Halaman

Jumat, 23 Agustus 2013

BERTUMBUH DI DALAM RENCANANYA



Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata “bertumbuh” mempunyai arti “bertambah besar atau sempurna.” Ambil saja contohnya, benih tanaman yang berkembang, hidup dan menjadi besar atau bagian tubuh seperti rambut, yang tumbuh dan bertambah panjang. Sedangkan dalam Kamus Global, kata “bertumbuh” (develop) mempunyai arti mengembangkan, mengupayakan pertumbuhan atau memperkuat. Ambil saja contohnya, seorang anak kecil, secara fisik bertumbuh dari bayi menjadi anak, remaja, pemuda, dewasa dan tua. Namun secara mental, psikologis, emosi dan spiritual belum tentu mengalami pertumbuhan yang baik. Pertumbuhan adalah tanda kehidupan, dan indicator utamanya adalah adanya kehidupan, dan bertumbuh. Pada manusia, ada enam aspek yang terus menerus mengalami pertumbuhan, dan jika aspek itu tidak bertumbuh, sudah dipastikan akan mengalami masalah.

1.       Aspek Jasmani atau Fisik. Secara fisik terlihat jelas bahwa dengan bertambahnya usia, fisik seseorang mengalami pertumbuhan baik dalam hal tinggi maupun dalam hal berat. Selain itu, terjadi juga menguatan otot-otot dan perubahan bentuk badan menjadi semakin menyerupai orang dewasa.
2.      Aspek Intelektual atau Berpikir. Berbeda dengan tahap sebelumnya, pada masa SMA seseorang sudah mulai mampu memikirkan hal-hal yang lebih abstrak dan logis. Ketika ada sesuatu yang tidak bisa dipahami atau diterima dengan akal, ada perasaan tidak enak yang muncul. Menjadi dewasa secara intelektual berarti menggunakan akal budi untuk melakukan penilaian tentang benar atau tidaknya sesuatu sehingga terjadi pertimbangan yang matang dalam menghadapi masalah atau mengambil keputusan.
3.      Aspek Emosi. Emosi berkaitan dengan bagaimana perasaan muncul dan diekspresikan. Dewasa secara emosi artinya mampumengendalikan perasaan dengan cara yang tepat untuk alasan yang tepat dan ditujukan pada orang yang tepat. Bertambahnya usia, seharusnya membuat orang lebih mampu mengendalikan emosinya.
4.      Aspek sosial. Orang yang dewasa dalam aspek ini mampu berhubungan dengan baik dan benar dengan orang lain, walaupun berbeda dari sudut usia, pendidikan, latar belakang keluarga, kedudukan dan status sosial. Ia mampu menempatkan dirinya sedemikian rupa, sehingga berhasil menjalin komunikasi dua arah dengan orang lain.
5.      Aspek Moral. Pada usia kanak-kanak, seseorang bertingkah laku baik karena disuruh, diiming-imingi hadiah, atau diancam hukuman. Namun, pada usia dewasa, seseorang diharapkan sudah memiliki pedoman mengenai apa yang benar dan baik untuk dilakukan. Standard moral yang tinggi diperlihatkan oleh orang yang memiliki kepedulian pada orang lain. Pada saat ia melakukan sesuatu, ia mempertimbangkan dampaknya pada orang lain, seberapa jauh hal itu membawa kesejahteraan pada orang lain. Pada kenyataannya, ada juga orang dewasa yang berperilaku ke kanak-kanakan. Kalau anak kecil usia empat atau lima tahun, sikap egonya sedang bertumbuh. Ia harus menjadi pusat perhatian, dan setiap mainan yang ia suka, harus menjadi miliknya. Namun, ada banyak orang dewasa yang masih berperilaku ke kanak-kanakan. Merasa diri super, tidak mau kalah, selalu benar da menang sendiri.
6.      Aspek spiritual. Spiritualitas adalah hubungan yang terjalin dengan Allah. Atau lebih tepatnya, bagaimana penghayatan seseorang terhadap apa yang terbaik bagi Tuhan dan apa yang dikehendaki-Nya. Itulah yang mewarnai standard moral yang dimilikinya. Orang yang dewasa dalam aspek ini mengenal bukan hanya kekuatan, melainkan juga kelemahan dirinya. Ia tidak menjadi sombong dengan semua kelebihan yang dimilikinya karena pada saat yang sama, ia tahu bahwa ia juga mempunyai kekurangan.

Dalam Lukas 2:41-52, diceritakan kisah Yesus. Walaupun masih berusia 12 tahun, Yesus sudah menunjukkan minat yang tinggi pada hal-hal spiritual. Ia melakukan tanya jawab dengan para alim ulama yang tentunya dikenal sebagai orang yang mengenak isi Kitab Suci. Namun Yesus juga menunjukkan ketaatan-Nya kepada Yusuf dan Maria, dengan mengikuti mereka kembali pulang ke Nazareth. Walaupun kecerdasan Yesus pada hal-hal spiritual mengagumkan, bahkan melebihi rata-rata orang yang dewasa.
Alkitab menceritakan kepada kita, ada pertumbuhan yang salah. Hofni dan Pinehas adalah anak-anak imam Eli, yang sudah pasti mengalami didikan seorang imam. Mereka tumbuh menjadi dewasa secara fisik, namun tidak secara rohani. Dalam 1 Samuel 2:12-17 diceritakan, mereka melakukan pelbagai kejahatan dan kekejian di hadapan Tuhan hanya untuk memuasan hawa nafsu dan keinginan mereka. Jabatan keluarga Imam Eli disalahgunakan. Berbeda halnya dengan Samuel, yang diserahkan orangtuanya ke dalam didikan Eli. Dia justru mengalami pertumbuhan yang lengkap, tidak hanya secara fisik. Ketika Samuel kecil, ibunya dengan setia membuatkan jubah kecil buat Samuel. Tentu ada banyak pertanyaan mengapa anak-anak Imam Eli sendiri mengalami pertumbuhan yang tidak diharapkan. Alkitab tidak memberi penjelasan, dan hanya mengatakan, “Mengapa engkau memandang dengan loba kepada korban sembelihan-Ku dan korban sajian-Ku, yang telah kuperintahkan, dan mengapa engkau menghormati anak-anakmu lebih dari pada-Ku, sambil kamu menggemukkan dirimu dengan bagian yang terbaik dari setiap korban sajian umat-Ku Israel?”

Dari teguran Tuhan ini kita dapat menarik kesimpulan, bahwa Eli menjalankan tugas keimamannya hanya sebagai “profesi” sehingga ia merasa berhak menikmati bagian yang terbaik, yang seharusnya untuk Tuhan, dan sikap Eli ini dilihat oleh anak-anaknya. Akibatnya, teguran yang disampaikan Eli kepada mereka tidak diindahkan (1 Sam. 2:22-24). Sedangkan Samuel, ia melihat begitu besar peran ayah dan ibunya dalam mendukung dirinya menjadi pelayan di rumah Tuhan, sehingga Samuel itu dikasihi oleh Tuhan dan manusia (1 Sam. 2:26).

Kisah yang sama kita temukan dalam diri Yesus. Orangtuanya, Yusuf dan Maria memberikan perhatian serius untuk pendidikan iman-Nya. Setiap tahun, mereka pergi ke Yerusalem pada hari Paska, dan Yesus selalu ikut. Tidak mengherankan, bila pada usia 12 tahun, Yesus dapat bersoal jawab dengan para alim ulama di Bait Allah. Sama seperti Samuel, Yesus terus bertumbuh, “Dan yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi Allah dan manusia” (Lukas 2:52). Kita semua seharusnya seperti Dia, yang “makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia” (Lukas 2:52). Pertambahan usia menjadi makin dewasa dibuktikan dengan hikmat dan pengenalan akan Allah yang juga bertambah, sehingga kita tahu bagaimana membawakan diri di tengah-tengah orang lain dan orang banyak.

Apa tanda-tanda pertumbuhan seorang manusia yang lengkap? Dikasihi Tuhan dan manusia! Keduanya tidak dapat dipisahkan, sekalipun berbeda. Itulah indicator pertumbuhan jasmani dan rohani kita yang utuh. Bagaimana sekarang dengan kita? Apakah semakin lama, dan semakin tua, semakin dikasihi Tuhan dan orang-orang di sekitar kita? Ataukah semakin lama, semakin orang tidak mau kenal dan bergaul dengan kita? Semakin dijauhi orang. Jika selama ini kita lebih memperhatikan penampilan fisik, cobalah kini lebih utuh lagi melihat dan membenahi seluruh aspek kehidupan kita. Bila kita mau dikasihi Tuhan dan sesama, salah satu syaratnya adalah: Ubahlah sikap egois menjadi murah hati! Perhatikan orang lain yang ada di sekitar kita dan lakukanlah kebaikan untuk mereka. Jangan menghitung apa untungnya, dan apa ruginya karena kita semua adalah “manusia baru” di dalam Kristus. Jadilah manusia baru yang tidak egois supaya kita makin lama makin dikasihi Allah dan sesama. Dalam 2 Petrus 3:18 dikatakan, “Bertumbuhlah dalam kasih karunia dan dalam pengenalan akan Tuhan dan Juruselamat kita, Yesus Kristus.” Betapa indahnya jika kita dikasihi oleh Tuhan dan sesama.

Kisah yang satu ini mungkin dapat mengajarkan kita untuk tidak egois atau mementingkan diri sendiri. Pada suatu hari ada seorang anak muda terpelajar mengamati seorang Pak Tua yang sedang menanam sebatang pohon mangga dengan keringat bercucuran. Anak muda itu menghampirinya dan bertanya, “Pak Tua, untuk apa melakukan pekerjaan sia-sia menanam pohon mangga? Apakah Pak Tua masih sempat menikmati buah pertama dari pohon ini?” Sambil tersenyum dan meneruskan pekerjaannya, Pak Tua itu menjawab, “Apakah yang kamu makan adalah hasil yang kamu tanam sendiri?” Dengan tersipu, anak muda itu meninggalkan Pak Tua. Pertanyaannya, apakah kita sekarang lebih mirip dengan Pak Tua ataukah seperti anak muda itu?”