Fanatisme
Fanatisme adalah sebuah keadaan di mana
seseorang atau kelompok yang menganut sebuah paham, baik politik, agama,
kebudayaan atau apa pun saja dengan cara berlebihan (membabi buta) sehingga
berakibat destruktif, bahkan cenderung menimbulkan perseteruan dan konflik
serius bagi kelompok yang berbeda suku, ras dan agama. Dalam
konteks kehidupan sehari-hari, fanatisme juga berarti kesenangan yang
berlebihan (tergila-gila atau keranjingan). Sepenggal perjalanan hidup Chairil
Anwar adalah salah satu contohnya. Konon, dia lebih senang membeli buku sastra
daripada membeli makanan untuk bertahan hidup, atau obat untuk menyembuhkan
penyakit yang dideritanya. Lihat pula penggemar fanatik group Band Slank yang
rela membentuk komunitas, lengkap dengan pengurus dan benderanya setiap
distrik, meski tanpa bayaran. Dapat dipastikan, mereka wajib hadir jika group
kesayangannya melakukan konser di daerah mereka.
Fanatisme
dapat dijumpai di setiap lapisan masyarakat, di negeri maju, maupun di negeri
terbelakang, pada kelompok intelektual maupun pada kelompak awam, pada
masyarakat beragama maupun pada masyarakat atheis. Pertanyaan yang muncul ialah
apakah fanatisme itu merupakan sifat bawaan manusia atau karena direkayasa?
1.
Sebagian ahli ilmu jiwa mengatakan bahwa sikap fanatik itu merupakan sifat
natural atau kecenderungan hati manusia, dengan alasan bahwa pada lapisan
masyarakat manusia di manapun dapat dijumpai individu atau kelompok yang
memilki sikap fanatik. Dikatakan bahwa fanatisme itu merupakan konsekwensi
logis dari kemajemukan sosial atau heteroginitas dunia, karena sikap fanatik tidak
mungkin timbul tanpa didahului perjumpaan dua kelompok sosial.
Dalam
kemajemukan itu manusia menemukan kenyataan ada orang yang segolongan dan ada
yang berada di luar golongannya. Kemajemukan itu kemudian melahirkan
pengelompokan "in group" dan "out group". Fanatisme dalam
persepsi ini dipandang sebagai bentuk solidaritas terhadap orang-orang yang
sefaham, dan tidak menyukai kepada orang yang berbeda. Ketidaksukaan itu tidak
berdasar argumen logis, tetapi sekedar tidak suka kepada apa yang tidak disukai
(dislike of the unlike).
Sikap fanatik itu menyerupai bias dimana seseorang tidak dapat lagi melihat
masalah secara jernih dan logis, disebabkan karena adanya kerusakan dalam
sistem persepsi (distorsion
of cognition).
Jika
ditelusuri akar permasalahannya, fanatik dalam arti cinta buta kepada yang
disukai dan antipati kepada yang tidak disukai dapat dihubungkan dengan
perasaan cinta diri yang berlebihan (narcisisme),
yakni bermula dari kagum diri, kemudian membanggakan kelebihan yang ada pada
dirinya atau kelompoknya, dan selanjutnya pada tingkatan tertentu dapat
berkembang menjadi rasa tidak suka, kemudian menjadi benci kepada orang lain,
atau orang yang berbeda dengan mereka. Sifat ini merupakan perwujudan dari
egoisme yang sempit.
2.
Pendapat kedua mengatakan bahwa fanatisme bukan sifat natural manusia, tetapi
merupakan hal yang dapat direkayasa. Alasan dari pendapat ini ialah bahwa
anak-anak, dimanapun dapat bergaul akrab dengan sesama anak-anak, tanpa
membedakan warna kulit ataupun agama. Anak-anak dari berbagai jenis bangsa
dapat bergaul akrab secara alami sebelum ditanamkan suatu pandangan oleh orang
tuanya atau masyarakatnya. Seandainya fanatik itu merupakan bawaan manusia,
pasti secara serempak dapat dijumpai gejala fanatik di sembarang tempat dan
disembarang waktu. Nyatanya fanatisme itu muncul secara berserakan dan
berbeda-beda sebabnya.
3.
Teori lain menyebutkan bahwa fanatisme berakar dari tabiat agressi seperti yang
dimaksud oleh Freud ketika ia menyebut instink Eros dan Tanatos.
4.
Ada teori lain yang lebih masuk akal yaitu bahwa fanatisme itu berakar pada
pengalaman hidup secara aktual. Pengalaman kegagalan dan frustrasi terutama
pada masa kanak-kanak dapat menumbuhkan tingkat emosi yang menyerupai dendam
dan agressi kepada kesuksesan, dan kesuksesan itu kemudian dipersonifikasi
menjadi orang lain yang sukses. Seseorang yang selalu gagal terkadang merasa
tidak disukai oleh orang lain yang sukses. Perasaan itu kemudian berkembang
menjadi merasa terancam oleh orang sukses yang akan menghancurkan dirinya.
