Halaman

Minggu, 12 Oktober 2014

"Nonviolence is a way of life for courageous people"


MENSIASATI SEGALA BENTUK PENINDASAN
Bacaan Matius 9:35-10:8
Oleh: Pdt. Maryam Kurniawati D.Min


Penindasan, dalam bentuk apa pun, akan selalu menimbulkan trauma atau luka dalam diri seseorang. Orang akan merasa terasing, kesepian, dan bahkan kehilangan harga dirinya. Mungkin kita pernah mempunyai pengalaman ditindas atau tertindas, yang menimbulkan trauma di sepanjang hidup kita. Pengalaman kita di tempat kita bekerja, atau di sekolah misalnya, dapat menimbulkan trauma dalam diri kita. Anak saya yang besar, Brian, ketika di bangku kelas IV mengalami penindasan yang dilakukan oleh teman sekelasnya. Setiap hari, dia dipaksa oleh teman sekelasnya untuk membawa tasnya ke kelas di Lantai 2. Jika dia menolak, maka dia akan dipukul dan dijahati oleh teman tersebut. Alhasil selama 1 bulan, Brian karena takut, selalu membawakan tas temannya, dengan susah payah, karena dia sendiri juga harus membawa tasnya ke Lantai 2. Penindasan ini terus berlangsung tanpa ada yang mengetahuinya, karena Brian sendiri tidak pernah menceritakannya kepada saya atau suami saya. Bahkan Guru dan Kepala Sekolahnya sendiri tidak mengetahuinya. Akhirnya, pada suatu hari, suster anak saya yang kedua, ketika membawa buku anak saya yang tertinggal di rumah, melihat peristiwa tersebut dan melaporkannya kepada saya. Saya terkejut dan juga marah, karena penindasan itu terjadi di sekolah dan dilakukan oleh anak seorang Guru. Karena itu, ketika Brian pulang, saya minta anak saya menceritakan semua yang dia alami di sekolah. Dengan perasaan ketakutan dan bingung, dia mengungkapkan penyiksaan yang dialaminya. Dia takut melapor kepada Guru, Kepala Sekolah dan saya, karena ancaman-ancaman yang diberikan oleh teman sekelasnya itu, dan teman-teman sekelas yang lainnya pada umumnya cuek saja. Esok harinya, saya datang kepada Kepala Sekolah dan melaporkannya. Karena penindasan tersebut, saya dan suami saya harus berupaya keras untuk membantu dan menolong anak saya untuk mengembalikan rasa percaya dirinya yang dirusak oleh karena penindasan yang dilakukan oleh temannya.

Sekolah anak-anak kita, ternyata tidak steril dari yang namanya penindasan. Tadi malam saya sempat membaca sebuah website tentang penindasan siswa di sekolah, dan isinya sungguh mengejutkan saya. Karena dilaporkan ada begitu banyak penindasan yang dialami oleh siswa2 di sekolah, di segala penjuru dunia. Di Columbia,  di Colorado, di Manchester, di Irlandia, dan bahkan di Indonesia. Sebagai contoh, di Manchester Inggris, Marie Bentham berusia 8 tahun menggantung diri di kamar tidurnya karena merasa tak mampu menghadapi dan mengalami penindasan demi penindasan di sekolahnya. Lalu beberapa waktu lalu diberitakan seorang anak harus dibawa di rumah sakit, dalam perjalanan menemui ajalnya akibat sebuah penindasan yang dilakukan oleh temannya sendiri. Barbara Coloroso (2007) dalam bukunya yang berjudul “The Bully, The Bullied, and The Bystander” mengatakan “Penindasan adalah sebuah isu hidup dan mati yang kita abaikan resikonya pada anak2 kita. Anak2 yang tertindas menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan cara guna menghindari trauma dan hanya memiliki sedikit energi untuk belajar. Yang menderita akibat adanya penindasan ini tidak hanya anak yang tertindas. Anak2 penindas banyak yang terus memiliki perilaku penindas hingga dewasa, sehingga kemungkinan besar mereka kelak akan menindas anak2 mereka sendiri, gagal dalam hubungan antar pribadi, kehilangan pekerjaan, dan berakhir di penjara.

Tidak banyak dari kita yang menyadari, bahwa kekerasan kemanusiaan dimulai dari ruang kelas, dan 30%-80% waktu dihabiskan guru untuk mengatasi permasalahan disiplin, dan 25% ketidakmampuan belajar disebabkan karena adanya rasa takut siswa terhadap siswa lain di kelas. Perasaan tidak suka yang kuat terhadap seseorang yang dianggap tidak berharga, dan lemah membuat anak2 korban penindasan itu telah ditindas tanpa ampun. Diejek, diolok2, dijadikan bulan2an dan disiksa oleh teman2nya di sekolah. Willem Standaert, senior Programme Coordinator Unicef Indonesia mengatakan; "Penindasan pada anak, apapun alasannya, memiliki implikasi serius terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Penindasan kelak dapat merusak kepercayaan diri anak. Anak merasa terasing, kesepian, kehilangan harga diri, dan lebih jauh menurunkan kemampuan mereka untuk menjadi orang tua yang baik di masa mendatang.”

Fenomena yang tidak menyenangkan ini, dapat kita selidiki, kita ubah dan kita perbaiki, tergantung kepada kesungguhan dan kepedulian kita semua untuk membangun kesadaran dan memutuskan siklus kekerasan yang terjadi di sekolah-sekolah kita. Jangan lupa bahwa tragedi penindasan (bullying) siswa melibatkan tiga aktor, yakni pelaku yang menindas, korban tertindas yang takut melapor, dan penonton yang berperan serta atau cuek. Sadarkah kita bahwa ketiga aktor atau karakter tersebut juga dimainkan dan dipelajari oleh siswa dan anak-anak kita pada umumnya dalam kesehariannya, baik di rumah, di sekolah, di tempat bermain, dan di lingkungannya?! Lalu bagaimana dengan keluarga2 kita, dan kehidupan Gereja2 kita?! Apakah mereka juga ”bebas’ dari siklus kekerasan dan penindasan?!  Jujur kata, ternyata tidak.

Pembacaan Mazmur kita mengungkapkan keadaan pemazmur yang hampir putus asa. Ia berada dalam keadaan tertindas, terluka dan kebingungan. Dalam keadaan tertindas, ternyata tidak ada seorang pun yang dapat diandalkan untuk menolong dirinya. Hanya Tuhan yang dapat menolong dan menyelamatkan dirinya. Karena itu, pengalaman hidupnya bersama Tuhan itulah yang dapat memulihkannya. Dalam kehidupan kita sehari-hari, sebagaimana pemazmur, mungkin kita sedang berada dalam keadaan tertindas, terluka dan kebingungan, dan mungkin tidak ada seorang pun yang dapat menolong kita. Kita jadi merasa terasing, kesepian, kehilangan harga diri dan terus tidak berdaya karena tertindas dan terluka. Karena itu, pemazmur mengajak kita untuk berseru kepada Tuhan dan menaruh harap kepada-Nya. Hanya Tuhan yang dapat menolong kita dan memulihkan kita. Dalam surat Roma 5:1-8, Rasul Paulus mengatakan, bahwa kesengsaraan adalah sebuah fakta kehidupan. Tidak ada seorang pun yang dapat menghindarinya. Sebab itu ketika seseorang susah dan menderita, ia harus melihat segala bentuk penderitaan dan kessengsaraannya dari perspektif iman, bahwa melalui pergulatan yang berat itu Allah sedang mengubah hidupnya, menjadi matang dan dewasa, serta lebih bersandar kepada kekuatan Allah. Salib adalah bukti yang paling jelas dari kasih Allah kepada manusia. Dalam surat Roma 8:35-39 Rasul Paulus berkata, ”Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang? Seperti ada tertulis: "Oleh karena Engkau kami ada dalam bahaya maut sepanjang hari, kami telah dianggap sebagai domba-domba sembelihan." Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita. Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.

Di dalam Injil Matius 9:35 dst, kita menyaksikan bagaimana Yesus tidak pernah berdiam diri atau mengambil sikap tidak peduli ketika Ia diperhadapkan dengan kesusahan dan penderitaan manusia. Berulang-ulang kali dikatakan oleh Kitab Injil kepada kita, bagaimana hati Yesus selalu tergerak oleh belas kasihan melihat orang-orang yang terbaring tak berdaya, yang lelah dan yang kebingungan. Kehidupan manusia modern dengan segala bentuk persoalan-persoalannya melahirkan orang-orang yang tidak berdaya, yang terluka, lelah dan kebingungan. Jumlah mereka yang tidak berdaya, yang terluka, lelah dan kebingungan semakin besar dibandingkan dengan mereka yang peduli. Karena itulah Yesus menyatakan bahwa pekerja sedikit, tetapi tuaian banyak. Pernyataan Yesus ini pada saat itu mau menggambarkan kondisi di mana orang-orang Farisi sibuk dengan dirinya dan menutup mata terhadap orang-orang yang ada di sekelilingnya. Orang-orang Farisi memandang mereka sebagai orang-orang yang tidak diperhitungkan dan patut dilupakan. Namun Yesus memilih untuk memperhitungkan dan merangkul mereka agar mereka tidak terhilang di tengah himpitan pergumulan hidup mereka. Karena itu Ia memberikan kuasa-Nya. Dengan kuasa-Nya, para murid dimampukan untuk melakukan dan memberikan yang terbaik, dan mereka dilarang untuk menerima imbalan karena pekerjaan mereka. Mereka telah menerima dengan cuma-cuma, karena itu mereka juga harus memberi dengan cuma-cuma. Hal ini mengingatkan kita, untuk tidak menutup mata terhadap orang-orang yang ada di sekeliling kita. Betapa banyak orang yang tertindas dan teraniaya, yang terluka, lelah, dan kebingungan. Mungkin bukan disebabkan oleh karena kita, tetapi karena ketidakdilan dan kejahatan yang membuat atau menjadikan mereka sebagai korban yang tidak berdaya. Oleh karena itu, dengan kuasa Yesus, kita harus membangun kesadaran untuk memutuskan siklus kekerasan atau pun penindasan yang mengakibatkan penderitaan dalam hidup manusia, dan menggantikannya dengan cinta kasih. Tanpa kuasa-Nya, kekuatan kita sehebat apa pun tidak akan menghasilkan apa-ap. 

Hal ini juga menunjukkan kepada kita, bahwa kita bekerja bukan karena kekuatan kita, dan bukan untuk kepentingan kita. Tetapi karena kuasa Yesus yang memberkati dan memampukan kita untuk mengatasi setiap penderitaan manusia. Kita telah menerima pengorbanan Yesus Kristus yang mati di kayu salib dengan cuma-cuma, karena itu kita juga harus memberikannya tanpa pamrih, atau menuntut balas jasa. Oleh karena itu, setiap bentuk penderitaan manusia, harus kita hayati sebagai proses yang dipakai Allah untuk mendewasakan dan memetangkan kita. Proses ini membuat kita semakin menyadari dan mengimani bahwa Allah membentuk kehidupan umat-Nya melalui segala peristiwa, baik suka mau pun duka. Kesaksian iman kita dalam Yesus menjadi nyata pada saat kita menghadirkan kepedulian dan pertolongan bagi mereka yang menderita dan teraniaya. Inilah tugas panggilan kita sebagai orang percaya. Soli Deo Gloria!





Senin, 22 September 2014

"Jealousy Is Not for Me"



Saya membaca sebuah buku yang berjudul Jealousy Is Not for Me - A Guide for Freeing Yourself from Envy yang dibuat oleh Molly Wigand (Abbey Press, 2007).  Saya kagum dengan ide atau gagasan dari pengarangnya, karena buku ini dibuat dengan bahasa yang sangat sederhana dan menarik. Molly menjelaskan apakah cemburu itu, cemburu itu sangat wajar, keinginan atau kebutuhan?, cemburu antar saudara, bersaing di kelas, hidup itu bukan perlombaan, menjadi sahabat, ketika temanmu cemburu kepadamu, menghadapi pembual, jangan sembunyikan,  bersyukurlah, orang lain juga perlu bantuan, kamu bisa mengatasi rasa cemburu, dan kita adalah ciptaan Tuhan yang istimewa.

Buku ini dibuat untuk membimbing anak-anak untuk menjadi orang baik dan hidup bahagia. Di tengah budaya materialistik, konsumtif dan kompetitif saat ini, membebaskan anak-anak dari rasa cemburu adalah tantangan yang tidak mudah. Dari berbagai iklan media, anak-anak belajar, untuk menjadi anak yang keren, mereka harus mempunyai segala sesuatu yang terbaik seperti dalam iklan. Mulai dari telepon seluler, alat-alat olahraga, video game, dan baju bermerek. Kompetisi di sekolah juga memupuk kecemburuan anak-anak atas teman-temannya. "Melakukan yang terbaik" rasanya tidak cukup lagi karena anak-anak mulai mengukur pencapaian mereka dengan prestasi anak lain.

Kecemburuan merampas kegembiraan mereka dan membuatnya sulit menjalin pertemanan yang baik. Untuk mengatasinya, kita bisa membantu anak-anak memahami keunikan yang dimiliki tiap manusia, sekaligus rasa cemburu yang bisa ditimbulkan. Kita perlu mengajar anak-anak untuk merasa puas dan bangga dengan kemampuan mereka. Cara paling baik untuk mengajarkan adalah dengan memberi contoh, tindakan nyata sehari-hari. Kita bisa mengajak anak untuk bersyukur atas berkat yang kita terima dengan berbagi kepada sesama. Kita tunjukkan cinta dan perhatian yang seimbang kepada anak-anak. Sebagai orang yang bijaksana, kita jadikan rumah, sekolah dan gereja/komunitas kita sebagai tempat yang nyaman, di mana hati terbebas dari kecemburuan, maka kita akan mampu mensyukuri berkat yang kita terima setiap harinya. 


Selasa, 22 Juli 2014

MEMAHAMI APA YANG TUHAN KERJAKAN DALAM HIDUP KITA




Sebuah legenda tua mengisahkan bahwa Tuhan pada mulanya menciptakan burung tanpa sayap. Beberapa saat kemudian, Tuhan membuat sayap dan berkata kepada burung-burung, “Ayo, bawalah beban ini dan jangan berhenti membawanya.” Mulanya sang burung terkejut, namun segera menuruti. Burung-burung tersebut mencoba membawa sayap itu di paruhnya, namun terlalu berat. Kemudian, dicobanya dibawa dengan cakar, namun terlalu besar. Akhirnya salah seekor burung mencoba membawa sayap itu di punggung yang merupakan tempat yang paling tepat untuk diberi beban.

Di luar dugaan burung-burung itu, sayap-sayap tersebut tidak lama kemudian mulai tumbuh dan menyatu dengan tubuhnya. Salah seekor burung mulai mengepakkan sayapnya sementara yang lain mulai mengikutinya. Salah seekor burung dengan segera terbang dan mulai membubung tinggi!
Apa yang semula menjadi beban berat, sekarang telah menjadi alat penting yang memampukan burung untuk pergi ke tempat-tempat yang belum pernah dikunjungi ... dan pada waktu yang bersamaan, mereka benar-benar menggenapi tujuan akhir penciptaan mereka.

Tugas dan tanggung jawab yang kita anggap sebagai beban hari ini mungkin merupakan bagian dari rencana Tuhan bagi hidup kita, suatu sarana untuk mengangkat jiwa kita dan mempersiapkan kita menuju masa depan yang lebih baik dari sekarang. 
 
Sekali waktu mungkin kita merasakan betapa kacau dan ruwetnya persoalan hidup kita, sehingga amat sangat sulit bagi kita untuk meyakini apa yang dikerjakan Tuhan di dalam kehidupan kita. Kita sungguh berharap, agar segala sesuatunya berlancar, dan bebas hambatan. Itulah rencana dan kehendak Tuhan yang kita inginkan terjadi di dalam kehidupan kita. 
Alkitab memperlihatkan kepada kita, bagaimana Tuhan menggunakan berbagai cara yang amat sangat sukar dan bahkan tidak masuk di akal. Sungguh menguras kesabaran, keuletan dan ketekunan orang untuk mentaati dan mematuhi apa yang menjadi kehendak Tuhan di dalam kehidupannya.

Dalam Mazmur 105:4-7, Firman Tuhan berkata, “Carilah TUHAN dan kekuatan-Nya, carilah wajah-Nya selalu! Ingatlah perbuatan-perbuatan ajaib yang dilakukan-Nya, mujizat-mujizat-Ny dan penghukuman-penghukuman yang diucapkan-Nya, hai anak cucu Abraham, hamba-Nya, hai anak-anak Yakub, orang-orang pilihan-Nya! Dialah TUHAN, Allah kita, di seluruh bumi berlaku penghukuman-Nya.” Kiranya kasih Allah dalam Kristus Yesus selalu menjadi topangan yang meneguhkan dan menguatkan kita dalam menghadapi keras dan kejamnya hidup ini.



SABAR, TUIHAN BELUM SELESAI MENCIPTAKAN AKU!"

Angel adalah seorang gadis remaja, berusia sekitar 14 tahun ...
Ia merasa kesal, karena apa saja yang dilakukannya mendapat kritikan dan celaan dari orangtua mau pun gurunya. Setiap hari, baik ayah mau pun ibunya selalu mencari-cari kekurangan dan kelemahan yang diperbuat Angel di rumah atau pun di ruang belajarnya. Begitu pula, ketika Angel berada di Kelas ... Setiap hari, gurunya selalu saja menemukan hal-hal yang kurang pada diri Angel. Entah penampilannya, ataukah pekerjaan rumahnya dan sebagainya.
 
Akhirnya ia membuat sebuah tulisan di karton dan di kalungkan di dadanya, "Sabar! Tuhan belum selesai menciptakan aku!"
 
Tidak ada seorang pun yang hidup tanpa menjalani "proses menjadi." Ketika aku masih berada di bangku Taman Kanak-Kanak, aku belajar untuk merapihkan tempat tidur dan mengenakan baju sendiri ... Perlahan, namun pasti! Sesudah di bangku SD, aku secara bertahap kita belajar untuk merapihkan meja belajar dan lemari buku. Selanjutnya, di bangku SMP aku belajar untuk memahami jati diri kita yang tiba-tiba bertumbuh dengan sangat pesat, yang membuat aku kerapkali merasa cangung dengan diriku ..
 
Untuk itu aku membutuhkan waktu, ketekunan, dan kesabaran. Bukankah bunga yang masih kuncup tidak boleh dipaksa untuk segera mekar? Jika setiap kelopaknya dipaksa mekar oleh tangan kita, maka bunga itu justru akan terluka dan rusak.
 
Namun adakah yang akan memahami diriku, bahwa Tuhan masih belum selesai menciptakan aku ?! Mengapa begitu sulit untuk memahami bahwa Tuhan masih berproses dalam diriku?
 

KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN


Oleh: Pdt. Maryam Kurniawati D.Min

Dalam kehidupan keluarga, gereja dan masyarakat, semua orang pasti pernah mengalami ketidakbaikan, atau pengalaman yang buruk, yang meninggalkan bekas-bekas luka yang sulit dipahami dan diterima. Bisa jadi seseorang pernah disakiti, disalahpahami, dikecewakan, kehilangan kepercayaan, ditertawakan, diejek, kehilangan muka, dan ditindas. Semua orang pernah mengalami penderitaan semacam itu, namun penderitaan juga dapat diwarnai oleh gender (atau masalah jenis kelamin : laki-laki dan perempuan). Bagi laki-laki, kejahatan adalah sesuatu yang dibuat dan dapat dihilangkan lagi. Tetapi bagi kaum perempuan, ketidakbaikan atau ketidakadilan itu terjalin dalam dirinya. Keperempuanan itu sendiri kerapkali dipandang tidak baik, atau paling tidak merupakan suatu tembok atau batas kemanusiaan. Bila seorang perempuan melakukan sesuatu yang buruk, hal itu dipandang sebagai ’kodratnya’ yang memang dipenuhi oleh ketidakbaikan, karena perempuan bertanggungjawab atas kejatuhan manusia ke dalam dosa.
Kekerasan merupakan masalah di mata Allah, karena menyangkut hidup dan kehidupan (perempuan dan anak-anak). Kekerasan adalah penghancuran hak manusia yang paling hakiki, yaitu hak untuk hidup dengan aman.

Kekerasan adalah masalah iman.  Karena manusia (baik laki-laki maupun perempuan adalah gambar dan rupa Allah). Oleh karena itu kekerasan adalah penghancuran akan gambar dan citra Allah itu. Inilah yang menjadi alasan utama mengapa segala bentuk kekerasan harus dihentikan dari kehidupan manusia di dunia ini, baik di dalam kehidupan rumah tangga, keluarga, dan bahkan gereja. Bentuk-bentuk kekerasan atau penindasan itu dapat kita lihat dalam 5 bentuk :
(1) Dominasi/Subordinasi. Laki-laki adalah tuan, dan majikan (karena tempatnya adalah di luar/publik), dan perempuan adalah kaum yang lemah, karena itu tempatnya adalah di rumah (memasak, mengurusi suami dan anak dsb).
(2) Marginalisasi. Marginalisasi bisa dalam bentuk diskriminasi. Sikap kita sebagai orangtua, kerapkali tidak adil. Anak laki-laki boleh melakukan apa saja, termasuk hal-hal yang buruk, karena dia adalah laki-laki. Sedangkan anak perempuan, harus pandai mematut-matut diri dan tunduk kepada ayahnya. Upah buruh perempuan sangat rendah dibandingkan dengan laki-laki, karena dia dianggap punya suami, dan lebih bodoh dari laki-laki. Di gereja, tempat perempuan hanya di bagian konsumsi dan sekretariat. mereka tidak dilibatkan untuk mengambil keputusan, karena mereka tidak tahu apa-apa.
(3) Stereotyping. Cap atau stempel, bahwa perempuan itu lemah, dan kurang terdidik dalam menangani masalah-masalah sosial-ekonomi dan politik. Pekerjaan perempuan hanya memasak dan mengurusi suami, anak dan keluarganya.
(4) Unjust burden (beban yang tidak adil antara laki-laki dan perempuan). Bila seorang istri bekerja sebagai pegawai atau guru dan karyawan, dia dituntut untuk bisa menangani sekaligus urusan di dalam keluarganya. Melayani suami dan anak-anaknya, bahkan mertuanya. (5) Kekerasan, baik secara fisik (dengan memukul, menampar dan sebagainya) maupun secara psikis (dengan kata-kata kasar, umpatan, caci maki, tidak memberi nafkah kepada istri dsb)

Dalam kaitan itu, Gereja seharusnya adalah pihak pertama yang harus bertanggung jawab untuk terlibat secara aktif dalam upaya penghentian kekerasan. Gereja adalah saudara dan saya, dan bukan bangunan gereja ini. Kita harus merombak atau mengubah entah itu ajaran, tradisi atau budaya yang telah secara langsung atau pun tidak langsung mengakibatkan kekerasan terhadap umatnya, khususnya kaum perempuan dan anak-anak. Karena terbukti, dan Gereja tidak bisa mengingkari, bahwa telah terjadi begitu banyak kekerasan yang dilakukan di dalam keluarga-keluarga kita, bahkan di dalam gereja-gereja  dan lembaga-lembaga pendidikan kita. Anna Julia Cooper, seorang pendidikan perempuan, lebih dari seratus tahun lalu sudah menuliskan, ”dunia perlu mendengar suara perempuan” yang sekian lama dibungkam, termasuk di dalam membaca ”teks-teks Kitab Suci” untuk menempatkan pengalaman manusia secara keseluruhan baik laki-laki maupun perempuan.”

Kejadian 1:27 mencerminkan eksistensi manusia yang terdalam. Bahwa manusia adalah ciptaan Allah dan manusia ciptaan Allah itu adalah laki-laki dan perempuan. Kredo ini menggarisbawahi kesamaan harkat dan martabat laki-laki dan perempuan di hadapan Allah. Tidak ada yang lebih tinggi atau yang lebih rendah terhadap yang lain, keduanya diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kejadian 1:26). Gambaran bahwa perempuan diciptakan dari rusuk laki-laki memperlihatkan bahwa keduanya mempunyai sumber yang sama, mereka adalah kesatuan, suatu keutuhan dan bukan menunjuk bahwa perempuan lebih rendah dari laki-laki, sebagaimana yang diikrarkan sendiri oleh Adam, ”Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku” (Kej. 2:23). Namun dalam kenyataannya, kredo ini sering tidak diimplementasikan, lain kata, lain tindakan.

Penyebab utamanya adalah pengaruh kuat budaya patriarkhal yang telah merasuk dan berakar kuat dalam pemikiran kita, mempengaruhi sistem nilai yang kita anut dan tercermin secara jelas dalam pola relasi yang kita kembangkan baik terhadap laki-laki maupun perempuan, termasuk dalam membesarkan dan mendidik anak-anak kita. Kristus membebaskan manusia dari segala bentuk perbudakan dan diskriminasi yang didasarkan atas perbedaan-perbedaan suku dan ras, status sosial-ekonomi, jenis kelamin (gender) dsb, yang tidak memanusiakan manusia, sebagaimana disaksikan Paulus, ”... kamu semua, yang dibaptis dalam Kristus, telah mengenakan Kristus. Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus” (Galatia 3:27-28). Berita Injil yaitu ”Kabar Baik” atau berita pembebasan bagi manusia dan seluruh ciptaan perlu kita garisbawahi dan menjadi kacamata dalam kita membaca dan memahami berita Alkitab.

        Para penulis Alkitab pada umumnya dipengaruhi oleh budaya jamannya yang patriarkhal. Berita Injil mengenai manusia laki-laki dan perempuan sebagai gambar Allah (Kejadian 1-2) dan kesamaan martabat manusia perempuan dan laki-laki di dalam Kristus (Galatia 3:28) sering dikaburkan oleh ayat-ayat Alkitab lainnya yang mengagungkan laki-laki dan merendahkan perempuan. John S. Pobee menandaskan bahwa, ”Firman Allah termuat dalam Alkitab, tetapi tidak sama (identik) dengan Alkitab.” Ia melanjutkan ”sejak kejatuhan ke dalam dosa bahasa Alkitab yang menyapa manusia laki-laki dan perempuan telah diganti oleh bahasa yang terpusat pada laki-laki, dengan demikian dominasi laki-laki atas perempuan menjadi norma. 
Acapkali bahkan selalu terjadi bahwa atas nama Alkitab perempuan dikesampingkan dan dikorbankan. Pobee melihat pentingnya menempatkan percakapan mengenai laki-laki dan perempuan dalam terang manusia sebagai gambar Allah dan dalam konteks komunitas, sehingga hubungan yang saling tergantung antara laki-laki dan perempuan serta kesatuan mereka diutamakan. Perbedaan yang ada di antara laki-laki dan perempuan adalah kenyataan, tetapi perbedaan itu tidak menempatkan yang satu lebih tinggi daripada yang lainnya (perbedaan hierarkhis). Perbedaan itu terutama harus dilihat dalam konteks hubungan yang dinamis, timbal balik dan saling melengkapi. 
Injil Lukas menempatkan seorang perempuan Maria, ibunda Yesus dan seorang laki-laki, yaitu Yohanes Pembaptis, yang membuka jalan bagi Yesus. Keduanya memperlihatkan tempat laki-laki dan perempuan yang setara dalam terang manusia sebagai gambar Allah. Maria menerima berita, bahwa ia diberikan karunia dan disertai Allah, yang berarti bahwa ia dipilih demi tugas yang penting. Ia akan mengandung dan melahirkan seorang anak yang diberi nama Yesus (Tuhan yang menyelamatkan) dan yang akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi, dan yang akan diberikan takhta Daud leluhurnya, sebagai Mesias yang dinanti-nantikan oleh umat Israel dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan.

Sama seperti para nabi, Maria menyatakan keberatan terhadap tugas panggilannya dan ia pun diberi tanda dan janji. Ia menerimanya dan menjawab, ”Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu” (Lukas 1:38). Dengan menyetujui rencana Allah, Maria ikut menyongsong zaman baru dan menjadi pelopor sekalian orang yang percaya pada Anak-Nya serta melayani demi nama-Nya. Tidak ada syarat tertentu yang Maria harus penuhi di mana Allah mempercayakan tugas mulia atau pun sederhana. Maria tidak meminta apapun, selain kerelaan menerima ajakan dan janji Allah. Demikian juga untuk kita.

Dengan demikian pemahaman dan pandangan kita tentang  identitas Hawa, sebagai perempuan berdosa yang melambangkan perempuan yang lainnya, ibu sekalian orang yang hidup, seorang yang bersuami dengan kekuatan besar, yang biasa bekerja keras dan menderita, yang dilihat secara negatif sebagai penyebab atau yang memasukkan dosa ke dalam dunia, patut kita ubah menjadi Maria, yang manis dan pasrah memasukkan hidup kekal ke dalam dunia melalui Anak-Nya, Yesus Kristus.  Dengan kata lain, paradigma kita yang lama, yang memandang kaum perempuan sebagai kaum yang lemah, yang penuh dengan ketidakbaikan atau keburukan, sebagai penyebab yang memasukkan dosa ke dalam dunia, kita ganti dengan paradigma baru, yang memandang kaum perempuan sebagaimana Maria, yang merelakan dan menyerahkan hidupnya kepada Yesus Kristus, Anak-Nya. Menurut saya, selama kita masih menempatkan kaum perempuan sebagaimana Hawa, yang perlu kita singkirkan dan kita kambinghitamkan sebagai penyebab dosa ke dalam dunia, selama itu pula keberadaan kita, sebagai Gereja akan terus disingkirkan dan dikambinghitamkan, dan dianiaya.  Karena itu kita perlu mengganti kaca mata dan paradigma kita, dengan memandang kaum perempuan sebagai Maria dan Anak-Nya yang melambangkan kasih Allah Bapa kepada kita. Kehadiran perempuan yang membawa inspirasi, yang rahmani (penuh dengan belas kasih) di hadapan Allah. Soli Deo Gloria!



TEOLOGI FEMINIS (2)






Oleh: Pdt. Maryam Kurniawati D.Min


Pada hakikatnya manusia diciptakan laki-laki dan perempuan. Sejauh yang kita ketahui, sejarah mencatat dengan pasti (sebagai realitas yang diciptakan oleh kaum laki-laki), bahwa kaum laki-laki menentukan pola masyarakat dan kaum perempuan disubordinasikan. Dominasi kaum laki-laki atas kaum perempuan pada umumnya dibenarkan oleh paham kodrat. Menurut paham ini, kodrat laki-laki adalah kuat, pemberani,rasional, produktif, menciptakan kebudayaan, dan sanggup membuat perencanaan. Sedangkan kodrat perempuan adalah lemah lembut, penakut, perasa, reproduktif, memelihara dan merawat kehidupan, biasa melayani dan suka dipimpin. Dengan pandangan seperti ini, tempat kaum laki-laki adalah di ruang publik, dalam masyarakat luas sementara kaum perempuan di ruang domestik atau privat (di rumah dan sekitarnya). Sungguh menarik, bila kemudian justru ditemukan gejala matrifokalitas (pola kesetaraan yang menempatkan setiap anggota keluarga - suami dan isteri - dalam posisi yang kurang lebih seimbang) dalam sistem peran sosial secara umum.

Masalah-masalah ”besar” seperti membeli rumah atau tanah, pengelolaan saham atau keuangan keluarga, adalah masalah yang menyangkut laki-laki. Masalah-masalah perempuan, seperti pemeliharaan anak, masak, pendidikan anak dan urusan rumah tangga yang lainnya jarang disinggung, dan sering ”disembunyikan.” Pandangan ini dibenarkanoleh filsafat klasik, baik di Barat mau pun di Timur. Menurut Aristoteles, ”Alangkah layak dan tepat bahwa tubuh dipimpin oleh jiwa dan perasaan oleh pemikiran yang berakal; seandainya keduanya sejajar, bahkan jika tatanannya terbalik, maka pasti akan menimbulkan kecelakaan.

Menyangkut kelamin pun laki-laki lebih tinggi secara naluri dan perempuan lebih rendah; laki-laki memerintah dan perempuan diperintah.  Hal yang sama berlaku dalam filsafat Tionghoa : Yang (maskulin) dihubungkan dengan dunia atas (langit) dan Yin (feminin) dengan dunia bawah. Dengan demikian kaum laki-laki memerintah perempuan, dan tatanan ini ditekanlah dalam tradisi Confucinisme. Muncul kecenderungan untuk menilai kaum perempuan dari sudut pandang laki-laki dengan menekankan ”kekurangan-kekurangannya”dibandingkan dengan ”laki-laki,” disamping upaya membangun interelasi yang eksklusif. Akibatnya, hanya kaum laki-laki saja yang dipandang sebagai manusia sejati sementara perempuan hanyalah pelengkap.

Dalam naskah-naskah yang penting di bidang hukum, sejarah, filsafat dan agama (sebagai realitas yang diciptakan oleh laki-laki) sering dipakai istilah ”manusia” dan sebenarnya yang dimaksudkan hanyalah laki-laki dewasa yang mampu menentukan kehidupannya sendiri, dan pokok tentang perempuan ”tidak kelihatan” karena dianggap sudah termasuk dalam konsep tentang ”manusia.

Stigma sosial yang dikenakan kepada kaum perempuan sebagai kaum yang dikesampingkan dan dipinggirkan (karena dianggap ”tidak kelihatan” dan ”tidak ada”) kerapkali diabaikan dan tidak tersentuh, apalagi teratasi dengan membaca Alkitab hanya dari perspektif kaum laki-laki. Hal ini disebabkan karena corak budaya dan sikap kaum laki-laki yang mendominasi dan meminggirkan kaum perempuan itu sudah sangat berakar dalam ”jantung” kehidupan masyarakat.
Perempuan disamakan dengan nature (alam, segala sesuatu yang naluriah) dan laki-laki dengan culture (kebudayaan dan penanaman). Dalil ini sangat berpengaruh di Barat. Antara abad ke-16 dan ke-19, jutaan perempuan dihukum mati dan dibakar hidup-hidup sebagai ”tukang sihir” yang dianggap membahayakan masyarakat. Hal itu didukung oleh ajaran rasional baru dan ajaran gereja.Akibatnya, ialah perempuan membenci dirinya sendiri. Dalam bukunya  Sexism and God Talk, Rosemary Radford Ruether menyatakan,
“Jika seksisme berarti kekerasan dan pelanggaran terhadap integritas tubuh perempuan, kemanusiaan, dan kapasitas untuk pengembangan diri, seksisme juga menjadi distorsibagi kemanusiaan laki-laki. Meski pun laki berusaha untuk memonopoli tugas-tugas kemanusiaan yang paling dihargai, … untuk menguasai kebudayaan dan kreativitas, mereka tidak berhasil dalam mengaktualisasikan suatu kemanusiaan yang kita cita-citakan. Dalam kebrutalan dan dalam abstraksi intelektualnya seksisme mendistorsi kemanusiaan laki-laki dan dengan demikian mendistorsi semua kegiatan manusia. Bila distorsi terhadap kemanusiaan perempuan merupakan suatu tragedi menjadi korban dalam banyak segi, maka distorsi terhadap kemanusiaan laki-laki merupakan suatu penyakit endemis yang akan menghancurkan baik kemanusiaan dan dunia kita sendiri jika tidak terjadi pertobatan yang dramatis.

Menurut Tissa Balasuriya, diskriminasi terhadap perempuan terdapat dalam banyak masyarakat Asia. Mereka sering berlaku tidak adil terhadap perempuan, sekalipun ada sikap hormat terhadap perempuan dan kaum ibu. Sejak lahir, anak perempuan kurang diharapkan, dan kurang diasuh. Anak laki-laki disambut dengan gembira. Sepanjang hidupnya kaum perempuan diatur agar cocok dengan peran rumah tangga yang disediakan bagi mereka. Mereka tidak diizinkan untuk mengatur langkahnya sendiri. Perasaan takut senantiasa ditanamkan. Secara piskologis dan fisik mereka menjadi sangat bergantung pada kaum laki-laki. Menjelang akil-balik, para gadis didesak agar segara menikah dan ”berumah-tangga.” Dengan demikian para orangtua terbebas dari tanggung jawab untuk mengasih anak gadisnya. Dalam bidang pekerjaan, perempuan tidak dianjurkan atau diharapkan mendapat pekerjaan tetap diluar rumah. Kalau mereka diperkerjakan, mereka sering mendapat upah yang lebih sedikit, atau bahkan tidak mendapatkan bayaran yang sepantasnya, ketimbang kaum laki-laki untuk jenis pekerjaan yang sama. Kaum perempuan sering dipekerjakan sebagai tenaga yang kurang trampil; pada umumnya menangani urusan administrasi atau pengawasan yang dianggap sepele oleh kaum laki-laki. Kaum perempuan juga dieksploitasi dalam zona-zona perdagangan bebas di hotel-hotel, restoran-restoran, dan pusat-pusat pariwisata, kadang-kadang sebagai pelacur (atau PSK), terutama kalau mereka tidak punya pekerjaan dan keluarganya sangat kekurangan. Kadang-kadang kaum perempuan memilih peran ”bergantung sepenuhnya” kepada laki-laki, di mana mereka merasa dipelihara, dan berperan sebagai ibu dan pengasuh, di mana mereka dapat menyatakan perasaan keibuannya, kesabaran, kelemah-lembutan, dan sambutan hangat. Media massa, dengan orientasi para pembelinya, menekankan citra seks dari kaum perempuan, dan sejumlah perempuan bertanggung-jawab sama seperti laki-laki atas perendahan harkat perempuan lainnya.

Ironisnya, Alkitab sendiri mengandung banyak teks yang secara sepintas atau pun langsung meminggirkan, dan bahkan menindas kaum perempuan. Teks-teks semacam itu sudah sangat sering digunakan, dan dilegitimasi (dijadikan sebagai pengesahan atau pembenaran) untuk memperkokoh subordinasi kaum perempuan dalam masyarakat maupun gereja. Para penulis Alkitab pada umumnya dipengaruhi oleh budaya jamannya yang patriarkhal.  Sebab itu berita Injil mengenai manusia laki-laki dan perempuan sebagai gambar Allah (Kejadian 1-2) dan kesamaan martabat manusia perempuan dan laki-laki di dalam Kristus (Galatia 3:28) sering dikaburkan oleh ayat-ayat Alkitab lainnya yang mengagungkan laki-laki dan merendahkan perempuan.

Hal itu disebabkan karena Alkitab bernada androsentris (andros=laki-laki,sentris=berhubungan dengan inti) menentukan budaya, yakni segala peristiwa dilihat dari sudut laki-laki. Pandangan perempuan tersembunyi.  Sama halnya dengan naskah dasar agama-agama yang lain, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru bersifat androsentris.Naskahnya ditulis oleh laki-laki dengan pandangan laki-laki dan mula-mula dialamatkan terutama bagi kaum laki-laki sebagai imam, pengajar dan pemberita. Oleh karena itu :
  1. Dalam Sepuluh Firman (Kel. 20:17), dikatakan, ”Janganlah mengingini istri sesamamu.” Larangan itu dialamatkan pada kaum laki-laki dan tidak terdapat larangan yang sepadan untuk perempuan.
  1. Laki-laki (Ibr : isy) sering dipakai dalam arti manusia, misalnya dalam perintah Kel. 21:12, 18, 20, 22, 26, 33; kebijaksanaan, misalnya Ams. 12:25, Mzm. 37:7; rumus berkat Mzm. 1:1, 112:1,5 dsb.; kutukan Ul. 27 dst. Di situ ”perempuan” termasuk secara tersembunyi atau kurang penting. Hal yang sama terdapat dalam Perjanjian Baru dengan adelphos, saudara laki-laki dalam surat rasuli, misalnya, Rm. 8:19, 9:3; 14:10, 13, 15 dsb.
  2. Nama murid perempuan sering dilupakan, sedangkan nama murid laki-laki diingat. Bnd. Mrk. 14:3; Kis. 1:14.
  3. Kotbah di Bukit merupakan pembicaraan dari seorang laki-laki kepada laki-laki lainnya (Mat. 5:21-26, antara saudara laki-laki; Mat. 5:27-30 dan 5:31-32, suami).
  4. Perempuan-perempuan sering ”disembunyikan,” misalnya makanan dibagikan kepada 5.000 orang laki-laki (Mrk. 6:44; Luk. 9:14; Yoh. 6:10; hanya Mat. 14:21 yang menambahkan informasi bahwa perempuan dan anak-anak ikut serta.
  5. Kita ”kebetulan” mendengar tentang mertua Simon Petrus (Mrk. 1:29-34), tetapi isterinya tidak ditampilkan, entah hidup entah mati. Akan tetapi, Paulus mengatakan bahwa rasul-rasul, termasuk Simon Petrus, sering berjalan bersama isteri mereka (1 Kor. 9:5).

Nada tersebut dipertajam lagi oleh tafsiran patriarkhal  yang ditemukan dalam Alkitab sendiri :
  1. Hawa dianggap orang kedua, pelengkap belaka. Ia pun menjadi orang pertama yang dicobai (2 Kor. 11:3) dan yang jatuh ke dalam dosa (1 Tim. 2:13, 14). Baik Kej. 1:26 tentang laki-laki dan perempuan yang dijadikan bersama menurut gambar Allah maupun Rm. 5:12 (tentang maut yang masuk ke dalam dunia melalui Adam) diabaikan. Sebab itu perempuan dipimpin oleh laki-laki karena Hawalah yang menjatuhkan Adam ke dalam dosa (Gal. 3:16; Ef. 5:21-33; Kol. 3:18-25; Titus 2:2-5)[14]. Jadi tugas perempuan adalah memelihara anak dan hidup patuh pada laki-laki.[15]
  2. Sejak Hosea menyamakan Israel dengan seorang istri yang berzinah (Hos. 2), seluruh sejarah Israel dipandang dalam kiasan itu. Bnd. Yer. 3:1-2; 2:20-25 dan Yeh. 16. Bila kiasan Allah sebagai suami dan umat sebagai istri dikenakan pada Kristus dan Gereja, maka ia dipakai untuk mengesahkan secara rohani tatanan keluarga patriarkhal : ”Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan” (Ef. 5:22).
  3. Kedua belas rasul, pemimpin utama Gereja, adalah laki-laki (wakil para kepada 12 suku Israel); generasi pemimpin berikutnya juga laki-laki (Timotius, Titus dsb.).
  4. Allah juga digambarkan sebagai laki-laki (abba) dan tentu Yesus sendiri.
  5. Paulus menggantikan dewi kesuburan Asia (Artemis) dengan Allah Bapa orang Yahudi (Kis. 19:23-27). Paulus mengandaikan tatanan sosial hierarkhis-patriarkhal yang bersifat “alamiah” dan dibenarkan oleh agama (1 Kor. 11:7-9; 14:34-36).
 Kecenderungan yang sama menentukan sebagian besar tafsiran Alkitab, nas tertentu dipakai untuk membatasi kebebasan dan hak perempuan :
  1. Meskipun dominasi laki-laki atas perempuan dilihat sebagai akibat dosa dalam Kej. 3:16, ia sering dipandang sebagai “hukum Allah,” dengan menjustifikasikan surat rasuli, “Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan” (Ef. 5:22).
  2. Sistem dominasi laki-laki mengajarkan sikap yang negatif tentang tubuh perempuan : pendarahan perempuan adalah najis, melahirkan sebagai masalah, dan alat-alat reproduksinya sebagai hal yang kotor. Karena itu perempuan dinyatakan najis selama haid dan setelah melahirkan (Bil. 12:1-8), dan mereka tidak diperbolehkan ikut serta dalam ritual-ritual keagamaan selama masa kenajisan tersebut. Perempuan yang sedang menstruasi dilarang beribadah di dalam gereja masih dipraktikkan di beberapa gereja di Afrika, di dalam beberapa gereja di Indonesia pendeta perempuan yang sedang hamil dilarang memimpin ibadah di gereja. Bahkan ada gereja yang tidak memperbolehkan pendeta perempuan melayani sakramen disebabkan pemahaman yang negatif itu. Penghinaan terhadap perempuan dan tubuhnya telah melegitimasikan misogyny (kebencian terhadap perempuan) dan kekerasan terhadap perempuan. Rosemary R. Ruether, misalnya mengatakan : ”Sejarah Kekristenan menyebut perempuan sebagai lebih rendah, subordinat, dan cenderung kepada kejahatan. Citra-citra ini membenarkan kekerasan yang hampir tidak terbatas terhadap perempuan bila perempuan bersebrangan dengan kemauan laki-laki di rumah atau di masyarakat. Perempuan sebagai korban adalah kaum pinggiran dalam sejarah yang patriarkhal ...”
  3. Yesus memanggil dua belas orang laki-laki untuk tinggal bersama Dia dan untuk diutus memberitakan Kerajaan Allah (Mrk. 6:7). Berdasarkan fakta itu hanya mereka sajalah yang dianggap sebagai rasul (ditambah Paulus sebagai pengganti Yudas). Pada saat Yesus mengumpulkan para murid-Nya untuk Perjamuan Kudus (Mrk. 14:22-25) atau menghembuskan Roh dan memberikan kepada mereka hak untuk mengampuni dosa (Yoh. 20:19-23), maka tradisi memberi tempat hanya bagi kedua belas rasul tanpa memperhatikan bahwa perempuan-perempuan pun termasuk murid-murid Yesus, dan mereka hadir pada Perjamuan Kudus pertama.
  4. Ketika Paulus meminta agar perempuan berdiam diri dalam pertemuan jemaat (1 Kor. 14:34), kita lupa bahwa nasihat itu ditujukan pada istri yang dapat ”menanyakan suaminya di rumah” (ay. 35) dan tidak boleh membantah pandangan suami di depan umum. Terlebih-lebih diabaikan bahwa Paulus mengenal perempuan yang berdoa dan bernubuat di depan jemaat (11:5). Nasihat Paulus dipakai sebagai larangan, yakni perempuan tidak boleh memegang jabatan di gereja (kecuali dalam pelayanan diakonia-sosial dan dalam pembinaan anak-anak serta perempuan). Nas yang sama dipakai untuk menolak hak suara para perempuan dan menghindarkan mereka untuk memilih dan dipilih dalam masyarakat umum (sampai pertengahan abad ke-20 di Barat).

Oleh karena itu bagi kaum feminis, Alkitab menjadi  ”buku yang berbahaya karena sering digunakan untuk menasihati kaum bawahan dan kaum perempuan agar mereka tunduk pada tuan-tuannya serta mengagumkan peperangan serta memberkatinya.” Elisabeth Schussler  Fiorenza menciptakan sebuah metode yang dinamai “a hermeneutic of suspicion,” tafsiran yang meragukan atau mempertanyakan naskah untuk memahami di mana dan apa sebabnya pengalaman perempuan hilang dan sejauh mana masih terdapat sisa yang dapat digali dan diangkat untuk memperoleh suatu gambaran yang lebih utuh.

Teologi feminis tertuju pada “suatu visi masa depan yang di dalamnya maksud Allah bagi ciptaan-Nya yang diperbarui akan tampak. Tatanan patriarchal Kitab Suci, tradisi gerejawi dan teologi sedemikian kebal, sehingga, untuk memberikan kepada perempuan tempat yang layak di dunia laki-laki, dibutuhkan iman yang utopis, yaitu iman yang menemui Allah dalam keakanan, suatu dorongan yang mengubah apa yang kini ada.”[25] Karena itu, meskipun terdapat sejumlah teori sesuai dengan situasinya yang berlainan, mereka “semua setuju, yakni mencari dan membela martabat manusia serta kesetaraan semua perempuan dan laki-laki.”

Menurut Elisabeth Schussler Fiorenza, “menganalisis secara kritis naskah Alkitab yang androsentris berguna secara positif untuk merekonstruksi kembali (membangun) dari permulaan umat Kristen untuk mengembangkan suatu kesadaran alkitabiah yang feminis.” Perempuan mengalami solidaritas dan persatuan sebagai golongan sosial bukan berdasarkan perbedaan biologis dibandingkan dengan laki-laki, tetapi berdasarkan pengalaman sejarah sebagai golongan yang tertindas dan yang berjuang untuk menentukan sejarah (menjadi full historical subjects.

Sehubungan dengan hal tersebut, Elisabeth Schussler Fiorenza terus menerus memberikan tantangan kepada kita “… to challenge white Eropean and American feminist movements and articulations to abandon their cultural imperialism, white supremacy, and exclusivist definition of feminism in terms of middle-class white women’s experiences.”[30]Hal ini mau menegaskan, bahwa kita tidak dapat menguniversalisasikan pengalaman perempuan, atau mencoba menggolongkan realitas perempuan ke dalam satu kata “tertindas,” atau “korban” atau “menderita,” karena dengan melakukan kedua hal tersebut di atas, itu berarti kita mengabaikan bahwa setiap teori tentang apa pun terbatas secara kultural dan historis, termasuk tentang perempuan.

Kita perlu melihat adanya realitas yang multi wajah (perspektif feminis yang beragam) ketika kita berbicara tentang budaya patriarkhi sebagai sistem yang membelenggu terciptanya realitas kesetaraan dalam relasi laki-laki dan perempuan.  Hal ini disebabkan karena keberagaman setiap kelompok masyarakat-budaya, dan pengalaman perempuan tidak ada yang tunggal atau berwajah sama.[31] Menurut Banawiratma, patriarkhi berarti ‘hak bapak kekuasaan bapak’ yang sebenarnya memperlihatkan bahwa sebelumnya bapak dan juga suami adalah juga tuan. Karena itu analisis baru muncul dengan istilah ‘kyriarkhi’(Yun. Kyrios=tuan, arkhe=kuasa, penguasa) yang memperlihatkan bahwa dominasi dan subordinasi laki-laki terhadap perempuan berada dalam susunan dan jaringan sosial berlapis-lapis dan kompleks, menjadi satu dengan kolonialisme, penghisapan kelas,rasisme, dominasi dari penguasa, pembesar, tuan, pemilik, majikan dan juga suami. Yang paling dipedulikan adalah mereka yang hidup pada lapisan dasar dari susunan dan jaringan-jaringan sosial itu dengan segala bentuk dominasi, subordinasi dan penindasan yang diderita oleh perempuan dan laki-laki yang dipinggirkan, guna mencapai egalitarian community (suatu komunitas yang sederajat antara laki-laki dan perempuan).

Berangkat dari realitas gender sebagai struktur sosial yang mengatur fungsi sosial laki-laki dan perempuan, oleh kaum feminis Dunia Ketiga, khususnya di Asia telah dipakai sebagai alat analisis untuk melihat ketidakadilan yang berlangsung dalam masyarakat di mana peran perempuan dan laki-laki dibedakan, antara lain dalam bidang domestic/privat dan public. Namun demikian, harus diakui bahwa hidup dan suara perempuan tidak mempunyai satu entitas yang tunggal (seragam) melainkan jamak (beragam).

Pluralitas atau kemajemukan ini mendorong para feminis untuk menekankan aspek kemajemukan dalam metode mereka, dan perbedaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa“there are women’s ways of knowing.” Metode-metode ini (khususnya dalamantropologi feminis) bertujuan untuk mentransformasikan dan memberdayakan kaum perempuan; menyebarkan pengetahuan tentang perempuan yang dapat memberi kontribusi pada pemberdayaan dan pembebasan perempuan demi kesetaraannya dengan laki-laki yang harus diwujudkan dalam seluruh aspek kehidupan.
Bahasa, juga menjadi substansi atau jalan masuk yang krusial (karena bias androsentrismedan arogansi maskulin yang mengasingkan perempuan) bagi kaum feminis dalam proses menumbuhkan kesadaran dan kepekaan kaum perempuan, dan menantang kaum laki-laki, untuk melancarkan kritik, merekonstruksi bangunan-bangunan teoritis, metodologis (dalam berbagai disiplin ilmu) yang melestarikan dominasi, ketimpangan dan ketidakadilan dalam realitas hubungan laki-laki dan perempuan, tekstual dan kontekstual. Rekonstruksi bahasa dilakukan dengan memakai bahasa yang inklusif yang menempatkan diri pribadi dalam relasi yang lebih utuh dengan sesama dan alam, dengan menerima dan memakai kekayaan pengalaman, perspektif setiap orang, terutama perempuan dalam realitas yang plural.

Inklusivitas itu bermuara pada hadirnya shalom dalam komunitas yang egaliter, di mana setiap laki-laki dan perempuan dapat mengalami makna kesetaraan dan setiap orang dapat mengalami realitas keadilan. Pendekatan kritis ini menjadi penting dalam rangka melihat dan memaknakan “pengalaman perempuan” sebagai titik berangkat klaimfeminisme, juga titik berangkat teologi feminis untuk kita refleksikan dan kontekstualisasikan di Indonesia.



TEOLOGI FEMINIS (1)








 Oleh: Pdt. Maryam Kurniawati D.Min

Entah mengapa, banyak di antara kita yang masih merasa enggan, dan bahkan merasa tidak nyaman, ketika menggunakan istilah ”feminisme atau feminis” dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa atribut yang dikenakan kepada feminisme, misalnya, ”datang dari Barat,” ”tidak membumi di Indonesia,” ”terlalu radikal,” ”aliran kiri,” akan membatasi ruang gerak kita untuk berdiri, melompat, berlari, dan menari dalam keseharian kita dalam proses mendefinisikan ulang istilah ”feminisme,” berangkat dari realitas hidup kita sebagai kaum perempuan dan kaum laki-laki.
Constance Singam, seorang feminis dari Singapura, mengungkapkan betapa istilah tersebut masih menjadi momok yang menakutkan, bahkan oleh kaum perempuan sendiri, yang tidak ingin dicap feminis. Berangkat dari ketakutan dan kecurigaan yang seperti itulah, Constance kemudian menantang pembaca artikelnya, dan termasuk kita supaya :
"... before you turn away from feminist, think for a moment what they are trying to accomplish and the work that still needs to be done. You can’t sit back and hope things will change. You only have to look at history to conclude that reform is not handed to you on a plate and equality is something that must be fought for again and again and is retained only by watchfulness."

Pernyataan Constance memperlihatkan antara lain, dua unsur yang menjadi perjuangan kaum feminis, yaitu “transformasi” dan “kesetaraan laki-laki dan perempuan” yang beraras dalam setiap segi kehidupan. Stigma sosial yang dikenakan kepada kaum perempuan sebagai kaum yang dikesampingkan dan dipinggirkan, kerapkali diabaikan dan tidak tersentuh, apalagi teratasi dengan membaca Alkitab hanya dari perspektif kaum laki-laki. Hal ini disebabkan karena sikap dominasi laki-laki, yang mendominasi dan meminggirkan kaum perempuan itu sudah sangat berakar dalam kehidupan masyarakat. Selanjutnya, yang lebih ironis lagi, Alkitab sendiri mengandung banyak teks yang secara sepintas atau pun langsung meminggirkan, dan bahkan menindas kaum perempuan (1 Kor. 14:34 dan sebagainya). Teks-teks semacam itu sudah sangat sering digunakan untuk memperkokohsubordinasi kaum perempuan dalam masyarakat maupun gereja. Menurut Marie C. Barth, “Di satu segi Alkitab melukai kita sebagai perempuan dan mengaburkan kasih Allah, di segi lain ia justru menolong kita memahami kemerdekaan yang kita cari.”

Sehubungan dengan hal tersebut di atas,  S. Fiorenza menciptakan sebuah metode yang dinamai “a hermeneutic of suspicion,”tafsiran yang meragukan atau mempertanyakan naskah untuk memahami di mana dan apa sebabnya pengalaman perempuan hilang dan sejauh mana masih terdapat sisa yang dapat digali dan diangkat untuk memperoleh suatu gambaran yang lebih utuh. Menurut S. Fiorenza, “menganalisis secara kritis naskah Alkitab yang androsentris berguna secara positif untuk merekonstruksi kembali (membangun) dari permulaan umat Kristen untuk mengembangkan suatu kesadaran alkitabiah yang feminis.”[8] Perempuan mengalami solidaritas dan persatuan sebagai golongan sosial bukan berdasarkan perbedaan biologis dibandingkan dengan laki-laki, tetapi berdasarkanpengalaman sejarah sebagai golongan yang tertindas dan yang berjuang untuk menentukan sejarah (menjadi full historical subjects).

Teologi Feminis bagi kebanyakan orang Timur diasosiasikan dengan pemikiran Barat yang memperjuangkan hak-hak dan kebebasan perempuan dalam berbagai bidang, dan karena itu banyak yang ”bias” terhadap istilah ini, mencapnya sebagai produk masyarakat Barat. Terlepas dari benar atau tidak sinyalemen ini, banyak kalangan yang mengkuatirkan bahwa teologi ini cenderung dikotomi dan konfrontatif dalam pendekatan, berbau individualistik serta condong menjadi eksklusif perempuan. Bagi masyarakat Timur yang lebih menekankan dimensi kehidupan komunitas tampaknya pendekatan gender dianggap lebih cocok. Namun banyak teolog feminis yang menganggap bahwa pendekatan ini terlalu lunak untuk dapat membongkar sistem patriarkhal yang telah mendarah daging, karena itu mereka lebih condong menggunakan istilah teologi feminis, sekalipun tidak semuanya seragam dalam pendekatan maupun fokus utamanya. Pluralitas teologi feminis maupun pendekatan tersebut dapat saling memperkaya dan saling mengoreksi. 

Teologi Feminis membuat refleksi kritis atas budaya patriakhi dan membangun kesadaran baru dan penuh (=konsientisasi) dengan tujuan membebaskan kaum perempuan dari belenggu budaya yang menindasnya dan mengembangkan suatu hubungan baru di antara mitra yang sederajat sebagai sesama makhluk Allah dan saudara Yesus. Meskipun terdapat sejumlah teori sesuai dengan situasinya yang berlainan, mereka “semua setuju, yakni mencari dan membela martabat manusia serta kesetaraan semua perempuan dan laki-laki.”  Karena itu teologi feminis tertuju pada “suatu visi masa depan yang di dalamnya maksud Allah bagi ciptaan-Nya yang diperbarui akan tampak. Tatanan patriarchal Kitab Suci, tradisi gerejawi dan teologi sedemikian kebal, sehingga, untuk memberikan kepada perempuan tempat yang layak di dunia laki-laki, dibutuhkan iman yang utopis, yaitu iman yang menemui Allah dalam keakanan, suatu dorongan yang mengubah apa yang kini ada.”

Teolog feminis di Asia dan Afrika menghadapi tugas yang lebih sulit lagi. Sebab selain usaha menyingkirkan sikap patriarkhal dan androsentris, mereka juga harus mengatasitradisi Barat yang berpikir secara eksklusif (yaitu yang tidak benar harus dinyatakan salah) dan individualis untuk menemukan kembali paham inklusif menuju persekutuan yang pluralis (hidup dalam kepelbagaian). Mereka mengalami sendiri suatu tradisi yang pernah memperalat Alkitab – dalam pemahaman Barat – sebagai tolok ukur atas budaya dan agama di Asia, Afrika dan Amerika Latin.
Kwok Pui-Lan, seorang teolog perempuan dari Hongkong, mengingatkan kita, bahwa Alkitab dibawa oleh kaum kolonial. Sama seperti kaum Barat yang memerintah menurut polanya sendiri, demikian juga para penginjil memakai Alkitab untuk membenarkan diri danmenguasai orang Kristen baru menurut pola mereka. Agama, kitab suci atau tradisi lisan, warisan hikmat leluhur, kedudukan tinggi perempuan dalam kebudayaan tertentu, semuanya diremehkan atas nama suatu ”etnosentrisme” yang berinti pada tradisi umat Kristen Barat sebagai umat pilihan Allah.

Kaum feminis meninggalkan warisan pemikiran eksklusif yang menentukan kebudayaan Barat yang dominan itu dan mencari pemikiran inklusif, yang menerima kepelbagaian sebagai kekayaan dan dorongan untuk mencari kebenaran yang lebih dalam dan utuh. Menurut Kwok Pui-Lan, ”Alkitab itu terlalu penting untuk ditaklukkan pada satu pola tafsir yang tunggal saja.” Metode ilmiah (historis-kritis) hanya dapat dilihat sebagai salah satu cara, ”hasilnya harus diuji oleh umat beragama di setiap tempat, oleh mereka yang membaca ulang Alkitab setiap hari serta berusaha menyalin sejarah dan perjuangannya sendiri dengan cerita Alkitab.”

Sehubungan dengan hal tersebut, Elisabeth Schussler Fiorenza terus menerus memberikan tantangan kepada kita “… to challenge white Eropean and American feminist movements and articulations to abandon their cultural imperialism, white supremacy, and exclusivist definition of feminism in terms of middle-class white women’s experiences.” Hal ini mau menegaskan, bahwa kita tidak dapat menguniversalisasikan pengalaman perempuan, atau mencoba menggolongkan realitas perempuan ke dalam satu kata “tertindas,” atau “korban” atau “menderita,” karena dengan melakukan kedua hal tersebut di atas, itu berarti kita mengabaikan bahwa setiap teori tentang apa pun terbatas secara kultural dan historis, termasuk tentang perempuan. Schussler Fiorenza membedakan tiga aliran tafsiran yang berbeda : 1) aliran doktriner yang menempatkan nas dalam kerangka ajaran gereja, 2) aliran histories yang menempatkan nas dalam lingkungan sejarah zamannya, dan 3) aliran pastoral teologi yang bertanya apa yang hendak dikatakan Allah kini pada gereja atau orang Kristen dalam situasinya.

Kecenderungan yang sama menentukan sebagian besar tafsiran Alkitab, nas tertentu dipakai untuk membatasi kebebasan dan hak perempuan : a) Meskipun dominasi laki-laki atas perempuan dilihat sebagai akibat dosa dalam Kej. 3:16, ia sering dipandang sebagai ”hukum Allah.” b) Yesus memanggil dua belas orang laki-laki untuk tinggal bersama Dia dan untuk diutus memberitakan Kerajaan Allah (Mrk. 6:7). Berdasarkan fakta itu hanya mereka sajalah yang dianggap sebagai rasul (ditambah Paulus sebagai pengganti Yudas). Pada saat Yesus mengumpulkan para murid-Nya untuk Perjamuan Kudus (Mrk. 14:22-25) atau menghembuskan Roh dan memberikan kepada mereka hak untuk mengampuni dosa (Yoh. 20:19-23), maka tradisi memberi tempat hanya bagi kedua belas rasul tanpa memperhatikan bahwa perempuan-perempuan pun termasuk murid-murid Yesus, dan mereka hadir pada Perjamuan Kudus pertama. c) Ketika Paulus meminta agar perempuan berdiam diri dalam pertemuan jemaat (1 Kor. 14:34), kita lupa bahwa nasihat itu ditujukan pada istri yang dapat ”menanyakan suaminya di rumah” (ay. 35) dan tidak boleh membantah pandangan suami di depan umum. Terlebih-lebih diabaikan bahwa Paulus mengenal perempuan yang berdoa dan bernubuat di depan jemaat (11:5). Nasihat Paulus dipakai sebagai larangan, yakni perempuan tidak boleh memegang jabatan di gereja (kecuali dalam pelayanan diakonia-sosial dan dalam pembinaan anak-anak serta perempuan). Nas yang sama dipakai untuk menolak hak suara para perempuan dan menghindarkan mereka untuk memilih dan dipilih dalam masyarakat umum (sampai pertengahan abad ke-20 di Barat).
Perlu kita pahami bahwa Alkitab dibentuk oleh kaum laki-laki dalam budaya patriarkhal, sehingga banyak pengalaman dan pernyataan ditafsirkan oleh kaum laki-laki dari sudut pandang patriarkhal. Usaha penafsiran dari abad ke abad dan penentuan kitab-kitab mana yang diterima oleh umat (dalam ”kanon”) menunjang pemahaman patriarkhal dan meniadakan apa yang masih tersirat tentang pengalaman perempuan atau, saat ia masih terpelihara, ia ditafsirkan secara androsentris. Akibatnya Alkitab menjadi sumber yang membenarkan konsep patriarkhat dalam masyarakat Yahudi dan Kristen. Apakah pentingnya Alkitab itu bagi kita? Ia menentukan iman dan jati diri Kristen dan ”Kitab yang merupakan dasar keterikatan kita (pada tradisi-tradisi patriarkhal) serentak merupakan sumber pembebasan kita, yaitu sumber utama kritik feminis terhadap penindasan patriarkhal.

 Inti berita Alkitab dan iman Kristen membebaskan, menyembuhkan dan membangun manusia yang utuh menurut pola kasih dan keadilan Allah. Karena itu bagi kaum feminis, Alkitab adalah ”buku yang berbahaya karena sering digunakan untuk menasihati kaum bawahan dan kaum perempuan agar mereka tunduk pada tuan-tuannya serta mengagumkan peperangan serta memberkatinya.” (Letty M. Russel). Dengan kata lain ”di satu pihak Alkitab ditulis dalam bahasa androsentris, berasal dari budaya patriarkhal zaman dulu dan digunakan sepanjang sejarah untuk meremehkan kaum perempuan dan membenarkan penindasan terhadap mereka. Namun di pihak lain, kaum perempuan, laki-laki dan kaum yang terpinggirkan lainnya, mengalami Alkitab sebagai sumber inspirasi yang mendukung perjuangannya melawan penindasan. Jati dirim Kristen yang berakar dalam Alkitab sebagai pola dasar yang menentukannya itu harus senantiasa dibongkar dan dibangun kembali dalam rangka praktik global untuk membebaskan tidak hanya kaum perempuan tetapi juga semua orang yang kemanusiaannya diancam oleh masyarakat dan agama yang patriarkhal.”  (Schussler Fiorenza).

Oleh karena itu kita perlu melihat adanya realitas yang multi wajah (perspektif feminis yang beragam) ketika kita berbicara tentang budaya patriarkhi sebagai sistem yang membelenggu terciptanya realitas kesetaraan dalam relasi laki-laki dan perempuan, karena keberagaman setiap kelompok masyarakat dan budaya, karena tidak ada pengalaman perempuan yang tunggal atau berwajah sama.