Halaman

Kamis, 10 Januari 2013

MEMBEDAH FANATISME DAN SOLUSINYA








Fanatisme

                

Fanatisme adalah sebuah keadaan di mana seseorang atau kelompok yang menganut sebuah paham, baik politik, agama, kebudayaan atau apa pun saja dengan cara berlebihan (membabi buta) sehingga berakibat destruktif, bahkan cenderung menimbulkan perseteruan dan konflik serius bagi kelompok yang berbeda suku, ras dan agama. Dalam konteks kehidupan sehari-hari, fanatisme juga berarti kesenangan yang berlebihan (tergila-gila atau keranjingan). Sepenggal perjalanan hidup Chairil Anwar adalah salah satu contohnya. Konon, dia lebih senang membeli buku sastra daripada membeli makanan untuk bertahan hidup, atau obat untuk menyembuhkan penyakit yang dideritanya. Lihat pula penggemar fanatik group Band Slank yang rela membentuk komunitas, lengkap dengan pengurus dan benderanya setiap distrik, meski tanpa bayaran. Dapat dipastikan, mereka wajib hadir jika group kesayangannya melakukan konser di daerah mereka.

Fanatisme dapat dijumpai di setiap lapisan masyarakat, di negeri maju, maupun di negeri terbelakang, pada kelompok intelektual maupun pada kelompak awam, pada masyarakat beragama maupun pada masyarakat atheis. Pertanyaan yang muncul ialah apakah fanatisme itu merupakan sifat bawaan manusia atau karena direkayasa?

1. Sebagian ahli ilmu jiwa mengatakan bahwa sikap fanatik itu merupakan sifat natural atau kecenderungan hati manusia, dengan alasan bahwa pada lapisan masyarakat manusia di manapun dapat dijumpai individu atau kelompok yang memilki sikap fanatik. Dikatakan bahwa fanatisme itu merupakan konsekwensi logis dari kemajemukan sosial atau heteroginitas dunia, karena sikap fanatik tidak mungkin timbul tanpa didahului perjumpaan dua kelompok sosial.

Dalam kemajemukan itu manusia menemukan kenyataan ada orang yang segolongan dan ada yang berada di luar golongannya. Kemajemukan itu kemudian melahirkan pengelompokan "in group" dan "out group". Fanatisme dalam persepsi ini dipandang sebagai bentuk solidaritas terhadap orang-orang yang sefaham, dan tidak menyukai kepada orang yang berbeda. Ketidaksukaan itu tidak berdasar argumen logis, tetapi sekedar tidak suka kepada apa yang tidak disukai (dislike of the unlike). Sikap fanatik itu menyerupai bias dimana seseorang tidak dapat lagi melihat masalah secara jernih dan logis, disebabkan karena adanya kerusakan dalam sistem persepsi (distorsion of cognition).

Jika ditelusuri akar permasalahannya, fanatik dalam arti cinta buta kepada yang disukai dan antipati kepada yang tidak disukai dapat dihubungkan dengan perasaan cinta diri yang berlebihan (narcisisme), yakni bermula dari kagum diri, kemudian membanggakan kelebihan yang ada pada dirinya atau kelompoknya, dan selanjutnya pada tingkatan tertentu dapat berkembang menjadi rasa tidak suka, kemudian menjadi benci kepada orang lain, atau orang yang berbeda dengan mereka. Sifat ini merupakan perwujudan dari egoisme yang sempit.

2. Pendapat kedua mengatakan bahwa fanatisme bukan sifat natural manusia, tetapi merupakan hal yang dapat direkayasa. Alasan dari pendapat ini ialah bahwa anak-anak, dimanapun dapat bergaul akrab dengan sesama anak-anak, tanpa membedakan warna kulit ataupun agama. Anak-anak dari berbagai jenis bangsa dapat bergaul akrab secara alami sebelum ditanamkan suatu pandangan oleh orang tuanya atau masyarakatnya. Seandainya fanatik itu merupakan bawaan manusia, pasti secara serempak dapat dijumpai gejala fanatik di sembarang tempat dan disembarang waktu. Nyatanya fanatisme itu muncul secara berserakan dan berbeda-beda sebabnya.

3. Teori lain menyebutkan bahwa fanatisme berakar dari tabiat agressi seperti yang dimaksud oleh Freud ketika ia menyebut instink Eros dan Tanatos.

4. Ada teori lain yang lebih masuk akal yaitu bahwa fanatisme itu berakar pada pengalaman hidup secara aktual. Pengalaman kegagalan dan frustrasi terutama pada masa kanak-kanak dapat menumbuhkan tingkat emosi yang menyerupai dendam dan agressi kepada kesuksesan, dan kesuksesan itu kemudian dipersonifikasi menjadi orang lain yang sukses. Seseorang yang selalu gagal terkadang merasa tidak disukai oleh orang lain yang sukses. Perasaan itu kemudian berkembang menjadi merasa terancam oleh orang sukses yang akan menghancurkan dirinya. Munculnya kelompok ultra ektrim dalam suatu masyarakat biasanya berawal dari terpinggirkannya peran sekelompok orang dalam sistem sosial (ekonomi dan politik) masyarakat dimana orang-orang itu tinggal. 

Dari empat teori tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa untuk mengurai perilaku fanatik seseorang/sekelompok orang, tidak cukup dengan menggunakan satu teori , karena fanatik bisa disebabkan oleh banyak faktor, bukan oleh satu faktor saja. Muncul¬nya perilaku fanatik pada seseorang atau sekelompok orang di suatu tempat atau di suatu masa. boleh jadi;

(a) merupakan akibat logis dari sistem budaya lokal, tetapi boleh jadi,

(b) merupakan perwujudan dari motif pemenuhan diri kebutuhan kejiwaan individu/sosial yang telah lama tidak terpenuhi.



Solusi Terhadap Perilaku Fanatisme

Karena perilaku fanatik mempunyai akar yang berbeda-beda, maka cara penyembuhannya juga berbeda-beda.

Perilaku fanatik yang disebabkan oleh masalah ketimpangan ekonomi, pengobatannya harus menyentuh masalah ekonomi, dan perilaku fanatik yang disebabkan oleh perasaan tertekan, terpojok dan terancam, maka pengobatannya juga dengan menghilangkan sebab-sebab timbulnya perasaan itu. Pada akhirnya, pelaksanaan hukum dan kebijaksanaan ekonomi yang memenuhi tuntutan rasa keadilan masyarakat secara alamiah akan melunturkan sikap fanatik pada mereka yang selama ini merasa teraniaya dan terancam. Kasus kekerasan belakangan ini terjadi di ibukota harus dilihat dengan perspektif ini.



Peran dan Fungsi Gereja

Gereja adalah suatu komunitas iman yang berjuang untuk menjadi rumah pembebasan bagi mereka yang marjinal, yang dipinggirkan, dan lemah, mereka yang dipandang rendah dan dihina oleh komunitasnya? Bukankah Gereja adalah komunitas yang terbuka dan menerima siapa saja dari semua ras, umur, suku bangsa, gender, jenis kelamin, preferensi seksual, semua makhluk dan ciptaan untuk disembuhkan dan hidup di dalam keadilan Allah.

Semua ini mengingatkan kepada kita, kesalahpahaman dan ketidakmampuan kita (baik umat Kristen mau pun umat Islam) untuk menghadapi perbedaan-perbedaan, dan kecenderungan untuk “mengontrol” merupakan stereotype dan prasangka yang tidak dapat disangkal. Untuk mencari suatu bentuk kehidupan masyarakat yang dapat mendatangkan kesejahteraan dan perdamaian penuh, umat Kristen dan Islam perlu bertemu untuk menyelami masalah-masalah yang memisahkan umat, sehingga menyebabkan ketidakrukunan dan konflik yang lebih dalam lagi. Karena itu dialog dilakukan, atas dasar keyakinan bahwa konfrontasi dan konflik tidak bisa menyelesaikan masalah, tetapi hanya akan lebih mengasingkan umat yang satu dari yang lainnya. Dialog adalah usaha membuat orang-orang merasa nyaman berada di rumah “kemajemukan,” membangun rasa saling menghargai dalam keanekaragaman, dan mengusahakan berbagai hubungan yang dapat mempersatukan mereka saat seluruh umat terancam oleh kekuatan-kekuatan anarkhis yang memisahkan mereka.

Kerukunan hidup beragama dalam masyarakat Indonesia yang majemuk adalah suatu fenomena yang indah,  karena itu adalah tidak beralasan jika agama (baik Kristen atau pun Islam) digunakan sebagai argumen utama dalam menjastifikasikan tindak kekerasan yang terjadi. Pada dasarnya semua agama, apakah itu Islam, Hindu, Budha, Kristen mau pun yang lainnya, “hadir ke dunia” justru untuk mengatasi apa yang kita pahami sebagai penderitaan manusia dan lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan manusia dalam hubungan kemanusiaan. Oleh karena itu ketika umat berbagai agama mencari suatu communicatio in sacris yang multi iman – saling berbagi pengalaman religius dan berpartisipasi dalam setiap ibadah dan meditasi orang lain, maka mereka juga bisa berbagi pengalaman dan bahasa religius mereka dalam praksis konkret dari spiritualitas global dan upaya menegakkan keadilan bagi manusia dan lingkungan.

Program Workshop “Islam dan Pluralisme” yang diselenggarakan oleh The Wahid Institute bekerja sama dengan Crisis Centre Gereja Kristen Indonesia (CC GKI) selama bulan Februari dan Maret 2008, yang diikuti oleh 40 pemuda Kristen yang berasal dari berbagai Gereja (GKI, GPIB, HKBP, Gereja Katolik) di Pesantren Cipasung Tasikmalaya,  Pesantren al-Mizan Majalengka (Jawa Barat) dan Pesantren Budaya Ilmu Giri, Imogiri (Bantul, DI Yogyakarta) misalnya, dapat menjadi sebuah inspirasi bagi penyelesaian problem-problem kemanusiaan melalui jalur agama. Melalui kegiatan semacam itu, terbuka kemungkinan untuk membangun perspektif dan paradigma yang baru, bahwa kerukunan hidup beragama di Indonesia merupakan suatu fenomena yang indah. Melalu perjumpaan secara interakstif,  setiap komunitas agama dapat memahami bahwa agama tidak hanya mengurusi ritus peribadatan, tetapi juga memiliki perhatian terhadap soal-soal kemasyarakatan. (Suara Pembaruan, 8 April 2008) 

Dialog antar agama yang dilaksanakan dalam bentuk komunitas basis manusiawi (base human communities) seperti ini, dapat menjadi suatu sarana positif dalam menanggapi jeritan yang memohon keadilan dan kesejahteraan, tetapi juga sebagai satu cara mencegah penyalahgunaan agama demi tercapainya kepentingan tertentu. Bukankah semua agama dihadirkan untuk menciptakan kedamaian dan ketentraman, untuk membimbing manusia ke dalam jalan hidup yang luhur?

Berbicara dari dalam konteks multi-agama dan penderitaan di India, Felix Wilfred menggambarkan hal berbagi dan komunikasi multi-agama yang memberikan sumbangan bagi identitas dan kekuatan dari kelompok-kelompok ini sebagai berikut :

Pengalaman religius umat berbagai agama akan memperkuat ikatan persatuan serta memungkinkan diadakannya rencana-rencana konkret untuk mentransformasi masyarakat ... Komunitas semacam ini tidak bisa dianggap semata-mata eksperimental atau luar biasa; mereka harus menyebarkan sehingga menjadi hal biasa di Asia.



Dengan demikian kesediaan untuk berbagi dan masuk ke dalam pengalaman inti setiap komunitas agama dapat mereduksikan sakit hati dan bahkan dendam collective di masa lalu, dan mentransformasikannya ke dalam babak sejarah baru guna membangun masa depan yang rukun dan damai. Sebagai contoh, Forum Saresehan Ulama dan Pendeta yang diprakarsai oleh Lembaga Percik, Salatiga  di Wisma Santri Edi Mancoro, Gedangan pada tanggal 26-27 Juni 2002.

Di dalam forum yang mempertemukan para pimpinan pesantren dan para pimpinan gereja (GKJ) tersebut dibangun hubungan kritis dan transformatif,  dengan membahas  issue-issue Islamisasi dan Kristenisasi dan sekat-sekat yang dibangun oleh kedua belah pihak komunitas agama. Dalam kesempatan selanjutnya, mereka menganalisis luka dan sakit hati yang disebabkan oleh sejarah masa lalu. Muncul kesadaran yang baru, perlunya menghapus dendam yang tersimpan dalam “collective memory” masing-masing komunitas agama. Ternyata dengan masuk ke dalam pengalaman inti tradisi agama masing-masing, kedua belah pihak dapat mewujudkan rekonsiliasi atau menghilangkan sakit hati yang lahir oleh sejarah dan membangun kesadaran dan pengertian yang baru, bahwa misi beragama adalah menjadikan orang lebih baik dan manusiawi, dan bukan memindahkan orang ke dalam agama lain.


Menurut Paul F. Knitter, dalam forum atau pertemuan semacam ini, komunitas antar agama dapat berkumpul untuk mengenal dan menganalisis situasi yang diakibatkan oleh eksploitasi dan marjinalisasi sejarah masa lalu, kemudian menemukan jawaban tentang bagaimana semua ini dapat dibawa  ke dalam suatu percakapan yang kritis dan memberi kehidupan, dengan berbagai keyakinan keagamaan yang terwakili dalam kelompok agama. Di dalam fungsi praktisnya, komunitas basis manusiawi ini memungkinkan adanya keseimbangan disamping ada ikatan personal erat yang tumbuh karena praksis bersama. Semua ini bisa menjadi diagnosis dan obat untuk mencegah pemanfaatan agama sebagai alat kebencian ketimbang sebagai alat kerja sama. Obat mujarab untuk mencegah penyalahgunaan satu agama tertentu secara eksploitatif adalah menghimbau para penganut agama untuk bergabung dalam satu komunitas wacana dan berkolaborasi dengan umat beragama lainnya.

Apakah upaya untuk membangun hubungan yang kritis dan transformatif itu merupakan sesuatu yang mustahil bagi Gereja? Sikap baru dari Gereja Roma Katolik, melalui Konsili Vatican II (1962) yang termuat dalam Dekrit Nostra Aetate, sudah lebih dari 40 tahun. Selanjutnya, sejarah dialog Kristen dan Islam tampaknya telah memasuki sebuah babak yang baru dalam Pontifical Council for Interreligious Dialog – PCID (Forum Katolik-Muslim). Forum dialog tersebut telah menghadirkan 29 tokoh dan cendekiawan Katolik dan Islam dari seluruh dunia di Vatican pada tanggal 4-6 Nopember 2008 yang lalu. Ini merupakan langkah konkret pertama yang dilakukan atas inisiatif Paus Benediktus ke XVI, setelah menerima surat terbuka yang ditujukan kepada Paus dan sejumlah tokoh Kristen dunia yang ditandatangani oleh 138 cendekiawan Muslim.  Surat terbuka itu dibuat setahun setelah Pidato Regensburg, untuk berdialog secara baru atas dasar hukum kasih akan Tuhan dan sesama (Love of God and Love of Neighbour) yang dikenal sebagai hukum utama dalam nuansa dua sisi dari sebuah medali. 


Refleksi teologis tentang makna kasih dalam dua perspektif yang berbeda (agama Kristen dan Islam) yang disuguhkan dalam Forum tersebut, membangun kesadaran bahwa kasih adalah sebuah kebajikan yang berkarakter universal dalam memerangi segala bentuk egoisme yang terekpresi melalui berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran HAM. Kasih bukan hanya sebuah kata. Ia adalah kata dan tindakan sekaligus. Bagaimana orang Kristen dan Islam berusaha untuk mentransformasi “kasih” sebagai kata dalam tindakan nyata, agar bisa diterima dan dipahami oleh orang-orang di luar komunitas tradisi agama masing-masing. Selain “kasih” persoalan lain yang dibahas adalah mengenai tema Human Dignity (Martabat Manusia) dan Mutual Respect (Saling menghormati). Kedua agama mengakui asal usul Ilahi derajat manusia yang dianugerahkan oleh Allah sendiri. Di dalam bingkai kasihlah manusia mampu melihat luhurnya Human Dignity dan mampu mengembangkan serta mempromosikan Mutual Respect. 

Din Syamsuddin (Ketua Umum PP Muhammadiyah) menegaskan dua hal penting untuk membantu kedua pemeluk agama agar menjernihkan pemahaman akan esensi agama, “Agama pada hakikatnya berasal dari Allah, namun bukan untuk Allah, melainkan untuk manusia.” Sebagai konsekuensinya, orang Katolik dan Islam harus bersama-sama mencari dasar (common ground) untuk memerangi musuh bersama : persoalan sosial-politik, ekologi, berbagai pelanggaran HAM dan bukan mencari musuh di antara pemeluk agama lain. Forum Dialog tersebut menghasilkan komunike antara lain:

  1. Kedua pihak bertekad mengembangkan budaya saling memahami dan menghormati.
  2. Bekerjasama membimbing pemeluk agama masing-masing menghadapi arus sekularisasi dengan mengedepankan nilai-nilai keagamaan.
  3. Menyelamatkan generasi muda dari dekadensi moral.


Di dalam Forum Dialog tersebut Paus Benediktus XVI mengajak umat Islam dan umat Katolik untuk mencintai Allah dan mencintai sesama, sebagai ajaran sentral kedua agama, kemudian menterjemahkannya ke dalam bentuk kerjasama. Kerjasama akan lebih erat lagi untuk menghadapi berbagai ancaman peradaban, seperti kemiskinan, kebodohan dan kerusakan lingkungan hidup. Forum pertama Islam-Kristen di Vatican ini bermakna simbolis bagi kerukunan dan kerjasama di antara kedua belah pihak, khususnya di Indonesia yang masih banyak kendala dan hambatan.

Upaya untuk membangun hubungan yang kritis dan transformatif semacam ini dapat menjadi inspirasi bagi Gereja-gereja di Indonesia dalam mengembangkan kesadaran dan pendekatan atas kemajemukan agama-agama dan budaya-budaya di dalam konteks Indonesia.














Rabu, 09 Januari 2013

MENGAKARKAN BUDAYA PERDAMAIAN


Keterasingan menurut Anthony de Mello adalah bencana terbesar zaman ini. Banyak anak merasa kesepian dan tidak menemukan teman. Para remaja mengisi kekosongan kasih dan perhatian orangtua dengan hangout dan berkumpul di mall-mall. Keluarga-keluarga muda tidak kenal tetangga sebelah mereka. Laki-laki dan perempuan bekerja di kantor, dan duduk di balik meja logam. Mereka menikmati kopi instan dari gelas-gelas karton dan makan siang nasi kotak. Mereka sering bertanya di dalam hati, benarkah mereka memberi sumbangan bagi kehidupan ini. Para pensiunan merasa tidak berguna dan ditolak. Para manula disingkirkan ke panti-panti jompo. Satu-satunya hiburan mereka adalah kunjungan anak dan cucu. Sayangnya, mereka hanya mampu mengalami sesekali saja. Banyakk orang yang mati dalam kesendirian telah menjadi saksi bisu keterasingan yang mencengkram dunia kita. Bukankah kita sering merasa takut, terisolasi dan tidak berdaya? Bukankah kecemasan yang melumpuhkan kerapkali menguasai hidup kita? Bukankah kepercayaan diri dan kebebasan terasa semakin menjauh? Kita merasa hampa dan sendiri, karena harapan dan sukacita telah meninggalkan kita. Sekonyong-konyong kita sadar bahwa kita telah  menjadi orang asing bagi diri kita. Kita mulai membangun tembok yang memecah-belah diri kita karena iblis, "berjalan keliling seperti singa yang mengaum dan mencari mangsa yang dapat ditelannya" (1 Petrus 5:8-9).

Mungkin kita rajin berdoa dan terlibat dalam semua bentuk pelayanan untuk menyenangkan hati Tuhan, sebagai bagian dari perlawanan. Namun semuanya itu tidak mampu menghapus keterasingan dan ketakutan kita. Kita terus menerus mendengar banyak kejahatan dan diingatkan akan bahaya di sekeliling kita. Akibatnya, kita semakin kehilangan kepercayaan terhadap sesama. Hidup terasa seperti ada dimwilayah musuh, dan kita seperti dikelilingi oleh orang-orang yang mengancam hidup kita. Satu hal yang membesarkan hati kita, bila Yesus menawarkan pengampunan damai-Nya untuk membongkar belenggu keterasingan dan rasa takut  yang mencengkram kita. Yesus menawarkan pengampunan bagi mereka yang membunuh-Nya. Bahkan Dia menumpahkan darah-Nya di kayu salib, dan Ia mengutus para mutid-Nya ke dunia untuk membawa misi pendamaian. Pengampunan dan pendamaian telah mengalahkan ketakutan. Di mana ada pengampunan, di situ tatanan hidup baru ditanamkan. Ini menjadi sangat jelas dalam salah satu penampakan Yesus. Saat para murid berkumpul di dalam ruangan yang terkunci karena ketakutan, Yesus datang dan berdiri di tengah-tengah mereka dengan bekata, "Damai sejahtera bagi kamu! Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu." Sesudah bekata demikian, Ia menghembusi mereka dan bekata, " Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosamu diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosaya tetap ada" (Yohanes 20:19-23).

Pengampunan dosa menjadi tanda khas bagi komunitas Kristiani. Kesediaan untuk saling mengampuni adalah tanda kehadiran pengampunan Allah. Ini dinyatakan sangat jelas oleh Yesus sendiri, "Jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di surga akan mengampuni kamu juga" (Matius 6:14). Pengampunan itu bukan suatu peristiwa yang terjadi hanya sekali. Namun, pengampunan yang berlangsung terus menerus merupakan ciri kehidupan sehari-hari seorang Kristen. Ketika Petrus bertanya kepada Yesus, " Tuhan sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?" Yesus berkata kepadanya, "Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali" (Matius 18:21-22).  Nah, apa yang harus kita lakukan untuk mendapat pengampunan? Jawabannya adalah pertobatan, yang berarti kerendahan hati untuk mengakui keberdosaan kita. Di dalam Perjanjian Baru, kita berkali-kali mendengar kata "Bertobatlah!!"  Kata-kata pertama yang kita dengar dari Yesus adalah "Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!" (Makus 1:15).

Pengampunan dosa adalah bentuk konkret dari pertobatan. Yesus pertama-tama meminta agar kita mengakui kebutuhan kita akan pengampunan. Dengan satu ironi Dia mengatakan, "Aku datang bukan untuk memanggil orang-orang saleh, melainkan orang-orang berdosa." Hanya orang yang menyadari diri sebagai pendosa, dapat menerima anugerah pengampunan Allah. Menjadi jelas bagi kita bahwa saling mengakui dan mengampuni adalah tanda hidup bersama sebagai umat Kristiani. Di dalam proses pengakuan dan pengampunan yang terus menerus, kita dibebaskan dari keterasingan. Kita mendapat cara  hidup baru, "tanpa senjata dan permusuhan."  Umat Kristiani menjadi pembawa damai bukan ketika menerapkan ketrampilan khusus dalam mendamaikan seseorang dengan yang lain, melainkan keitika mereka menghayati dan memberi kesaksian akan pengampunan Allah yang tak terbatas. Komunitas muncul ketika kita berani mengalahkan keakutan dan saling mengakui bahwa kita masih sering menjadi milik dunia ini. Keitika hal itu terjadi, cahaya pengampunan Tuhan dapat bersinar cerah dan kedamaian sejati semakin mekar.

Pengalaman akan pengampunan Allah itu dapat dihayati di dalam kehidupan setiap orang, di antara pasangan suami-isteri, di antara teman-teman dan di dalam rumah-rumah peribadatan. Pengampunan juga dapat terjadi di antara bangsa dan negara. Dengan demikian, garis pemisah satu dengan yang lain makin menghilang. Perbedaan agama dan etnis, tidak lagi menjadi penghalang bagi hidup komunitas yang sejati. Setiap kali terjadi pengampunan, kehidupan bekomunitas semakin berakar. Sebab itu tidak ada jalan yang lebih baik untuk menguji komitmen kita sebagai pembawa damai selain mencermati mutu hidup berkomunitas kita. Mungkin kita akan menemukan kenyataan, bahwa kita sama sekali tidak menjalani hidup komunitas. Pengakuan dan pengampunan adalah dua pilar rohani yang menopang komunitas Kristiani. Kedua pilar tersebut merupakan jalan yang dikaruniakan oleh Tuhan untuk menerobos tembok-tembok ketakutan yang memisahkan kita satu sama lain.

Refleksi:
Hidup dalam komunitas yang saling mengakui dan mengampuni akan mengubah kehidupan kita sebagai pembawa damai