Halaman

Kamis, 19 September 2013

MENJADI MANUSIA BAGI SESAMA


 Oleh: Pdt. Maryam Kurniawati D.Min




Titik berangkat : Modernisasi, Tehnologisasi dan Globalisasi
      Terobosan paling menggairahkan pada abad ke-21 terjadi bukan karena tehnologi, tetapi karena perkembangan konsep mengenai apa artimenjadi manusia di tengah kompleksitasnya zaman. Modernisasi, tehnologisasi dan globalisasi bagaimana pun juga telah memberikan warna tersendiri bagi sejarah perkembangan kesejahteraan hidup umat manusia.

      Kendati demikian halnya, baik modernisasi, tehnologisasi dan globalisasi disamping telah memberikan kontribusi yang positif bagi kelangsungan hidup umat manusia, di satu pihak dan di pihak lain telah memperlihatkan  dampak-dampak yang negatif dan significan terhadap jatidiri dan hidup umat manusia. Dampak-dampak yang negatif yang ada dan yang menjadi fenomena dalam kebermasyarakatan yang ditimbulkan oleh modernisasi, tehnologisasi dan globalisasi akan selalu bermuara juga pada apa arti menjadi manusia. Bagaimana seutuhnya menjadi manusia bagi sesama manusia ?

      Dalam kompleksitas zaman dengan berbagai tuntutannya seperti sekarang ini, selalu memunculkan pertanyaan tentang apa dan siapakah manusia itu? Masih adakah orang yang tulus hati berkehendak menjadi manusia bagi mereka yang tereliminasi oleh gilasan roda zaman?

Manusia: Individualitas dan Sosialitas
    Untuk dapat memahami kemanusiaannya, manusia harus memahami siapakah dirinya. Karena ia adalah bagian dan sekaligus juga ditentukan oleh manusia yang lain pula. Tanpa pemahaman yang sungguh-sungguh, manusia bukan lagi manusia, baik untuk dirinya sendiri mau pun untuk sesama/manusia yang lainnya.

      Hidup manusia sebagai makhluk sosial juga ditentukan oleh kebudayaan dan atau nilai-nilai kebersamaan yang berkembangan di masyarakat. Kebudayaan adalah hasil dari kegiatan manusia juga menstrukturisasi tingkah laku manusia ke arah yang lebih baik. Hal ini selalu terjadi dalam setiap proses pergaulan, penerimaan dan penghargaan kepada manusia lainnya dalam dunia sekitarnya.
      Dalam kenyataannya, masalah kemanusiaan (seperti yang kita lihat di sekitar kita) dewasa ini lebih terkait dengan kondisi dan kemungkinan manusia yang ditentukan oleh situasi baru ini : Manusia sebagai individu seolah-olah tidak lagi hidup dalam dunia alami, tetapi hidup dalam lingkungan yang diciptakannya sendiri dalam institusi, birokrasi, tehnologi, dan globalisasi.

      Sebagian manusia hidupnya bergantung pada ilmu kedokteran modern. Sebagian lagi kehilangan hidupnya karena perang yang tidak manusiawi, karena tekanan dan kebijakan politik pemerintah yang tidak berpihak pada masyarakat kelas bawah atau yang hidup dalam kemiskinan. Secara individu eksistensi manusia semakin bergantung pada apa yang diciptakannya dan diputuskannya sendiri. Kebudayaan manusia (dalam hal ini tehnologi dan birokrasi, dll) yang diciptakan manusia memperlihatkan kekuatan 9sebagian) orang (baik anak-anak, mau pun orang dewasa) tergantung pada dan tak berdaya dalam ukuran menjadi manusia yang layak dalam mempertahankan kehidupan mereka.

      Berbicara tentang manusia, individualitas dan kebudayaan tak pernah lepas dari dimensi manusia, ialah sosialitas. Ada kalanya kondisi sosial manusia mendorong perkembangan manusia, tetapi ada kalanya menghambat kebebasan mansuia atau menumbuhkan konflik antar individu, golongan, agama dan suku.

