Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh banyak peneliti sosiolinguistik di bidang gender dan kebahasaan, pada kenyataannya perempuan dan laki-laki menggunakan bahasa yang berbeda. Bukan hanya pada pemakaian atau pemilihan kata (leksikal) dan kalimat (gramatikal), melainkan juga pada cara penyampaiannya (pragmatis). Bahasa yang digunakan oleh laki-laki menunjukkan dominasi laki-laki, sedangkan bahasa yang digunakan oleh perempuan merefleksikan subordinasi (ketidakberdayaan) mereka. Hal ini mencerminkan realitas kehidupan sosial mereka.
Perempuan
biasanya lebih peka pada apa yang diucapkannya, dan cenderung memperhatikan
fungsi afektif dalam berinteraksi. Mereka lebih peka terhadap perasaan
yang mungkin ditimbulkan dari bahasa yang dipakai. Sedangkan laki-laki, biasanya cenderung lebih memperhatikan
informasi (yang ada hubungannya dengan kemandirian dan status) yang
disampaikan dibanding fungsi afektif dari interaksi itu sendiri. Mereka lebih sering
menginterupsi dan mendominasi pembicaraan, terutama dalam situasi di mana kekuasaan dan
status perlu ditonjolkan seperti ketikaberargumentasi atau berdebat dalam pertemuan
atau rapat-rapat.
Contoh
bahasa yang digunakan oleh laki-laki adalah, "Pemahaman Anda sempit dan berat
sebelah. Pola pembinaan yang dilakukan oleh gereja hanya mengutamakan "transfer of knowledge," Penghayatan
iman harus diwujudkan baik secara vertical maupun horizontal. Dari situ kita
baru dapat mengerti Injil itu kabar baik." Contoh bahasa yang dipergunakan
oleh perempuan, "Gereja dapat mengambil peran untuk membangun kehidupan
masyarakat dengan memberikan ketrampilan untuk menjahit, membuat kue dsb,"
Segala bentuk perbedaan harus dihargai sebagai anugerah Tuhan."
Membicarakan
bahasa laki-laki dan bahasa perempuan tidak bisa lepas dari konteks sosial dan budaya mereka,
karena perbedaan yang ada ternyata banyak disebabkan oleh kondisi sosial
masyarakatnya. Latar belakang sosial dan budaya serta situasi dan kondisi memegang peranan
penting dalam melihat masalah ini. Oleh karena itu, perlu pendekatan yang
bersifat holistik. Studi gender dan bahasa menekankan bahwa cara
perempuan dan laki-laki memang memiliki cara berkomunikasi yang berbeda. Oleh
sebab itu, masing-masing dari kita perlu saling memahami dan bertoleransi
dengan perbedaan yang ada (Deborah Tannen, You just don't understand, 1990).
Selanjutnya,
untuk memahami jenis atau bentuk bahasa, konteks sosial dan budaya dibutuhkan
komitmen yang jelas untuk terus mendengarkan (daripada berbicara). Mengembangkan
apa yang disebut Raymond Facelina sebagai listening heart,”sehingga kita
dapat melepaskan katagori-katagori yang kita buat, dengan mendengarkan,
memahami dan merefleksikannya dengan tepat. Salah satu bentuk pendekatan yang
unik dalam aktivitas berkomunikasi yang menuntun kita memberi dari hati,
mengaitkannya dengan diri sendiri dan seorang dengan yang lain dalam cara-cara
yang menumbuhkembangkan sifat belarasa/belas kasih (nonviolent and
compassionate compassion), sebagaimana yang diidentifikasikan oleh Marshall
B. Rosenberg dalam bukunya Nonviolent Communication A Language of
Compassion (2001).
NVC
(nonviolent atau compassionate communication) adalah salah satu
bentuk komunikasi yang akan menuntun kita untuk
merumuskan ulang bagaimana kita mengungkapkan diri dan mendengarkan
orang lain. Di sini, kata-kata kita jadi respons sadar berdasarkan suatu
kesadaran atas apa yang kita serap, rasa, dan inginkan. NVC membantu kita
mengungkapkan diri secara jujur, jelas, serta memperhatikan pesan mitra wicara
dengan penuh respek dan empati. Hal Ini merupakan sumbangan penting bagi upaya perdamaian
di dunia. NVC akan membantu kita untuk pantang“mengkritik”
agar tidak mengadili/menghakimi orang lain secara negatif maupun positif.
Jujur kata, selama ini kita menggunakan pendekatan rasional objektif kritis
mengandalkan kritik sebagai sarana pertumbuhan pengetahuan. Sebab
itu kita tidak segan-segan mengkritik, bahkan mengecam orang lain secara
negatif.
Oleh
karena itu NVC menawarkan Model komunikasi khas yang dapat dipakai oleh setiap
orang. Menurut Rossenberg, komunikasi yang mengalienasi hidup menjebak kita pada
dunia ide tentang apa yang benar dan apa yang salah, suatu dunia penilaian. Itulah
dunia yang kaya dengan kata-kata yang mengklasifikasi dan mendikotomi
(bahkan menjastifikasi) orang dan tindakan mereka. Saat memakai bahasa ini,
kita menilai orang dan perilakunya sambil bersibuk dengan siapa yang baik,
jahat, normal, abnormal, bertanggung jawab, tak bertanggung jawab, cerdas,
goblok, dan seterusnya. Minat kita jadi terfokus pada ihwal mengklasifikasi,
menganalisis, dan menentukan tingkat kesalahan ketimbang pada apa yang kita dan
orang lain butuhkan dan tidak kita peroleh. Jadi, jika rekan kerja kita
menginginkan lebih banyak afeksi daripada yang bisa saya berikan, ia ”kekurangan
dan bergantung”. Namun, jika saya lebih banyak membutuhkan afeksi daripada yang
bisa ia berikan, ia ”bersikap jauh dan tak peka”.
Dari keyakinan Rosenberg, analisis atas orang lain seperti itu adalah ungkapan tragis akan nilai dan kebutuhan kita sendiri. Menjadi tragis karena jika kita mengungkapkan nilai dan kebutuhan kita dalam bentuk ini, kita meningkatkan sikap defensif dan resistensi pada mereka di antara orang yang perilakunya justru kita pedulikan. Atau, jika mereka sepakat berperilaku sesuai dengan nilai kita, mereka sangat mungkin berbuat itu karena takut merasa bersalah atau malu. Di sini, penting membedakan evaluasi tentang nilai dengan penilaian moralistis.