Bacaan: Yohanes 4:4-42
Dalam Kamus Bahasa Indonesia,
kata “mendengarkan” menunjuk pada arti memperhatikan, mengindahkan, atau
mendengarkan akan sesuatu dengan sungguh-sungguh. Dalam kosa kata Yunani, kata
“mendengarkan” dikaitkan dengan kata “akoe,”
“akouo,” “epakroaomai” yang menunjuk pada arti mendengar, menangkap,
mengerti, mendengarnya.
Mendengarkan adalah salah satu
aspek yang paling penting dalam membangun relasi dengan orang lain. Dengan
mendengarkan, kita tidak hanya mampu menyelesaikan berbagai masalah di dalam
kehidupan keluarga, pekerjaan, dan pelayanan, tetapi juga akan mmbantu kita
untuk melihat dunia dan permasalahan yang ada dari sudut pandang orang lain.
Dengan mendengarkan, pemahaman kita terhadap berbagai hal akan menjadi luas
dari apa yang dikomunikasikan orang lain kepada kita.
Salah satu kunci keberhasilan
kita dalam mendengarkan orang lain, adalah mendengarkan secara aktif dan
empatik. Ibarat mengenakan sepatu orang lain, kita perlu memikirkan apa yang
dikomunikasikan berdasarkan sudut pandang orang tersebut serta secara aktif
berusaha memahami sudut pandang orang itu. Bukankah setiap kita dikarunia dua
telinga dan satu mulut? Maka kita perlu lebih banyak mendengarkan daripada
berbicara dan bersikap terbuka pada apa pun yang dikatakan orang lain.
Mendengarkan dengan baik apa
pun yang dikemukakan orang lain, akan menjadi sebuah perjumpaan yang memperkaya
kehidupan. Kita dapat menimba pengalaman hidup orang lain, dan pengalaman hidup
orang lain dapat mengubah cara pandang kita terhadap mereka.
Penjelasan Teks
Kisah perjumpaan Yesus dengan perempuan Samaria dalam
Yohanes 4:4-42 ditampilkan oleh Yohanes dalam bagian yang mengetengahkan
gagasan bahwa TUHAN menjumpai kemanusiaan kita, menyapanya, dan masuk ke dalam
kehidupan dan membaruinya. Percakapan Yesus dengan perempuan Samaria tersebut memperlihatkan,
bagaimana kehadiran Yesus membawa kegembiraan (bnd. Yohanes 2:1-11, pesta
perkawinan di Kana), dan membuat orang berpikir bagaimana menanggapi kehadiran
ALLAH dengan hati tulus, bukan dengan
ibadah yang kelihatannya beres, bagus dan rapih tetapi morat-marit di dalamnya
(bnd. Yohanes 2:13-25, pembersihan Bait Allah).
Dalam
Yohanes 4:9, dikatakan bahwa perempuan Samaria itu heran, karena seorang Yahudi
meminta minum kepadanya. Di dalam teks Yohanes disisipkan penjelasan, “Sebab
orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria.” Wilayah Israel dulu terbagi
atas tiga daerah yaitu wilayah utara Yudea (Yerusalem), wilayah selatan Galilea
(Nazareth), dan di antara kedua wilayah itu terletak Samaria. Orang Yudea dan
orang Galilea merasa dirinya orang Yahudi tulen, walau pun sikap keagamaan
mereka masing-masing agak berbeda. Orang Yudea, khususnya di Yerusalem,
beranggapan bahwa diri mereka lebih patuh beragama dari pada orang Galilea yang
biasanya lebih bebas sikapnya. Tetapi baik orang Yudea mau pun orang Galilea
umumnya menganggap orang Samaria sesat karena mereka hanya mengakui kelima
kitab Musa (Taurat) sebagai kitab suci mereka. Orang Samaria juga dianggap
bukan Yahudi tulen karena tercampur dengan orang-orang dari wilayah jajahan
Asiria dulu. Inilah awal sikap tidak saling menyukai antara orang Yahudi (baik
di Yudea mau pun Galilea) dan orang Samaria.
Murid-murid
Yesus heran melihat guru mereka bercakap-cakap dengan seorang perempuan (ayat
27). Tidak dikatakan murid-murid itu heran melihat guru mereka bergaul dengan
orang Samaria. Dengan pernyataan itu murid-murid sudah mampu mengatasi
perbedaan suku dan agama serta wilayah, namun mereka belum lepas dari anggapan
bahwa tidak pantas seorang perempuan berbicara langsung dengan guru mereka
mengenai soal-soal agama.
Sebaliknya orang-orang Samaria
belum dapat menerima orang Yahudi. Tetapi dalam masyarakat mereka, sebenarnya
perempuan cukup setara kedudukannya dengan kaum laki-laki. Sebab itu, perempuan
Samaria itu dapat membawa orang-orang kota Sikhar (kaum Bapak terhormat) untuk
datang menemui Yesus. Latar belakang Yohanes 4:4-42 ini menunjukkan kepada
kita, bahwa perjumpaan Yesus dengan perempuan Samaria itu berhasil mengubah
sikap-sikap yang biasanya dipertanyakan. Perempuan Samaria itu berubah dari
curiga menjadi memiliki perhatian dan melihat Yesus sebagai nabi (ayat 19), dan
bahkan Mesias (ayat 25-26). Ia kemudian malah mengajak orang-orang sekota
menemui Yesus. Orang-orang Samaria yang lain juga berubah sikap dari hanya
sekadar ingin tahu menjadi tulus dan ramah serta meminta Yesus bersama-sama
murid-murid-Nya tinggal di tempat mereka (ayat 39-42). Bagaimana dengan murid
Yesus? Injil secara samar-samar memberi kesan bahwa mereka akhirnya berubah
pendapat mengenai perempuan.
Percakapan Yesus dengan
perempuan Samaria sungguh-sungguh telah mengubah cara pandang perempuan itu,
karena ia mendapatkan sesuatu yang tak terduga-duga sebelumnya, yang jauh lebih
berharga dari apa pun juga. Perempuan Samaria itu telah menemukan TUHAN yang
telah mentransformasikan kehidupannya. Dengan pertobatannya, seluruh arah hidup
perempuan Samaria itu diletakkan pada ALLAH sendiri, sehingga TUHAN sendirilah
yang berkarya dan memimpinnya untuk menjadi berkat bagi sesama.
Dalam ayat 7-15 Yesus menyebut-nyebut
air hidup yang bisa diberikan-Nya kepada perempuan Samaria itu. Air hidup itu
tidak akan membuat orang haus lagi. Yang meminumkannya akan menemukan dalam
batinnya mata air yang memancarkankan air tak henti-hentinya sampai ke
kehidupan yang abadi. Kita bisa belajar dari perempuan Samaria itu itu
mengalami transformasi (perubahan diri), karena dia membuka hatinya atas
kehadiran TUHAN dalam hidupnya, sehingga ia tidak segan-segan untuk mengajar
orang-orang sekotanya untuk berbagi kekayaan rohaninya dan mengenal TUHAN
sebagai Bapa.
Kenyataan hidup kita masih
jauh dari cita-cita dan harapan Kristus. Mengapa? Karena masih banyak
halangan-halangan sosial (seperti terpecahnya komunitas gereja kita, tidak
adanya keharmonisan dalam kehidupan gereja kita, hubungan kita dengan sesame
kadang masih tertutup/eksklusif meski inklusivitas telah menjadi sebuah
cita-cita kita bersama) dan halangan moral (rasa takut mengakui kelemahan diri,
puas dengan apa yang ada, tidak peka terhadap penderitaan sesama, tidak ada
rasa bersalah). Halangan semacam itu tidak bisa kita biarkan sehingga membuat
kehidupan rohani kita macet. Kita diajak untuk melihat bahwa keadaan hidup
pribadi yang tidak ideal bukan halangan untuk bertemu dengan Kristus dan
mengalami transformasi hidup demi terwujudnya Kerajaan Allah di dalam komunitas
gereja kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar