Keterasingan menurut Anthony de Mello adalah bencana terbesar
zaman ini. Banyak anak merasa kesepian dan tidak menemukan teman. Para
remaja mengisi kekosongan kasih dan perhatian orangtua dengan hangout
dan berkumpul di mall-mall. Keluarga-keluarga muda tidak kenal
tetangga sebelah mereka. Laki-laki dan perempuan bekerja di kantor, dan
duduk di balik meja logam. Mereka menikmati kopi instan dari
gelas-gelas karton dan makan siang nasi kotak. Mereka sering bertanya
di dalam hati, benarkah mereka memberi sumbangan bagi kehidupan ini.
Para pensiunan merasa tidak berguna dan ditolak. Para manula
disingkirkan ke panti-panti jompo. Satu-satunya hiburan mereka adalah
kunjungan anak dan cucu. Sayangnya, mereka hanya mampu mengalami
sesekali saja. Banyakk orang yang mati dalam kesendirian telah menjadi
saksi bisu keterasingan yang mencengkram dunia kita. Bukankah kita
sering merasa takut, terisolasi dan tidak berdaya? Bukankah kecemasan
yang melumpuhkan kerapkali menguasai hidup kita? Bukankah kepercayaan
diri dan kebebasan terasa semakin menjauh? Kita merasa hampa dan
sendiri, karena harapan dan sukacita telah meninggalkan kita.
Sekonyong-konyong kita sadar bahwa kita telah menjadi orang asing bagi
diri kita. Kita mulai membangun tembok yang memecah-belah diri kita
karena iblis, "berjalan keliling seperti singa yang mengaum dan mencari
mangsa yang dapat ditelannya" (1 Petrus 5:8-9).
Mungkin kita rajin berdoa dan terlibat dalam semua bentuk pelayanan
untuk menyenangkan hati Tuhan, sebagai bagian dari perlawanan. Namun
semuanya itu tidak mampu menghapus keterasingan dan ketakutan kita.
Kita terus menerus mendengar banyak kejahatan dan diingatkan akan
bahaya di sekeliling kita. Akibatnya, kita semakin kehilangan
kepercayaan terhadap sesama. Hidup terasa seperti ada dimwilayah musuh,
dan kita seperti dikelilingi oleh orang-orang yang mengancam hidup
kita. Satu hal yang membesarkan hati kita, bila Yesus menawarkan
pengampunan damai-Nya untuk membongkar belenggu keterasingan dan rasa
takut yang mencengkram kita. Yesus menawarkan pengampunan bagi mereka
yang membunuh-Nya. Bahkan Dia menumpahkan darah-Nya di kayu salib, dan
Ia mengutus para mutid-Nya ke dunia untuk membawa misi pendamaian.
Pengampunan dan pendamaian telah mengalahkan ketakutan. Di mana ada
pengampunan, di situ tatanan hidup baru ditanamkan. Ini menjadi sangat
jelas dalam salah satu penampakan Yesus. Saat para murid berkumpul di
dalam ruangan yang terkunci karena ketakutan, Yesus datang dan berdiri
di tengah-tengah mereka dengan bekata, "Damai sejahtera bagi kamu! Sama
seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu."
Sesudah bekata demikian, Ia menghembusi mereka dan bekata, " Terimalah
Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosamu diampuni, dan
jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosaya tetap ada"
(Yohanes 20:19-23).
Pengampunan dosa menjadi tanda khas bagi komunitas Kristiani.
Kesediaan untuk saling mengampuni adalah tanda kehadiran pengampunan
Allah. Ini dinyatakan sangat jelas oleh Yesus sendiri, "Jikalau kamu
mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di surga akan mengampuni kamu
juga" (Matius 6:14). Pengampunan itu bukan suatu peristiwa yang terjadi
hanya sekali. Namun, pengampunan yang berlangsung terus menerus
merupakan ciri kehidupan sehari-hari seorang Kristen. Ketika Petrus
bertanya kepada Yesus, " Tuhan sampai berapa kali aku harus mengampuni
saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?" Yesus
berkata kepadanya, "Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh
kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali" (Matius 18:21-22).
Nah, apa yang harus kita lakukan untuk mendapat pengampunan?
Jawabannya adalah pertobatan, yang berarti kerendahan hati untuk
mengakui keberdosaan kita. Di dalam Perjanjian Baru, kita berkali-kali
mendengar kata "Bertobatlah!!" Kata-kata pertama yang kita dengar dari
Yesus adalah "Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!" (Makus 1:15).
Pengampunan dosa adalah bentuk konkret dari pertobatan. Yesus
pertama-tama meminta agar kita mengakui kebutuhan kita akan
pengampunan. Dengan satu ironi Dia mengatakan, "Aku datang bukan untuk
memanggil orang-orang saleh, melainkan orang-orang berdosa." Hanya
orang yang menyadari diri sebagai pendosa, dapat menerima anugerah
pengampunan Allah. Menjadi jelas bagi kita bahwa saling mengakui dan
mengampuni adalah tanda hidup bersama sebagai umat Kristiani. Di dalam
proses pengakuan dan pengampunan yang terus menerus, kita dibebaskan
dari keterasingan. Kita mendapat cara hidup baru, "tanpa senjata dan
permusuhan." Umat Kristiani menjadi pembawa damai bukan ketika
menerapkan ketrampilan khusus dalam mendamaikan seseorang dengan yang
lain, melainkan keitika mereka menghayati dan memberi kesaksian akan
pengampunan Allah yang tak terbatas. Komunitas muncul ketika kita
berani mengalahkan keakutan dan saling mengakui bahwa kita masih sering
menjadi milik dunia ini. Keitika hal itu terjadi, cahaya pengampunan
Tuhan dapat bersinar cerah dan kedamaian sejati semakin mekar.
Pengalaman akan pengampunan Allah itu dapat dihayati di dalam
kehidupan setiap orang, di antara pasangan suami-isteri, di antara
teman-teman dan di dalam rumah-rumah peribadatan. Pengampunan juga
dapat terjadi di antara bangsa dan negara. Dengan demikian, garis
pemisah satu dengan yang lain makin menghilang. Perbedaan agama dan
etnis, tidak lagi menjadi penghalang bagi hidup komunitas yang sejati.
Setiap kali terjadi pengampunan, kehidupan bekomunitas semakin berakar.
Sebab itu tidak ada jalan yang lebih baik untuk menguji komitmen kita
sebagai pembawa damai selain mencermati mutu hidup berkomunitas kita.
Mungkin kita akan menemukan kenyataan, bahwa kita sama sekali tidak
menjalani hidup komunitas. Pengakuan dan pengampunan adalah dua pilar
rohani yang menopang komunitas Kristiani. Kedua pilar tersebut
merupakan jalan yang dikaruniakan oleh Tuhan untuk menerobos
tembok-tembok ketakutan yang memisahkan kita satu sama lain.
Refleksi:
Hidup dalam komunitas yang saling mengakui dan mengampuni akan mengubah kehidupan kita sebagai pembawa damai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar