Bacaan Alkitab: Kejadian 37:1-11
“Siapa mengejar kebaikan, berusaha untuk dikenan orang, tetapi siapa mengejar kejahatan akan ditimpa kejahatan”
(Amsal 11:27)
Peristiwa ini
terjadi di Lodi, China (Juli 2012). Seorang pemuda, Deng Jinjie (27 tahun)
sedang bermain di taman dengan kedua ekor anjingnya. Tiba-tiba ia mendengar
teriakan minta tolong dari arah sungai. Jinjie segera berlari menuju sungai,
dan tampak suami-istri sedang berteriak minta tolong. Mereka panik melihat anak
mereka yang sedang berenang terlihat semakin jauh terbawa arus sungai. Anak itu
berusia 5 tahun dan sudah terpisah hingga jarak belasan meter dari kedua orang
tuanya.
Tanpa pikir
panjang, Jinjie langsung melompat ke sungai untuk memberi pertolongan. Dua
orang warga desa lainnya juga ikut menyebur ke sungai membantu usaha
penyelamatan Jinjie. Berkat pertolongan mereka, ketiga anggota keluarga
tersebut berhasil sampai ke tepian sungai dengan selamat. Namun, ketika semua
upaya penyelamatan sudah berakhir, orang-orang baru menyadari bahwa Jinjie,
sang pemimpin usaha penyelamatan tidak terlihat di mana-mana. Warga lalu
menghubungi polisi dan petugas pemadam kebakaran, dan pada akhirnya berhasil
menemukan Jinjie yang sudah tewas karena terlalu lama berada di dalam air.
Ketika semua orang
sibuk berusaha mencari Jinjie, keluarga yang baru saja diselamatkan oleh Jinjie
dengan taruhan nyawa itu malah melangkah pergi begitu saja dari lokasi. Tidak
ada ucapan terima kasih terdengar dari mulut mereka, dan ketika seorang dari
warga desa bertanya, "Orang yang menyelamatkan kalian masih berada di
dalam air, mengapa kalian pergi?" Sang Ibu dari keluarga tersebut malah menjawab
"Itu bukan urusan saya.” Betapa mengenaskan “nasib” Jinjie. Perbuatan baik
Jinjie dibalas dengan air tuba.
Sebuah pelajaran
bagi kita untuk tidak lupa mengucapkan “terima kasih” atas hal baik yang orang
lain lakukan. Menjadi pribadi yang baik, tulus, tanpa pamrih dalam menolong
sesama, adalah sebuah keharusan dan bukan pilihan. Apa jadinya bila orang tua
mendidik anak-anak mereka untuk “membalas air susu dengan air tuba[1]?”
Bukankah orang tua seharusnya mengajarkan anak-anak mereka untuk melakukan
kebaikan serta menjadi pribadi yang baik dan terpuji? “Adalah baik menjadi
orang penting tetapi jauh lebih penting menjadi orang baik.” Begitu kata orang bijak. Kalimat bijak
ini hendak mengatakan kepada kita bahwa kebaikan merupakan salah satu nilai
utama yang perlu dihidupi dan menghidupi dalam kehidupan keluarga.
Apa yang dimaksud dengan
“Kebaikan?” Kata “kebaikan” dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) menunjuk pada
arti perbuatan baik, atau sifat yang dianggap baik menurut system norma dan
pandangan umum yang berlaku, dan orang yang melakukannya disebut “bersikap
baik.” Bagaimana konsep nilai kebaikan dalam Alkitab? Di dalam
Alkitab, kebaikan atau perbuatan baik merupakan bagian
hidup beriman, yang tidak boleh dilupakan umat
dalam kehidupan mereka. Berbuat baik merupakan salah satu bentuk
kebajikan dalam memandang orang lain sebagai sesama ciptaan Tuhan.
Di dalam kehidupan
keluarga, kebaikan dan hubungan baik di antara suami dan istri, orang tua dan
anak-anak, mertua dan menantu, adik dan kakak ipar (dan sebagainya), tidak boleh hilang. Perbedaan pendapat dan
bahkan kesalah pahaman di antara mereka selalu saja dapat terjadi terjadi. Namun
berikanlah kepada seluruh anggota keluarga semua kepedulian dan kebaikan yang
dapat kita kumpulkan, dan lakukanlah dengan hati yang tulus. Di dalam Kejadian
37:3-4, Alkitab menunjukkan kepada kita, bahwa Yakub sangat mengasihi Yusuf,
sehingga kakak-kakak Yusuf merasa iri
hati dan cemburu. Bahkan sampai berkonspirasi untuk membunuh Yusuf, saudara
mereka. Namun ketika Yusuf menjadi Kepala Pejabat Urusan Pangan di Mesir yang
dilanda kelaparan, ia menyambut kedatangan saudara-saudaranya dengan baik,
meskipun ia harus melakukan beberapa kebijakan untuk memastikan bahwa mereka
tercukupi kebutuhannya dan mendapatkan makanan untuk dibawa pulang kepada ayah
mereka yang lanjut usia (Kej. 41:53-42:8, 45:23). Demikian pula dengan Yakub.
Menjelang kematiannya, Yakub memberkati semua anak-anaknya, meskipun kesalahan
yang mereka lakukan membuat beberapa hak istimewa mereka dikurangi. Namun tidak
seorang pun dari mereka yang diperkecualikan dari memperoleh warisan di negeri
itu (Kej. 49:2-28).
Di dalam Perjanjian Baru, ada dua kata yang dalam Bahasa Indonesia dapat diterjemahkan dengan “baik” atau “kebaikan.” Kata yang pertama
ialah agathōsunē (baca: ag-ath-o-soo’-nay) yang berarti sesuatu yang baik mutunya.
Yang dimaksud di sini adalah sikap hidup
sehari-hari dalam segenap aspek kehidupan di dalam berelasi dengan orang lain.
Bagi
Paulus, kebaikan atau agathōsunē ini merupakan
salah satu bentuk konkretisasi kematangan iman (Efesus 2: 10; 5: 8 – 10; Roma
15: 14). Dengan kesadaran bahwa kita adalah umat yang telah menerima anugerah
penebusan Allah, maka berbuat baik atau menunjukkan kebaikan kepada sesama
merupakan sebuah keharusan, bukan pilihan, untuk diperlihatkan kepada sesama
dalam kehidupan sehari-hari. Mereka yang mampu menunjukkan kebaikan kepada
sesamanya menandakan ia hidup dalam terang Tuhan. Kebaikan Allah yang telah
menebus dosa dan memberikan hidup baru menjadi pendorong untuk melakukan hal
yang sama kepada sesama. Oleh sebab itu, sangat tepat apabila Paulus menyebut
kebaikan(agathōsunē) sebagai salah satu buah Roh (Galatia 5: 22).
Di dalam pengertian Paulus, nilai
kebaikan hanya dapat diperlihatkan seseorang apabila ia hidup dalam terang
Yesus. Seseorang mampu berbuat kebaikan apabila ia menghayati bahwa ia telah
terlebih dahulu menerima kebaikan Allah sebelumnya. Oleh sebab itu, menjumpai
dan menolong seseorang yang membutuhkan pertolongan adalah sebuah panggilan,
bukan sebuah beban. Di dalam relasi dengan
sesama, mereka harus
menjadi pribadi-pribadi yang membangun jembatan hubungan, bukan
tembok-tembok yang menghambat dan memisahkan seorang dengan yang lainnya. Dalam kehidupan keluarga, baik suami maupun istri, orangtua maupun anak, menantu maupun mertua, dipanggil untuk hidup dalam terang Allah, guna membangun hubungan baik dengan anggota keluarga dan orang lain. Oleh karena itu tembok-tembok yang memisahkan mereka, dalam segala bentuknya harus diatasi bersama-sama.
"To become wholly
compassionate requires us to open our eyes and hearts,
to behold the pain and exploitation our culture obscures, to arouse deadened emotions, and to rise above our egos"
to behold the pain and exploitation our culture obscures, to arouse deadened emotions, and to rise above our egos"
-- Joanne Stepaniak –
[1] Pepatah “air susu dibalas
dengan air tuba” mempunyai arti “perbuatan jahat dibalas dengan kejahatan”