadi sangat takut. Sama seperti para murid, ketika mereka menghadapi badai yang mengguncang serta menakutkan di danau Galilea. 


Takut adalah realitas yang tak terhindarkan, dan yang ada pada setiap orang, termasuk kita. Setiap hari kita merasa takut. Setiap hari kita bisa merasa terancam, merasa tidak aman, dan ketakutan karena tidak memiliki kepastian. Begitu juga dengan para murid. Mereka mengalami ketakutan yang luar biasa ketika badai dan angin kencang melibas mereka di dalam kapal. Nah apa yang dilakukan para murid ketika mereka berada dalam ketakutan yang begitu mendalam? Mereka datang kepada Yesus. Hasilnya? Angin ribut  itu reda dan danau itu menjadi teduh sekali. 


Apa artinya itu bagi kita? Artinya, ketika badai dan angin ribut mengguncang dan melibas kehidupan kita, datanglah kepada Tuhan, dan jangan kepada yang lain. Ia berkuasa atas badai kehidupan yang kita hadapi. ketakutan dan ketidakpercayaan kita tidak akan pernah dapat menolong kita. Pernyataan Yesus di Markus $:40 mau menegaskan kepada kita supaya kita sungguh-sungguh bersandar, percaya dan berharap kepada Dia! Dalam hidup ini, Yesus adalah satu-satunya penolong yang sungguh-sungguh dapat kita harapkan, kita andalkan dan kita percaya! Pemazmur di dalam Mazmur 46:2 berkata, “Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti!” Sebab itu jadikanlah Allah itu sebagai satu-satunya sumber pertolongan hidup Anda! 

Orang yang hebat tidak dihasilkan melalui kemudahan, kesenangan dan kenyamanan. Mereka dibentuk melalui Kesukaran, Tantangan dan Air mata! Sebab itu lakukanlah apa yang menjadi bagian kita dengan baik dan benar, maka Tuhan akan melakukan apa yang menjadi bagian-Nya, sehingga segala sesuatunya menjadi indah dan sempurna pada waktu-Nya! 



Kamis, 14 Juni 2012

MENSYUKURI BERKAT TUHAN



Kata "berkat" dalam bahasa Ibrani disebut "barakah" atau "barakatuh". Kata "barakah" tidak hanya berarti berkat, tetapi juga menunjukkan kepada "keadaan yang diberkati" atau "memiliki berkat." Dalam bahasa Yunani disebut "oilogeo" atau "oilogia" yang berarti "perkataan yang baik'" misalnya kata-kata yang mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan, memuji dan memuliakan Tuhan.
Menurut kesaksian Alkitab, pemilik dan sumber segala berkat terletak pada Tuhan Allah. Jadi Allah itu dipercayai sebagai pribadi yang hidup, dan penuh kuasa untuk memberi berkat. Berkat Allah itulah yang mengatur dan menghidupkan, bukan hanya pada diri manusia akan tetapi juga termasuk pada tumbuh-tumbuhan, ternak serta seluruh isi alam semesta. Tegasnya, berkat berarti segala sesuatu yang berasal dari Allah yang sifatnya menghidupkan, memperbaiki, memperpanjang dan berdaya guna lama kepada manusia.
            Hal pertama yang dilakukan Allah terhadap manusia setelah mereka dicipta, adalah memberkati  mereka. Berkat Allah mendahului apa yang hendak dilakukan oleh manusia, berkat Allah mendahului tugas dan perintah-Nya dan berkat Allah mendahului apa yang hendak kita miliki. Dengan demikian apa yang ada pada kita semuanya itu  berawal dan bersumber dari berkat Allah.  
Sebab  segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah milik Allah. Oleh karena itu orang yang berbahagia adalah mereka yang selalu menghitung dan mensyukuri berkat Tuhan dalam hidupnya, sebab Allah lah yang memberikan semuanya itu kepada mereka.

