Halaman

Sabtu, 27 Juni 2015

KETIDAKPEDULIAN, TUMPULNYA HATI NURANI




Kepedulian VS Ketidakpedulian. Tumpulnya Hati Nurani
Oleh: Maryam Kurniawati D.Min


            Yue-Yue (seorang bocah perempuan berusia dua tahun) lepas dari pengawasan orang tuanya, menyeberang jalan di depan toko milik orang tuanya. Tiba-tiba sebuah mobil menabraknya. Ban depan melindas tubuhnya. Mobil itu berhenti sejenak, tetapi bukannya turun, si sopir malah terus menancap gas, dan tubuh Yue-yue yang nyangkut di ban belakang  terlindas untuk kedua kalinya di bagian perut. Yue-yue tergolek sekarat di pinggir jalan, dan tidak ada seorang pun yang memperdulikan keadaannya. Sampai seorang pemulung berhenti untuk menolong Yue-yue. Tubuh Yue-yue masih bergerak-gerak saat pemulung itu menyentuhnya. Ia menariknya ke pinggir jalan dan memanggil-manggil orang-orang. Akhirnya orang tua Yue-yue datang; menggendongnya untuk mencari pertolongan.  Pada saat itu terlihat ada kurang lebih 7 orang lalu-lalang tanpa rasa iba. Sungguh mengerikan! Bocah perempuan yang terlindas itu akhirnya meninggal dunia (21/10/2011), dan peristiwa tragis tabrak lari Yue-yue ini terekam oleh CCTV dan ditayangkan di situs Youtube.   


            Kasus tabrak lari Yue-yue adalah sebuah tragedi kemanusiaan, karena tumpulnya hati nurani manusia. Mengapa orang vang lewat atau yang ada di sekitar itu (bystanders) tidak mau menolong dan cenderung tidak peduli? Apa sebenarnya yang terjadi pada orang-orang ini? Di mana kah hati nurani mereka? Dalam Psikologi sosial gejala ini dinamakan Bystander Effect, atau dinamakan juga Genovese Syndrome.
Suatu malam, Kitty Genovese seorang karyawati di New York berteriak-teriak minta tolong karena dua kali ditusuk orang dengan pisau tetapi tidak seorang pun tetangga yang datang menolongnya. Penjahat itu lari tetapi beberapa menit kemudian kembali lagi, memperkosa dan menusuknya berkali-kali sampai mati. Kasus yang menimpa Kitty Genovese itu tidak hanya mendapat publikasi yang luas tapi kemudian menjadi bahan penelitian para psikolog yang kemudian menyebut fenomena sosial seperti itu sebagai The Genovese Syndrome atau Bystander Effect. Efek penonton atau Sindrom Genovese adalah kejadian dimana banyak orang tidak melakukan apa-apa sementara mereka menyaksikan kejahatan itu berlangsung di depan mata mereka.



            Dua psikolog Amerika John Darley dan Bibb Latane (1968) mengemukakan bahwa makin banyak kehadiran orang lain, seseorang menjadi merasa lebih kecil keinginannya untuk membantu seseorang, jika ia bukan satu-satunya orang yang melihat orang yang membutuhkan pertolongan tersebut. Boleh jadi mereka merasa dirinya tidak mampu untuk menolong dan bukan ahlinya. Bukankah masih banyak orang lain yang bisa menolong dia? Mengapa harus saya? Bukankah orang lain lebih mampu menolong daripada saya? Tampaknya kita semua tidak terbebas dari "Genovese Syndrome" atau "Bystander Effect" (Diffusion of Responsibility).  Ambil saja contohnya ketika kita melihat sebuah peristiwa yang membutuhkan pertolongan kita, tetapi kita mengabaikannya karena tahu masih banyak orang lain yang bisa menolong dia. Sebagian dari kita berpikir, jangan-jangan malah timbul masalah dengan pihak hukum atau polisi bila kita menolongnya. Sebab itu kita lebih senang mengambil sikap "cuci tangan, lepas tangan dan angkat tangan" bilamana terjadi sesuatu di sekitar kita. Dalam perspektif iman Kristiani, gejala "Genovese Syndrome" atau Bystander Effect (kecenderungan untuk tidak menolong) tidak dapat dibenarkan. Berapa banyak tragedi kemanusiaan (ketidakadilan, penindasan, KDRT, kekejaman dan kejahatan) yang terjadi di depan mata kita, dan kita memilih sikap, berdiam diri dan tidak peduli karena kita pikir, masih ada orang lain yang dapat membantunya???


            Mengambil sikap tidak peduli, tidak mau menolong dan berdiam diri, berarti kita membenarkan dan menyetujui kekejaman dan kejahatan yang terjadi, dan membiarkannya bertumbuh kembang dalam kehidupan kita. Mudah-mudahan Syndrome ini tidak menjangkiti komunitas gereja, keluarga dan masyarakat kita. Tanpa kita sadari, gaya hidup modern membuat kita lebih peduli kepada diri sendiri daripada peduli kepada orang lain. Kita lebih senang banyak berpikir dan berbicara mengenai diri kita sendiri dan apa yang menjadi tujuan serta kepentingan pribadi kita. Dalam Injil Markus 8:1-10 kita membaca kisah tentang Yesus memberi makan empat ribu orang. Kisah ini memang tidak seterkenal cerita Yesus memberi makan lima ribu orang (Matius 14:13-21).


            Ceritanya hampir mirip tetapi tentu agak berbeda meski lokasi kejadian sama-sama di seputar danau Galilea. Ketika Yesus hendak memberi makan empat ribu orang (yang dihitung hanya laki-laki dan belum termasuk perempuan dan anak-anak).
Disebutkan dalam Injil Markus 8:2 TuhanYesus berkata, “Hati-Ku tergerak oleh belas kasihan  kepada orang banyak ini." Karena itu Ia meminta murid-murid-Nya untuk mengumpulkan roti dan ikan yang ada pada mereka. Kemudian dengan  ucapan syukur Yesus membagi-bagikan roti dan ikan kepada murid-murid-Nya dan dilanjutkan kepada orang banyak. Mereka semua makan sampai kenyang bahkan tersisa tujuh bakul penuh. Mukjizat memberi makan empat ribu orang lebih berasal dari sedikit roti (tujuh ketul) dan beberapa ekor ikan kecil. Di sini mukjizat terjadi pada saat hati mereka tergerak oleh belas kasih, disertai dengan ucapan syukur yang tulus dan tangan yang terulur untuk memberi.

            KIta semua tahu bahwa mukjizat terjadi selalu atas prakarsa ilahi. Kita tidak akan pernah bisa menentukan terjadinya mukjizat. Hanya Tuhan lah yang menentukan. Namun ada alasan mengapa Tuhan mau melakukan mukjizat, yakni karena hati-Nya tergerak oleh belas kasihan. Mukjizat adalah sebuah anugerah, karena Tuhan sangat peduli kepada kita, dan mukjizat itu terjadi atas kesediaan manusia untuk turut serta dan terlibat di dalamnya. Para murid dan beberapa orang tergerak untuk menolong orang banyak yang kelaparan. Apa yang ada pada mereka diserahkan kepada Yesus. Tujuh ketul roti diberikan kepada Yesus. Rasanya mustahil memberi makan 4000 orang hanya dengan 7 ketul roti. Namun mereka melakukan bagian yang dapat mereka kerjakan dan sisanya, Yesus yang menyelesaikan bagian-Nya. Mukjizat terjadi, bukan ketika 4000 orang itu kenyang, tetapi lebih dari itu. Masih ada sisa yang tadinya tidak cukup. Dengan 7 ketul roti dan beberapa ekor ikan, lebih dari 4000 orang dikenyangkan dan masih banyak lebihnya.

            Hal ini mengingatkan kepada kita, bahwa mukjizat Tuhan terjadi ketika hati kita digerakkan oleh belas kasih, dan Yesus mau mengajar kita untuk menunjukkan belas kasih dan kepedulian kita terhadap semua orang, siapa pun mereka, dan apa pun status, jenis kelamin, suku, ras, agama dan budaya mereka. Dalam Injil Lukas 6:36 Yesus berkata, "Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati." Murah hati di sini secara harafiah boleh kita artikan sebagai hati yang dijual murah alias senantiasa memberi perhatian kepada siapapun tanpa pandang bulu. Dengan belas kasih dan kemurahan hati kita, mukjizat Tuhan akan terjadi dan banyak orang memperoleh berkatnya.


- Primum quaerite regnum Dei, et omnia adicientur vobis, dicit Dominus - Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu (Matius 6:13)


Jumat, 12 Juni 2015

MENCEGAH TERJADINYA KDRT






MENCEGAH TERJADINYA KDRT
Oleh Maryam Kurniawati D.Min

Pengantar

Dulu kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dianggap mitos dan persoalan pribadi (private), kini menjadi fakta dan relita dalam kehidupan rumah tangga. Apakah itu KDRT? KDRT adalah tindak kekerasan yang dilakukan dalam rumah tangga, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, dan psikologis. Contohnya, suami mengancam, memaksa dan menyerang istri; Orangtua memukuli anak; Siswa membully temannya di sekolah (verbal-non verbal). Kasus KDRT terjadi, karena penyelesaian masalah dilakukan dengan menyerang, memaksa, mengancam atau melakukan kekerasan fisik (Bnd. Pasal 1 UUD No. 23 Tahun 2004). Sebagian besar korban KDRT adalah kaum perempuan dan pelakunya adalah suami. Pelaku atau korban KDRT adalah orang yang mempunyai hubungan darah, perkawinan, pengasuhan, perwalian dengan suami, dan anak bahkan satpam, dan pembantu rumah tangga.



Empat Bentuk KDRT
Kekerasan Ekonomi merupakan upaya sengaja, yang menjadikan korban bergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya. Contohnya, Suami tidak memberi nafkah kepada istri, atau orangtua menghukum anak dengan tidak memberi uang saku/uang bulanan

Kekerasan Seksual. Melakukan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lainnya. Pemaksaan hubungan seksual, tanpa persetujuan atau pada saat korban tidak menghendaki.

Pelecehan Seksual Secara Verbal mewujud dalam bentuk komentar atau gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dengan ekspresi wajah, gerakan tubuh  atau pun perbuatan lainnya yang bersifat menghina atau melecehkan korban.

Kekerasan Psikis merupakan Tindakan manipulasi/eksploitasi (ancaman, penghinaan, isolasi, pelecehan) yang mengakibatkan penderitaan psikis berat seperti gangguan tidur, makan, ketergantungan obat, depresi, stress yang berkepanjangan, gangguan jiwa dan bunuh diri.

Kekerasan Fisik mewujud dalam  bentuk Menampar, menjambak, mendorong, dan perbuatan lainnya yang mengakibatkan cidera berat/ringan (cacat, lumpuh dsb), trauma (histeria, gangguan jiwa), gugurnya kandungan, dan kematian korban.




Kasus Valerie VS Tony
Pada malam pertunangan kami, Troy menampar saya dengan sangat keras sampai saya memar selama seminggu. Dia memohon-mohon maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Saya dihantui rasa takut. Kadang saya harus kabur dari rumah sampai Troy tenang. Meski pukulannya menyakitkan, saya merasa caci makinya lebih sulit ditanggung daripada kekerasan fisik (Valerie)

Apa pun bisa bikin saya marah - makanan yang belum siap, misalnya. Pernah, saya menghantam Valerie dengan pistol. Suatu kali, saya memukuli dia habis-habisan sampai saya kira dia sudah mati. Lalu, saya coba menakut-nakuti dia dengan mengancam akan membunuh putra kami sambil menaruh pisau di leher putra kami (Tony)

