Halaman

Kamis, 30 April 2015

PEREMPUAN DAN KEMISKINAN


By: Maryam Kurniawati 




Fakta Mary Jane
            Pada tanggal 28 April 2015, eksekusi Mary Jane Veloso, terpidana mati asal Filipina, tertunda karena ada permintaan dari Filipina terkait proses hukum yang sedang berjalan di negara tersebut. Permintaan tersebut diajukan Benigno Aquino, Presiden Filipina, setelah tersangka perekrut Mary Jane, Maria Kristina Sergio, menyerahkan diri kepada kepolisian Filipina. Mary Jane diperlukan untuk memberikan kesaksian dalam pemeriksaan terhadap Sergio. Menurut sebuah lembaga advokasi buruh migran di Filipina, polisi Filipina  sebelumnya sudah menuntut Sergio dan dua orang lainnya atas penipuan, perekrutan tenaga kerja ilegal, dan perdagangan manusia.

            Alasan lain penundaan eksekusi Mary Jane, menurut Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno, karena Presiden Jokowi mendengar suara dari berbagai kalangan aktivis (termasuk PGI) yang terus menyuarakan penundaan eksekusi mati terhadap Mary Jane. Warga asal Filipina itu dianggap bukan aktor yang terlibat langsung dalam kasus yang dihadapinya. Penundaan eksekusi Mary Jane mendapatkan apresiasi dari banyak kalangan. Namun, keputusan Indonesia untuk tetap mengeksekusi delapan napi lainnya  mendapat kecaman dari para pemimpin dunia dan aktivis internasional.

            Menteri Luar Negeri Selandia Baru, Murray McCully, menyatakan kekecewaannya atas eksekusi mati tersebut. Dilma Rousseff, Presiden Brasil mengatakan, eksekusi warga Brasil kedua di Indonesia tahun ini menandai persoalan serius dalam hubungan antara kedua negara. Sementara itu, Tony Abbott, Perdana Menteri Australia menggambarkan, eksekusi adalah hal yang "kejam dan tidak perlu." Abbott bahkan bertindak lebih jauh dengan menarik pulang Duta Besar Australia dari Jakarta. Direktur Eksekutif Drug Policy Alliance yang berbasis di New York, Ethan Nadelmann mengungkapkan, eksekusi terhadap delapan narapidana tidak akan menghasilkan apa-apa untuk mengurangi konsumsi narkoba di Indonesia atau negara lain, dan juga tidak melindungi orang dari penyalahgunaan narkoba.

      Sedangkan Sekretaris Jenderal Dewan Gereja Dunia DGD (World Council of Churches/WCC) Pendeta Dr Olav Fykse Tveit mengirimkan surat guna mengajukan grasi untuk 10 orang terpidana mati yang dijadwalkan untuk dieksekusi dalam waktu dekat, dan mendesak Presiden Joko Widodo segera menyatakan moratorium eksekusi hukuman mati sebagai langkah untuk penghapusan hukuman tersebut dan bergabung dengan kesepakatan global yang yang berusaha menghapus sanksi pidana paling ekstrim ini. “Keputusan negara Anda untuk melanjutkan eksekusi terpidana mati menempatkan Indonesia berlawanan arus global yang berusaha menghapus hukuman mati,” kata Tveit dalam suratnya.

            Dewasa ini ada 140 negara yang telah menghapuskan hukuman mati sepenuhnya dalam praksis hukum mereka. Hukuman mati pernah dihapuskan di Indonesia pada tahun 2008 namun kembali diberlakukan pada tahun 2013. Pada bulan Januari 2015, lima warga negara asing dan Indonesia dieksekusi mati karena terlibat dalam perdagangan narkoba. Dalam kasus hukuman mati, sebenarnya Indonesia telah meratifikasi Kovenan Sipil Politik dan konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan serta penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat kemanusiaan. Oleh karena itu PGI dan juga Komnas Perempuan melakukan advokasi dan merekomendasikan pengampunan bagi Mary Jane Veloso, seorang buruh migran asal Filipina, yang diduga keras menjadi korban human trafficking di negaranya.

           Komnas Perempuan mengungkap fakta Mary Jane Veloso setelah Maria Kristina Sergio, perempuan yang menjadi majikan dan merekrut Mary Jane Veloso untuk bekerja di Malaysia, telah menyerahkan diri kepada kepolisian Cabantuan, Filipina (28/4). Mary Jane adalah satu korban pemiskinan. Perempuan Filipina ini hanya menyenyam pendidikan hingga kelas 1 Sekolah Menengah Pertama (SMP). Mata pencahariannya adalah pengumpul dan penjual barang bekas. Menikah pada usia 16 tahun dan merupakan perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kemiskinan dan KDRT memaksa Mary Jane untuk bekerja dan mencari nafkah di luar Filipina. Di Dubai, Mary Jane diduga mengalami trauma akibat pelecehan dan tindak kekerasan seksual yang dilakukan oleh majikannya, sehingga ia harus dirawat di rumah sakit selama satu bulan. Setiap melihat laki-laki berwajah India, trauma muncul. Karena itu, ia memilih berangkat ke Indonesia daripada menunggu calon majikan (di Malaysia) yang konon masih berada di luar negeri.

           Kemudian Mary Jane direkrut oleh Maria Kristina P. Sergio, tetangga suaminya, untuk bekerja di Malaysia sebagai pekerja rumah tangga (PRT) dengan visa turis namun tanpa dokumen kerja yang resmi. Mary Jane membayar biaya keberangkatan dengan menyerahkan sepeda motor dan telepon genggam senilai 700 Peso atau sekitar 205 ribu Rupiah pada Kristina. Ia dijanjikan akan dipekerjakan sebagai PRT di Malaysia dan kekurangan biaya akan dibayar dengan pemotongan 3 bulan gaji saat bekerja. Mary Jane direkrut bekerja di Malaysia, kemudian ia diminta oleh perekrutnya untuk ke Indonesia dengan janji akan segera dipekerjakan setelah kembali sepulang dari Indonesia. Namun ternyata, ia malah dijadikan kurir narkoba. Sebab itu Mary Jane merupakan korban perdagangan manusia untuk tujuan perdagangan narkotika internasional, dan bukan gembong narkotika.
            Selama proses peradilan, ibu tunggal dari dua anak ini tidak didampingi ahli bahasa atau penerjemah sehingga tidak memahami Berita Acara Pemeriksaan dan proses persidangan atas kasusnya sendiri. Hal ini memperlihatkan bahwa peradilan di Indonesia dalam proses penyidikan, penangan, penuntutan, dan penghukuman belum menggunakan kerangka Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 1984.[7] Menurut Komnas Perempuan, pengampunan Mary Jane dapat memberikan legitimasi moral bagi pemerintah Indonesia untuk melakukan pembebasan bagi buruh migran yang terancam hukuman mati, termasuk korban trafficking yang terjebak dalam sindikat narkoba yang merendahkan martabat kemanusiaan.




REVITALISASI DAN REKONSEPTUALISASI PERAN SUAMI

REVITALISASI DAN REKONSEPTUALISASI PERAN SUAMI :
MEREKONSTRUKSI BUDAYA PATRIARHI
Pdt. Maryam Kurniawati Tjandra Kusuma





Pendahuluan
Di dalam kehidupan sehari-hari, peran dan fungsi perempuan kerapkali "terpinggirkan" oleh budaya dan tradisi. Dalam kepemimpinan sebuah organisasi misalnya, biasanya laki-laki lebih dominan, serta mengambil peran untuk mengambil keputusan dan menentukan kebijakan. Sedangkan perempuan, ditempatkan pada posisi yang kurang strategis, seperti misalnya di bagian administrasi atau keuangan (sebagai Bendahara, atau Pembukuan) serta pengadaan konsumsi. Tidak heran bila sering terjadi tindak kekerasan terhadap perempuan, baik secara fisik, psikis, mental mau pun spiritual baik secara perseorangan mau pun dalam komunitas perempuan.

Dalam budaya patriarkhi (pola atau tatanan masyarakat yang ditentukan oleh laki-laki," sikap dominan suami terhadap istri pada umumnya dibenarkan oleh paham kodrat, sebab kodrat suami (sebagai laki-laki) diyakini kuat, pemberani, rasional, produktif dan konseptual. Sedangkan kodrat istri, sebagai perempuan adalah lemah lembut, penakut, tidak mandiri, dan reproduktif. Sebab itu biasanya perempuan lebih suka melayani dan dipimpin. Peran dan fungsi serta tempat suami (dan atau laki-laki) adalah di area publik (seperti bekerja, mencari nafkah), sementara istri di ruang domestik (di rumah dan sekitarnya).

Tidak hanya itu saja. Pengambilan keputusan dalam masalah-masalah besar seperti membeli rumah, pengelolaan saham atau keuangan keluarga, ada di dalam otoritas suami karena ia adalah sumber nafkah dan kepala keluarga sehingga seorang suami memiliki kekuasaan penuh atas istri dan anak-anaknya. Hal-hal yang berkaitan pendidikan anak dan urusan rumah tangga lainnya, dianggap tugas dan tanggung jawab istri karena kehidupan seorang istri atau perempuan adalah berada dalam kekuasaan ayahnya (ketika ia belum menikah), dalam kekuasaan suami (ketika ia menikah), dan dalam kekuasaan anak laki-laki (ketika ia lanjut usia).

Tissa Balasuriya dalam bukunya Teologi Ziarah (2004) mengatakan, sikap diskriminasi terhadap istri dan atau perempuan terdapat dalam banyak masyarakat Asia (termasuk di Indonesia). Dalam kenyataannya, para suami sering berlaku kasar dan tidak adil terhadap istri mereka, sekalipun mereka menaruh sikap hormat terhadap perempuan dan ibunya sendiri. Hal ini disebabkan karena sejak lahir, anak perempuan diperlakukan secara berbeda, tidak diinginkan dan kurang diasuh, sedangkan anak laki-laki selalu diperlakukan secara istimewa, disambut dengan gembira dan selalu diutamakan oleh keluarganya.

Sepanjang hidupnya kaum perempuan diatur sedemikian rupa agar cocok dengan peran rumah tangga yang disediakan bagi mereka. Mereka tidak diizinkan untuk mengatur langkahnya sendiri dan mengambil keputusan. Perasaan takut senantiasa ditanamkan. Sebab itu secara piskologis dan fisik, mereka menjadi sangat bergantung pada kaum laki-laki. Menjelang akil-balik, para gadis didesak agar segara menikah dan ”berumah-tangga" agar para orangtua terbebas dari tanggung jawab untuk mengasuh anak  gadisnya. Setelah berumah-tangga, maka tempat perempuan adalah di dalam rumah, menjadi alat prokreasi untuk melahirkan anak, serta memelihara suami dan keluarganya. Mereka diharuskan untuk memilih peran "bergantung sepenuhnya” kepada suaminya,  serta menjalankan peran dan fungsi sebagai ibu dan pengasuh, yang harus memperlihatkan perasaan keibuannya, sabar, lemah-lembut dan hangat kepada suami dan anak-anaknya.

