Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata
“bertumbuh” mempunyai arti “bertambah besar atau sempurna.” Ambil saja
contohnya, benih tanaman yang berkembang, hidup dan menjadi besar atau bagian
tubuh seperti rambut, yang tumbuh dan bertambah panjang. Sedangkan dalam Kamus
Global, kata “bertumbuh” (develop) mempunyai arti mengembangkan, mengupayakan
pertumbuhan atau memperkuat. Ambil saja contohnya, seorang anak kecil, secara
fisik bertumbuh dari bayi menjadi anak, remaja, pemuda, dewasa dan tua. Namun
secara mental, psikologis, emosi dan spiritual belum tentu mengalami
pertumbuhan yang baik. Pertumbuhan adalah tanda kehidupan, dan indicator utamanya
adalah adanya kehidupan, dan bertumbuh. Pada manusia, ada enam aspek yang terus
menerus mengalami pertumbuhan, dan jika aspek itu tidak bertumbuh, sudah
dipastikan akan mengalami masalah.
1. Aspek Jasmani atau Fisik. Secara
fisik terlihat jelas bahwa dengan bertambahnya usia, fisik seseorang mengalami
pertumbuhan baik dalam hal tinggi maupun dalam hal berat. Selain itu, terjadi
juga menguatan otot-otot dan perubahan bentuk badan menjadi semakin menyerupai
orang dewasa.
2. Aspek Intelektual atau Berpikir.
Berbeda dengan tahap sebelumnya, pada masa SMA seseorang sudah mulai mampu
memikirkan hal-hal yang lebih abstrak dan logis. Ketika ada sesuatu yang tidak
bisa dipahami atau diterima dengan akal, ada perasaan tidak enak yang muncul.
Menjadi dewasa secara intelektual berarti menggunakan akal budi untuk melakukan
penilaian tentang benar atau tidaknya sesuatu sehingga terjadi pertimbangan
yang matang dalam menghadapi masalah atau mengambil keputusan.
3. Aspek Emosi. Emosi berkaitan dengan
bagaimana perasaan muncul dan diekspresikan. Dewasa secara emosi artinya
mampumengendalikan perasaan dengan cara yang tepat untuk alasan yang tepat dan
ditujukan pada orang yang tepat. Bertambahnya usia, seharusnya membuat orang
lebih mampu mengendalikan emosinya.
4. Aspek sosial. Orang yang dewasa
dalam aspek ini mampu berhubungan dengan baik dan benar dengan orang lain,
walaupun berbeda dari sudut usia, pendidikan, latar belakang keluarga,
kedudukan dan status sosial. Ia mampu menempatkan dirinya sedemikian rupa,
sehingga berhasil menjalin komunikasi dua arah dengan orang lain.
5. Aspek Moral. Pada usia kanak-kanak,
seseorang bertingkah laku baik karena disuruh, diiming-imingi hadiah, atau
diancam hukuman. Namun, pada usia dewasa, seseorang diharapkan sudah memiliki
pedoman mengenai apa yang benar dan baik untuk dilakukan. Standard moral yang
tinggi diperlihatkan oleh orang yang memiliki kepedulian pada orang lain. Pada
saat ia melakukan sesuatu, ia mempertimbangkan dampaknya pada orang lain,
seberapa jauh hal itu membawa kesejahteraan pada orang lain. Pada kenyataannya,
ada juga orang dewasa yang berperilaku ke kanak-kanakan. Kalau anak kecil usia
empat atau lima tahun, sikap egonya sedang bertumbuh. Ia harus menjadi pusat
perhatian, dan setiap mainan yang ia suka, harus menjadi miliknya. Namun, ada
banyak orang dewasa yang masih berperilaku ke kanak-kanakan. Merasa diri super,
tidak mau kalah, selalu benar da menang sendiri.
6. Aspek spiritual. Spiritualitas
adalah hubungan yang terjalin dengan Allah. Atau lebih tepatnya, bagaimana
penghayatan seseorang terhadap apa yang terbaik bagi Tuhan dan apa yang
dikehendaki-Nya. Itulah yang mewarnai standard moral yang dimilikinya. Orang
yang dewasa dalam aspek ini mengenal bukan hanya kekuatan, melainkan juga
kelemahan dirinya. Ia tidak menjadi sombong dengan semua kelebihan yang
dimilikinya karena pada saat yang sama, ia tahu bahwa ia juga mempunyai
kekurangan.
Dalam Lukas 2:41-52, diceritakan
kisah Yesus. Walaupun masih berusia 12 tahun, Yesus sudah menunjukkan minat
yang tinggi pada hal-hal spiritual. Ia melakukan tanya jawab dengan para alim
ulama yang tentunya dikenal sebagai orang yang mengenak isi Kitab Suci. Namun
Yesus juga menunjukkan ketaatan-Nya kepada Yusuf dan Maria, dengan mengikuti
mereka kembali pulang ke Nazareth. Walaupun kecerdasan Yesus pada hal-hal
spiritual mengagumkan, bahkan melebihi rata-rata orang yang dewasa.
Alkitab menceritakan kepada kita,
ada pertumbuhan yang salah. Hofni dan Pinehas adalah anak-anak imam Eli, yang
sudah pasti mengalami didikan seorang imam. Mereka tumbuh menjadi dewasa secara
fisik, namun tidak secara rohani. Dalam 1 Samuel 2:12-17 diceritakan, mereka
melakukan pelbagai kejahatan dan kekejian di hadapan Tuhan hanya untuk memuasan
hawa nafsu dan keinginan mereka. Jabatan keluarga Imam Eli disalahgunakan. Berbeda
halnya dengan Samuel, yang diserahkan orangtuanya ke dalam didikan Eli. Dia
justru mengalami pertumbuhan yang lengkap, tidak hanya secara fisik. Ketika
Samuel kecil, ibunya dengan setia membuatkan jubah kecil buat Samuel. Tentu ada
banyak pertanyaan mengapa anak-anak Imam Eli sendiri mengalami pertumbuhan yang
tidak diharapkan. Alkitab tidak memberi penjelasan, dan hanya mengatakan,
“Mengapa engkau memandang dengan loba kepada korban sembelihan-Ku dan korban
sajian-Ku, yang telah kuperintahkan, dan mengapa engkau menghormati anak-anakmu
lebih dari pada-Ku, sambil kamu menggemukkan dirimu dengan bagian yang terbaik
dari setiap korban sajian umat-Ku Israel?”
Dari teguran Tuhan ini kita dapat
menarik kesimpulan, bahwa Eli menjalankan tugas keimamannya hanya sebagai
“profesi” sehingga ia merasa berhak menikmati bagian yang terbaik, yang
seharusnya untuk Tuhan, dan sikap Eli ini dilihat oleh anak-anaknya. Akibatnya,
teguran yang disampaikan Eli kepada mereka tidak diindahkan (1 Sam. 2:22-24).
Sedangkan Samuel, ia melihat begitu besar peran ayah dan ibunya dalam mendukung
dirinya menjadi pelayan di rumah Tuhan, sehingga Samuel itu dikasihi oleh Tuhan
dan manusia (1 Sam. 2:26).
Kisah yang sama kita temukan dalam
diri Yesus. Orangtuanya, Yusuf dan Maria memberikan perhatian serius untuk
pendidikan iman-Nya. Setiap tahun, mereka pergi ke Yerusalem pada hari Paska,
dan Yesus selalu ikut. Tidak mengherankan, bila pada usia 12 tahun, Yesus dapat
bersoal jawab dengan para alim ulama di Bait Allah. Sama seperti Samuel, Yesus
terus bertumbuh, “Dan yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan
besar-Nya, dan makin dikasihi Allah dan manusia” (Lukas 2:52). Kita semua
seharusnya seperti Dia, yang “makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya
dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia” (Lukas 2:52).
Pertambahan usia menjadi makin dewasa dibuktikan dengan hikmat dan pengenalan
akan Allah yang juga bertambah, sehingga kita tahu bagaimana membawakan diri di
tengah-tengah orang lain dan orang banyak.
Apa tanda-tanda pertumbuhan seorang
manusia yang lengkap? Dikasihi Tuhan dan manusia! Keduanya tidak dapat
dipisahkan, sekalipun berbeda. Itulah indicator pertumbuhan jasmani dan rohani
kita yang utuh. Bagaimana sekarang dengan kita? Apakah semakin lama, dan semakin
tua, semakin dikasihi Tuhan dan orang-orang di sekitar kita? Ataukah semakin
lama, semakin orang tidak mau kenal dan bergaul dengan kita? Semakin dijauhi
orang. Jika selama ini kita lebih memperhatikan penampilan fisik, cobalah kini
lebih utuh lagi melihat dan membenahi seluruh aspek kehidupan kita. Bila kita
mau dikasihi Tuhan dan sesama, salah satu syaratnya adalah: Ubahlah sikap egois
menjadi murah hati! Perhatikan orang lain yang ada di sekitar kita dan
lakukanlah kebaikan untuk mereka. Jangan menghitung apa untungnya, dan apa
ruginya karena kita semua adalah “manusia baru” di dalam Kristus. Jadilah
manusia baru yang tidak egois supaya kita makin lama makin dikasihi Allah dan
sesama. Dalam 2 Petrus 3:18 dikatakan, “Bertumbuhlah dalam kasih karunia dan
dalam pengenalan akan Tuhan dan Juruselamat kita, Yesus Kristus.” Betapa
indahnya jika kita dikasihi oleh Tuhan dan sesama.
Kisah yang satu ini mungkin dapat
mengajarkan kita untuk tidak egois atau mementingkan diri sendiri. Pada suatu
hari ada seorang anak muda terpelajar mengamati seorang Pak Tua yang sedang
menanam sebatang pohon mangga dengan keringat bercucuran. Anak muda itu
menghampirinya dan bertanya, “Pak Tua, untuk apa melakukan pekerjaan sia-sia
menanam pohon mangga? Apakah Pak Tua masih sempat menikmati buah pertama dari
pohon ini?” Sambil tersenyum dan meneruskan pekerjaannya, Pak Tua itu menjawab,
“Apakah yang kamu makan adalah hasil yang kamu tanam sendiri?” Dengan tersipu,
anak muda itu meninggalkan Pak Tua. Pertanyaannya, apakah kita sekarang lebih
mirip dengan Pak Tua ataukah seperti anak muda itu?”