Desmond
Tutu adalah seorang teolog yang
berasal dari Afrika Selatan, ditahbiskan menjadi
uskup berkulit hitam pertama di Gereja Anglikan. Ia mengepalai Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi, merangkul seluruh orang Afrika Selatan dan mengkampanyekan slogan
"Kebenaran itu menyakitkan, tapi diam itu membunuh” untuk mengungkap kebenaran
& rekonsiliasi. Menurut Desmond Tutu, “Setiap manusia terkait dengan yang lainnya. Keselamatan adalah sebuah
pemberian, bukan hasil dari usaha kita sendiri, melainkan diberikan secara cuma-cuma oleh Allah. Sebab itu
kita dipanggil untuk hidup serupa dengan gambar Allah. Berekonsiliasi demi menyembuhkan dan memulihkan keadaan
setiap pribadi, kehidupan sosial, ekonomi, dan politik sesuai dengan kehendak
Allah terhadap manusia yaitu kedamaian…”
Hidup
seturut gambar Allah dan berekonsiliasi demi menyembuhkan dan memulihkan
keadaan setiap orang, dalam pemikiran saya, bagaikan ulat yang berubah menjadi
kepompong, dan akhirnya menjadi kupu-kupu yang indah. Terjadi proses transformasi
yang mengubah diri sendiri, sekaligus mengubah sudut pandang terhadap dunia dan
orang lain yang ada di sekelilingnya. Dari keinginan untuk memuaskan ambisi,
obsesi dan cinta diri sendiri, menjadi hasrat dan kerinduan untuk melayani
Allah dan sesama. Hidup tidak lagi berpusat pada ambisi dan obsesi.
Kisah
penampakan Yesus di Danau Tiberias dapat menjadi sumber inspirasi kita. Di
Danau Tiberias, tujuh orang murid Yesus pergi menangkap ikan. Mereka sedih &
kecewa karena ambisi & obsesinya dalam mengikut Yesus tidak terwujud (Yohanes 21:1-19). Mereka
bekerja semalaman, tetapi tidak memperoleh apa-apa. Ketika siang hari, Yesus
berdiri di tepi pantai … “Hai anak-anak, adalah kamu memperoleh lauk pauk?” Mereka menjawab “Tidak
ada!”
Yesus
minta kepada mereka untuk menebarkan jala di sebelah
kanan perahu, dan jala mereka penuh dengan ikan-ikan. 157 ekor banyaknya!
Mata mereka segera terbuka, dan sekarang mengenali siapa orang yang di tepi
pantai itu, yakni Yesus yang bangkit! Dalam
perjumpaan itu Yesus bertanya kepada Petrus, “Apakah engkau mengasihi (agapan & filein) aku lebih dari hal-hal lainnya? Lebih dari
pekerjaan yang sedang ia tekuni, juga ketika pekerjaan itu menghasilkan sesuatu
yang luar biasa (ikan yang berlimpah)?
Perjumpaan
dengan Yesus yang bangkit itu mengubah sudut pandang, pemikiran, keinginan, hasrat dan nafsu para murid, terutama Petrus. Sama
seperti Petrus, mungkin kita mengalami banyak hal yang melukai hati dan mengecewakan
dalam mengikut Tuhan,
karena ada banyak keinginan, harapan,
bahkan obsesi yang kita letakkan di bahu Yesus, dan kita tidak memperolehnya.
Sekian puluh tahun mungkin kita telah terlibat secara
aktif dalam pelayanan, lalu tiba-tiba
dideportasi untuk keluar dari pelayanan yang kita tekuni.
Pertanyaannya
sekarang adalah, apakah kita mengasihi Yesus lebih dari semua yang ada? Apakah kita mau sungguh-sungguh mengasihi Dia melebihi kasih kita kepada posisi, jabatan, popularitas, uang, harta, pekerjaan, bahkan diri kita sendiri? Apakah kita mau sungguh-sungguh mengasihi-Nya dengan meninggalkan segala keinginan, hasrat dan cinta diri
kita?
Alkitab
memberikan kepada kita sebuah contoh, yakni Saulus. Saulus
berambisi dan terobsesi memurnikan ajaran Yudaisme. Hatinya berkobar-kobar untuk menangkap, menganiaya, bahkan membunuh
murid-murid Tuhan. Ia merasa sedang berada di jalan Allah & membela Allah. Mungkin ada banyak orang
seperti Saulus. Merasa superior. Sedang berada di jalan Allah dan membela Allah, namun pada kenyataannya
melukai serta tidak segan-segan meniadakan kehadiran dan peran serta orang lain dengan alasan klise, mengundurkan diri.
Kita lihat,
dengan semangat menggebu-gebu penuh kebencian, Saulus mengejar murid-murid
Tuhan. Namun kasih Tuhan mengubah
hidupnya. Di Damsyik, muncul cahaya dari langit yang menghampiri,
mengugat dan merobek ambisi & obsesinya. Saulus mengalami “jeda” dalam
hidupnya. Tiga hari ia buta. Namun kebutaannya justru memberi pencerahan. Kini
mata hatinya dibukakan. Ia melihat Yesus yang teraniaya ada di hadapannya. Terkadang Tuhan tidak kekurangan cara untuk
bertindak, untuk menghentikan ambisi, keinginan & obsesi
manusia. Petrus, Saulus, dan masih banyak lagi tokoh Alkitab lainnya. Mereka semua pernah
jatuh dalam ambisi & obsesi yang keliru. Namun mereka membuka diri. Mau dipulihkan, dan dibaharui melalui perjumpaan mereka dengan Tuhan.
Terkadang
kita terjatuh pada ambisi & obsesi yang keliru dalam mengikut Tuhan, sehingga
sangat sulit bagi kita untuk merasakan kehadiran-Nya dan sapaan-Nya yang tidka hanya menghangatkan hati dan jiwa, tetapi juga menggugat dan merobek ambisi dan
obsesi kita. Sapaan itu mungkin membuat
kita merasa tidak nyaman, karena serta merta dapat meluluh-lantakkan ketegaran
& kekerasan hati kita. Namun Francois Fenelon
pernah berkata, “Allah
tidak pernah berhenti berbicara kepada kita; tetapi keributan dari dunia luar,
dan kebisingan dari nafsu-nafsu kita di dalam, membuat kita bingung &
menjauhkan kita dari sikap mendengarkan. Semua di sekitar kita harus senyap,
dan semua di dalam diri kita harus hening, jika kita ingin mendengar suara-Nya
dengan segenap jiwa kita. Suara itu kecil & tenang, dan hanya bisa didengar
oleh mereka yang tidak mendengarkan suara-suara lainnya.” So
be transformed by the renewing of your mind! (Rom. 12:2) Soli Deo Gloria!