Halaman

Minggu, 12 Oktober 2014

"Nonviolence is a way of life for courageous people"


MENSIASATI SEGALA BENTUK PENINDASAN
Bacaan Matius 9:35-10:8
Oleh: Pdt. Maryam Kurniawati D.Min


Penindasan, dalam bentuk apa pun, akan selalu menimbulkan trauma atau luka dalam diri seseorang. Orang akan merasa terasing, kesepian, dan bahkan kehilangan harga dirinya. Mungkin kita pernah mempunyai pengalaman ditindas atau tertindas, yang menimbulkan trauma di sepanjang hidup kita. Pengalaman kita di tempat kita bekerja, atau di sekolah misalnya, dapat menimbulkan trauma dalam diri kita. Anak saya yang besar, Brian, ketika di bangku kelas IV mengalami penindasan yang dilakukan oleh teman sekelasnya. Setiap hari, dia dipaksa oleh teman sekelasnya untuk membawa tasnya ke kelas di Lantai 2. Jika dia menolak, maka dia akan dipukul dan dijahati oleh teman tersebut. Alhasil selama 1 bulan, Brian karena takut, selalu membawakan tas temannya, dengan susah payah, karena dia sendiri juga harus membawa tasnya ke Lantai 2. Penindasan ini terus berlangsung tanpa ada yang mengetahuinya, karena Brian sendiri tidak pernah menceritakannya kepada saya atau suami saya. Bahkan Guru dan Kepala Sekolahnya sendiri tidak mengetahuinya. Akhirnya, pada suatu hari, suster anak saya yang kedua, ketika membawa buku anak saya yang tertinggal di rumah, melihat peristiwa tersebut dan melaporkannya kepada saya. Saya terkejut dan juga marah, karena penindasan itu terjadi di sekolah dan dilakukan oleh anak seorang Guru. Karena itu, ketika Brian pulang, saya minta anak saya menceritakan semua yang dia alami di sekolah. Dengan perasaan ketakutan dan bingung, dia mengungkapkan penyiksaan yang dialaminya. Dia takut melapor kepada Guru, Kepala Sekolah dan saya, karena ancaman-ancaman yang diberikan oleh teman sekelasnya itu, dan teman-teman sekelas yang lainnya pada umumnya cuek saja. Esok harinya, saya datang kepada Kepala Sekolah dan melaporkannya. Karena penindasan tersebut, saya dan suami saya harus berupaya keras untuk membantu dan menolong anak saya untuk mengembalikan rasa percaya dirinya yang dirusak oleh karena penindasan yang dilakukan oleh temannya.

Sekolah anak-anak kita, ternyata tidak steril dari yang namanya penindasan. Tadi malam saya sempat membaca sebuah website tentang penindasan siswa di sekolah, dan isinya sungguh mengejutkan saya. Karena dilaporkan ada begitu banyak penindasan yang dialami oleh siswa2 di sekolah, di segala penjuru dunia. Di Columbia,  di Colorado, di Manchester, di Irlandia, dan bahkan di Indonesia. Sebagai contoh, di Manchester Inggris, Marie Bentham berusia 8 tahun menggantung diri di kamar tidurnya karena merasa tak mampu menghadapi dan mengalami penindasan demi penindasan di sekolahnya. Lalu beberapa waktu lalu diberitakan seorang anak harus dibawa di rumah sakit, dalam perjalanan menemui ajalnya akibat sebuah penindasan yang dilakukan oleh temannya sendiri. Barbara Coloroso (2007) dalam bukunya yang berjudul “The Bully, The Bullied, and The Bystander” mengatakan “Penindasan adalah sebuah isu hidup dan mati yang kita abaikan resikonya pada anak2 kita. Anak2 yang tertindas menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan cara guna menghindari trauma dan hanya memiliki sedikit energi untuk belajar. Yang menderita akibat adanya penindasan ini tidak hanya anak yang tertindas. Anak2 penindas banyak yang terus memiliki perilaku penindas hingga dewasa, sehingga kemungkinan besar mereka kelak akan menindas anak2 mereka sendiri, gagal dalam hubungan antar pribadi, kehilangan pekerjaan, dan berakhir di penjara.

Tidak banyak dari kita yang menyadari, bahwa kekerasan kemanusiaan dimulai dari ruang kelas, dan 30%-80% waktu dihabiskan guru untuk mengatasi permasalahan disiplin, dan 25% ketidakmampuan belajar disebabkan karena adanya rasa takut siswa terhadap siswa lain di kelas. Perasaan tidak suka yang kuat terhadap seseorang yang dianggap tidak berharga, dan lemah membuat anak2 korban penindasan itu telah ditindas tanpa ampun. Diejek, diolok2, dijadikan bulan2an dan disiksa oleh teman2nya di sekolah. Willem Standaert, senior Programme Coordinator Unicef Indonesia mengatakan; "Penindasan pada anak, apapun alasannya, memiliki implikasi serius terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Penindasan kelak dapat merusak kepercayaan diri anak. Anak merasa terasing, kesepian, kehilangan harga diri, dan lebih jauh menurunkan kemampuan mereka untuk menjadi orang tua yang baik di masa mendatang.”

Fenomena yang tidak menyenangkan ini, dapat kita selidiki, kita ubah dan kita perbaiki, tergantung kepada kesungguhan dan kepedulian kita semua untuk membangun kesadaran dan memutuskan siklus kekerasan yang terjadi di sekolah-sekolah kita. Jangan lupa bahwa tragedi penindasan (bullying) siswa melibatkan tiga aktor, yakni pelaku yang menindas, korban tertindas yang takut melapor, dan penonton yang berperan serta atau cuek. Sadarkah kita bahwa ketiga aktor atau karakter tersebut juga dimainkan dan dipelajari oleh siswa dan anak-anak kita pada umumnya dalam kesehariannya, baik di rumah, di sekolah, di tempat bermain, dan di lingkungannya?! Lalu bagaimana dengan keluarga2 kita, dan kehidupan Gereja2 kita?! Apakah mereka juga ”bebas’ dari siklus kekerasan dan penindasan?!  Jujur kata, ternyata tidak.