Munculnya kelompok ultra ektrim dalam suatu masyarakat biasanya berawal dari
terpinggirkannya peran sekelompok orang dalam sistem sosial (ekonomi dan
politik) masyarakat dimana orang-orang itu tinggal.
Dari
empat teori tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa untuk mengurai perilaku
fanatik seseorang/sekelompok orang, tidak cukup dengan menggunakan satu teori ,
karena fanatik bisa disebabkan oleh banyak faktor, bukan oleh satu faktor saja.
Muncul¬nya perilaku fanatik pada seseorang atau sekelompok orang di suatu
tempat atau di suatu masa. boleh jadi;
(a)
merupakan akibat logis dari sistem budaya lokal, tetapi boleh jadi,
(b)
merupakan perwujudan dari motif pemenuhan diri kebutuhan kejiwaan individu/sosial
yang telah lama tidak terpenuhi.
Solusi Terhadap Perilaku Fanatisme
Karena perilaku fanatik mempunyai akar yang
berbeda-beda, maka cara penyembuhannya juga berbeda-beda.
Perilaku fanatik yang disebabkan oleh
masalah ketimpangan ekonomi, pengobatannya harus menyentuh masalah ekonomi, dan
perilaku fanatik yang disebabkan oleh perasaan tertekan, terpojok dan terancam,
maka pengobatannya juga dengan menghilangkan sebab-sebab timbulnya perasaan
itu. Pada akhirnya, pelaksanaan hukum dan kebijaksanaan ekonomi yang memenuhi
tuntutan rasa keadilan masyarakat secara alamiah akan melunturkan sikap fanatik
pada mereka yang selama ini merasa teraniaya dan terancam. Kasus kekerasan
belakangan ini terjadi di ibukota harus dilihat dengan perspektif ini.
Peran dan Fungsi Gereja
Gereja adalah suatu komunitas iman yang berjuang untuk menjadi rumah pembebasan bagi mereka yang
marjinal, yang dipinggirkan, dan lemah, mereka yang dipandang rendah dan dihina
oleh komunitasnya? Bukankah Gereja adalah komunitas yang terbuka dan menerima
siapa saja dari semua ras, umur, suku bangsa, gender, jenis kelamin, preferensi
seksual, semua makhluk dan ciptaan untuk disembuhkan dan hidup di dalam
keadilan Allah.
Semua ini mengingatkan kepada
kita, kesalahpahaman dan ketidakmampuan kita (baik umat Kristen
mau pun umat Islam) untuk menghadapi perbedaan-perbedaan, dan kecenderungan
untuk “mengontrol” merupakan stereotype
dan prasangka yang tidak dapat
disangkal. Untuk mencari suatu bentuk kehidupan masyarakat yang dapat
mendatangkan kesejahteraan dan perdamaian penuh, umat Kristen dan Islam perlu
bertemu untuk menyelami masalah-masalah yang memisahkan umat, sehingga
menyebabkan ketidakrukunan dan konflik yang lebih dalam lagi. Karena itu dialog
dilakukan, atas dasar keyakinan bahwa konfrontasi dan konflik tidak bisa
menyelesaikan masalah, tetapi hanya akan lebih mengasingkan umat yang satu dari
yang lainnya. Dialog adalah usaha membuat orang-orang merasa nyaman berada di
rumah “kemajemukan,” membangun rasa saling menghargai dalam keanekaragaman, dan
mengusahakan berbagai hubungan yang dapat mempersatukan mereka saat seluruh
umat terancam oleh kekuatan-kekuatan anarkhis yang memisahkan mereka.
Kerukunan
hidup beragama dalam masyarakat Indonesia yang majemuk adalah suatu fenomena
yang indah, karena itu adalah tidak beralasan jika agama (baik
Kristen atau pun Islam) digunakan sebagai argumen utama dalam menjastifikasikan
tindak kekerasan yang terjadi. Pada dasarnya semua agama, apakah itu Islam,
Hindu, Budha, Kristen mau pun yang lainnya, “hadir ke dunia” justru untuk
mengatasi apa yang kita pahami sebagai penderitaan manusia dan lingkungan dan
meningkatkan kesejahteraan manusia dalam hubungan kemanusiaan. Oleh karena itu
ketika umat berbagai agama mencari suatu communicatio
in sacris yang multi iman – saling berbagi pengalaman religius dan
berpartisipasi dalam setiap ibadah dan meditasi orang lain, maka mereka juga
bisa berbagi pengalaman dan bahasa religius mereka dalam praksis konkret dari
spiritualitas global dan upaya menegakkan keadilan bagi manusia dan lingkungan.