Pergulatan Perempuan : Mencari Identitas Di Tengah Budaya
Erni adalah seorang notaris PPAT lulusan sebuah universitas negeri ternama di Depok. Ia berusia 59 tahun. Erni dilahirkan sebagai seorang Tionghoa peranakan generasi keempat. Ayahnya adalah seorang kepala sekolah di sebuah sekolah negeri di Sukabumi. Ibunya adalah seorang guru di sekolah yang sama. Sebagai seorang anak dengan latar keluarga pendidik, Erni tidak ingin mengecewakan orangtuanya dalam menempuh pendidikan. Ia berusaha keras untuk menjadi siswa yang terbaik di setiap jenjang pendidikan yang ia tempuh. Ia harus selalu membuktikan bahwa ia adalah seorang anak kepala sekolah yang berprestasi.
Sejak di SMU, ia aktif dalam bermacam organisasi sekolah. Ia mengikuti ekstra kulikuler Pandu yang membawanya pada persahabatan dengan semua orang tanpa memandang ras dan agama yang berbeda. Ketika ia menjadi seorang notaris, ia menjadi anggota aktif dalam ikatan profesinya.
Tiga puluh tahun yang lalu, ia menikah dengan seorang laki-laki yang juga lulus perguruan tinggi ternama di Jakarta. Mereka dikaruniai dua orang anak; seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Anak perempuan yang dilahirkannya adalah seorang anak yang tidak diinginkan kehadirannya oleh suaminya. Bagi suaminya, mempunyai anak perempuan sama dengan membesarkan manusia secara percuma, yang kelak akan diambil oleh laki-laki lain.
Sebagai seorang istri, Erni harus patuh dan tunduk terhadap kehendak suami. Padahal, sebagai seorang notaries, keluwesan dan fleksibilitas dalam pergaulan dibutuhkannya untuk membangun jaringan yang kuat dengan kliennya. Namun, keluwesan pergaulan yang dimiliki Erni dipandang suaminya sebagai ancaman yang perlu distimulir oleh tindak kekerasan. Bersama dengan kedua anaknya, Erni telah hidup dalam lingkungan keluarga di mana suaminya tak hentinya melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) terhadap dirinya.
Pengalaman KDRT telah mentransformasikan Erni untuk menjadi seorang konselor informal. Selama menjalankan profesinya sebagai notaris, ia membuka pintu bagi klien, teman dan koleganya untuk curhat. Ia menyadari bahwa KDRT bukan persoalan pribadi. Cukup banyak perempuan dengan status social menengah dan tinggi mengalami berbagai bentuk KDRT. Berpangkal dari pengalaman pribadi, ia telah banyak menguatkan temannya untuk menjadi survivor KDRT. Berjejaring dengan Women Crisis Centre (WCC) merupakan salah satu strategi yang dibangunnya, agar ia dapat memberikan solusi informal bagi perempuan korban KDRT.
Dari kisah pergulatan Erni, kita dapat menarik kesimpulan : 1) Terlahir sebagai seorang perempuan, sebagai orang Tionghoa, bukan pedagang dan beragama minoritas, adalah suatu perjuangan tersendiri dalam upaya merekonstruksi identitas. Persoalan gender, seksualitas, budaya, ras, etnisitas, dan agama merupakan persoalan keseharian yang harus dihadapi dan disiasati oleh seorang perempuan Tionghoa. Sejak ia dilahirkan dalam keluarga Tionghoa, kehadirannya tidak disambut dengan gembira karena dipandang tidak cukup berharga dibandingkan dengan anak laki-laki. Dalam tradisi keluarga Tionghoa, perempuan kerapkali ditempatkan sebagai “liyan” (the other).

Diskriminasi terhadap perempuan terdapat di dalam masyarakat Tionghoa. Hal ini pertama-tama terjadi karena budaya Konfusius menuntut perempuan untuk mentaati dan melanggengkan nilai dan norma yang telah ditentukan dan diberlakukan bagi mereka dalam keluarga dan dalam masyarakat. Mengambil contoh yang paling sederhana, budaya yang kurang menghargai kehadiran  perempuan dalam keluarga Tionghoa dapat ditemukan melalui penyebutan antar saudara sekandung.  Kakak perempuan biasanya disebut “cici” dan kakak laki-laki “koko.” Namun adik laki-laki bisa memanggil kakak perempuannya, dengan nama. Cara memanggil saudara sekandung atau semarga dapat menggambarkan bagaimana pentingnya kedudukan seorang anak dalam sebuah keluarga Tionghoa.

Anak laki-laki bagi keluarga tradisional Tionghoa merupakan penerus keturunan. Merekalah yang akan mewarisi dan mempertahankan nama marga. Oleh sebab itu, orang Tionghoa meyakini bahwa bayi laki-laki yang diberi nama tertentu, setelah dewasa akan mempunyai karakter sesuai dengan arti namanya. Sebab itu pemberian nama terhadap mereka harus dipilih dengan hati-hati, karena nama menunjukkan harapan orangtua untuk masa depan keturunannya. Tetapi tidaklah demikian bagi anak perempuan. Anak perempuan biasanya diberikan nama apa adanya. Apalagi ketika seorang anak perempuan tidak diharapkan kehadirannya di dalam keluarga tersebut, pemberian nama baru diberikan setelah anak lahir.
Seperti keluarga tradisional Tionghoa pada umumnya, maka lahirnya seorang perempuan dan tidak adanya laki-laki dalam sebuah keluarga, dapat melegitimasi seorang laki-laki untuk melakukan poligami. Hal ini dilakukan untuk memperoleh keturunan laki-laki. Dengan demikian tradisi dan budaya telah memberikan hak istimewa kepada laki-laki sebagai pembawa nama dan kehormatan keluarga. Namun di lain pihak, perempuanlah yang sebenarnya meneruskan dan yang mempertahankan tradisi keluarga. Melalui perempuan, tradisi keluarga dipertahankan, dan nilai-nilai dalam tradisi keluarga itu diinternalisasikan terutama pada anak perempuan.

Beberapa tradisi keluarga yang masih dipertahankan adalah sin ciah dn sembayang leluhur setiap ce it cap goh. Selain itu perayaan cengbeng, pecun peringatan hari kelahiran dan kematian dari anggota keluarga juga dirayakan. Melalui berbagai kegiatan dalam mempersiapkan upacara berbagai peringatan dan sembahyang leluhur tersebut, de facto, perempuan adalah pemegang dan pewaris tradisi keluarga, walau de jure, anak laki-laki wajib yang berhak mewarisi harta pusaka serta mengurus budaya leluhurnya.

Selanjutnya, nilai-nilai patriarkhi dalam keluarga Tionghoa dilanggengkan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan menggunakan kekerasan dalam mendidik anak perempuan. Bila anak laki-laki diperkenankan untuk bermain sekehendak hatinya, maka seorang anak perempuan sedapat mungkin tidak diizinkan bermain keluar rumah. Pada usia tertentu, anak perempuan dikondisikan untuk meneruskan peradaban manusia, yaitu menikah dan menjalankan fungsi reproduksi untuk melahirkan anak. Dalam keluarga tradisional Tionghoa, peran orangtua cukup dominan, sebab itu anak perempuan dijodohkan dengan seorang laki-laki, yang mungkin baru pertama kali dilihatnya ketika upacara perkawinan dilakukan.

Dampaknya, poligami di kalangan Tionghoa menjadi hal yang biasa terjadi di kalangan Peranakan Tionghoa kaya. Bila istri adalah pilihan orangtua, istri muda adalah pilihan suami itu sendiri. Ketika seorang istri tidak dapat melahirkan anak-anak atau tidak dapat melahirkan anak laki-laki, maka mengambil istri kedua, merupakan hal yang biasa di kalangan mereka. Adakah perempuan Tionghoa yang bersedia suaminya melakukan poligami? Tentu ada, barangkali banyak juga. Tetapi tidak otomatis perempuan Tionghoa suka menjalan kehidupan yang demikian. Mereka lebih banyak memandam luka batin karena tidak mampu berbicara. Dalam mengusung supremasi laki-laki, tentu masuk akal pula bila perempuan mengizinkan suami menikah lagi, atau beradaptasi dan hidup rukun dengan istri-istri yang lain bila ia sendiri dimadu.

Demikianlah identitas perempuan Tionghoa telah direkonstruksi oleh budaya, sehingga mereka mengalami subordinasi dan marginalisasi. Hal ini membuka ruang terjadinya kekerasan psikologis, psikis, mental dan spiritual terhadap seorang perempuan Tionghoa. Perubahan demi perubahan telah terjadi, namun nilai budaya dalam keluarga dan masyarakat Tionghoa, sehingga sebagai perempuan dan sebagai orang Tionghoa, mereka mengalami berbagai tindak kekerasan budaya. Namun hal ini tidak membuat mereka berdiam diri sebagai korban yang pasif. Berbekalkan pendidikan yang memadai, mereka dapat menyusun dan mengaplikasikan berbagai strategi untuk mengatasi kekerasan budaya dengan cara yang tidak frontal. Keperempuantionghoaan terlihat melalui cara mereka membentuk identitas baru yang terus menjadi. Sebab itu kemampuan perempuan Tionghoa untuk memakna-ulang budaya patriarkhi menjadi modal utama untuk menuju ranah publik.


"NO CHILD LEFT BEHIND"

No Child Left Behind
By: Maryam Kurniawati D.Min



Pendidikan adalah salah satu aspek yang sangat penting bagi kehidupan manusia, karena pendidikan merupakan sebuah alat transformasi yang memupuk daya analisis dan refleksi atas interaksi yang terjadi di tengah-tengah komunitas manusia. Pendidikan menjadi sangat penting bagi setiap orang karena pendidikan dapat menjelaskan nilai-nilai dan kemampuan yang dibutuhkan dalam menghadapi situasi dunia yang senantiasa mengalami perubahan. Berbagai situasi yang ada di sekeliling manusia, baik itu kepelbagaian budaya, pemikiran, pendidikan, agama, suku, perubahan sosial, tuntutan yang terus meningkat terhadap kehidupan masyarakat yang multikultural dan multietnik.

Pendidikan bukan sekadar persoalan pengembangan kecerdasan otak, melainkan proses memanusiakan manusia (humanis). Pendidikan dalam segala bentuknya dan pendekatannya, harus menjadikan manusia berkualitas dengan berbekal kesadaran untuk terus menerus mengembangkan potensi dirinya. Dengan demikian, pendidikan harus meletakkan nilai dasar yang akan membentuk kepribadian, karakter maupun kemampuan berpikir seseorang, sehingga mereka dapat menemukan apa yang menjadi potensi dirinya. Bila potensi itu sudah ditemukan, perlu diolah dan dikembangkan secara optimal, agar sungguh-sungguh dapat memberikan manfaat bagi kedirian dan kehidupan bersama orang lain. Gereja (termasuk individu yang ada di dalamnya) seringkali menganggap pendidikan hanya sebagai pelayanan pelengkap di antara sekian banyak pelayanan gerejawi lainnya. Pendidikan seolah-olah hanya berkaitan dengan bagaimana isi Alkitab diajarkan atau diberitakan melalui kotbah, katekisasi, sekolah minggu, pelajaran agama, pemahaman Alkitab, yang semuanya lebih bersifat memperkenalkan pokok-pokok ajaran Alkitab, dogma gereja, tokoh-tokoh Alkitab dan tokoh-tokoh gereja. Padahal makna dan tujuan pendidikan lebih dalam dari sekadar “transfer of knowledge.” Aklibatnya pesertadidik, tidak memiliki kemampuan untuk menganalisa serta mengambil keputusan yang paling penting bagi dirinya, gereja dan komunitas yang lebih luas serta mengembangkan potensinya.

Ivan Ilich, dalam bukunya Deschooling Society, 1971 melontarkan koreksinya terhadap peran sekolah atau pendidikan formal yang dinilainya lebih banyak membuat masyarakat hanya mengagumi sertificat ketimbang kemampuan nyata seseorang dalam berkarya sehingga meningkatkan kualitas kehidupan.[1] Ia mengkritik pandangan yang beranggapan, semakin banyak mata pelajaran yang diajarkan di sekolah, semakin pintar pesertadidik dan pendidikan formal yang hanya menekankan pengetahuan dan ketrampilan tanpa memperhatikan aspek kejiwaan dan spiritualitas. Dalam Buku “Bebas dari Sekolah” tsb ia memaparkan berbagai kesalahan yang membuat pendidikan formal semakin jauh dari tujuan. Ia menghimbau masyarakat untuk melakukan "revolusi budaya" untuk mengkaji kembali mitos pendidikan formal. Seakan-akan tanpa sekolah orang tidak akan berhasil dalam hidup dan meraih prestasi tinggi di bidangnya. Kajian itu perlu dilakukan karena sekolah telah menciptakan komersialisasi pendidikan dan alienasi bagi kaum yang tidak mampu. Di mata rohaniwan itu, sekolah bukan hanya gagal menjadi wahana pembebasan, melainkan juga menjadi proses dehumanisasi.

Mencermati fenomena seperti itu, sudah selayaknya bila pendidikan dikembalikan pada nilai-nilai kemanusiaan (humanis); pendidikan kembali menatap manusia sungguh-sungguh sebagai manusia dengan segala potensinya. Sejak lahir, manusia telah diciptakan sebagai  homo educandum yang harus dididik serta dikembangkan segala potensi yang dimilikinya. Manusia tidak bisa berkembang secara alamiah sebagaimana makhluk lainnya. Karena itu, dibutuhkan peran orang lain untuk mengembangkan potensinya itu. Manusia sebagai homo educandum haruslah menjadi pusat dari pendidikan. Itu berarti, peserta atau pesertadidik adalah obyek sekaligus subyek pendidikan. Konsekuensinya, orangtua dan para pendidik berfungsi “hanya” sebagai fasilitator, dan bukannya pemegang mutlak kendali proses pendidikan. Tugas orangtua, fungsionaris gereja dan pendidik lainnya selain memberikan berbagai macam pengetahuan, adalah memberikan dorongan (support), menggali bakat pesertadidik, membimbing dan mengarahkannya. Sehubungan dengan hal tersebut, John Dewey menuliskan, ”Education is a constant reorganizing or reconstructing of experience. It has all the time an immediate, and so far as activity is educative, it reaches that end – the direct transformation of the quality of experience …”


Untuk merekonstruksi pengalaman dalam proses pembelajaran, sistem pendidikan di keluarga, gereja dan sekolah harus memusatkan perhatiannya kepada pesertadidik, dan pesertadidik dituntut untuk lebih aktif dalam mengolah/merefleksikan pengalamannya. Sedangkan para pendidik atau fungsionaris gereja “hanyalah” membimbing serta mengarahkan ke mana pesertadidik harus mengembangkan diri. Jadi pengetahuan dan pemahaman benar-benar diperoleh sendiri oleh pesertadidik. Adapun para pendidik dan fungsionaris gereja ”hanya” memberikan bahan belajar untuk memperkuat pengetahuan dan pemahaman pesertadidik (Bandingkan dengan pendekatan Berbagi Praksis Kristen, yang diperkenalkan oleh Thomas Groome).
           
Dengan sistem belajar seperti ini, kesadaran pesertadidik untuk belajar dapat terus bertumbuh. Belajar tidak lagi sebagai kebutuhan yang bersifat mendesak, namun belajar menjadi kebutuhan pokok yang selalu dipenuhi setiap hari. Itulah hakikat pendidikan yang memanusiakan manusia (humanis). Disamping itu, pendidikan juga membawa setiap pesertadidik untuk menciptakan relasi yang harmonis dengan Allah dan sesama. Letty M. Russell mengatakan, ”Christian education has always been a concern of the church, for it is the way by which men and women are nurtured in the Christian life.” Dengan demikian pendidikan merupakan wujud partisipasi kita pada “undangan Allah,” undangan kebebasan untuk ikut serta dalam karya kasih Allah yang penuh dengan kedamaian, keadilan, dan kebebasan bagi seluruh ciptaan dan komunitas yang ada di dalamnya. 



Jumat, 24 April 2015

Menangkap Sabda-Nya Dalam Dunia Yang Retak






Menangkap Sabda Allah dalam Dunia Yang "Retak"
Oleh: Maryam Kurniawati D.Min



Dalam dunia  saat ini, keretakan, ketidaksempurnaan, dan penderitaan selalu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Bagaimana Allah hadir dan terlibat dalam penyelamatan manusia di tengah realitas dunia yang ‘tidak sempurna’ (fragile) ini menjadi tema sentral dari setiap pergulatan kehidupan iman kita. Kita diajak untuk menyadari keberadaan kita sebagai manusia yang rapuh, retak, tidak sempurna dan menyelaminya dengan hati terbuka, sebab kasih Allah senantiasa membebaskan kita. Allah tidak akan memaksa kita kembali datang kepada-Nya, namun Ia tetap menunggu kita untuk datang kepada-Nya dan kemudian memeluk kita dengan cinta tanpa syarat.

Bukankah suatu hal yang luar biasa bila dalam setiap kerapuhan, keretakan, ketidaksempurnaan dan penderitaan yang terjadi di tengah dunia saat ini, Allah tetap mengasihi kita tanpa syarat seperti dalam kisah kembalinya Si Anak Hilang? Perumpamaan tentang Anak yang hilang dalam Injil Lukas 15:11-32 mengingatkan kepada kita, betapa sering manusia memberontak kepada Tuhan dengan mengagung-agungkan kemampuan dan kehebatannya? Betapa sering pula manusia menolak kasih Allah dengan mengutamakan kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi yang justru membuat manusia menderita oleh karenanya? Jika kita tidak pernah merasakan luka dan derita karena kesadaran kita akan kerapuhan, keretakan dan ketidaksempurnaan diri kita, maka kita akan berlaku seperti Si Sulung, yang tidak pernah menyadari bahwa Allah (atau Bapanya) senantiasa mengasihi dirinya.




Dalam buku The Dance of Life, Henri Nouwen berusaha mengungkapkan pergulatan batinnya dalam menangkap sabda Allah di tengah dunia yang penuh dengan ketidaksempurnaan ini.  Pengalaman hidupnya sebagai orang yang dikasihi dan dipanggil oleh Allah dalam "karya kasih" telah menggerakkannya untuk membagi pengalaman ini melalui refleksi-refleksi pribadinya. Pergulatan Nouwen dalam menyentuh kebenaran sejati Allah di tengah dunia modern ini mengantarkannya kesadaran bahwa  keberadaan kita sebagai manusia yang retak dan tidak sempurna selalu berada dalam kasih Allah yang tak terbatas dan tak berkesudahan.

Dari refleksi Nouwen, kita dapat memetik satu nilai bahwa selama hidup ini, kita jangan pernah berhenti untuk menemukan Sabda Allah. Usaha untuk menemukan Sabda Allah ini tentu bukanlah suatu hal yang mudah karena realitas keretakan, ketidaksempurnaan, dan penderitaan seringkali membuat kita tak mampu melihat kasih-Nya. Dengan  menerima dan mencecap pengalaman menderita dan terluka  (sebagaimana yang dialami oleh Si Anak Hilang), kita pun diajak untuk berani menjadi penyembuh bagi yang lain (the others), yang juga menderita dan terluka. Dalam keterlibatan untuk saling menyembuhkan inilah, kasih Allah semakin nyata karena Ia menganugerahkan kebebasan bagi manusia agar mampu mencecap kebenaran sejati sebagaimana tampak dalam kasih Kristus yang rela menderita demi kita manusia.