Penyebab KDRT 
1. Masalah ekonomi rumah tangga, kemiskinan
2. Budaya yang menempatkan posisi laki-laki sebagai tuan atau majikan, dan perempuan sebagai hamba atau pelayan
3.  Pola asuh dan didikan keluarga yang menghalalkan kekerasan dalam segala bentuknya. Seorang anak yang dididik dan dibesarkan dengan kekerasan, biasanya akan bertumbuh menjadi orang dewasa, yang menghalalkan kekerasan sebagai jalan keluar dari setiap permasalahan yang dihadapinya. Di sini kita melihat "korban" berubah "menjadi pelaku"
4. Ajaran agama yang dipahami secara keliru (Misalnya: Hai istri, tunduklah kepada suamimu, seperti kepada Tuhan)

Tony
Sejak kecil saya tumbuh di lingkungan yang penuh kekerasan. Ayah sering memukuli Ibu di depan saya dan saudara-saudara saya. Setelah ia meninggalkan kami, Ibu tinggal dengan pria lain, dan pria itu juga memukuli dia. Pria itu juga memerkosa kakak perempuan saya—dan saya. Akibatnya, ia dijebloskan ke penjara… 



Bagaimana mencegah KDRT?
Pasal 1 UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), memberi perlindungan, rasa aman dan bantuan hukum terhadap korban serta menindak pelakunya.

Apa pun alasannya, Kekerasan bukanlah gaya hidup dan cara menyelesaikan masalah dalam Keluarga. Setiap bentuk dan tindak kekerasan yang dilakukan, sekalipun bertujuan baik adalah melawan kehendak Tuhan. “Tuhan menguji orang benar dan orang fasik, dan ia membenci orang yang mencintai kekerasan” (Mzm. 11:5)

Dalam perspektif saya, rumah tangga ataupun keluarga adalah suatu kehidupan yang dibentuk dan diprakarsai oleh Allah. Kita yakin Allah yang mempersatukan manusia didalam kehidupan rumah tangga, dan  tidak ada satu pun aspek pandangan dalam Alkitab, bahkan dalam pandangan Paulus yang menyetujui tentang tindak kekerasan dalam rumah tangga.
Bagaimana pun juga Tuhan adalah kepala dari rumah tangga itu sebab itu juga apapun yang terjadi didalam rumah tangga itu harus seturut dan sesuai dengan kehendak Tuhan.
Abigail adalah perempuan bijaksana yang menikah dengan Nabal, seorang suami yang memiliki karakter bebal. Nabal digambarkan sebagai laki-laki yang kaya raya, namun kasar dan jahat serta tidak menghargai isterinya. Abigail yang bijaksana menunjukkan komitmen dan kesetiaannya terhadap rumah tangganya (1 Samuel 25).

Hidup sebagai manusia baru dan anak-anak terang seharusnya tidak menjadikan kekerasan dalam segala bentuknya sebagai jalan keluar dari setiap permasalahan yang dihadapi,apalagi membenarkannya! Keluarga, dan rumah tangga merupakan tempat pembelajaran dalam membangun relasi hubungan interpersonal, dan kasih adalah cara yang paling ampuh dalam menyelesaikan setiap permasalahan, termasuk juga didalamnya masalah rumah tangga. Sebab itu  kekerasan bukanlah jalan menyelesaikan permasalahan tetapi hal itu akan menambah masalah. Keluarga/rumah tangga seharusnya menjadi tempat yang dapat memberikan rasa aman dan perlindungan, sehingga setiap anggota keluarga merasa sungguh-sungguh dikasihi dan dicintai.

Bagaimana sikap kita terhadap KDRT dalam segala bentuknya? Pertama, kita harus menyatakan secara tegas, bahwa KDRT dalam segala bentuknya adalah dosa atau berlawanan dengan kehendak Allah. Kedua, kita dapat membentuk Tim Advokasi guna menangani masalah KDRT. Ketiga, membentuk komunitas anti kekerasan yang memulihkan dan menyembuhkan di lingkungan gereja dan masyarakat. Keempat, melakukan sosialisasi  keadilan  gender  melalui  pelatihan,  studi/penelaahan, Alkitab,  penerbitan  modul  dan  audio-visual, serta  mimbar  gereja. Lima,  membentuk jejaring pendamping  perempuan,  perkumpulan perempuan,  dan  organisasi  massa  perempuan (=women fellowship) sebagai  strategi penghapusan kekerasan yang holistik. 


"Whatever you are, be a good one" (Abraham Lincoln)

Selasa, 02 Juni 2015

QUO VADIS SISTEM PENDIDIKAN DI INDONESIA


QUO VADIS SISTEM PENDIDIKAN DI INDONESIA
Oleh: Maryam Kurniawati D.Min

Sistem pendidikan di Finlandia merupakan salah satu sistem pendidikan yang terbaik di dunia.[1] Hal ini terbukti dengan nilai yang baik yang selalu dicetak peserta didik Finlandia dalam Program Penilaian Peserta didik International untuk mata pelajaran membaca, matematika dan ilmu pengetahuan alam. Jutaan orang tua di seluruh dunia mencoba untuk mencari tahu sistem pendidikan yang lebih baik untuk anak-anak mereka. Menurut Pasi Schelberg, akademisi Finlandia dan dosen tamu di Universitas Harvard, ada tiga hal yang membedakan sistem pendidikan di Finlandia dengan Amerika Serikat mau pun negara lain (termasuk Indonesia).[2]

Pertama, Finlandia telah membangun sistem sekolah yang mendukung pemerataan pendidikan bagi semua anak. "Pendidikan anak usia dini bagi semua anak, difokuskan agar sesuai dengan anak-anak berkebutuhan khusus, serta kurikulum mereka lebih mengutamakan kemampuan seluruh anak dibandingkan hanya menitikberatkan prestasi," kata Schelberg.

Kedua, penguatan kerja sama antar guru. "Rata-rata beban mengajar guru SMP di Finlandia setengah kali lebih sedikit dibandingkan beban mengajar guru di Amerika Serikat, sehingga guru-guru punya waktu untuk berdiskusi dan berbagi ide untuk meningkatkan kualitas mengajar," ujar Schelberg. Tidak heran bila sistem pendidikan di Finlandia adalah sistem pendidikan yang diimpikan banyak guru. Di Finlandia, profesi sebagai guru adalah profesi yang paling bergengsi serta dipercaya oleh pihak berwenang.

Ketiga, sistem belajar sambil bermain yang tepat guna terbukti ampuh untuk meningkatkan kemampuan para peserta didik di Finlandia. Ambil saja contohnya, semua sekolah di Finlandia menerapkan waktu istirahat selama 15 menit setiap kali mata pelajaran berganti. Waktu belajar di sekolah Finlandia juga lebih pendek dibandingkan dengan waktu sekolah di Amerika Serikat. Selain itu, semua sekolah dasar di negara itu memberikan beban pekerjaan rumah seminim mungkin agar peserta didik memiliki waktu untuk mengembangkan hobi dan bermain dengan teman-teman mereka ketika jam sekolah usai. Berbeda halnya dengan sekolah dasar di Amerika Serikat (dan juga Indonesia), yang memberikan banyak pekerjaan rumah agar peserta didik belajar di rumah. "Edukasi di negara lain hanya mementingkan ujian dan nilai. Sekolah swasta juga dianggap lebih baik dari pada sekolah negeri. Ini tidak terjadi di Finlandia," kata Schelberg. Hasil Program Penilaian Peserta didik International tahun 2012 menunjukkan Finlandia menduduki peringkat ketiga setelah Korea dan Jepang untuk mata pelajaran membaca, matematika dan sains.[3]

Bagaimana dengan sistem pendidikan di Indonesia? Indonesia adalah sebuah negara kepulauan terbesar di dunia, yang terbentang dari Sabang hingga Merauke, dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia. Di Indonesia, Sumber daya Manusia (SDM) merupakan salah satu faktor kunci dalam pembangunan negara dan bangsa. Harus diakui sistem pendidikan Indonesia selama ini belum didukung oleh SDM yang berkualitas. Rendahnya kualitas SDM Indonesia terkait dengan faktor pendidikan yang belum sepenuhnya mendukung pembentukan kepribadian peserta didik sebagaimana tujuan Pendidikan Nasional "membentuk manusia yang beriman daan berwatak mulia kepada Tuhan Yang Maha Esa" (UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pasal 4 ayat 1).

Ketidakmampuan sistem pendidikan di Indonesia untuk menciptakan SDM yang berkualitas disebabkan karena sistem pendidikan kita yang masih berorientasi pada pengetahuan (aspek kognitif), bukan berdasarkan aspek afektif dan motoris (penghayatan dan pengalaman) nilai-nilai yang luhur dan mulia. Oleh karena itu menurut saya, untuk mengingkatkan kualitas SDM, langkah pertama yang harus dilakukan, adalah mengubah sistem sistem pendidikan di Indonesia dari "model menabung" (banking concept of education) menjadi "model hadap masalah" (problem posing method).[4]

Dalam "model menabung," proses belajar di dalam kelas berlangsung satu arah, yaitu mengajar dan menasehati. Guru diyakini memiliki banyak sekali pengetahuan, yang kemudian dibagikan kepada peserta didik. Metode manabung ini membuat peserta didik bersikap pasif, dan tidak mampu berefleksi kritis terhadap dunia yang tidak adil dan berusaha mengubahnya. Sedangkan dengan "model hadap masalah," peserta didik menjadi peserta aktif dan kritis terhadap realitas kehidupan yang mereka hadapi. Guru menjadi "rekan," "mitra yang sejajar"  yang menyampaikan materi kepada peserta didik untuk dipertimbangkan, sehingga peserta didik dan guru saling belajar satu sama lain melalui dialog dan diskusi, sehingga "pengetahuan" tidak menjadi monopoli guru. Melalui "model hadap masalah," peserta didik belajar untuk bertanya secara kritis tentang kenyataan hidup yang mereka hadapi dan mencari cara alternatif untuk mengubahnya.[5]

Hingga saat ini, Kurikulum di Indonesia telah mengalami pergantian beberapa kali hingga pada saat ini kurikulum yang bertahan adalah Kurkulum Tingkat Satuan Pendidikan. Kurikulum ini disinyalir sebagai kurikulum yang paling baku diterapkan di Indonesia. Ketika Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) digulirkan, banyak pihak yang merasa senang bahwa sekolah mendapatkan kesempatan untuk menentukan sendiri arah atau model pendidikan disekolahnya. Namun, kemudian harapan itu sirna kembali ketika ternyata masih ada ujian nasional atau UAN yang membuat model pendidikan yang diberikan sekolah harus kembali lagi seragam. Tak terbayangkan memang ketika KTSP ini harus dilakukan disekolah-sekolah swasta dan sekolah-sekolah negeri yang satu kelas muridnya bisa sampai 40-50 orang, sementara gurunya hanya satu orang. Sungguh bagai punguk merindukan bulan!

Selain di Finlandia, Indonesia juga bisa belajar dari negara-negara lain yang memiliki sistem pendidikan yang sangat bagus. Menurut saya, kita harus bertindak dari sekarang, kita bisa belajar dari sistem yang diterapkan di Finlandia. Selain itu, dalam hal proses pembelajaran peserta didik tidak boleh dipaksa untuk mempelajari pelajaran yang tidak mereka sukai, setiap peserta didik memiliki kelebihan tersendiri di bidang tertentu. Kita tidak bisa memaksakan semua peserta didik harus suka belajar matematika, karena ada peserta didik yang tidak memiliki keahlian sama sekali di bidang matematika, akan tetapi orang tersebut memiliki keahlian di bidang seni misalnya. Oleh karena itu, sistem pendidikan yang selama ini hanya melakukan pembagian jurusan ketika SMA, mungkin mulai sekarang, sistem pembagian jurusan itu sudah dilakukan di bangku SMP (Sekolah Menengah Pertama). Di sini, peserta didik bebas menentukan kelas jurusan apa yang ingin mereka masuki sesuai dengan minat dan bakatnya. Dengan begitu, saya sangat yakin bahwa peserta didik akan belajar dengan santai serta peserta didik tidak akan mengalami yang namanya stres Karena bidang yang mereka pilih adalah bidang yang mereka memang sukai, mereka pilih tanpa ada paksaan dari siapapun.


Pendidikan di Indonesia seharusnya memang seperti itu, kita mengarahkan setiap peserta didik untuk focus ke bidangnya masing-masing, sehingga dengan begitu, nantinya kita akan lahirkan para pelajar yang ahli di bidangnya masing-masing. Untuk apa kita memaksa seseorang untuk belajar sesuatu yang tidak dia inginkan, hal tersebut sama saja kita membunuh kreativitas peserta didik tersebut, serta secara perlahan kita akan membuatnya menjadi gila. Selain itu, untuk apa kita mempelajari banyak hal kalau ternyata ilmu yang kita dapatkan mengenai pelajaran tersebut hanya kulitnya saja, tanpa kita mempelajari secara mendalam ilmu yang kita pilih. Akan tetapi, ketika kita sudah bagi dari awal, maka kita akan focus ke bidang kita masing-masing untuk bukan hanya sekedar mempelajari kulitnya, akan tetapi kita akan bisa memahami sampai isi terdalamnya. Sistem seperti inilah yang banyak diterapkan di negara-negara maju seperti Amerika dan China. Mereka memang mempersiapkan masyarakatnya untuk dididik di satu bidang, yang nantinya diharapkan orang tersebut akan menjadi orang yang ahli di bidangnya yang dapat memberikan kontribusi untuk bangsa dan negaranya. Tidak ada kemustahilan di dunia ini, dalam hal ini, saya secara pribadi sangat mengharapkan Indonesia dapat belajar dari pengalaman Finlandia tersebut serta negara-negara maju lainnya khususnya dalam bidang pendidikan.




                [1] Armanda Puspita Sari, "Mengapa Sekolah Finlandia Terbaik di Dunia?" (http://www.cnnindonesia.com/internasional/20141120051207-134-12638/mengapa-sekolah-finlandia-terbaik-di-dunia/ diunduh pada tanggal 28 Mei 2015)
                [2] Ibid.
[3] Ibid
[4] Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed  (New York: A Continum Book The Seabury Press, 1970),   57-58.
[5] Ada 3 tahapan kesadaran sosial manusia, yaitu magis, naïf dan kritis. Pada tahap kesadaran magis, seseorang tidak mampu menemukan kaitan antara ketidakadilan sosial, penindasan dan kemiskinan dengan struktur sosial, ekonomi dan budaya yang mengkondisikannya. Kemiskinan diterima sebagai kodrat yang tidak bisa diubah. Kesadaran naïf menyalahkan manusia sebagai sumber kemiskinan, keterbelakangan, dan ketidakberdayaan. Tahap kesadaran kritis melihat struktur politik, sosial, ekonomi dan budaya sebagai akar penindasan, kemiskinan dan keterbelakangan. Pendidikan untuk Pembebasan memfasilitasi pesertadidik untuk bergerak dari tahap kesadaran magis dan naïf menuju kesadaran kritis agar bisa “membaca,” memahami dan memetakan situasi struktur sosial, politik, ekonomi dan budaya yang manipulatif dan menawarkan candu. Ibid, 128-129.