Pembacaan Mazmur kita mengungkapkan keadaan pemazmur yang hampir putus asa. Ia berada dalam keadaan tertindas, terluka dan kebingungan. Dalam keadaan tertindas, ternyata tidak ada seorang pun yang dapat diandalkan untuk menolong dirinya. Hanya Tuhan yang dapat menolong dan menyelamatkan dirinya. Karena itu, pengalaman hidupnya bersama Tuhan itulah yang dapat memulihkannya. Dalam kehidupan kita sehari-hari, sebagaimana pemazmur, mungkin kita sedang berada dalam keadaan tertindas, terluka dan kebingungan, dan mungkin tidak ada seorang pun yang dapat menolong kita. Kita jadi merasa terasing, kesepian, kehilangan harga diri dan terus tidak berdaya karena tertindas dan terluka. Karena itu, pemazmur mengajak kita untuk berseru kepada Tuhan dan menaruh harap kepada-Nya. Hanya Tuhan yang dapat menolong kita dan memulihkan kita. Dalam surat Roma 5:1-8, Rasul Paulus mengatakan, bahwa kesengsaraan adalah sebuah fakta kehidupan. Tidak ada seorang pun yang dapat menghindarinya. Sebab itu ketika seseorang susah dan menderita, ia harus melihat segala bentuk penderitaan dan kessengsaraannya dari perspektif iman, bahwa melalui pergulatan yang berat itu Allah sedang mengubah hidupnya, menjadi matang dan dewasa, serta lebih bersandar kepada kekuatan Allah. Salib adalah bukti yang paling jelas dari kasih Allah kepada manusia. Dalam surat Roma 8:35-39 Rasul Paulus berkata, ”Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang? Seperti ada tertulis: "Oleh karena Engkau kami ada dalam bahaya maut sepanjang hari, kami telah dianggap sebagai domba-domba sembelihan." Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita. Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.

Di dalam Injil Matius 9:35 dst, kita menyaksikan bagaimana Yesus tidak pernah berdiam diri atau mengambil sikap tidak peduli ketika Ia diperhadapkan dengan kesusahan dan penderitaan manusia. Berulang-ulang kali dikatakan oleh Kitab Injil kepada kita, bagaimana hati Yesus selalu tergerak oleh belas kasihan melihat orang-orang yang terbaring tak berdaya, yang lelah dan yang kebingungan. Kehidupan manusia modern dengan segala bentuk persoalan-persoalannya melahirkan orang-orang yang tidak berdaya, yang terluka, lelah dan kebingungan. Jumlah mereka yang tidak berdaya, yang terluka, lelah dan kebingungan semakin besar dibandingkan dengan mereka yang peduli. Karena itulah Yesus menyatakan bahwa pekerja sedikit, tetapi tuaian banyak. Pernyataan Yesus ini pada saat itu mau menggambarkan kondisi di mana orang-orang Farisi sibuk dengan dirinya dan menutup mata terhadap orang-orang yang ada di sekelilingnya. Orang-orang Farisi memandang mereka sebagai orang-orang yang tidak diperhitungkan dan patut dilupakan. Namun Yesus memilih untuk memperhitungkan dan merangkul mereka agar mereka tidak terhilang di tengah himpitan pergumulan hidup mereka. Karena itu Ia memberikan kuasa-Nya. Dengan kuasa-Nya, para murid dimampukan untuk melakukan dan memberikan yang terbaik, dan mereka dilarang untuk menerima imbalan karena pekerjaan mereka. Mereka telah menerima dengan cuma-cuma, karena itu mereka juga harus memberi dengan cuma-cuma. Hal ini mengingatkan kita, untuk tidak menutup mata terhadap orang-orang yang ada di sekeliling kita. Betapa banyak orang yang tertindas dan teraniaya, yang terluka, lelah, dan kebingungan. Mungkin bukan disebabkan oleh karena kita, tetapi karena ketidakdilan dan kejahatan yang membuat atau menjadikan mereka sebagai korban yang tidak berdaya. Oleh karena itu, dengan kuasa Yesus, kita harus membangun kesadaran untuk memutuskan siklus kekerasan atau pun penindasan yang mengakibatkan penderitaan dalam hidup manusia, dan menggantikannya dengan cinta kasih. Tanpa kuasa-Nya, kekuatan kita sehebat apa pun tidak akan menghasilkan apa-ap. 

Hal ini juga menunjukkan kepada kita, bahwa kita bekerja bukan karena kekuatan kita, dan bukan untuk kepentingan kita. Tetapi karena kuasa Yesus yang memberkati dan memampukan kita untuk mengatasi setiap penderitaan manusia. Kita telah menerima pengorbanan Yesus Kristus yang mati di kayu salib dengan cuma-cuma, karena itu kita juga harus memberikannya tanpa pamrih, atau menuntut balas jasa. Oleh karena itu, setiap bentuk penderitaan manusia, harus kita hayati sebagai proses yang dipakai Allah untuk mendewasakan dan memetangkan kita. Proses ini membuat kita semakin menyadari dan mengimani bahwa Allah membentuk kehidupan umat-Nya melalui segala peristiwa, baik suka mau pun duka. Kesaksian iman kita dalam Yesus menjadi nyata pada saat kita menghadirkan kepedulian dan pertolongan bagi mereka yang menderita dan teraniaya. Inilah tugas panggilan kita sebagai orang percaya. Soli Deo Gloria!