Halaman

Minggu, 27 April 2014

PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI MENGGUNAKAN BAHASA YANG BERBEDA




Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh banyak peneliti sosiolinguistik di bidang gender dan kebahasaan, pada kenyataannya perempuan dan laki-laki menggunakan bahasa yang berbeda. Bukan hanya pada pemakaian atau pemilihan kata (leksikal) dan kalimat (gramatikal), melainkan juga pada cara penyampaiannya (pragmatis). Bahasa yang digunakan oleh laki-laki menunjukkan dominasi laki-laki, sedangkan bahasa yang digunakan oleh perempuan merefleksikan subordinasi (ketidakberdayaan) mereka. Hal ini mencerminkan realitas kehidupan sosial mereka.

Perempuan biasanya lebih peka pada apa yang diucapkannya, dan cenderung memperhatikan fungsi afektif dalam berinteraksi. Mereka lebih peka terhadap perasaan yang mungkin ditimbulkan dari bahasa yang dipakai. Sedangkan laki-laki, biasanya cenderung lebih memperhatikan informasi (yang ada hubungannya dengan kemandirian dan status) yang disampaikan dibanding fungsi afektif dari interaksi itu sendiri. Mereka lebih sering menginterupsi dan mendominasi pembicaraan, terutama dalam situasi di mana kekuasaan dan status perlu ditonjolkan seperti ketikaberargumentasi atau berdebat dalam pertemuan atau rapat-rapat.

Contoh bahasa yang digunakan oleh laki-laki adalah, "Pemahaman Anda sempit dan berat sebelah. Pola pembinaan yang dilakukan oleh gereja hanya mengutamakan "transfer of knowledge," Penghayatan iman harus diwujudkan baik secara vertical maupun horizontal. Dari situ kita baru dapat mengerti Injil itu kabar baik." Contoh bahasa yang dipergunakan oleh perempuan, "Gereja dapat mengambil peran untuk membangun kehidupan masyarakat dengan memberikan ketrampilan untuk menjahit, membuat kue dsb," Segala bentuk perbedaan harus dihargai sebagai anugerah Tuhan."

Membicarakan bahasa laki-laki dan bahasa perempuan tidak bisa lepas dari konteks sosial dan budaya mereka, karena perbedaan yang ada ternyata banyak disebabkan oleh kondisi sosial masyarakatnya. Latar belakang sosial dan budaya serta situasi dan kondisi memegang peranan penting dalam melihat masalah ini. Oleh karena itu, perlu pendekatan yang bersifat holistik. Studi gender dan bahasa menekankan bahwa cara perempuan dan laki-laki memang memiliki cara berkomunikasi yang berbeda. Oleh sebab itu, masing-masing dari kita perlu saling memahami dan bertoleransi dengan perbedaan yang ada (Deborah Tannen, You just don't understand, 1990).

Selanjutnya, untuk memahami jenis atau bentuk bahasa, konteks sosial dan budaya dibutuhkan komitmen yang jelas untuk terus mendengarkan (daripada berbicara). Mengembangkan apa yang disebut Raymond Facelina sebagai listening heart,”sehingga kita dapat melepaskan katagori-katagori yang kita buat, dengan mendengarkan, memahami dan merefleksikannya dengan tepat. Salah satu bentuk pendekatan yang unik dalam aktivitas berkomunikasi yang menuntun kita memberi dari hati, mengaitkannya dengan diri sendiri dan seorang dengan yang lain dalam cara-cara yang menumbuhkembangkan sifat belarasa/belas kasih (nonviolent and compassionate compassion), sebagaimana yang diidentifikasikan oleh Marshall B. Rosenberg dalam bukunya Nonviolent Communication A Language of Compassion (2001).

NVC (nonviolent atau compassionate communication) adalah salah satu bentuk komunikasi yang akan menuntun kita untuk  merumuskan ulang bagaimana kita mengungkapkan diri dan mendengarkan orang lain. Di sini, kata-kata kita jadi respons sadar berdasarkan suatu kesadaran atas apa yang kita serap, rasa, dan inginkan. NVC membantu kita mengungkapkan diri secara jujur, jelas, serta memperhatikan pesan mitra wicara dengan penuh respek dan empati. Hal Ini merupakan sumbangan penting bagi upaya perdamaian di dunia.  NVC akan membantu kita untuk pantang“mengkritik” agar tidak mengadili/menghakimi orang lain secara negatif maupun positif. Jujur kata, selama ini kita menggunakan pendekatan rasional objektif kritis mengandalkan kritik sebagai sarana pertumbuhan pengetahuan. Sebab itu kita tidak segan-segan mengkritik, bahkan mengecam orang lain secara negatif.

Oleh karena itu NVC menawarkan Model komunikasi khas yang dapat dipakai oleh setiap orang. Menurut Rossenberg, komunikasi yang mengalienasi hidup menjebak kita pada dunia ide tentang apa yang benar dan apa yang salah, suatu dunia penilaian. Itulah dunia yang kaya dengan kata-kata yang mengklasifikasi dan mendikotomi (bahkan menjastifikasi) orang dan tindakan mereka. Saat memakai bahasa ini, kita menilai orang dan perilakunya sambil bersibuk dengan siapa yang baik, jahat, normal, abnormal, bertanggung jawab, tak bertanggung jawab, cerdas, goblok, dan seterusnya. Minat kita jadi terfokus pada ihwal mengklasifikasi, menganalisis, dan menentukan tingkat kesalahan ketimbang pada apa yang kita dan orang lain butuhkan dan tidak kita peroleh. Jadi, jika rekan kerja kita menginginkan lebih banyak afeksi daripada yang bisa saya berikan, ia ”kekurangan dan bergantung”. Namun, jika saya lebih banyak membutuhkan afeksi daripada yang bisa ia berikan, ia ”bersikap jauh dan tak peka”.

Dari keyakinan Rosenberg, analisis atas orang lain seperti itu adalah ungkapan tragis akan nilai dan kebutuhan kita sendiri. Menjadi tragis karena jika kita mengungkapkan nilai dan kebutuhan kita dalam bentuk ini, kita meningkatkan sikap defensif dan resistensi pada mereka di antara orang yang perilakunya justru kita pedulikan. Atau, jika mereka sepakat berperilaku sesuai dengan nilai kita, mereka sangat mungkin berbuat itu karena takut merasa bersalah atau malu. Di sini, penting membedakan evaluasi tentang nilai dengan penilaian moralistis.

Kita semua dapat mengevaluasi nilai-nilai dalam hidup: kita mungkin menghargai kejujuran, kebebasan, dan damai. Evaluasi kita atas nilai-nilai tersebut mencerminkan keyakinan kita tentang bagaimana hidup dapat dilayani dengan cara terbaik. Kita dapat  membuat penilaian moralistis atas orang dan perilaku yang gagal mendukung evaluasi kita akan nilai, misalnya ”tindak kekerasan buruk, orang yang membunuh jahat.” Andai kita terdidik memakai bahasa belarasa, kita pasti akan mengartikulasikan langsung kebutuhan dan nilai kita ketimbang menginsinuasikan keburukan jika kebutuhan itu tak terlayani. Jadi, alih-alih mengatakan ”tindak kekerasan itu buruk”, kita sebaiknya berkata, ”Saya takut menggunakan tindak kekerasan untuk menyelesaikan konflik; saya menghargai penyelesaian konflik dengan cara lain.”