Program Workshop
“Islam dan Pluralisme” yang diselenggarakan oleh The Wahid Institute
bekerja sama dengan Crisis Centre
Gereja Kristen Indonesia (CC GKI) selama bulan Februari dan Maret 2008, yang
diikuti oleh 40 pemuda Kristen yang berasal dari berbagai Gereja (GKI, GPIB,
HKBP, Gereja Katolik) di Pesantren Cipasung Tasikmalaya, Pesantren al-Mizan Majalengka (Jawa Barat)
dan Pesantren Budaya Ilmu Giri, Imogiri (Bantul, DI Yogyakarta) misalnya, dapat
menjadi sebuah inspirasi bagi penyelesaian problem-problem kemanusiaan melalui
jalur agama. Melalui kegiatan semacam itu, terbuka kemungkinan untuk membangun
perspektif dan paradigma yang baru, bahwa kerukunan hidup beragama di Indonesia
merupakan suatu fenomena yang indah. Melalu perjumpaan secara interakstif, setiap komunitas agama dapat memahami bahwa
agama tidak hanya mengurusi ritus peribadatan, tetapi juga memiliki perhatian
terhadap soal-soal kemasyarakatan. (Suara
Pembaruan, 8 April 2008)
Dialog antar agama
yang dilaksanakan dalam bentuk komunitas basis manusiawi (base human communities) seperti ini, dapat menjadi suatu sarana positif dalam menanggapi jeritan yang
memohon keadilan dan kesejahteraan, tetapi juga sebagai satu cara mencegah penyalahgunaan agama demi
tercapainya kepentingan tertentu. Bukankah semua agama dihadirkan untuk
menciptakan kedamaian dan ketentraman, untuk membimbing manusia ke dalam jalan
hidup yang luhur?
Berbicara dari
dalam konteks multi-agama dan penderitaan di India, Felix Wilfred menggambarkan hal berbagi dan komunikasi multi-agama
yang memberikan sumbangan bagi identitas dan kekuatan dari kelompok-kelompok
ini sebagai berikut :
Pengalaman religius umat berbagai agama akan
memperkuat ikatan persatuan serta memungkinkan diadakannya rencana-rencana
konkret untuk mentransformasi masyarakat
... Komunitas semacam ini tidak bisa dianggap semata-mata eksperimental atau
luar biasa; mereka harus menyebarkan sehingga menjadi hal biasa di Asia.
Dengan demikian kesediaan untuk berbagi dan masuk ke
dalam pengalaman inti setiap komunitas agama dapat mereduksikan sakit hati dan
bahkan dendam collective di masa lalu, dan mentransformasikannya ke dalam babak
sejarah baru guna membangun masa depan yang rukun dan damai. Sebagai contoh,
Forum Saresehan Ulama dan Pendeta yang diprakarsai oleh Lembaga Percik,
Salatiga di Wisma Santri Edi Mancoro,
Gedangan pada tanggal 26-27 Juni 2002.
Di dalam forum yang mempertemukan para pimpinan
pesantren dan para pimpinan gereja (GKJ) tersebut dibangun hubungan kritis dan
transformatif, dengan membahas issue-issue Islamisasi dan Kristenisasi dan
sekat-sekat yang dibangun oleh kedua belah pihak komunitas agama. Dalam
kesempatan selanjutnya, mereka menganalisis luka dan sakit hati yang disebabkan
oleh sejarah masa lalu. Muncul kesadaran yang baru, perlunya menghapus dendam
yang tersimpan dalam “collective memory”
masing-masing komunitas agama. Ternyata dengan masuk ke dalam pengalaman inti
tradisi agama masing-masing, kedua belah pihak dapat mewujudkan rekonsiliasi
atau menghilangkan sakit hati yang lahir oleh sejarah dan membangun kesadaran
dan pengertian yang baru, bahwa misi beragama adalah menjadikan orang lebih
baik dan manusiawi, dan bukan memindahkan orang ke dalam agama lain.
Menurut Paul F. Knitter, dalam forum atau pertemuan
semacam ini, komunitas antar agama dapat berkumpul untuk mengenal dan
menganalisis situasi yang diakibatkan oleh eksploitasi dan marjinalisasi
sejarah masa lalu, kemudian menemukan jawaban tentang bagaimana semua ini dapat
dibawa ke dalam suatu percakapan yang
kritis dan memberi kehidupan, dengan berbagai keyakinan keagamaan yang
terwakili dalam kelompok agama. Di dalam fungsi praktisnya, komunitas basis
manusiawi ini memungkinkan adanya keseimbangan
disamping ada ikatan personal erat yang tumbuh karena praksis bersama.
Semua ini bisa menjadi diagnosis dan obat
untuk mencegah pemanfaatan agama sebagai alat kebencian ketimbang sebagai alat
kerja sama. Obat mujarab untuk
mencegah penyalahgunaan satu agama tertentu secara eksploitatif adalah menghimbau para penganut agama untuk bergabung
dalam satu komunitas wacana dan berkolaborasi
dengan umat beragama lainnya.
Apakah upaya untuk membangun hubungan yang kritis dan
transformatif itu merupakan sesuatu yang mustahil bagi Gereja? Sikap
baru dari Gereja Roma Katolik, melalui Konsili Vatican II (1962) yang termuat
dalam Dekrit Nostra Aetate, sudah
lebih dari 40 tahun. Selanjutnya, sejarah dialog Kristen dan Islam tampaknya
telah memasuki sebuah babak yang baru dalam Pontifical
Council for Interreligious Dialog –
PCID (Forum Katolik-Muslim). Forum dialog tersebut telah menghadirkan 29 tokoh
dan cendekiawan Katolik dan Islam dari seluruh dunia di Vatican pada tanggal
4-6 Nopember 2008 yang lalu. Ini merupakan langkah konkret pertama yang dilakukan atas inisiatif Paus
Benediktus ke XVI, setelah menerima surat terbuka yang ditujukan kepada Paus
dan sejumlah tokoh Kristen dunia yang ditandatangani oleh 138 cendekiawan
Muslim. Surat terbuka itu dibuat setahun
setelah Pidato Regensburg, untuk berdialog secara baru atas dasar hukum kasih
akan Tuhan dan sesama (Love of God and
Love of Neighbour) yang dikenal
sebagai hukum utama dalam nuansa dua sisi dari sebuah medali.
Refleksi
teologis tentang makna kasih dalam dua perspektif yang berbeda (agama Kristen
dan Islam) yang disuguhkan dalam Forum tersebut, membangun kesadaran bahwa
kasih adalah sebuah kebajikan yang berkarakter universal dalam memerangi segala
bentuk egoisme yang terekpresi melalui berbagai bentuk kekerasan dan
pelanggaran HAM. Kasih bukan hanya sebuah kata. Ia adalah kata dan tindakan
sekaligus. Bagaimana orang Kristen dan Islam berusaha untuk mentransformasi
“kasih” sebagai kata dalam tindakan nyata, agar bisa diterima dan dipahami oleh
orang-orang di luar komunitas tradisi agama masing-masing. Selain “kasih”
persoalan lain yang dibahas adalah mengenai tema Human Dignity (Martabat Manusia) dan Mutual Respect (Saling menghormati). Kedua agama mengakui asal usul
Ilahi derajat manusia yang dianugerahkan oleh Allah sendiri. Di dalam bingkai
kasihlah manusia mampu melihat luhurnya Human
Dignity dan mampu mengembangkan serta mempromosikan Mutual Respect.
Din
Syamsuddin (Ketua Umum PP Muhammadiyah) menegaskan dua hal penting untuk
membantu kedua pemeluk agama agar menjernihkan pemahaman akan esensi agama,
“Agama pada hakikatnya berasal dari Allah, namun bukan untuk Allah, melainkan
untuk manusia.” Sebagai konsekuensinya, orang Katolik dan Islam harus
bersama-sama mencari dasar (common ground)
untuk memerangi musuh bersama : persoalan sosial-politik, ekologi, berbagai
pelanggaran HAM dan bukan mencari musuh di antara pemeluk agama lain. Forum
Dialog tersebut menghasilkan komunike antara lain:
- Kedua pihak bertekad mengembangkan budaya saling memahami dan menghormati.
- Bekerjasama membimbing pemeluk agama masing-masing menghadapi arus sekularisasi dengan mengedepankan nilai-nilai keagamaan.
- Menyelamatkan generasi muda dari dekadensi moral.
Di
dalam Forum Dialog tersebut Paus Benediktus XVI mengajak umat Islam dan umat
Katolik untuk mencintai Allah dan mencintai sesama, sebagai ajaran sentral
kedua agama, kemudian menterjemahkannya ke dalam bentuk kerjasama. Kerjasama
akan lebih erat lagi untuk menghadapi berbagai ancaman peradaban, seperti
kemiskinan, kebodohan dan kerusakan lingkungan hidup. Forum pertama
Islam-Kristen di Vatican ini bermakna simbolis bagi kerukunan dan kerjasama di
antara kedua belah pihak, khususnya di Indonesia yang masih banyak kendala dan
hambatan.
Upaya
untuk membangun hubungan yang kritis dan transformatif semacam ini dapat menjadi
inspirasi bagi Gereja-gereja di Indonesia dalam mengembangkan kesadaran dan pendekatan
atas kemajemukan agama-agama dan budaya-budaya di dalam konteks Indonesia.