Halaman

Kamis, 19 September 2013

MENJADI MANUSIA BAGI SESAMA


 Oleh: Pdt. Maryam Kurniawati D.Min




Titik berangkat : Modernisasi, Tehnologisasi dan Globalisasi
      Terobosan paling menggairahkan pada abad ke-21 terjadi bukan karena tehnologi, tetapi karena perkembangan konsep mengenai apa artimenjadi manusia di tengah kompleksitasnya zaman. Modernisasi, tehnologisasi dan globalisasi bagaimana pun juga telah memberikan warna tersendiri bagi sejarah perkembangan kesejahteraan hidup umat manusia.

      Kendati demikian halnya, baik modernisasi, tehnologisasi dan globalisasi disamping telah memberikan kontribusi yang positif bagi kelangsungan hidup umat manusia, di satu pihak dan di pihak lain telah memperlihatkan  dampak-dampak yang negatif dan significan terhadap jatidiri dan hidup umat manusia. Dampak-dampak yang negatif yang ada dan yang menjadi fenomena dalam kebermasyarakatan yang ditimbulkan oleh modernisasi, tehnologisasi dan globalisasi akan selalu bermuara juga pada apa arti menjadi manusia. Bagaimana seutuhnya menjadi manusia bagi sesama manusia ?

      Dalam kompleksitas zaman dengan berbagai tuntutannya seperti sekarang ini, selalu memunculkan pertanyaan tentang apa dan siapakah manusia itu? Masih adakah orang yang tulus hati berkehendak menjadi manusia bagi mereka yang tereliminasi oleh gilasan roda zaman?

Manusia: Individualitas dan Sosialitas
    Untuk dapat memahami kemanusiaannya, manusia harus memahami siapakah dirinya. Karena ia adalah bagian dan sekaligus juga ditentukan oleh manusia yang lain pula. Tanpa pemahaman yang sungguh-sungguh, manusia bukan lagi manusia, baik untuk dirinya sendiri mau pun untuk sesama/manusia yang lainnya.

      Hidup manusia sebagai makhluk sosial juga ditentukan oleh kebudayaan dan atau nilai-nilai kebersamaan yang berkembangan di masyarakat. Kebudayaan adalah hasil dari kegiatan manusia juga menstrukturisasi tingkah laku manusia ke arah yang lebih baik. Hal ini selalu terjadi dalam setiap proses pergaulan, penerimaan dan penghargaan kepada manusia lainnya dalam dunia sekitarnya.
      Dalam kenyataannya, masalah kemanusiaan (seperti yang kita lihat di sekitar kita) dewasa ini lebih terkait dengan kondisi dan kemungkinan manusia yang ditentukan oleh situasi baru ini : Manusia sebagai individu seolah-olah tidak lagi hidup dalam dunia alami, tetapi hidup dalam lingkungan yang diciptakannya sendiri dalam institusi, birokrasi, tehnologi, dan globalisasi.

      Sebagian manusia hidupnya bergantung pada ilmu kedokteran modern. Sebagian lagi kehilangan hidupnya karena perang yang tidak manusiawi, karena tekanan dan kebijakan politik pemerintah yang tidak berpihak pada masyarakat kelas bawah atau yang hidup dalam kemiskinan. Secara individu eksistensi manusia semakin bergantung pada apa yang diciptakannya dan diputuskannya sendiri. Kebudayaan manusia (dalam hal ini tehnologi dan birokrasi, dll) yang diciptakan manusia memperlihatkan kekuatan 9sebagian) orang (baik anak-anak, mau pun orang dewasa) tergantung pada dan tak berdaya dalam ukuran menjadi manusia yang layak dalam mempertahankan kehidupan mereka.

      Berbicara tentang manusia, individualitas dan kebudayaan tak pernah lepas dari dimensi manusia, ialah sosialitas. Ada kalanya kondisi sosial manusia mendorong perkembangan manusia, tetapi ada kalanya menghambat kebebasan mansuia atau menumbuhkan konflik antar individu, golongan, agama dan suku.

      Dalam konsep individualisme, sebagai individu, manusia menuntut untuk menjadi diri sendiri dengan mengabaikan yang lain. Sedangkan dalam konsep sosialisme (=sosiologi) manusia sebagai individu merupakan bagian dari (masyarakat) yang lain, yang mempunyai fungsi tertentu yang mendukung keseleruhan. Dalam hal ini kebebasan dan penentuan diri individu cenderung diabaikan. Lalu harus bagaimana ?

Selalu Membutuhkan dan Ditentukan oleh Yang Lain
      Setiap individu adalah pusat kebebasan dan kreativitas yang unik, yang dari sana juga kisah kehidupan kemudian terbentuk.
Masyarakat dibentuk oleh individu-individu yang berkomitmen untuk hdiup bersama pada konteks tertentu dalam kontrak sosial tertentu pula. karena itu, ketegangan antar keduanya menjadi faktor penunjang dinamika kehidupan manusia.
Sosialitas adalah suatu transendensi (=pertemuan/masuk/melewati ke dalam) untuk tidap individu mengenali diri dan pribadi yang lain. Melalui transendensi tersebut tiap individu dapat mewujudkan dirinya sebagaimanusia yang utuh. Secara konkret, apabila tidak ada “Anda”, tidak ada pula “Saya.” Karena itu tidak ada eksistensi manusiawi sejati tanpa komunitas, sebab komunitas merupakan esensi manusia. Hubungan “Saya” dan “Anda” selalu ditandai denagn relasi : untuk mewujudkan dirinya, manusia harus berinter-relasi dengan manusia lain. Atas dasar asumsi itulah, jikalau manusia tidak membutuhkan dan tidak mau ditentukan oleh jatidiri yang lain, sesungguhnya ia tidak akan pernahmenjadi manusia yang utuh bagi sesamanya dan juga bagi dirinya.

Rumah Singgah Anak Jalanan (RSAJ): Titik Pusaran Percakapan
      Di tengah-tengah arus modernisasi, tehnologi dan globalisasi yang mencerai-beraikan kesatuan hidup manusia, dan keluarga-keluarga, tidak sedikit anak-anak dan oprang dewasa yang terpaksa harus mencari keteduhan jiwa untuk bertahan hidup. Fenomena ini perlu mendapat perhatian dari semua manusia.
      Sejak diratifikasinya Konvensi Hak-hak Anak oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1990, banyak LSM yang telah menunjukkan keprihatinan dan memberikan kontribusinya untuk menekan lajunya fenomena sosial masyarakat (kemiskinan, pengangguran, anak jalanan dan permasalahannya, dan lain-lainnya) seperti LSM, Yayasan-yayasan yang bergerak di bidang sosial, kemanusiaan dan keagamaan). Semuanya ini dilakukan demi nilai menjadi manusia bagi sesamanya. Namun persoalannya, adalah sejauh manakah orang-orang (yang berada di luar gerakan-gerakan kemanusiaan tersebut) membuka diri terhadap eksistensi lembaga-lembaga tersebut ?
      RSAJ hadir untuk anak-anak yang jalanan. Bagi anak-anak jalanan, RSAJ adalah Rumah Sahabat., anak-anak jalanan dapat mencicipi pendidikan. Mereka dapat merasakan bagaimana menjadi anak manusia yang martabatnya terangkat, dihargai dan bebas mengekspresikan harapan dan aspirasi mereka.
      Bagi anak-anak jalanan, RSAJ adalah tempat yang tidak mengkotak-kotakan mereka dalam perbedaan suku, agama, golongan dan ras. Sebab di sana, mereka bukan hanya mendapatkan perhatian dan kasih sayang, tetapi juga saling menghormati dan saling menghargai di dalam kepelbagaian mereka. Di RSAJ, anak-anak jalanan dapat melupakan kejamnya roda zaman, tetapi juga menikmati modernisasi, tehnologisasi dan globalisasi sebagai hasil budaya manusia.
      Dengan demikian, kendati pun modernisasi, tehnologisasi dan globalisasi meluluh lantakkan sendiri kehidupan manusia, apa arti menjadi manusia, akan tetapi kesadaran akan nilai-nilai kemanusiaan yang tercermin dalam dimensi sosial-kebudayaan masih memberikan alternative bagi setiap manusia yang memahami kemanusiaannya. Dengan kata lain, paling tidak sebuah realitas, bahwa Puspita dalam bingkai percakapan ini, mau ditempatkan sebagai pijar-pijar kesadaran manusia yang penuh tentang bagaimana arti menjadi manusia bagi sesama.

Refleksi Teologis
      Berbicara tentang manusia dan kebudayaannya serta fenomena yang ada di dalamnya, bagaimana pun juga tidak akan pernah terpisahkan dari nilai-nilai agama yang ada dan yang memberikan petunjuk serta arahan, bagai oase bagi setiap jiwa yang dahaga.
Gereja sebagai lembaga dan orang-orang yang mengaku percaya di tengah-tengah dunia ciptaan-Nya, mempunyai tanggung jawab kepada Allah dan sesamanya, sebagai makhluk sosial yang berbudaya. Gereja mempunyai tanggung jawab moral untuk menjadi manusia bagi sesamanya, sehingga pewartaan, pelayanan dan persekutuan gereja harus terbuka bagi orang-orang yang miskin dan dalam keprihatinan akan keadaan mereka dan bukan menjadi serigala bagi mereka.
      Dalam perumpamaan mengenai orang Samaria yang baik hati (Lukas 10:25-37) tampak jelas sekali, bahwa mendahulukan orang yang setengah mati, yang tak berdaya tanpa pertolongan adalah wujud perhatian, kepedulian dan cinta terhadap sesama.[1] Pertanyaan seorang ahli Taurat, “Siapakah sesamaku manusia” dijawab oleh Yesus, siapakah sesama bagi orang yang jatuh ke tangan penyamun, dirampok habis-habisan, dipukuli dan ditinggalkan setengah mati itu. Bukanlah seorang imam dan seorang Lewi yang dianggap suci oleh masyarakat. Melainkan orang Samaria, yang dianggap kafir, yang menunjukkan belas kasih.
      Menjadi manusia bagi sesama mempunyai implikasi mencintai dan menjadi sesama bagi orang yang setengah mati, tak berdaya, tanpa pertolongan. Preferential option (love) for the poor  adalah wujud mencintai sesama sebagaimana Yesus mencintai. Melalui Yesus dialami kuasa dan kasih Allah bagi semua orang. Namun kuasa dan kasih tersebut dilaksanakan dengan pelayanan yang mendahulukan mereka yang miskin dan menderita, yang tak berdaya dan yang paling membutuhkan pertolongan. Dengan demikian pilihan kita untuk mendahulukan kaum miskin berakar pada solidaritas Allah sendiri dalam solidaritasnya dengan kaum miskin.
      Pilihan kita untuk mendahulukan orang miskin berakar pada Allah sendiri. Tidak peduli terhadap kaum miskin berarti tidak peduli terhadap Allah. perjuangan mengatasi kemiskinan merupakan jalan mengikuti rencana Allah melalui Yesus. Hanya dengan cara hidup seperti itu, maka bunyi silogisme, “Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga kepada mereka” (Lukas 6:31) menjadi bermakna : kasih menjadi nyata, dan Allah pun hadir di dalam kita. Di dalam cinta kasih dan kepedulian, hadirlah Allah ! (Ubi caritas et Amor, Deus Ibi Est).  


  

       
















[1] Banawiratma, J.B dan Muller, J., Berteologi Sosial Lintas Ilmu. Kemiskinan Sebagai Tantangan Hidup Beriman. (Yogyakarta : Kanisius, 1995), 134.

Jumat, 23 Agustus 2013

BERTUMBUH DI DALAM RENCANANYA



Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata “bertumbuh” mempunyai arti “bertambah besar atau sempurna.” Ambil saja contohnya, benih tanaman yang berkembang, hidup dan menjadi besar atau bagian tubuh seperti rambut, yang tumbuh dan bertambah panjang. Sedangkan dalam Kamus Global, kata “bertumbuh” (develop) mempunyai arti mengembangkan, mengupayakan pertumbuhan atau memperkuat. Ambil saja contohnya, seorang anak kecil, secara fisik bertumbuh dari bayi menjadi anak, remaja, pemuda, dewasa dan tua. Namun secara mental, psikologis, emosi dan spiritual belum tentu mengalami pertumbuhan yang baik. Pertumbuhan adalah tanda kehidupan, dan indicator utamanya adalah adanya kehidupan, dan bertumbuh. Pada manusia, ada enam aspek yang terus menerus mengalami pertumbuhan, dan jika aspek itu tidak bertumbuh, sudah dipastikan akan mengalami masalah.

1.       Aspek Jasmani atau Fisik. Secara fisik terlihat jelas bahwa dengan bertambahnya usia, fisik seseorang mengalami pertumbuhan baik dalam hal tinggi maupun dalam hal berat. Selain itu, terjadi juga menguatan otot-otot dan perubahan bentuk badan menjadi semakin menyerupai orang dewasa.
2.      Aspek Intelektual atau Berpikir. Berbeda dengan tahap sebelumnya, pada masa SMA seseorang sudah mulai mampu memikirkan hal-hal yang lebih abstrak dan logis. Ketika ada sesuatu yang tidak bisa dipahami atau diterima dengan akal, ada perasaan tidak enak yang muncul. Menjadi dewasa secara intelektual berarti menggunakan akal budi untuk melakukan penilaian tentang benar atau tidaknya sesuatu sehingga terjadi pertimbangan yang matang dalam menghadapi masalah atau mengambil keputusan.
3.      Aspek Emosi. Emosi berkaitan dengan bagaimana perasaan muncul dan diekspresikan. Dewasa secara emosi artinya mampumengendalikan perasaan dengan cara yang tepat untuk alasan yang tepat dan ditujukan pada orang yang tepat. Bertambahnya usia, seharusnya membuat orang lebih mampu mengendalikan emosinya.
4.      Aspek sosial. Orang yang dewasa dalam aspek ini mampu berhubungan dengan baik dan benar dengan orang lain, walaupun berbeda dari sudut usia, pendidikan, latar belakang keluarga, kedudukan dan status sosial. Ia mampu menempatkan dirinya sedemikian rupa, sehingga berhasil menjalin komunikasi dua arah dengan orang lain.
5.      Aspek Moral. Pada usia kanak-kanak, seseorang bertingkah laku baik karena disuruh, diiming-imingi hadiah, atau diancam hukuman. Namun, pada usia dewasa, seseorang diharapkan sudah memiliki pedoman mengenai apa yang benar dan baik untuk dilakukan. Standard moral yang tinggi diperlihatkan oleh orang yang memiliki kepedulian pada orang lain. Pada saat ia melakukan sesuatu, ia mempertimbangkan dampaknya pada orang lain, seberapa jauh hal itu membawa kesejahteraan pada orang lain. Pada kenyataannya, ada juga orang dewasa yang berperilaku ke kanak-kanakan. Kalau anak kecil usia empat atau lima tahun, sikap egonya sedang bertumbuh. Ia harus menjadi pusat perhatian, dan setiap mainan yang ia suka, harus menjadi miliknya. Namun, ada banyak orang dewasa yang masih berperilaku ke kanak-kanakan. Merasa diri super, tidak mau kalah, selalu benar da menang sendiri.
6.      Aspek spiritual. Spiritualitas adalah hubungan yang terjalin dengan Allah. Atau lebih tepatnya, bagaimana penghayatan seseorang terhadap apa yang terbaik bagi Tuhan dan apa yang dikehendaki-Nya. Itulah yang mewarnai standard moral yang dimilikinya. Orang yang dewasa dalam aspek ini mengenal bukan hanya kekuatan, melainkan juga kelemahan dirinya. Ia tidak menjadi sombong dengan semua kelebihan yang dimilikinya karena pada saat yang sama, ia tahu bahwa ia juga mempunyai kekurangan.

Dalam Lukas 2:41-52, diceritakan kisah Yesus. Walaupun masih berusia 12 tahun, Yesus sudah menunjukkan minat yang tinggi pada hal-hal spiritual. Ia melakukan tanya jawab dengan para alim ulama yang tentunya dikenal sebagai orang yang mengenak isi Kitab Suci. Namun Yesus juga menunjukkan ketaatan-Nya kepada Yusuf dan Maria, dengan mengikuti mereka kembali pulang ke Nazareth. Walaupun kecerdasan Yesus pada hal-hal spiritual mengagumkan, bahkan melebihi rata-rata orang yang dewasa.
Alkitab menceritakan kepada kita, ada pertumbuhan yang salah. Hofni dan Pinehas adalah anak-anak imam Eli, yang sudah pasti mengalami didikan seorang imam. Mereka tumbuh menjadi dewasa secara fisik, namun tidak secara rohani. Dalam 1 Samuel 2:12-17 diceritakan, mereka melakukan pelbagai kejahatan dan kekejian di hadapan Tuhan hanya untuk memuasan hawa nafsu dan keinginan mereka. Jabatan keluarga Imam Eli disalahgunakan. Berbeda halnya dengan Samuel, yang diserahkan orangtuanya ke dalam didikan Eli. Dia justru mengalami pertumbuhan yang lengkap, tidak hanya secara fisik. Ketika Samuel kecil, ibunya dengan setia membuatkan jubah kecil buat Samuel. Tentu ada banyak pertanyaan mengapa anak-anak Imam Eli sendiri mengalami pertumbuhan yang tidak diharapkan. Alkitab tidak memberi penjelasan, dan hanya mengatakan, “Mengapa engkau memandang dengan loba kepada korban sembelihan-Ku dan korban sajian-Ku, yang telah kuperintahkan, dan mengapa engkau menghormati anak-anakmu lebih dari pada-Ku, sambil kamu menggemukkan dirimu dengan bagian yang terbaik dari setiap korban sajian umat-Ku Israel?”

Dari teguran Tuhan ini kita dapat menarik kesimpulan, bahwa Eli menjalankan tugas keimamannya hanya sebagai “profesi” sehingga ia merasa berhak menikmati bagian yang terbaik, yang seharusnya untuk Tuhan, dan sikap Eli ini dilihat oleh anak-anaknya. Akibatnya, teguran yang disampaikan Eli kepada mereka tidak diindahkan (1 Sam. 2:22-24). Sedangkan Samuel, ia melihat begitu besar peran ayah dan ibunya dalam mendukung dirinya menjadi pelayan di rumah Tuhan, sehingga Samuel itu dikasihi oleh Tuhan dan manusia (1 Sam. 2:26).

Kisah yang sama kita temukan dalam diri Yesus. Orangtuanya, Yusuf dan Maria memberikan perhatian serius untuk pendidikan iman-Nya. Setiap tahun, mereka pergi ke Yerusalem pada hari Paska, dan Yesus selalu ikut. Tidak mengherankan, bila pada usia 12 tahun, Yesus dapat bersoal jawab dengan para alim ulama di Bait Allah. Sama seperti Samuel, Yesus terus bertumbuh, “Dan yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi Allah dan manusia” (Lukas 2:52). Kita semua seharusnya seperti Dia, yang “makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia” (Lukas 2:52). Pertambahan usia menjadi makin dewasa dibuktikan dengan hikmat dan pengenalan akan Allah yang juga bertambah, sehingga kita tahu bagaimana membawakan diri di tengah-tengah orang lain dan orang banyak.

Apa tanda-tanda pertumbuhan seorang manusia yang lengkap? Dikasihi Tuhan dan manusia! Keduanya tidak dapat dipisahkan, sekalipun berbeda. Itulah indicator pertumbuhan jasmani dan rohani kita yang utuh. Bagaimana sekarang dengan kita? Apakah semakin lama, dan semakin tua, semakin dikasihi Tuhan dan orang-orang di sekitar kita? Ataukah semakin lama, semakin orang tidak mau kenal dan bergaul dengan kita? Semakin dijauhi orang. Jika selama ini kita lebih memperhatikan penampilan fisik, cobalah kini lebih utuh lagi melihat dan membenahi seluruh aspek kehidupan kita. Bila kita mau dikasihi Tuhan dan sesama, salah satu syaratnya adalah: Ubahlah sikap egois menjadi murah hati! Perhatikan orang lain yang ada di sekitar kita dan lakukanlah kebaikan untuk mereka. Jangan menghitung apa untungnya, dan apa ruginya karena kita semua adalah “manusia baru” di dalam Kristus. Jadilah manusia baru yang tidak egois supaya kita makin lama makin dikasihi Allah dan sesama. Dalam 2 Petrus 3:18 dikatakan, “Bertumbuhlah dalam kasih karunia dan dalam pengenalan akan Tuhan dan Juruselamat kita, Yesus Kristus.” Betapa indahnya jika kita dikasihi oleh Tuhan dan sesama.

Kisah yang satu ini mungkin dapat mengajarkan kita untuk tidak egois atau mementingkan diri sendiri. Pada suatu hari ada seorang anak muda terpelajar mengamati seorang Pak Tua yang sedang menanam sebatang pohon mangga dengan keringat bercucuran. Anak muda itu menghampirinya dan bertanya, “Pak Tua, untuk apa melakukan pekerjaan sia-sia menanam pohon mangga? Apakah Pak Tua masih sempat menikmati buah pertama dari pohon ini?” Sambil tersenyum dan meneruskan pekerjaannya, Pak Tua itu menjawab, “Apakah yang kamu makan adalah hasil yang kamu tanam sendiri?” Dengan tersipu, anak muda itu meninggalkan Pak Tua. Pertanyaannya, apakah kita sekarang lebih mirip dengan Pak Tua ataukah seperti anak muda itu?”









Selasa, 30 Juli 2013

"TIDAK USAH MENCARI KAMBING HITAM"





Hari Selasa, tanggal 15 Januari 2013, hujan  deras terus mengguyur Jakarta, nyaris tanpa jeda. Akibatnya, hampir seluruh wilayah Jakarta terendam banjir. Jalan Sudirman, Bundaran HI pun tak luput dari genangan air. Bahkan, Istana Merdeka turut terendam banjir. Sejak tahun 2009, saya dan keluarga tinggal di Jakarta Barat, di daerah Greenville selama dua tahun, dan di Taman Ratu Indah hampir dua tahun. Selama dua hari kami dikepung air, listrik padam dan pasokan air PAM tidak berfungsi. Baru kemarin siang air surut, namun hingga hari ini listrik masih padam dan air PAM tidak mengalir.  Untuk pertama kalinya saya menikmati segarnya air Aqua Galon untuk mandi selama dua hai  berturut-turut, dan mempersiapkan kotbah dengan menggunakan lilin di tengah kegelapan malam.

Banjir memang persoalan besar bagi kota Jakarta. Hampir setiap tahun kita diterjang banjir. Banjir membawa kerugian yang tidak sedikit. Rumah terendam air, listrik padam, pasokan air bersih tidak berfungsi.  Banjir juga kadang meminta korban jiwa. Tidak heran, warga DKI Jakarta menempatkan banjir sebagai salah satu problem pokok. Berbagai proyek penanganan banjir sudah pernah dilakukan, seperti proyek kanal banjir barat dan timur, tanggul banjir, normalisasi sungai, interkoneksi, sistem drainase perkotaan, sistem polder (waduk dengan pompa), pintu air pasang, dan pintu air pengatur. Sayangnya, penyelesaian soal banjir tidak kunjung menemui titik terang.

Banjir di Jakarta juga tidak lepas dari model pembangunan yang sangat kapitalistik. Banyak kawasan hijau, taman kota, dan rawa-rawa diubah menjadi pusat perbelanjaan, pemukiman elit, apartemen, dan lain-lain. Akibatnya, dalam 10 tahun terakhir saja, daerah resapan air di Jakarta berkurang hingga 50 persen. Akibatnya, dari curah hujan di Jakarta yang mencapai dua miliar m3 setiap tahunnya, hanya 36 persen yang terserap. Sebagian besar sisanya, terbuang ke jalan aspal, selokan dan pemukiman penduduk. Diperparah lagi, jumlah saluran air yang semakin betkurang dan menyempit, yang tertimbun oleh proyek-proyek pembangunan ruko, mall-mall, apartemen dan sebagainya, membuat sebagian besar sungai-sungai di Jakarta mengalami sedimentasi dan tertimbun sampah.

Sampai hari ini, banyak orang yang saling menyalahkan dan mencari kambing hitam atas banjir yang terjadi di Jakarta. Dalam keadaan sulit,  biasanya orang memang lebih suka saling menyalahkan dan mencari kambing hitam atau penyebab atas masalah yang terjadi. Boro-boro mencari solusinya, karena masing-masing pihak merasa pendapatnya yang paling benar dan mereka lebih senang menyalahkan orang lain. Akhirnya, terjadi disharmoni (pertengkaran, perpecahan di antara mereka). Pertengkaran dan perpecahan juga terjadi di Jemaat Korintus. Sama seperti kita, mereka juga  berasal dari pelbagai latar belakang status sosial, budaya,  ras, dan golongan, demikian juga dengan talenta. Namun sayangnya, Keberagaman  tidak diterima sebagai sebuah anugerah atau kekayaan dalam jemaat, melainkan sebagai sumber perpecahan. Akibatnya, potensi jemaat yang luar biasa itu energinya hanya dihabiskan untuk berdebat, siapa yang paling hebat di antara mereka.

Dalam pandangan Paulus, Tuhan memberikan karunia yang berbeda pada setiap orang dan karunia itu diberikan tidak dengan maksud untuk dinikmati sendiri apalagi dipakai sebagai alat atau sarana pemuliaan diri dan meremehkan orang lain. Kalau ditanya, Mengapa Tuhan tidak memberikan karunia yang sama pada setiap orang? Di sinilah justeru Tuhan menginginkan setiap anggota jemaat untuk belajar berelasi satu dengan yang lain. Mereka saling membutuhkan, saling terkait satu dengan yang lainnya sama seperti tubuh manusia yang anggota-anggotanya berbeda dengan fungsi yang berbeda. Begitu pula dengan kita. Mereka saling membutuhkan, dan saling terkait satu dengan yang lainnya.

Belajar dari Jemaat Korintus, kita disadarkan bahwa setiap kita diberi talenta atau pun karunia. Apapun bentuknya. Mungkin dalam bentuk kepandaian mengorganisasi sebuah sistem, atau kepandaian untuk mendesign sebuah bangunan dst. Karunia yang diberikan Tuhan kepada saya tentu berbeda dengan karunia Anda. Dan karunia yang dianugerahkan Tuhan kepada Anda tentu juga tidak sama persis dengan teman Anda. Di sinilah kita terpanggil menggunakan karunia itu untuk kepentingan bersama. Membangun jemaat Tuhan bukan sebaliknya, menjadi penyulut perpecahan.

Pesan moral yang sama juga disampaikan kepada kita melalui kisah pernikahan di Kana (Yohanes 2:1-11). Maria ibu Yesus yang hadir dalam pesta itu, sekalipun ia seorang ibu, tidak memaksa Yesus untuk menuruti kehendaknya. Ia menyuruh semua pelayan agar menuruti saja apa yang dikatakan Yesus (Yohanes 2:5). Maria juga tampil sebagai sosok yang tidak mudah tersinggung lantaran permohonannya tidak langsung direspon Yesus yang adalah anaknya sendiri dengan alasan saatnya belum tiba. Keyakinan bahwa Yesus pasti melakukan yang terbaik pada saat yang tepat dan melakukan apa yang diperintahka-Nya itulah yang membuat mujizat itu terjadi. Dengan cara seperti itu, mereka melihat mujizat terjadi. Air berubah  menjadi anggur!

Nah bagaimanakah sekarang dengan kita? Ilustrasi dari Spencer Johnson ini mungkin dapat menolong kita.
Dahulu kala hiduplah dua pasang sahabat, dua kurcaci dan dua tikus. Setiap hari mereka berkeliaran dalam sebuah labirin mencari keju yang lezat.
Dua tikus menggunakan metode trial and error, masuk ke satu lorong dan segera berpindah ke tempat lain sampai mereka menemukan keju. Sedangkan dua kurcaci menggunakan kemampuan berpikir mereka untuk menemukan keju.
Suatu hari, terjadi tragedi. Keju telah habis.
Dua tikus yang menyadari situasi yang sudah berubah ini, tanpa membuang waktu, memutuskan untuk berubah juga. Mereka pun mengangkat hidung, mengendus dan berlari ke labirin lain untuk menemukan keju yang baru.
Namun dua kurcaci tak siap menghadapi kenyataan ini. Alih-alih mengambil tindakan, mereka malah berteriak-teriak, berkacak pinggang, menggerutu dan mengomel berkepanjangan.
“Ini tidak adil. Siapa yang memindahkan keju kita?” kata kurcaci pertama.
Sahabatnya menjawab, “Ini kecerobohanmu, kalau saja kau memperhatikan bahwa persediaan keju kita semakin menipis, hal ini tak mungkin terjadi!”
Dan mereka mulai menganalisa. “Pasti ada orang jahat yang hendak mempermainkan kita. Kita harus mencari tahu.”
Maka, berhari-hari lamanya mereka mendiskusikan masalah ini. Tapi keju tak kunjung tiba, hingga mereka benar-benar merasa lemas dan tak bertenaga.
Ilustrasi sederhana nan menarik ini amatlah tepat menggambarkan kondisi bangsa kita. Tingkah kita pun semakin mirip sepasang kurcaci itu.

Saat musibah dan bencana melibas kita,  respon kita biasanya hanyalah tak henti menganalisa berkepanjang, menggerutu tak henti, saling menyalahkan dan tanpa aksi, apalagi solusi. Yang membuat suasana makin runyam sebenarnya bukanlah musibah dan bencana itu sendiri, tapi respon kita menghadapi musibah dan bencana itu sendiri. Tuhan memperlengkapi setiap kita untuk berkarya bagi kepentingan sesama. Dengan talenta dan karunia yang berbeda, kita semuanya memiliki karunia yang berbeda, dan maksud Tuhan dengan itu semua adalah supaya kita membangun relasi yang baik dan saling terkait satu dengan yang lain, untuk meluas lebarkan pekerjaan Tuhan di dalam kehidupan ini.

Kamis, 23 Mei 2013

"WHY DO PARENTS PLAY THE MOST IMPORTANT ROLE IN EDUCATION?"






“Mengapa Orang tua Memainkan Peran Paling Penting
Dalam Pendidikan Anak?”
Oleh: Pdt. Maryam Kurniawati D.Min



“Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang daripada jalan itu”
(Amsal 22:6)


Menjadi orang tua, dalam pemikiran saya adalah sebuah anugerah atau hadiah dari Tuhan. Masih melekat dalam ingatan saya, ketika Brian (anak laki-laki kami yang pertama) lahir pada tanggal 14 Mei 1992 (dengan berat 3,7 kg dan panjang 51 cm), dan ketika Justin (anak laki-laki kami yang kedua) lahir pada tanggal 3 Januari 1997 (berat 3,85 kg dan panjang 51 cm). Kehadiran Brian dan Justin tentu saja menambah keceriaan di dalam keluarga kami. Namun tugas dan tanggung jawab untuk mendidik dan membesarkan dua anak laki-laki, bukanlah suatu hal yang mudah untuk dilakukan. Kami (sebagai ayah dan ibu) memiliki waktu yang terbatas (karena sama-sama bekerja dan aktif dalam pelayanan). Namun kami terus belajar dan berupaya untuk memenuhi semua kebutuhan mereka, baik emosional, intelektual mau pun spiritual.
Selama lebih dari delapan tahun, kami di rumah tidak memiliki pembantu, atas permintaan Brian dan Justin. Semua pekerjaan di rumah, menjadi “pe-er” kami bersama. Tidak ada jenis pekerjaan laki-laki atau pun perempuan, karena semua pekerjaan di rumah adalah tanggung jawab kami bersama dan kami harus gotong-royong. Begitu pula, permasalahan yang terjadi di rumah atau pun di sekolah dan gereja, menjadi topik diskusi bahkan perdebatan kami yang hangat. Dalam usia 21 tahun, Brian sudah bekerja dan tidak lama lagi akan melanjutkan kuliah. Sedangkan Justin, dalam usia 16 tahun, masih berada di bangku Sekolah Menengah Atas. Kedua-duanya, sejak awal bulan Mei ini – terpaksa tinggal di kost, karena sewa rumah kontrak kami berakhir pada tanggal 9 Mei 2013, dan kami pindah ke Tangerang, yang jauh dari sekolah dan tempat mereka beraktivitas.
Memasuki babak kehidupan yang baru, karena terpisah oleh jarak dan waktu, kami belajar untuk memberi kepercayaan kepada Brian dan Justin untuk lebih mensyukuri “kehidupan bersama keluarga” (menurut istilah mereka), serta memberi ruang dan waktu bagi mereka untuk belajar mandiri, lebih matang dan dewasa karena harus belajar berhemat serta mencukupi kebutuhan sehari-hari di sekolah dan di tempat kost dengan cerdik.
Sebagai ibunya, saya belajar untuk memberi kepercayaan dan tanggung jawab bagi Brian dan Justin untuk bersikap matang dan dewasa. Dari seorang Ibu yang setiap hari bangun pagi-pagi, menyediakan makanan dan memasok kebutuhan mereka (sampai bekal di sekolah dan di kantor setiap hari), menjadi seorang Ibu yang hanya menyediakan makanan dan memasok kebutuhan mereka dua minggu atau sebulan sekali. Satu minggu pertama, ada perasaan “kosong” dan “hampa” ketika kembali ke rumah, setiap sore.
Kalau ditanya, apakah ada rasa cemas dan kuatir “melepaskan” anak-anak untuk kost dan mandiri? Jawabnya adalah, kami sangat cemas dan kuatir karena baru untuk pertama kalinya kami harus “menyapih” Brian dan Justin. Mempunyai dua anak laki-laki, mendidik dan mengajar saya (khususnya) untuk memahami dan menyadari, bahwa memberi waktu dan ruang bagi anak-anak untuk bertumbuh makin dewasa melalui tantangan dan permasalahan kehidupan, merupakan suatu keharusan. Setiap anak perlu menyadari, bahwa mereka belajar tidak hanya di bangku sekolah tetapi juga di sekolah kehidupan dengan segala bentuk permasalahan yang ada di dalamnya, agar kelak mereka lebih siap, matang dan dewasa dalam menjalani kehidupan.
          Oleh karena itu memanjakan anak dengan uang dan fasilitas, tidak pernah ada di dalam benak kami. Brian dan Justin bisa menghitung, berapa biaya yang harus diperlukan untuk membayar uang Sekolah dan keperluan sekolah, les tambahan dan keperluan mereka setiap tahunnya. Dan mereka juga memahami, acara berlibur keluarga perlu dipersiapkan satu sampai dua tahun di muka, karena harus berhemat dan menabung. Mengurangi “jatah uang jajan keluarga” dan keperluan lainnya, untuk berlibur ke Bali dan tempat lainnya.
Sebagai orang tua, saya dan suami saya bukan malaikat. Kami hanya orang tua sederhana yang punya cita-cita besar bagi masa depan anak-anak kami. Selaras dengan apa yang dikatakan oleh penulis kitab Amsal, “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang daripada jalan itu” (Amsa 22:6). Oleh karena itu ada juga keceriaan di dalam hati, karena jarak dan waktu yang memisahkan, membuat kami “semakin melekat dan merindukan” satu sama lain.
Hal ini mengingatkan saya pada seorang ahli antropologi, yang bernama James Prescott. Ia mengatakan, bahwa jika anak-anak dibesarkan dalam kasih sayang, mereka akan tumbuh menjadi seorang dewasa yang lebih sehat, dan lebih bahagia. Sebaliknya anak-anak yang masa kanak-kanaknya penuh dengan penolakan dan kekerasan, kelak akan bertumbuh menjadi anak-anak yang sangat tertekan dan jahat. Kami berdoa, semoga Brian dan Justin terus bertumbuh menjadi seorang dewasa yang sehat dan bahagia karena mereka dibesarkan dalam kasih sayang dan penuh cinta. <3