Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menghadapi masalah dan pergumulan
yang menyesakkan hati kita. Goncangan yang terjadi, membuat kita
yang mengalaminya menjadi limbung. Sedih, marah, kecewa, dan sakit hati. Lalu
dengan kesal dan marah kita akan berkata, “Sudahlah tidak usah bicara tentang
Tuhan. Buat apa saya ke Gereja? Buat apa saya berdoa? Nyatanya, realitas hidup
saya seperti ini!” Memang ketika goncangan itu terjadi, kita akan mengalami
saat2 yang sangat sulit. Tetapi, kalau Tuhan yang Mahakuasa dan Mahabaik itu
mengijinkan kita mengalami kesedihan dan kesusahan itu, apakah Ia mengharapkan
iman kita hancur lebur di tengah goncangan itu? Tentu saja tidak!
Dari pengalaman hidup tokoh2
Alkitab menjadi jelas, bahwa ketika goncangan dan situasi itu terjadi, Allah
sedang mencoba mengajarkan sesuatu tentang diri-Nya, yang selama ini mungkin
belum kita sadari. Melalui pengetahuan tentang Allah itulah iman kita
diharapkan-Nya bertumbuh dan berbuah. Goncangan itu pasti tidak menyenangkan
dan akan membuat kita gelisah. Karena gelisah, kita tidak memperhatikan dan
menolak proses goncangan itu dan memilih sikap, “Ya sudah, saya begini saja.” Padahal kata orang, “no pain,
no gain”, tidak ada rasa sakit, tidak ada hasil.
Banyak orang merasa dirinya
beriman, tetapi dalam praktiknya mereka kerapkali masih mengerahkan
segenap upayanya sendiri dalam menyikapi segala permasalahan hidup mereka. Dorothee Soelle,
seorang teolog mistik (=jalan kehidupan) Protestan dalam bukunya Suffering
pernah berpendapat, “Pertanyaan terpenting yang dapat kita ajukan tentang
penderitaan adalah untuk siapa penderitaan itu terjadi? Apakah penderitaan kita
untuk Tuhan atau Iblis?” Dengan pernyataan itu, Soelle mau berkata, bukan dari
mana tragedi itu datang, tapi kearah mana penderitaan itu tertuju. Jadi Ia mau
menjawab, derita ini akan dipersembahkan kepada siapa : Allah atau Iblis?” Jika kematian
atau penderitaan, atau orang yang kita kasihi membuat kita mengalami kepedihan
hati, dendam, sakit hati dan semakin membenci kehidupan, itu berarti kita sudah
membuat diri kita menjadi seorang hamba atau pelayan Iblis. Tapi jika
penderitaan dan keterhilangan itu membuat kita menemukan Sumber Penghiburan
yang tidak pernah kita mengerti sebelumnya, maka kita telah menempatkan diri kita
menjadi pelayan-pelayan-Nya.
Kebenaran yang
harus kita petik dalam situasi ini adalah : Tuhan tidak mengasihi kita dengan
cara yang sama seperti kita mengasihi Dia. Boleh jadi kita berpikir, Tuhan
sudah meninggalkan dan membiarkan kita. Namun marilah kita melihat apa yang
dikerjakan Tuhan dalam perspektif yang lebih luas karena iman kita mengatakan,
bahwa segala sesuatu yang dilakukan Tuhan itu selalu tepat dan benar, sekali
pun kita tidak dapat memehaminya. Beriman kepada Allah memungkinkan kita hidup
dengan pengharapan yang aktif, bukan dengan sikap sinis.
Dalam Yeremia
29:11 Firman Tuhan berkata, “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa
yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai
sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan
yang penuh harapan.” Dengan demikian, yang Tuhan kehendaki dari kita, adalah
bagaimana kita mengelola kesedihan, dan rasa frustasi kita dengan mengelolanya,
dan menjadikannya sebagai sesuatu yang mulia. Sebab Tuhan sudah, sedang dan
tengah membentuk ulang hidup kita, untuk memurnikan kita seturut dengan
kehendak-Nya. Karena itu jalanilah hidup ini dengan bersandar kepada Tuhan. Jangan
mau dikalahkan oleh keadaan, tetapi kalahkan keadaan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar