Kekuatan dari Pengampunan
Rev. Maryam Kurniawati D.Min
Mengampuni
bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Kita
berhadapan dengan yang namanya, kemarahan, kepedihan, kepahitan dan rasa sakit
hati yang mendalam. Mungkin kita mempunyai segudang pengalaman disakiti, dilukai, dikhianati
yang dilakukan oleh orang-orang terdekat, orang-orang
yang kita hormati, orang-orang yang kita anggap bagian dari kehidupan kita. Oleh
karena itu kalau kita bertanya, mengapa kita harus mengampuni? Jawabannya, pengampunan adalah salah satu aspek
kehidupan yang penting dalam Kerajaan Allah. Yesus mengatakan, bila kita ingin
mengetahui – mengenal dan mengalami damai sejahtera dan sukacita Kerajaan
Allah, kita harus mengampuni siapa saja yang bersalah kepada kita dan sering
mengampuni.
Sampai berapa kali kita
harus mengampuni? Tujuh kali tidaklah cukup, melainkan harus tujuh puluh
kali tujuh kali atau dengan kata lain tak terbatas. Perikop Matius 18:21-35
menceritakan betapa pentingnya mengampuni dan berbelas kasih kepada sesama,
karena kita semua telah menerima belas kasih dan pengampunan dari Tuhan. Di dalam Alkitab,
banyak tokoh Perjanjian Lama yang memberikan contoh kepada kita
untuk mengampuni. Yusuf yang telah dicelakai dan dijual oleh saudaranya,
akhirnya mau memaafkan saudara-saudaranya (Kej. 45:5-15; Kej 50:10-21). Musa
mengampuni Harun dan Miryam yang memberontak (Bil 12:1-13). Daud juga
mengampuni Saul, walau pun Saul berusaha berkali-kali membunuhnya (1Sam
24:10-12; 1Sam 26:9; 1Sam 26:23; 2 Sam 1:14-17 ). Daud juga mengampuni Simei yang
sebelumnya telah menghina Daud (2 Sam 16:9-13; 2Sam 19:23; 1Raj 2:8-9).
Akhirnya, contoh paling sempurna dari tindakan mengampuni adalah Yesus, ketika
di kayu salib Dia mengatakan “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak
tahu apa yang mereka perbuat” (Luk 23:34).
Dalam bahasa Yunani, mengampuni (aphiemi) berarti membatalkan, melepaskan atau membebaskan. Pengampunan merupakan
perwujudan dari belas kasih Allah Bapa kepada umat manusia, yang memberikan
Putera-Nya yang dikasihi untuk datang ke dunia dan menebus dosa dunia, sehingga
barang siapa percaya kepada-Nya akan mendapat kehidupan yang kekal (Yoh
3:16). Karena itu mengampuni sesama adalah perwujudan dari kasih kita
kepada Allah. Dalam Matius 6:15, Yesus berkata, “Jikalau kamu tidak mengampuni
orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu.”
Pengampunan
adalah penyembuh terbesar dari semua. Bayangkan kedamaian akan datang ke planet
kita, jika semua orang di dunia mau melepaskan masalah lama dengan tetangga
mereka (tetangga yang dimaksud di sini lintas agama, budaya dna bahasa).
Bayangkan apa yang akan terjadi jika kita dapat melepaskan diri dari semua
sengketa yang telah terjadi berabad-abad, perbedaan ras, agama, dan luka masa
lalu pada yang lain.
(Forgiveness:
The Greatest Healer of All. “Imagine
the peace that could come to our planet if all the people of the
world would let go of old grievances with their neighbors. Imagine what could happen if we would all let go of centuries-old
battles
over racial differences,
religious differences, and past injuries to one another!” – Gerald G.
Jampolsky)
Pengampunan
tidak menghapus masa lalu yang pahit. Memory yang sembuh bukanlah memory yang
terhapus. Sebagai gantinya mengampuni apa yang tidak dapat kita lupakan,
membuat suatu cara baru untuk mengingatnya. Kita mengubah memory masa lalu
menjadi sebuah harapan untuk masa depan kita.
(Forgiving
does not erase the bitter past. A healed memory is not a deleted memory.
Instead, forgiving what we cannot forget creates a new way to remember. We
change the memory of our past into a hope for our future” - Lewis B. Smedes)
Mengampuni sesama
adalah perwujudan dari kasih kita kepada Allah. Hanya orang yang kuat, yang
mampu mengampuni. Contohnya adalah Malala Yousafzai. Dengan mengampuni
penyerangnya, Malala telah mengambil langkah pertama menuju penyembuhan dengan
terus menerus menawarkan harapan kepada orang lain.
Siapakah Malala
Yousafzai? Malala lahir di Mingora, Distrik (Lembah) Swat, Pakistan, 12 Juli
1997. Ayahnya bernama Ziauddin Yousafzai, dan ibunya bernama Tor Pekai
Yousafzai Dengan dua adik laki-lakinya, Khushal dan Atal, dari suku Pusthun. Pada 9 Oktober 2012,
sebuah truk yang dimodifikasi sebagai bus Sekolah “Khushal” – sekolah milik
ayah Malala - di kota Mingora, sedang membawa sejumlah murid perempuan pulang
dari sekolah mereka, salah satunya adalah Malala.
Tiba-tiba truk itu
dihadang oleh dua laki-laki muda bersenjata dari Taliban. Salah
satunya menaiki belakang truk itu, lalu bertanya, “Yang mana Malala?” Itulah
pertanyaan yang sempat didengar oleh Malala, sebelum dia kehilangan kesadaran. Pemuda
Taliban itu menembaknya dua kali, tembakan pertama mengena kepala di dekat mata
kirinya, dan yang kedua mengena lehernya. Malala roboh bermandikan darahnya sendiri.
Malala ditembak dengan maksud dibunuh
oleh Taliban, karena dia seorang anak perempuan yang berani menantang
Taliban yang melarang
anak-anak perempuan sekolah. Tak perduli dia hanya
seorang anak perempuan remaja yang baru berusia 16 tahun. Saat
itu Taliban di bawah pimpinan Maulana Fazlullah yang menguasai Lembah Swat
melarang semua anak perempuan sekolah.
Meskipun Malala
menderita luka sangat parah, nyawanya berhasil diselamatkan. Setelah
dioperasi untuk mengeluarkan peluru yang bersarang di kepalanya, dan beberapa
hari dirawat di sebuah rumah sakit militer di Peshawar,
Pakistan, dia diterbangkan ke Inggris, untuk menjalani operasi dan
perawatan intensif yang jauh lebih baik di Rumah Sakit Queen Elizabeth, di
Birmingham.
Enam bulan Malala harus
berada di rumah sakit untuk menjalani beberapakali operasi dan perawatan
pemulihan. Malala melanjutkan sekolahnya di Birmingham, tinggal
di sebuah rumah yang disediakan oleh pemerintah Inggris bekerjasama dengan
pemerintah Pakistan, bersama ayah, ibu dan dua adik laki-lakinya itu. Pada tanggal 12 Juli
2013, bertepatan dengan hari ulang tahunnya yang keenam
belas, Malala berpidato di Forum Majelis Kaum Muda di Markas Besar PBB, di New
York, Amerika Serikat. Inti pidatonya berbicara mengenai hak-hak (anak)
perempuan untuk bersekolah, perlawanan terhadap terorisme dan kebodohan. Salah
satu kalimatnya yang terkenal adalah, dengan ”Satu anak, satu guru, satu
buku, satu pena, bisa mengubah dunia.”
(“Dear sisters and brothers, I
am not against anyone. Neither am I here to speak in terms of personal revenge against
the Taliban or any other terrorists group. I am here to speak up for the right
of education of every child. I want education for the sons and the daughters of
all the extremists especially the Taliban.”)
Pada tanggal 10 Oktober
2014, Malala memperoleh hadiah Nobel bidang Perdamaian
bersama dengan Kailash Satyarthi dari India. Malala adalah penerima Nobel
termuda dalam sejarah untuk semua kategori. Sejak usia 12
tahun, Malala sudah dengan luar biasa gigihnya memperjuangkan hak anak
perempuan untuk sekolah, meskipun itu sama dengan menantang Taliban. Apa yang
dilakukan Taliban terhadap Malala untuk membunuhnya, sedikit pun tidak membuat
Malala mundur. Ia terus berjuang, agar anak laki-laki dan anak-anak perempuan
lainnya dapat bersekolah. Untuk melawan terorisme dan kebodohan, Malala
menegaskan, ”Satu anak, satu guru, satu buku, satu pena, bisa
mengubah dunia.”
Pengampunan merupakan
perwujudan dari belas kasih Allah Bapa kepada umat manusia, yang memberikan
Putera-Nya yang dikasihi untuk datang ke dunia dan menebus dosa dunia, sehingga
barang siapa percaya kepada-Nya akan mendapat kehidupan yang kekal (Yoh
3:16). Oleh karena itu mengampuni orang lain yang telah melukai atau
menyakiti kita, atau berbuat kesalahan kepada kita adalah perwujudan dari kasih
kita kepada Allah.