            Saya jadi ingat sebuah kisah.
Ada tiga orang yang menjadi korban  tsunami. Mereka terseret arus, namun untungnya terdampar di sebuah pulau terpencil. Orang pertama adalah orang Amerika, yang kedua Inggris, dan yang terakhir Indonesia. Setelah tiga bulan berlalu, orang-orang berhenti mencari korban yang selamat sehingga mereka ini ada dalam masalah besar. Meski banyak makanan dan air di pulau itu untuk bertahan, mereka mulai merasa kesepian di sana.

            Suatu hari, ada botol yang terdampar di pantai itu. Tentu saja dalam situasi seperti itu, mereka  mengambil botol itu dan menggosok-gosoknya, siapa tahu ada jin di dalamnya. Dan ternyata memang ada jin di dalamnya. Jin itu keluar, dan seperti dalam kisah Aladin, jin hanya bisa mengabulkan tiga pemintaan. Jin itu mengatakan, bahwa karena ada tiga orang, maka masing-masing mendapat satu permintaan.

            Orang Amerika berkata, "Aku minta agar bisa kembali ke New York, dalam restoran keluarga, dan mendapatkan makanan yang layak." Begitu permintaan itu diucapkan, ia lenyap dari pulau itu dan berada dalam sebuah restoran keluarga di New York, lalu makan hamburger besar. Oh, dia merasa begitu bahagia! Kemudian jin itu  bertanya kepada orang Inggris, "Apa permintaanmu." Orang Inggris itu menjawab, "Aku mohon berada dalam pub Inggris yang bagus, di depan sebotol bir." Begitu memohon, permohonan itu dikabulkan. Ia lenyap dan kini berada di sebuah klub pedesaan di Inggris yang nyaman, di  depan sebotol bir hangat. Oh, dia merasa bahagia. Jin itu bertanya kepada orang Indonesia, "Nah, apa yang kamu inginkan."
Orang Indonesia itu menjawab, "Um, mungkin aku sebaiknya  pergi ke pertandingan sepakbola .... tidak, aku  semestinya di Eropa .... Aduh, aku tak bisa memutuskan. Aku harap dua temanku itu kembali ke sini untuk membantu aku memutuskan!"

            Nah dari ketiga orang ini (orang Amerika, orang Inggris dan orang Indonesia), yang manakah yang paling bahagia dan bersyukur? Orang Amerika dan orang Inggris. Dari keadaan terdampar di sebuah pulau, bisa kembali dalam restoran keluarga dan klub desa yang nyaman. Sebaliknya orang Indonesia, karena terlalu banyak keinginannya, akhirnya tidak kemana-mana atau tetap berada di pulau terpencil itu. Dari anekdot tersebut, kita disadarkan, bahwa sebenarnya ada banyak berkat Tuhan yang telah dianugerahkan kepada kita. Suami atau istri dan anak-anak kita. Orangtua, adik dan kakak kita.
Pekerjaan dan pelayanan kita. Semuanya itu adalah berkat Tuhan yang patut kita syukuri. Sebab itu,  ungkapan bahwa "rumput di halaman tetangga tampak lebih hijau daripada rumput di halaman rumah kita" atau anggapan bahwa keluarga, pekerjaan dan anak2 tetangga kita lebih baik daripada keluarga, pekerjaan dan anak-anak kita tidak boleh ada ada lagi di dalam pikiran kita.
         Di dalam Injil Lukas 17:11-19, diceritakan  ketika  rombongan Yesus memasuki sebuah desa, datanglah sepuluh orang kusta menemui-Nya. Dalam Alkitab, penyakit kusta seringkali merupakan sebuah simbol dosa atau  kejahatan yang merusak manusia. Namun  ketika Yesus melihat kesepuluh orang kusta itu, Dia berkata: “Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam," dan di tengah jalan mereka disembuhkan.  Mukjizat kesembuhan  sepuluh orang kusta ini menggambarkan bagaimana Yesus ingin menyembuhkan kita semua, baik secara spritual maupun fisik. Kesepuluh orang kusta itu disembuhkan, namun hanya hanya ada seorang yang kembali kepada Dia sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring, karena dia menyadari bahwa kesembuhan ini datang dari Allah.

            Orang yang satu ini menunjukkan satu sikap hakiki dari seseorang yang diselamatkan,i yaitu mengucap syukur kepada Allah. Sikap ini juga diminta dari setiap kita, sehingga tidak ada sesuatu yang kebetulan dalam hidup kita, karena Tuhan senantiasa melimpahkan berkat-berkatNya dalam kehidupan kita. Bahkan masalah yang ada, membawa kita masuk kepada pintu masuk datangnya mukjizat Tuhan dalam kehidupan kita. Oleh karena itu dalam acara serah terima pejabat struktural pada siang hari ini, kita diajak untuk mensyukuri berkat-berkat Tuhan yang telah dianugerahkan di tahun ajaran yang lalu, dan berkat Tuhan itu pula yang akan mendahului tugas dan tanggung jawab kita di tempat yang baru. Yakinlah bahwa berkat Tuhan itu pula yang akan menghidupkan, memperbaiki dan mendayagunakan semua yang kita miliki untuk menjadi berkat bagi banyak orang. Di dalam 1 Tesalonika 5:16-18, Rasul Paulus berkata, "Bersukacitalah senantiasa. Tetaplah berdoa. Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus bagi kamu!"Selamat mensyukuri berkat Tuhan!


Minggu, 03 Juni 2012

PENTAS KEHIDUPAN




Dalam kosa kata Bahasa Indonesia, kata "pentas" merupakan kata benda,
yang menunjuk pada arti lantai atau panggung yang agak tinggi (di gedung pertunjukkan), yang biasa dipergunakan sebagai tempat memainkan sandiwara. Sedangkan dalam Bahasa Jawa, kata "pentas" berarti  naik panggung, atau tampil. Oleh karena itu dibalik tema "Pentas Kehidupan" ini saya menangkap ada sebuah konsep berpikir tertentu yang melatar belakangi munculnya tema tersebut. Paling tidak ada sebuah pemikiran, bahwa kehidupan ini bagaikan sebuah panggung sandiwara.  Kata "sandiwara" kalau diterjemahkan secara terpisah,  artinya adalah  “pertunjukan lakon, drama aitau cerita yang dimainkan oleh orang."

Persoalannya adalah, jika hidup ini panggung sandiwara, maka setiap kita adalah pemain atau lakonnya. Benarkah demikian? Jika kita semua adalah pemain sandiwara dan dunia ini adalah panggungnya, lalu siapakah penontonnya? Tuhan? Bukankah Tuhan yang menciptakan dunia, dan seluruh isinya, termasuk kita manusia? Berarti Dialah Sang "Sutradara." Jadi siapa penontonnya, yang bisa memberikan apresiasinya (entah sedih dan kecewa, atau jadi senang dan bangga oleh karenanya)?  Ada banyak orang yang meyakini hidup ini sebagai sandiwara dan Tuhan adalah "Sutradaranya," sehingga mereka bersikap pasif, tidak mau berbuat banyak. Cukup jalani saja kehidupan yang sekarang, dan tidak usah melakukan aktivitas lainnya karena takdir, jalan hidup mereka sudah ditentukan oleh Tuhan.

Saya jadi ingat sebuah tembang lawas yang dipopulerkan oleh Achmad Albar pada awal tahun 1970. Lagunya adalah Panggung Sandiwara. Lirik dari lagu tersebut mengatakan bahwa, dunia ini panggung sandiwara dan setiap kita adalah pemainnya. Ada satu peran yang kita mainkan. Kita bisa berpura-pura, bersikap kocak sehingga membuat banyak orang terbahak-bahak, bahkan kita pun dapat membuat orang mabuk kepayang, dan di bagian akhir lagu itu, dikatakan "Mengapa kita bersandiwara?" Mungkin pengarang lagu ini punya pengalaman dipermainkan atau dikhianati oleh seseorang, dan pengalaman itu sungguh membuat ia sedih, kecewa dan marah.

Dalam kehidupan sehari-hari kita, mungkin kita juga pernah menyaksikan dan mengalami hal yang kurang lebih sama. Kita lihat saja, berapa banyak lakon yang dimainkan oleh para pejabat tinggi negara ini, sehingga muncul kelompok-kelompok ekstrim yang melakukan berbagai tindak kekerasan dengan dan atas nama agama. Nah apa yang dikatakan oleh Alkitab tentang hal ini? Yang pasti Alkitab mengatakan kepada kita, bahwa dunia ini adalah bukan panggung sandiwara, dan kehidupan kita adalah bukan suatu pertunjukkan atau lakon yang kita mainkan.  Bapak Gereja kita, Calvin melukiskan hal ini dengan sangat indah melalui metafora bahwa dunia ini adalah "panggung drama kemuliaan Allah."   Oleh karena itu, kehidupan kita (pribadi dan juga komunitas) menurut Calvin, harus menjadi "theater of God's glory" karena  Allah adalah penggagas ide cerita, penilis skenario,  sutradara bahkan menjadi aktor utama dalam drama akbar ini.  Bagaimana drama itu dimainkan?  Drama ini dimainkan oleh Allah  Sang Pencipta; oleh Yesus Kristus di dalam kehidupan, kematian dan kebangkitan-Nya; serta oleh Roh Kudus yang merestorasi dan mentransformasikan dunia dan kita manusia sampai kepada kesempurnaan yang diwujudnyatakan melalui karya penebusan Yesus Kristus. Itulah sebabnya mengapa kita manusia diciptakan serupa dan segambar dengan Allah. Tujuannya adalah  supaya kita beroleh bagian di dalam kehidupan Allah, dan mencerminkan kepribadian Allah di dalam diri kita.



Menurut Calvin, kita harus in communio dengan Allah: memiliki hubungan yang baik dengan Allah, tetapi juga membangun relasi yang baik dengan manusia lainnya. Sebab itu kita dapat berkomunikasi dengan Allah melalui firman-Nya. Mempelajari dengan baik segala petunjuk yang ada di alam Alkitab, berlatih terus untuk melakukannya serta hidup di dalam kebenaran, kekudusan, keadilan dan perdamaian, sehingga kehidupan kita di dunia ini sungguh-sungguh memperlihatkan kemuliaan Allah. Oleh  sebab itu  kehidupan Saudara dan saya adalah bukan panggung sandiwara. Segala sesuatu yang kita pikirkan dan lakukan, senantiasa akan berdampak pada diri kita, pada Tuhan dan juga pada orang-orang yang ada di sekitar kita. Apapun bentuknya. Dalam Yesaya 43:7 dikatakan, bahwa tujuan Tuhan untuk menciptakan kita,
yaitu melihat kemuliaan-Nya dalam diri orang lain dan dirinya.

Salah satu contoh yang diperlihatkan Alkitab kepada kita adalah kehidupan Abraham.  Di dalam Kejadian 12:10-20,  Alkitab mengisahkan kepada kita  bagaimana kehidupan Abraham, dan persoalan-persoalan yang dihadapinya. Setelah  mengalami perjumpaan dengan Tuhan dan menerima berkat-Nya,  Abraham menyerahkan  Sara istrinya kepada Firaun, Raja Mesir. Koq bisa? Abraham melakukan hal itu karena dia takut dibunuh. Sara istrinya adalah seorang perempuan yang cantik jelita, dan ketika mereka tiba di Mesir, Raja Firaun berniat untuk mengambil Sara sebagai istrinya. Karena takut, Abraham tidak mengakui Sara sebagai istrinya, tetapi sebagai adiknya.  Mungkin kita bertanya-tanya dalam hati, bagaimana mungkin orang yang dipilih oleh Tuhan untuk menjadi berkat bagi semua bangsa, bisa berbohong dan menyerahkan istrinya begitu saja.  Abraham ternyata adalah seorang laki-laki yang tidak berjiwa kesatria, dan  Abraham mengulang lagi perbuatannya. Di dalam Kejadian 20:1-8  dikatakan, Abraham menyerahkan Sara istriya kepada Abimelekh, Raja Filistin, lagi-lagi karena dia takut dibunuh.