      Dalam konsep individualisme, sebagai individu, manusia menuntut untuk menjadi diri sendiri dengan mengabaikan yang lain. Sedangkan dalam konsep sosialisme (=sosiologi) manusia sebagai individu merupakan bagian dari (masyarakat) yang lain, yang mempunyai fungsi tertentu yang mendukung keseleruhan. Dalam hal ini kebebasan dan penentuan diri individu cenderung diabaikan. Lalu harus bagaimana ?

Selalu Membutuhkan dan Ditentukan oleh Yang Lain
      Setiap individu adalah pusat kebebasan dan kreativitas yang unik, yang dari sana juga kisah kehidupan kemudian terbentuk.
Masyarakat dibentuk oleh individu-individu yang berkomitmen untuk hdiup bersama pada konteks tertentu dalam kontrak sosial tertentu pula. karena itu, ketegangan antar keduanya menjadi faktor penunjang dinamika kehidupan manusia.
Sosialitas adalah suatu transendensi (=pertemuan/masuk/melewati ke dalam) untuk tidap individu mengenali diri dan pribadi yang lain. Melalui transendensi tersebut tiap individu dapat mewujudkan dirinya sebagaimanusia yang utuh. Secara konkret, apabila tidak ada “Anda”, tidak ada pula “Saya.” Karena itu tidak ada eksistensi manusiawi sejati tanpa komunitas, sebab komunitas merupakan esensi manusia. Hubungan “Saya” dan “Anda” selalu ditandai denagn relasi : untuk mewujudkan dirinya, manusia harus berinter-relasi dengan manusia lain. Atas dasar asumsi itulah, jikalau manusia tidak membutuhkan dan tidak mau ditentukan oleh jatidiri yang lain, sesungguhnya ia tidak akan pernahmenjadi manusia yang utuh bagi sesamanya dan juga bagi dirinya.

Rumah Singgah Anak Jalanan (RSAJ): Titik Pusaran Percakapan
      Di tengah-tengah arus modernisasi, tehnologi dan globalisasi yang mencerai-beraikan kesatuan hidup manusia, dan keluarga-keluarga, tidak sedikit anak-anak dan oprang dewasa yang terpaksa harus mencari keteduhan jiwa untuk bertahan hidup. Fenomena ini perlu mendapat perhatian dari semua manusia.
      Sejak diratifikasinya Konvensi Hak-hak Anak oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1990, banyak LSM yang telah menunjukkan keprihatinan dan memberikan kontribusinya untuk menekan lajunya fenomena sosial masyarakat (kemiskinan, pengangguran, anak jalanan dan permasalahannya, dan lain-lainnya) seperti LSM, Yayasan-yayasan yang bergerak di bidang sosial, kemanusiaan dan keagamaan). Semuanya ini dilakukan demi nilai menjadi manusia bagi sesamanya. Namun persoalannya, adalah sejauh manakah orang-orang (yang berada di luar gerakan-gerakan kemanusiaan tersebut) membuka diri terhadap eksistensi lembaga-lembaga tersebut ?
      RSAJ hadir untuk anak-anak yang jalanan. Bagi anak-anak jalanan, RSAJ adalah Rumah Sahabat., anak-anak jalanan dapat mencicipi pendidikan. Mereka dapat merasakan bagaimana menjadi anak manusia yang martabatnya terangkat, dihargai dan bebas mengekspresikan harapan dan aspirasi mereka.
      Bagi anak-anak jalanan, RSAJ adalah tempat yang tidak mengkotak-kotakan mereka dalam perbedaan suku, agama, golongan dan ras. Sebab di sana, mereka bukan hanya mendapatkan perhatian dan kasih sayang, tetapi juga saling menghormati dan saling menghargai di dalam kepelbagaian mereka. Di RSAJ, anak-anak jalanan dapat melupakan kejamnya roda zaman, tetapi juga menikmati modernisasi, tehnologisasi dan globalisasi sebagai hasil budaya manusia.
      Dengan demikian, kendati pun modernisasi, tehnologisasi dan globalisasi meluluh lantakkan sendiri kehidupan manusia, apa arti menjadi manusia, akan tetapi kesadaran akan nilai-nilai kemanusiaan yang tercermin dalam dimensi sosial-kebudayaan masih memberikan alternative bagi setiap manusia yang memahami kemanusiaannya. Dengan kata lain, paling tidak sebuah realitas, bahwa Puspita dalam bingkai percakapan ini, mau ditempatkan sebagai pijar-pijar kesadaran manusia yang penuh tentang bagaimana arti menjadi manusia bagi sesama.

Refleksi Teologis
      Berbicara tentang manusia dan kebudayaannya serta fenomena yang ada di dalamnya, bagaimana pun juga tidak akan pernah terpisahkan dari nilai-nilai agama yang ada dan yang memberikan petunjuk serta arahan, bagai oase bagi setiap jiwa yang dahaga.
Gereja sebagai lembaga dan orang-orang yang mengaku percaya di tengah-tengah dunia ciptaan-Nya, mempunyai tanggung jawab kepada Allah dan sesamanya, sebagai makhluk sosial yang berbudaya. Gereja mempunyai tanggung jawab moral untuk menjadi manusia bagi sesamanya, sehingga pewartaan, pelayanan dan persekutuan gereja harus terbuka bagi orang-orang yang miskin dan dalam keprihatinan akan keadaan mereka dan bukan menjadi serigala bagi mereka.
      Dalam perumpamaan mengenai orang Samaria yang baik hati (Lukas 10:25-37) tampak jelas sekali, bahwa mendahulukan orang yang setengah mati, yang tak berdaya tanpa pertolongan adalah wujud perhatian, kepedulian dan cinta terhadap sesama.[1] Pertanyaan seorang ahli Taurat, “Siapakah sesamaku manusia” dijawab oleh Yesus, siapakah sesama bagi orang yang jatuh ke tangan penyamun, dirampok habis-habisan, dipukuli dan ditinggalkan setengah mati itu. Bukanlah seorang imam dan seorang Lewi yang dianggap suci oleh masyarakat. Melainkan orang Samaria, yang dianggap kafir, yang menunjukkan belas kasih.
      Menjadi manusia bagi sesama mempunyai implikasi mencintai dan menjadi sesama bagi orang yang setengah mati, tak berdaya, tanpa pertolongan. Preferential option (love) for the poor  adalah wujud mencintai sesama sebagaimana Yesus mencintai. Melalui Yesus dialami kuasa dan kasih Allah bagi semua orang. Namun kuasa dan kasih tersebut dilaksanakan dengan pelayanan yang mendahulukan mereka yang miskin dan menderita, yang tak berdaya dan yang paling membutuhkan pertolongan. Dengan demikian pilihan kita untuk mendahulukan kaum miskin berakar pada solidaritas Allah sendiri dalam solidaritasnya dengan kaum miskin.
      Pilihan kita untuk mendahulukan orang miskin berakar pada Allah sendiri. Tidak peduli terhadap kaum miskin berarti tidak peduli terhadap Allah. perjuangan mengatasi kemiskinan merupakan jalan mengikuti rencana Allah melalui Yesus. Hanya dengan cara hidup seperti itu, maka bunyi silogisme, “Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga kepada mereka” (Lukas 6:31) menjadi bermakna : kasih menjadi nyata, dan Allah pun hadir di dalam kita. Di dalam cinta kasih dan kepedulian, hadirlah Allah ! (Ubi caritas et Amor, Deus Ibi Est).  


  

       
















[1] Banawiratma, J.B dan Muller, J., Berteologi Sosial Lintas Ilmu. Kemiskinan Sebagai Tantangan Hidup Beriman. (Yogyakarta : Kanisius, 1995), 134.