"Kuasa Media" dan Dampaknya pada Kekerasan Terhadap Perempuan



"Kuasa Media" dan Dampaknya pada Kekerasan Terhadap Perempuan
Oleh: Maryam Kurniawati

Kuasa dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai “seseorang yang memiliki kemampuan untuk mengatur, mempengaruhi.” Apakah memang demikian kuasa itu? Seorang filsuf terkenal, Michel Foucoult membicarakan soal bahasa dan media. Siapa yang mengira bahwa BAHASA ternyata juga memiliki makna KUASA? Michel Foucault, menjelaskan bagaimana bahasa menjadi alat kuasa karena dilatarbelakangi oleh motif-motif tertentu dan dengan demikian akan menjadi mungkin memproduksi teks-teks tertentu. “Produksi kekuasaan” melalui bahasa banyak dilakukan media melalui nilai-nilai yang disampaikan. Bahasa kuasa tersebut bukan dilakukan oleh seseorang, segelintir orang, melainkan secara tidak sadar terbawa oleh budaya.

Kuasa tersebut dapat kita lihat dalam pengertian tentang media massa. Media massa mengandung pesan-pesan yang telah dibangun, diciptakan dan dikonstruksikan yang kemudian ditujukan untuk pembaca, pendengar, penonton. Kuasa dalam media yang dimaksud Foucoult adalah bukan dalam bentuk “kemampuan atau wewenang”, melainkan strategi. Iklan misalnya, adalah salah satu strategi bagaimana “menyebarkan kuasa (strategi)” tentang sebuah normalisasi tubuh dan peran perempuan untuk kepentingan jualan, bahwa sesuatu yang normal (bukan lagi ideal) pada perempuan adalah bertubuh langsing, berkulit putih, berambut lurus, dan peran yang normal pada perempuan adalah di rumah, karena itu banyak iklan peralatan rumah tangga, bumbu masak, peralatan masak dan mencuci, diperankan oleh perempuan. Hal-hal tersebut dianggap yang normal atau standard. Bila perempuan tidak ditampilkan dalam tubuh dan peran-peran tersebut, maka menjadi dianggap tidak normal. Dalam banyak pemberitaan di surat kabar maupun online misalnya, ketika kasus yang diberitakan menyangkut perempuan (terutama tentang kekerasan seksual), bahasa yang digunakan seringkali mengandung kekerasan. Misalnya kata janda, perawan, bertubuh semok (seksi), berpakaian minim, anak baru gede, dan pelabelan lainnya yang ditambahkan oleh jurnalis dalam menyajikan kasus perkosaan, agar menarik dibaca. Penyajian tersebut tentu saja menambah pedih bagi korban, alih-alih pembaca berempati pada peristiwa tersebut, malah menjadikannya bacaan hiburan. Demikian pula dalam liputan tentang prostitusi di media televisi, atau ketika ada penggebrekan, kamera lebih banyak menyorot pada pekerja seks yang berlarian ketakutan, dan diangkut ramai-ramai oleh petugas dan mereka berusaha menutupi wajahnya karena malu. Mungkin kita tidak pernah menyadari bahwa iklan-iklan, program talkshow, berita, bacaan yang memelihara nilai-nilai stereotipe sesungguhnya menumbuhkan bahkan berdampak kekerasan terhadap terhadap perempuan.

Pada tanggal 4-15 September 1995, sebuah Konferensi tingkat Dunia tentang Perempuan ke IV telah terselenggara di Beijing, China. Konferensi yang bertema: Persamaan, Pembangunan, Perdamaian ini telah menghasilkan sejumlah rekomendasi yang harus dilaksanakan oleh negara-negara anggota PBB (termasuk Indonesia) dalam upaya meningkatkan akses dan kontrol kaum perempuan atas sumber daya ekonomi, politik, sosial dan budaya. Seluruh rekomendasi dan hasil konferensi tertuang dalam Deklarasi Beijing dan Landasan Aksi (Beijing Declaration and Platform for Action). Terdapat beberapa rumusan strategis yang harus dicapai oleh setiap Negara, diantaranya adalah tentang “Perempuan dan Media Massa” yang menekankan: 1) Meningkatkan partisipasi dan akses perempuan untuk mengekspresikan dan mengambil keputusan dalam dan melalui media dan teknologi komunikasi baru; 2) Mempromosikan gambaran perempuan yang seimbang dan tanpa stereotipe dalam media. Persoalannya adalah, apakah kita akan menelan bulat-bulat pesan yang memagari atau mensubordinasikan perempuan yang disampaikan oleh media tersebut? Salah satu cara untuk keluar dari "Kuasa Media" adalah perlu “melek” atau kritis pada teks-teks yang disampaikan karena begitu banyaknya stereotipe, dan mitos yang disebarkan. Mereka boleh menjualnya, tetapi kita berada dalam posisi yang seharusnya tidak dirugikan untuk membayar, membaca atau menontonnya.


(Sumber: Diadaptasi dari Media dan Kuasa. Dampaknya pada Kekerasan terhadap Perempuan, yang dituliskan oleh Mariana Amiruddin)

My Father Gave Me The Greatest Gift


Malam ini, saya terinspirasi oleh sebuah pertanyaan yang saya temukan dalam refleksi Pdt. John Then tentang "Apa arti ayah dikehidupanmu? - dikehidupan ku dan di kehidupan kita?"

Kehadiran, peran dan fungsi seorang Ayah sangat penting lagi menentukan dalam kehidupan rumah tangga dan juga dalam kehidupan anak-anaknya. Tiba-tiba saya rindu kepada Papa. Delapan tahun sudah Papa meninggalkan kami (19 Juli 2007), tetapi rasanya seperti baru saja terjadi. Menjadi anak yang ketujuhdari delapan bersaudara, saya dan Papa belajar banyak dari kehidupan, untuk mendekatkan hati saya dengan Papa. Sebagai orang yang tidak banyak berbicara, Papa sangat disegani oleh anak-anaknya. Bukan karena Papa orang yang hebat, punya jabatan dan kedudukan yang wahhh. Dia hanya seorang laki-laki yang tegar dan kuat, yang ditempa dan diasah oleh kerasnya kehidupan, yang membuat Papa keras pada prinsip, namun sabar dan bijaksana. 

