Titik berangkat :
Modernisasi, Tehnologisasi dan Globalisasi
Terobosan
paling menggairahkan pada abad ke-21 terjadi bukan karena tehnologi, tetapi
karena perkembangan konsep mengenai apa artimenjadi manusia di tengah
kompleksitasnya zaman. Modernisasi, tehnologisasi dan globalisasi bagaimana pun
juga telah memberikan warna tersendiri bagi sejarah perkembangan kesejahteraan
hidup umat manusia.
Kendati
demikian halnya, baik modernisasi, tehnologisasi dan globalisasi disamping
telah memberikan kontribusi yang positif bagi kelangsungan hidup umat manusia,
di satu pihak dan di pihak lain telah memperlihatkan dampak-dampak yang negatif dan significan
terhadap jatidiri dan hidup umat manusia. Dampak-dampak yang negatif yang ada
dan yang menjadi fenomena dalam kebermasyarakatan yang ditimbulkan oleh
modernisasi, tehnologisasi dan globalisasi akan selalu bermuara juga pada apa
arti menjadi manusia. Bagaimana seutuhnya menjadi manusia bagi sesama manusia ?
Dalam
kompleksitas zaman dengan berbagai tuntutannya seperti sekarang ini, selalu
memunculkan pertanyaan tentang apa dan siapakah manusia itu? Masih adakah orang
yang tulus hati berkehendak menjadi manusia bagi mereka yang tereliminasi oleh
gilasan roda zaman?
Manusia: Individualitas dan Sosialitas
Untuk dapat memahami kemanusiaannya,
manusia harus memahami siapakah dirinya. Karena ia adalah bagian dan sekaligus juga
ditentukan oleh manusia yang lain pula. Tanpa pemahaman yang sungguh-sungguh,
manusia bukan lagi manusia, baik untuk dirinya sendiri mau pun untuk
sesama/manusia yang lainnya.
Hidup
manusia sebagai makhluk sosial juga ditentukan oleh kebudayaan dan atau
nilai-nilai kebersamaan yang berkembangan di masyarakat. Kebudayaan adalah
hasil dari kegiatan manusia juga menstrukturisasi tingkah laku manusia ke arah
yang lebih baik. Hal ini selalu terjadi dalam setiap proses pergaulan, penerimaan
dan penghargaan kepada manusia lainnya dalam dunia sekitarnya.
Dalam
kenyataannya, masalah kemanusiaan (seperti yang kita lihat di sekitar kita)
dewasa ini lebih terkait dengan kondisi dan kemungkinan manusia yang ditentukan
oleh situasi baru ini : Manusia sebagai individu seolah-olah tidak lagi hidup
dalam dunia alami, tetapi hidup dalam lingkungan yang diciptakannya sendiri
dalam institusi, birokrasi, tehnologi, dan globalisasi.
Sebagian
manusia hidupnya bergantung pada ilmu kedokteran modern. Sebagian lagi
kehilangan hidupnya karena perang yang tidak manusiawi, karena tekanan dan
kebijakan politik pemerintah yang tidak berpihak pada masyarakat kelas bawah
atau yang hidup dalam kemiskinan. Secara individu eksistensi manusia semakin
bergantung pada apa yang diciptakannya dan diputuskannya sendiri. Kebudayaan
manusia (dalam hal ini tehnologi dan birokrasi, dll) yang diciptakan manusia
memperlihatkan kekuatan 9sebagian) orang (baik anak-anak, mau pun orang dewasa)
tergantung pada dan tak berdaya dalam ukuran menjadi manusia yang layak dalam
mempertahankan kehidupan mereka.
Berbicara
tentang manusia, individualitas dan kebudayaan tak pernah lepas dari dimensi
manusia, ialah sosialitas. Ada
kalanya kondisi sosial manusia mendorong perkembangan manusia, tetapi ada
kalanya menghambat kebebasan mansuia atau menumbuhkan konflik antar individu,
golongan, agama dan suku.
