Halaman

Selasa, 30 Juli 2013

"TIDAK USAH MENCARI KAMBING HITAM"





Hari Selasa, tanggal 15 Januari 2013, hujan  deras terus mengguyur Jakarta, nyaris tanpa jeda. Akibatnya, hampir seluruh wilayah Jakarta terendam banjir. Jalan Sudirman, Bundaran HI pun tak luput dari genangan air. Bahkan, Istana Merdeka turut terendam banjir. Sejak tahun 2009, saya dan keluarga tinggal di Jakarta Barat, di daerah Greenville selama dua tahun, dan di Taman Ratu Indah hampir dua tahun. Selama dua hari kami dikepung air, listrik padam dan pasokan air PAM tidak berfungsi. Baru kemarin siang air surut, namun hingga hari ini listrik masih padam dan air PAM tidak mengalir.  Untuk pertama kalinya saya menikmati segarnya air Aqua Galon untuk mandi selama dua hai  berturut-turut, dan mempersiapkan kotbah dengan menggunakan lilin di tengah kegelapan malam.

Banjir memang persoalan besar bagi kota Jakarta. Hampir setiap tahun kita diterjang banjir. Banjir membawa kerugian yang tidak sedikit. Rumah terendam air, listrik padam, pasokan air bersih tidak berfungsi.  Banjir juga kadang meminta korban jiwa. Tidak heran, warga DKI Jakarta menempatkan banjir sebagai salah satu problem pokok. Berbagai proyek penanganan banjir sudah pernah dilakukan, seperti proyek kanal banjir barat dan timur, tanggul banjir, normalisasi sungai, interkoneksi, sistem drainase perkotaan, sistem polder (waduk dengan pompa), pintu air pasang, dan pintu air pengatur. Sayangnya, penyelesaian soal banjir tidak kunjung menemui titik terang.

Banjir di Jakarta juga tidak lepas dari model pembangunan yang sangat kapitalistik. Banyak kawasan hijau, taman kota, dan rawa-rawa diubah menjadi pusat perbelanjaan, pemukiman elit, apartemen, dan lain-lain. Akibatnya, dalam 10 tahun terakhir saja, daerah resapan air di Jakarta berkurang hingga 50 persen. Akibatnya, dari curah hujan di Jakarta yang mencapai dua miliar m3 setiap tahunnya, hanya 36 persen yang terserap. Sebagian besar sisanya, terbuang ke jalan aspal, selokan dan pemukiman penduduk. Diperparah lagi, jumlah saluran air yang semakin betkurang dan menyempit, yang tertimbun oleh proyek-proyek pembangunan ruko, mall-mall, apartemen dan sebagainya, membuat sebagian besar sungai-sungai di Jakarta mengalami sedimentasi dan tertimbun sampah.

Sampai hari ini, banyak orang yang saling menyalahkan dan mencari kambing hitam atas banjir yang terjadi di Jakarta. Dalam keadaan sulit,  biasanya orang memang lebih suka saling menyalahkan dan mencari kambing hitam atau penyebab atas masalah yang terjadi. Boro-boro mencari solusinya, karena masing-masing pihak merasa pendapatnya yang paling benar dan mereka lebih senang menyalahkan orang lain. Akhirnya, terjadi disharmoni (pertengkaran, perpecahan di antara mereka). Pertengkaran dan perpecahan juga terjadi di Jemaat Korintus. Sama seperti kita, mereka juga  berasal dari pelbagai latar belakang status sosial, budaya,  ras, dan golongan, demikian juga dengan talenta. Namun sayangnya, Keberagaman  tidak diterima sebagai sebuah anugerah atau kekayaan dalam jemaat, melainkan sebagai sumber perpecahan. Akibatnya, potensi jemaat yang luar biasa itu energinya hanya dihabiskan untuk berdebat, siapa yang paling hebat di antara mereka.

Dalam pandangan Paulus, Tuhan memberikan karunia yang berbeda pada setiap orang dan karunia itu diberikan tidak dengan maksud untuk dinikmati sendiri apalagi dipakai sebagai alat atau sarana pemuliaan diri dan meremehkan orang lain. Kalau ditanya, Mengapa Tuhan tidak memberikan karunia yang sama pada setiap orang? Di sinilah justeru Tuhan menginginkan setiap anggota jemaat untuk belajar berelasi satu dengan yang lain. Mereka saling membutuhkan, saling terkait satu dengan yang lainnya sama seperti tubuh manusia yang anggota-anggotanya berbeda dengan fungsi yang berbeda. Begitu pula dengan kita. Mereka saling membutuhkan, dan saling terkait satu dengan yang lainnya.

Belajar dari Jemaat Korintus, kita disadarkan bahwa setiap kita diberi talenta atau pun karunia. Apapun bentuknya. Mungkin dalam bentuk kepandaian mengorganisasi sebuah sistem, atau kepandaian untuk mendesign sebuah bangunan dst. Karunia yang diberikan Tuhan kepada saya tentu berbeda dengan karunia Anda. Dan karunia yang dianugerahkan Tuhan kepada Anda tentu juga tidak sama persis dengan teman Anda. Di sinilah kita terpanggil menggunakan karunia itu untuk kepentingan bersama. Membangun jemaat Tuhan bukan sebaliknya, menjadi penyulut perpecahan.

Pesan moral yang sama juga disampaikan kepada kita melalui kisah pernikahan di Kana (Yohanes 2:1-11). Maria ibu Yesus yang hadir dalam pesta itu, sekalipun ia seorang ibu, tidak memaksa Yesus untuk menuruti kehendaknya. Ia menyuruh semua pelayan agar menuruti saja apa yang dikatakan Yesus (Yohanes 2:5). Maria juga tampil sebagai sosok yang tidak mudah tersinggung lantaran permohonannya tidak langsung direspon Yesus yang adalah anaknya sendiri dengan alasan saatnya belum tiba. Keyakinan bahwa Yesus pasti melakukan yang terbaik pada saat yang tepat dan melakukan apa yang diperintahka-Nya itulah yang membuat mujizat itu terjadi. Dengan cara seperti itu, mereka melihat mujizat terjadi. Air berubah  menjadi anggur!

Nah bagaimanakah sekarang dengan kita? Ilustrasi dari Spencer Johnson ini mungkin dapat menolong kita.
Dahulu kala hiduplah dua pasang sahabat, dua kurcaci dan dua tikus. Setiap hari mereka berkeliaran dalam sebuah labirin mencari keju yang lezat.
Dua tikus menggunakan metode trial and error, masuk ke satu lorong dan segera berpindah ke tempat lain sampai mereka menemukan keju. Sedangkan dua kurcaci menggunakan kemampuan berpikir mereka untuk menemukan keju.
Suatu hari, terjadi tragedi. Keju telah habis.
Dua tikus yang menyadari situasi yang sudah berubah ini, tanpa membuang waktu, memutuskan untuk berubah juga. Mereka pun mengangkat hidung, mengendus dan berlari ke labirin lain untuk menemukan keju yang baru.
Namun dua kurcaci tak siap menghadapi kenyataan ini. Alih-alih mengambil tindakan, mereka malah berteriak-teriak, berkacak pinggang, menggerutu dan mengomel berkepanjangan.
“Ini tidak adil. Siapa yang memindahkan keju kita?” kata kurcaci pertama.
Sahabatnya menjawab, “Ini kecerobohanmu, kalau saja kau memperhatikan bahwa persediaan keju kita semakin menipis, hal ini tak mungkin terjadi!”
Dan mereka mulai menganalisa. “Pasti ada orang jahat yang hendak mempermainkan kita. Kita harus mencari tahu.”
Maka, berhari-hari lamanya mereka mendiskusikan masalah ini. Tapi keju tak kunjung tiba, hingga mereka benar-benar merasa lemas dan tak bertenaga.
Ilustrasi sederhana nan menarik ini amatlah tepat menggambarkan kondisi bangsa kita. Tingkah kita pun semakin mirip sepasang kurcaci itu.

Saat musibah dan bencana melibas kita,  respon kita biasanya hanyalah tak henti menganalisa berkepanjang, menggerutu tak henti, saling menyalahkan dan tanpa aksi, apalagi solusi. Yang membuat suasana makin runyam sebenarnya bukanlah musibah dan bencana itu sendiri, tapi respon kita menghadapi musibah dan bencana itu sendiri. Tuhan memperlengkapi setiap kita untuk berkarya bagi kepentingan sesama. Dengan talenta dan karunia yang berbeda, kita semuanya memiliki karunia yang berbeda, dan maksud Tuhan dengan itu semua adalah supaya kita membangun relasi yang baik dan saling terkait satu dengan yang lain, untuk meluas lebarkan pekerjaan Tuhan di dalam kehidupan ini.