Kehilangan Papa di saat badai dan pusaran ombak kehidupan melibas, membuat saya sempat "limbung" karena Papa selalu menjadi teman curhat yang abadi. Tidak ada masalah apa pun yang tidak dapat saya diskusikan dengan Papa. Kami mempunyai hobby yang sama, wiskul (wisata kuliner) walau selera makan kami bertolak-belakang, bagaikan langit dan bumi. Hari-hari terakhir sebelum Papa pergi, kami bergantian, menemani Papa. Kami sadar, waktunya akan segera tiba dan panggilan merdu dari Tuhan sudah di ambang pintu. Hingga dua jam terakhir sebelum Papa menghembuskan nafasnya yang terakhir, Papa masih menunggu saya (bersama suami dan anak-anak), untuk membacakan Alkitab, berdoa dan menghantarnya pada saat dimuliakan. 

Benar sekali apa yang dikatakan Jim Valvano, "My father gave me the greatest gift anyone could give another person: He belived in me." Jadi kalau ditanyakan apa arti ayah dalam kehidupan saya, jawabannya adalah, "Papa adalah hadiah yang terbaik dari Tuhan yang diberikan kepada kami, anak-anaknya..."

Minggu, 05 April 2015

PENGGUNAAN ISTILAH "PASSOVER" DAN "EASTER"

Istilah "passover" berasal dari kata "pecach" (Ibrani) dan "pascach" (Aram) mempunyai sejarah yang rumit. Mungkin menarik untuk diketahui bahwa William Tyndale (1494-1536), seorang tokoh pemimpin Protestan, ahli dan penerjemah Kitab Suci yang terkenal, adalah yang pertama kali memasukkan kata “Easter” di dalam Kitab Suci terjemahan bahasa Inggris, dan bersamaan dengan itu ia juga menyebutkan kata Passover. Memang ada orang yang menduga bahwa Easter berasal dari nama dewi Isthar (dari Sumeria) atau dewi Eostre/ Astarte (dari Teutonik). Memang sekilas bunyinya mirip, seperti halnya juga, bahwa besar kemungkinan kata “Easter” berakar dari kata “Eostur”, yang berarti “musim kebangkitan” (season of rising) yang mengacu kepada musim semi. Maka kata “Easter” digunakan di Inggris, “Eastur” di bahasa Jerman kuno, sebagai kata lain musim semi. Sedang di negara- negara lain, digunakan istilah yang berbeda: “Pascha” (bagi Latin dan Yunani), ” Pasqua” (Italia), “Pascua” (Spanyol), “Paschen” (Belanda), …dst yang semua berasal dari kata Ibrani (“Pesach”) yang artinya “Passover."


Jika kita melihat kepada bahasa Jerman, kata Ostern (yang artinya Easter) berasal dari kata Ost (east atau terbitnya matahari), dan berasal dari bentuk kata Teutonik yaitu erster (artinya yang pertama/ first) dan stehen (artinya berdiri/ stand) yang kemudian menjadi ‘erstehen’ (bentuk kuno dari kata kebangkitan/ resurrection), yang kemudian menjadi ‘auferstehen’ (kata kebangkitan dalam bahasa Jerman sekarang). Jadi kata Ester/Eostur dalam bahasa Inggris yang berubah menjadi Easter, adalah setara dengan kata Oster dalam bahasa Jerman yang kemudian menjadi Ostern. Maka jika ada kemiripan bunyi Easter dengan Isthar itu hanya kebetulan, dan tidak dapat dipaksakan bahwa bahwa keduanya berhubungan. Ini serupa dengan memaksakan kata “belum” dalam bahasa Indonesia, yang dianggap mengacu kepada kata “bloom” (artinya berkembang) dalam bahasa Inggris, yang bunyinya mirip tapi tidak ada hubungan sama sekali, karena artinya pun lain. Jika sebutan Easter mirip dengan Isthar atau Eostre, hal itu bukan berarti ucapan “Happy Easter” berkaitan dengan penyembahan berhala, sebab bagi umat Kristen, perayaan Easter/ Pascha/ Paska itu bersumber dari penggenapan nubuat Perjanjian Lama di dalam korban Salib Kristus yang memberikan buah Kebangkitan.

Kereta Kehidupan



KERETA KEHIDUPAN.

Hidup bagaikan sebuah perjalanan menaiki kereta... 
Dengan stasiun-stasiun pemberhentiannya...
dengan perubahan-perubahan route perjalanan...
dan dengan peristiwa-peristiwa yang menyertainya…
Kita mulai menaiki kereta ini ketika kita lahir ke dunia...
Orangtua kita yang memesankan tiket untuk kita...
Kita menduga bahwa mereka akan selalu bersama kita didalam kereta...
Namun, di suatu stasiun, orangtua kita akan turun dari kereta dan meninggalkan kita sendirian dalam perjalanan ini...

Waktu berlalu,
dan penumpang lain akan menaiki kereta ini...
Banyak diantara mereka akan menjadi orang yang berarti dalam hidup kita
Pasangan kita, teman-teman, anak-anak, dan orang-orang yang kita sayangi...
Banyak diantara mereka yang akan turun dari kereta selama perjalanan ini...
Dan meninggalkan ruang kosong dalam hidup kita...
Banyak diantara mereka yang pergi tanpa kita sadari
Bahkan, kita tak tahu dimana mereka duduk dan kapan mereka meninggalkan kereta...
Perjalanan kereta ini penuh dengan suka, duka, impian dan harapan, ucapan "hallo", "selamat tinggal", cinta dan airmata....
Perjalanan yang indah akan diwarnai dengan saling menolong, saling mengasihi dan hubungan baik dengan seluruh penumpang kereta...
Jangan lupa memastikan bahwa kita memberi yang terbaik agar perjalanan mereka nyaman...

Satu misteri dalam perjalanan yang mempesona ini adalah,
kita tak tahu di stasiun mana kita akan turun...
Maka kita harus hidup dengan cara yang terbaik, mengampuni kesalahan orang lain dan memberikan yang terbaik yang kita miliki...
Sangatlah penting untuk melakukan hal ini,
Sebab bila tiba saatnya bagi kita untuk meninggalkan kereta...kita harus meninggalkan kenangan indah bagi mereka yang meneruskan perjalanan di dalam kereta kehidupan ini...

Akhir dari perjalanan ungkapan ini seperti kereta api yg menuju stasiun berhenti dan meninggalkan kereta lalu tempat itu menjadi kosong.
Terimakasih untuk teman-teman baik ku, yang telah menjadi salah satu penumpang istimewa di dalam kereta kehidupan...
Sekarang, ketika aku menulis, aku masih di dalam kereta.
Aku tak tahu kapan aku akan tiba di stasiunku...
Selamat menempuh perjalanan hidup bermakna...


(Sumber: Unknown)

Jumat, 03 April 2015

Seorang Pemuda Yang Ingatannya Terhapus Setiap Lima Menit (Kisah Nyata)


Pernahkah kamu menonton film 50 First Date atau Before I Go to Sleep? Dalam kedua film tersebut, sang tokoh utama mengalami kecelakaan yang berakibat pada kondisi fatal. Ingatan mereka selalu terhapus setiap kali bangun tidur. Mereka pun menjalani hari demi hari dengan kebingungan yang sama. Siapa sangka kondisi itu juga terjadi di dunia nyata? Seorang pemuda di China benar-benar mengalaminya.
Cerita ini bermula saat Chen Hongzhi (25 tahun) mengalami kecelakaan mobil dalam usia 17 tahun. Dampaknya cukup parah sehingga Chen harus dirawat di rumah sakit selama beberapa bulan. Walaupun kondisi fisiknya membaik, memori atau ingatannya tidak pernah sama lagi. Setiap lima menit, pemuda ini selalu kehilangan ingatannya.

Chen hanya bisa mengingat kenangan sebelum kecelakaan itu terjadi. Delapan tahun sudah berlalu, tetapi dia hanya bisa mengingat hidupnya saat masih berusia 17 tahun. Setiap pagi ibunya harus bercerita pada Chen bahwa dia sudah berusia 25 tahun dan sudah melewati banyak hal. Kondisi memori Chen tidak stabil. Kadang dia bisa mengingat kejadian sepanjang hari, tetapi setelah tidur dan terbangun, semua ingatan itu akan hilang. Bahkan dia lupa bahwa ayahnya sudah meninggal.

Karena keadaannya itu, Chen membiasakan diri untuk menulis jurnal. Dia menulis tentang hal-hal yang telah dilakukannya setiap hari. Juga tentang teman-temannya dan berapa banyak uang yang dia peroleh dari hasil memulung barang-barang bekas di pinggir jalan.


Chen memang hidup dalam keluarga yang kurang mampu. Dia dan ibunya mencari makan dengan cara mengumpulkan barang bekas untuk dijual kembali. Karena ingatannya yang hilang, Chen tidak mungkin dapat bekerja di kantor tertentu. Namun dia tetap menjalani hari demi hari dengan sikap optimis.

Perjuangan Chen dan ibunya membuat warga sekitar tergerak untuk membantu. Bahkan ada seseorang yang menulis kisah Chen dan mempublikasikan fotonya. Sejak itu, semakin banyak orang yang menawarkan bantuan. Karena banyaknya bantuan yang datang, pihak Dinas Kesejahteraan setempat bahkan harus membuat daftar bagi orang-orang yang ingin membantu Chen.

Dinas Kesejahteraan ingin Chen melanjutkan pendidikannya. Pemuda itu memang putus sekolah setelah kecelakaan. Maka Dinas Kesejahteraan mempersiapkan Chen untuk sekolah lagi. Mereka juga mempersiapkan banyak hal lain agar pemuda itu bisa hidup mandiri, sebab ibunya tidak bisa selamanya berada di sisinya dan membantu dia melewati saat-saat sulit.

Chen merasa senang atas kemurahan hati orang-orang yang membantunya. Meski tidak bisa mengingat dalam jangka waktu lama, dia tetap semangat menjalani hidup. Sebab Chen percaya bahwa pasti ada hal-hal baik di balik kondisi yang dialaminya (Sumber dari vemale.com)

Kehilangan memori atau ingatan, adalah sebuah kenyataan yang sangat menakutkan bagi siapa pun juga yang mengalaminya. Apa yang akan kita lakukan bila orang tua atau anak, suami atau istri dan teman-teman kita, tiba-tiba karena satu dan lain hal kehilangan ingatannya setiap lima menit? Apakah kita masih dapat menerimanya dengan lapang hati dan mau membantunya? Dari Dinas Kesejahteraan orang-orang yang membantu Chen kita belajar untuk bersikap murah hati. Membantu mereka agar tetap semangat menjalani hidup, karena pasti ada hal-hal baik (bahkan berkat Tuhan yang tersembunyi) di balik kondisi yang mereka alami. 



That is the secret of the eyes of Andrew Rubley's Christ






That is the secret of the eyes of Andrew Rubley's Christ ...
By Henri J.M. Nouwen

“To see Christ is to see God and all of humanity. This mystery has evoked in me a burning desire to see the face of Jesus. Countless images have been created but when I saw Andrew Rublev’s icon of Christ, I saw what I had never seen before and felt what I had never felt before. I knew immediately that my eyes had been blessed in a very special way. Andrew Rublev painted his icon of Christ at the beginning of the fifteenth century.

This face to face experience leads us to see God and live! As we try to fix our eyes on the eyes of Jesus we know that we are seeing the eyes of God. What greater desire is there in the human heart than to see God?
The eyes of Rublev’s Christ are the eyes of the Son of Man and the Son of God described in the book of Revelation. They are the eyes of one who is ‘Light from Light, true God from true God, begotten, not made, one in being with the Father… through whom all things were made.’ (Nicene Creed)

The same eyes which see into the heart of God saw the suffering hearts of God’s people and wept. These eyes, which burn like flames of fire penetrating God’s own interiority, also hold oceans of tears for the human sorrow of all times and all places. That is the secret of the eyes of Andrew Rublev’s Christ.”

“To have seen me is to have seen the Father. Do you not believe that I am in the Father and the Father is in me?” John 14 : 8