Di  dalam dua peristiwa ini Abraham mengatakan kepada kedua raja tersebut, bahwa Sara bukanlah istrinya, melainkan adiknya, dan hal itu dilakukan untuk menyelamatkan dirinya.  Bukankah seharusnya Abraham, Bapa orang percaya itu berserah dengan segenap hati kepada Tuhan yang pasti menolongnya? Mengapa Abraham  harus berbohong atau bersandiwara, seolah-olah Sara adalah adiknya, dan bukan istrinya?  Satu hal yang menarik, jika Ishak puteranya, teryata juga melakukan hal yang sama karena takut dibunuh.  Kebohongan ini tidak hanya berhenti sampai di sini saja, karena Yakub juga  membohongi Esau kakaknya dan ayahnya sendiri, Ishak, untuk mendapatkan  berkat kesulungan. Selanjutnya, 10 anak laki-laki Yakub berbohong kepada Yakub dan mengatakan bahwa Yusuf adik kandung mereka telah dimakan binatang buas. Padahal mereka telah menjualnya sebagai budak.

Diane M. Komp, seorang psikiater dari Yale Medical School yang menulis buku "Anatomy of Lie: The Truth About Lies and Why Good People Tell Them"  menguraikan alasan-alasan psikologis, mengapa seseorang "berbohong" dalam berbagai hubungan antar manusia. Perasaan tidak nyaman, kerapkali  membuat orang berbohong lebih dari yang mereka inginkan. Jadi orang berbohong karena merasa takut atau terancam. Sebab itu banyak  orang berbohong, atau bersandiwara, mulai dari hal-hal yang sepele, sampai pada hal-hal yang besar.  Ada sebuah penelitian di Amerika ang dilakukan oleh National Institute of Mental Healthy, menunjukkan bahwa dalam seminggu, orang berbohong kepada 30% di dalam  komunitasnya. Mahasiswa malah menunjukkan angka yang lebih besar, ada 38% jumlah orang yang  mereka bohongi.
Kebohongan menjadi sangat masif dilakukan karena dapat melindungi diri sendiri dari rasa malu, kehilangan muka, atau terlihat buruk. Kebohongan dapat melindungi diri sendiri dari  rasa  luka, ketidaknyamanan dan membuat terlihat lebih baik dari yang sebenarnya. Kebohongan juga dapat membantu orang mendapatkan apa yang diinginkan, melindungi dia dari ancaman hukuman fisik, melindungi dari kehilangan status dan posisi tertentu,atau melindungi dari sesuatu yang menganggu atau sesuatu yang tidak ingin dilakukan.

Namun dari Abraham kita belajar bahwa kebohongan, apa pun bentuknya, akan melahirkan kebohongan-kebohongan lainnya, dan pada akhirnya, kita sendirilah yang akan menuai hasilnya, lebih dari yang kita duga dan lebih dari yang kita pikirkan. Oleh karena itu, nasihat yang diberikan oleh Alkitab pada pagi hari ini, adalah jangan jadikan kehidupan kita sebagai sebuah panggung sandiwara. Pilihan yang terbaik, adalah menjadikan kehidupan kita sebagai cerminan dari kepribadian Allah,  sehingga kita dapat hidup di dalam  kebenaran, kekudusan, keadilan dan perdamaian dengan diri kita, dengan Tuhan dan dengan semua orang yang dihadirkan Tuhan dalam kehidupan kita. Di dalam Mazmur 34:10-11 Firman Tuhan berkata, "Takutlah akan Tuhan, hai orang-orang-Nya yang kudus, sebab tidak berkekurangan orang yang takut akan Dia. Singa-singa muda merasa kelaparan, tetapi orang-orang yang mencari Tuhan tidak berkekurangan
sesuatu pun yang baik." Soli Deo Gloria!

Jakarta, 4 Juni 2012*