MENSIASATI SEGALA BENTUK PENINDASAN
Bacaan Matius 9:35-10:8
Oleh: Pdt. Maryam Kurniawati D.Min
Penindasan, dalam bentuk apa pun, akan selalu menimbulkan trauma atau
luka dalam diri seseorang. Orang akan merasa terasing, kesepian, dan bahkan
kehilangan harga dirinya. Mungkin kita pernah mempunyai pengalaman ditindas
atau tertindas, yang menimbulkan trauma di sepanjang hidup kita. Pengalaman
kita di tempat kita bekerja, atau di sekolah misalnya, dapat menimbulkan trauma
dalam diri kita. Anak saya yang besar, Brian, ketika di bangku kelas IV
mengalami penindasan yang dilakukan oleh teman sekelasnya. Setiap hari, dia
dipaksa oleh teman sekelasnya untuk membawa tasnya ke kelas di Lantai 2. Jika
dia menolak, maka dia akan dipukul dan dijahati oleh teman tersebut. Alhasil
selama 1 bulan, Brian karena takut, selalu membawakan tas temannya, dengan
susah payah, karena dia sendiri juga harus membawa tasnya ke Lantai 2.
Penindasan ini terus berlangsung tanpa ada yang mengetahuinya, karena Brian
sendiri tidak pernah menceritakannya kepada saya atau suami saya. Bahkan Guru
dan Kepala Sekolahnya sendiri tidak mengetahuinya. Akhirnya, pada suatu hari,
suster anak saya yang kedua, ketika membawa buku anak saya yang tertinggal di
rumah, melihat peristiwa tersebut dan melaporkannya kepada saya. Saya terkejut
dan juga marah, karena penindasan itu terjadi di sekolah dan dilakukan oleh
anak seorang Guru. Karena itu, ketika Brian pulang, saya minta anak saya
menceritakan semua yang dia alami di sekolah. Dengan perasaan ketakutan dan
bingung, dia mengungkapkan penyiksaan yang dialaminya. Dia takut melapor kepada
Guru, Kepala Sekolah dan saya, karena ancaman-ancaman yang diberikan oleh teman
sekelasnya itu, dan teman-teman sekelas yang lainnya pada umumnya cuek saja.
Esok harinya, saya datang kepada Kepala Sekolah dan melaporkannya. Karena
penindasan tersebut, saya dan suami saya harus berupaya keras untuk membantu
dan menolong anak saya untuk mengembalikan rasa percaya dirinya yang dirusak
oleh karena penindasan yang dilakukan oleh temannya.
Sekolah anak-anak
kita, ternyata tidak steril dari yang
namanya penindasan. Tadi malam saya sempat membaca sebuah website tentang
penindasan siswa di sekolah, dan isinya sungguh mengejutkan saya. Karena
dilaporkan ada begitu banyak penindasan yang dialami oleh siswa2 di sekolah, di
segala penjuru dunia. Di Columbia, di
Colorado, di Manchester, di Irlandia, dan bahkan di Indonesia. Sebagai contoh,
di Manchester Inggris, Marie Bentham berusia 8 tahun menggantung diri di kamar
tidurnya karena merasa tak mampu menghadapi dan mengalami penindasan demi
penindasan di sekolahnya. Lalu beberapa waktu lalu diberitakan seorang anak
harus dibawa di rumah sakit, dalam perjalanan menemui ajalnya akibat sebuah
penindasan yang dilakukan oleh temannya sendiri. Barbara Coloroso (2007) dalam
bukunya yang berjudul “The Bully, The
Bullied, and The Bystander” mengatakan “Penindasan
adalah sebuah isu hidup dan mati yang kita abaikan resikonya pada anak2 kita.
Anak2 yang tertindas menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan cara guna
menghindari trauma dan hanya memiliki sedikit energi untuk belajar. Yang menderita akibat adanya penindasan ini tidak hanya
anak yang tertindas. Anak2 penindas banyak yang terus memiliki perilaku
penindas hingga dewasa, sehingga kemungkinan besar mereka kelak akan menindas
anak2 mereka sendiri, gagal dalam hubungan antar pribadi, kehilangan pekerjaan,
dan berakhir di penjara.”
Tidak banyak dari
kita yang menyadari, bahwa kekerasan kemanusiaan dimulai dari ruang kelas, dan
30%-80% waktu dihabiskan guru untuk mengatasi permasalahan disiplin, dan 25%
ketidakmampuan belajar disebabkan karena adanya rasa takut siswa terhadap siswa
lain di kelas. Perasaan tidak suka yang kuat terhadap seseorang yang dianggap
tidak berharga, dan lemah membuat anak2 korban penindasan itu telah ditindas
tanpa ampun. Diejek, diolok2, dijadikan bulan2an dan disiksa oleh teman2nya di
sekolah. Willem Standaert, senior Programme Coordinator Unicef Indonesia
mengatakan; "Penindasan pada anak,
apapun alasannya, memiliki implikasi serius terhadap pertumbuhan dan
perkembangan anak. Penindasan kelak dapat merusak kepercayaan diri anak. Anak
merasa terasing, kesepian, kehilangan harga diri, dan lebih jauh menurunkan
kemampuan mereka untuk menjadi orang tua yang baik di masa mendatang.”
Fenomena yang tidak
menyenangkan ini, dapat kita selidiki, kita ubah dan kita perbaiki, tergantung
kepada kesungguhan dan kepedulian kita semua untuk membangun kesadaran dan
memutuskan siklus kekerasan yang terjadi di sekolah-sekolah kita. Jangan lupa
bahwa tragedi penindasan (bullying)
siswa melibatkan tiga aktor, yakni pelaku yang menindas, korban tertindas yang
takut melapor, dan penonton yang berperan serta atau cuek. Sadarkah kita bahwa
ketiga aktor atau karakter tersebut juga dimainkan dan dipelajari oleh siswa
dan anak-anak kita pada umumnya dalam kesehariannya, baik di rumah, di sekolah,
di tempat bermain, dan di lingkungannya?! Lalu bagaimana dengan keluarga2 kita,
dan kehidupan Gereja2 kita?! Apakah mereka juga ”bebas’ dari siklus kekerasan dan penindasan?! Jujur kata, ternyata tidak.
Pembacaan Mazmur kita mengungkapkan keadaan pemazmur yang hampir putus
asa. Ia berada dalam keadaan tertindas, terluka dan kebingungan. Dalam keadaan
tertindas, ternyata tidak ada seorang pun yang dapat diandalkan untuk menolong
dirinya. Hanya Tuhan yang dapat menolong dan menyelamatkan dirinya. Karena itu,
pengalaman hidupnya bersama Tuhan itulah yang dapat memulihkannya. Dalam
kehidupan kita sehari-hari, sebagaimana pemazmur, mungkin kita sedang berada
dalam keadaan tertindas, terluka dan kebingungan, dan mungkin tidak ada seorang
pun yang dapat menolong kita. Kita jadi merasa terasing, kesepian, kehilangan
harga diri dan terus tidak berdaya karena tertindas dan terluka. Karena itu,
pemazmur mengajak kita untuk berseru kepada Tuhan dan menaruh harap kepada-Nya.
Hanya Tuhan yang dapat menolong kita dan memulihkan kita. Dalam surat Roma 5:1-8, Rasul Paulus mengatakan,
bahwa kesengsaraan adalah sebuah fakta kehidupan. Tidak ada seorang pun yang dapat menghindarinya. Sebab itu ketika seseorang susah dan menderita, ia harus melihat segala bentuk penderitaan dan kessengsaraannya dari perspektif iman, bahwa melalui pergulatan yang berat itu Allah sedang mengubah hidupnya, menjadi matang dan dewasa, serta lebih bersandar kepada kekuatan Allah. Salib adalah
bukti yang paling jelas dari kasih Allah kepada manusia. Dalam surat
Roma 8:35-39 Rasul Paulus berkata, ”Siapakah
yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau
penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang?
Seperti ada tertulis: "Oleh karena Engkau kami ada dalam bahaya maut
sepanjang hari, kami telah dianggap sebagai domba-domba sembelihan." Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari
pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita. Sebab aku
yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun
pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau
kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk
lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus
Yesus, Tuhan kita.
Di dalam Injil Matius 9:35 dst, kita menyaksikan bagaimana Yesus tidak
pernah berdiam diri atau mengambil sikap tidak peduli ketika Ia diperhadapkan
dengan kesusahan dan penderitaan manusia. Berulang-ulang kali dikatakan oleh
Kitab Injil kepada kita, bagaimana hati Yesus selalu tergerak oleh belas
kasihan melihat orang-orang yang terbaring tak berdaya, yang lelah dan yang
kebingungan. Kehidupan manusia modern dengan segala bentuk
persoalan-persoalannya melahirkan orang-orang yang tidak berdaya, yang terluka,
lelah dan kebingungan. Jumlah mereka yang tidak
berdaya, yang terluka, lelah dan kebingungan semakin besar dibandingkan dengan
mereka yang peduli. Karena itulah Yesus menyatakan bahwa pekerja sedikit,
tetapi tuaian banyak. Pernyataan Yesus ini pada saat itu mau menggambarkan
kondisi di mana orang-orang Farisi sibuk dengan dirinya dan menutup mata
terhadap orang-orang yang ada di sekelilingnya. Orang-orang Farisi memandang
mereka sebagai orang-orang yang tidak diperhitungkan dan patut dilupakan. Namun
Yesus memilih untuk memperhitungkan dan merangkul mereka agar mereka tidak
terhilang di tengah himpitan pergumulan hidup mereka. Karena itu Ia memberikan
kuasa-Nya. Dengan kuasa-Nya, para murid dimampukan untuk melakukan dan
memberikan yang terbaik, dan mereka dilarang untuk menerima imbalan karena
pekerjaan mereka. Mereka telah menerima dengan cuma-cuma, karena itu mereka
juga harus memberi dengan cuma-cuma. Hal ini mengingatkan kita, untuk tidak
menutup mata terhadap orang-orang yang ada di sekeliling kita. Betapa banyak
orang yang tertindas dan teraniaya, yang terluka, lelah, dan kebingungan.
Mungkin bukan disebabkan oleh karena kita, tetapi karena ketidakdilan dan
kejahatan yang membuat atau menjadikan mereka sebagai korban yang tidak
berdaya. Oleh karena itu, dengan kuasa Yesus, kita harus membangun kesadaran
untuk memutuskan siklus kekerasan atau pun penindasan yang mengakibatkan
penderitaan dalam hidup manusia, dan menggantikannya dengan cinta kasih. Tanpa kuasa-Nya, kekuatan kita sehebat apa pun tidak akan menghasilkan
apa-ap.
Hal ini juga menunjukkan kepada kita, bahwa kita bekerja bukan karena
kekuatan kita, dan bukan untuk kepentingan kita. Tetapi karena kuasa Yesus yang
memberkati dan memampukan kita untuk mengatasi setiap penderitaan manusia. Kita
telah menerima pengorbanan Yesus Kristus yang mati di kayu salib dengan
cuma-cuma, karena itu kita juga harus memberikannya tanpa pamrih, atau menuntut
balas jasa. Oleh karena itu, setiap bentuk penderitaan manusia, harus kita
hayati sebagai proses yang dipakai Allah untuk mendewasakan dan memetangkan kita. Proses ini
membuat kita semakin menyadari dan mengimani bahwa Allah membentuk kehidupan
umat-Nya melalui segala peristiwa, baik suka mau pun duka. Kesaksian iman kita dalam
Yesus menjadi nyata pada saat kita menghadirkan kepedulian dan pertolongan bagi
mereka yang menderita dan teraniaya. Inilah tugas panggilan kita sebagai orang
percaya. Soli Deo Gloria!