Dalam
konsep individualisme, sebagai individu, manusia menuntut untuk menjadi diri
sendiri dengan mengabaikan yang lain. Sedangkan dalam konsep sosialisme
(=sosiologi) manusia sebagai individu merupakan bagian dari (masyarakat) yang
lain, yang mempunyai fungsi tertentu yang mendukung keseleruhan. Dalam hal ini
kebebasan dan penentuan diri individu cenderung diabaikan. Lalu harus bagaimana
?
Selalu
Membutuhkan dan Ditentukan oleh Yang Lain
Setiap
individu adalah pusat kebebasan dan kreativitas yang unik, yang dari sana juga kisah kehidupan
kemudian terbentuk.
Masyarakat dibentuk oleh
individu-individu yang berkomitmen untuk hdiup bersama pada konteks tertentu
dalam kontrak sosial tertentu pula. karena itu, ketegangan antar keduanya
menjadi faktor penunjang dinamika kehidupan manusia.
Sosialitas adalah suatu
transendensi (=pertemuan/masuk/melewati ke dalam) untuk tidap individu
mengenali diri dan pribadi yang lain. Melalui transendensi tersebut tiap
individu dapat mewujudkan dirinya sebagaimanusia yang utuh. Secara konkret,
apabila tidak ada “Anda”, tidak ada pula “Saya.” Karena itu tidak ada
eksistensi manusiawi sejati tanpa komunitas, sebab komunitas merupakan esensi
manusia. Hubungan “Saya” dan “Anda” selalu ditandai denagn relasi : untuk
mewujudkan dirinya, manusia harus berinter-relasi dengan manusia lain. Atas
dasar asumsi itulah, jikalau manusia tidak membutuhkan dan tidak mau ditentukan
oleh jatidiri yang lain, sesungguhnya ia tidak akan pernahmenjadi manusia yang
utuh bagi sesamanya dan juga bagi dirinya.
Rumah
Singgah Anak Jalanan (RSAJ): Titik Pusaran Percakapan
Di
tengah-tengah arus modernisasi, tehnologi dan globalisasi yang
mencerai-beraikan kesatuan hidup manusia, dan keluarga-keluarga, tidak sedikit
anak-anak dan oprang dewasa yang terpaksa harus mencari keteduhan jiwa untuk
bertahan hidup. Fenomena ini perlu mendapat perhatian dari semua manusia.
Sejak
diratifikasinya Konvensi Hak-hak Anak oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1990,
banyak LSM yang telah menunjukkan keprihatinan dan memberikan kontribusinya
untuk menekan lajunya fenomena sosial masyarakat (kemiskinan, pengangguran,
anak jalanan dan permasalahannya, dan lain-lainnya) seperti LSM, Yayasan-yayasan
yang bergerak di bidang sosial, kemanusiaan dan keagamaan). Semuanya ini
dilakukan demi nilai menjadi manusia bagi sesamanya. Namun persoalannya, adalah
sejauh manakah orang-orang (yang berada di luar gerakan-gerakan kemanusiaan
tersebut) membuka diri terhadap eksistensi lembaga-lembaga tersebut ?
RSAJ
hadir untuk anak-anak yang jalanan. Bagi anak-anak jalanan, RSAJ adalah Rumah
Sahabat., anak-anak jalanan dapat mencicipi pendidikan. Mereka dapat merasakan
bagaimana menjadi anak manusia yang martabatnya terangkat, dihargai dan bebas
mengekspresikan harapan dan aspirasi mereka.
Bagi
anak-anak jalanan, RSAJ adalah tempat yang tidak mengkotak-kotakan mereka dalam
perbedaan suku, agama, golongan dan ras. Sebab di sana , mereka bukan hanya mendapatkan
perhatian dan kasih sayang, tetapi juga saling menghormati dan saling
menghargai di dalam kepelbagaian mereka. Di RSAJ, anak-anak jalanan dapat
melupakan kejamnya roda zaman, tetapi juga menikmati modernisasi, tehnologisasi
dan globalisasi sebagai hasil budaya manusia.
Dengan
demikian, kendati pun modernisasi, tehnologisasi dan globalisasi meluluh
lantakkan sendiri kehidupan manusia, apa arti menjadi manusia, akan tetapi
kesadaran akan nilai-nilai kemanusiaan yang tercermin dalam dimensi
sosial-kebudayaan masih memberikan alternative bagi setiap manusia yang
memahami kemanusiaannya. Dengan kata lain, paling tidak sebuah realitas, bahwa
Puspita dalam bingkai percakapan ini, mau ditempatkan sebagai pijar-pijar
kesadaran manusia yang penuh tentang bagaimana arti menjadi manusia bagi
sesama.
Refleksi Teologis
Berbicara
tentang manusia dan kebudayaannya serta fenomena yang ada di dalamnya,
bagaimana pun juga tidak akan pernah terpisahkan dari nilai-nilai agama yang
ada dan yang memberikan petunjuk serta arahan, bagai oase bagi setiap jiwa yang
dahaga.
Gereja sebagai lembaga dan
orang-orang yang mengaku percaya di tengah-tengah dunia ciptaan-Nya, mempunyai
tanggung jawab kepada Allah dan sesamanya, sebagai makhluk sosial yang
berbudaya. Gereja mempunyai tanggung jawab moral untuk menjadi manusia bagi
sesamanya, sehingga pewartaan, pelayanan dan persekutuan gereja harus terbuka
bagi orang-orang yang miskin dan dalam keprihatinan akan keadaan mereka dan bukan
menjadi serigala bagi mereka.
Dalam
perumpamaan mengenai orang Samaria
yang baik hati (Lukas 10:25-37) tampak jelas sekali, bahwa mendahulukan orang
yang setengah mati, yang tak berdaya tanpa pertolongan adalah wujud perhatian,
kepedulian dan cinta terhadap sesama.[1]
Pertanyaan seorang ahli Taurat, “Siapakah sesamaku manusia” dijawab oleh Yesus,
siapakah sesama bagi orang yang jatuh ke tangan penyamun, dirampok
habis-habisan, dipukuli dan ditinggalkan setengah mati itu. Bukanlah seorang
imam dan seorang Lewi yang dianggap suci oleh masyarakat. Melainkan orang Samaria , yang dianggap
kafir, yang menunjukkan belas kasih.
Menjadi
manusia bagi sesama mempunyai implikasi mencintai dan menjadi sesama bagi orang
yang setengah mati, tak berdaya, tanpa pertolongan. Preferential option (love) for the poor adalah wujud mencintai sesama sebagaimana
Yesus mencintai. Melalui Yesus dialami kuasa dan kasih Allah bagi semua orang.
Namun kuasa dan kasih tersebut dilaksanakan dengan pelayanan yang mendahulukan
mereka yang miskin dan menderita, yang tak berdaya dan yang paling membutuhkan
pertolongan. Dengan demikian pilihan kita untuk mendahulukan kaum miskin
berakar pada solidaritas Allah sendiri dalam solidaritasnya dengan kaum miskin.
Pilihan
kita untuk mendahulukan orang miskin berakar pada Allah sendiri. Tidak peduli
terhadap kaum miskin berarti tidak peduli terhadap Allah. perjuangan mengatasi
kemiskinan merupakan jalan mengikuti rencana Allah melalui Yesus. Hanya dengan
cara hidup seperti itu, maka bunyi silogisme, “Dan sebagaimana kamu kehendaki
supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga kepada mereka” (Lukas 6:31)
menjadi bermakna : kasih menjadi nyata, dan Allah pun hadir di dalam kita. Di
dalam cinta kasih dan kepedulian, hadirlah Allah ! (Ubi caritas et Amor, Deus Ibi Est).
[1] Banawiratma, J.B dan Muller, J., Berteologi Sosial Lintas Ilmu. Kemiskinan
Sebagai Tantangan Hidup Beriman. (Yogyakarta : Kanisius, 1995), 134.