KI HAJAR DEWANTARA, PENDIDIKAN SEBAGAI SEBUAH PROSES PEMBUDAYAAN
Oleh: Maryam Kurniawati
"Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani." Seorang bocah Sekolah Dasar (SD) mengamati kata-kata itu terpampang tegak di depan kantor Kementerian Pendidikan Nasional, Kuningan, Jakarta. Cukup lama ia memandang kalimat besar itu, semakin pusing pula kepala dibuatnya. Ketika otaknya hampir saja buntu, ia lalu menoleh ke guru yang berada disampingnya.
“Bu Guru tahu artinya?” ujar bocah itu polos.
Sang guru
bagai disambar petir mendengar muridnya bertanya seperti itu. Ia bukan kaget
karena anak sekecil itu sudah bertanya tentang filosofi pendidikan. Ia juga
bukan kaget karena peserta didiknya memang terkenal kritis kepada hal-hal baru
yang ditemukannya. Tapi ia kaget karena ia sendiri juga tidak tahu apa arti "Ing Ngarso Sung Tulodo,
Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani," meski telah 20
tahun menjadi guru.
“Eeeeee....
yang Ibu tahu kalimat itu sudah dari sananya, Nak. Ibu cuma tahunya begitu.”
Ujar sang guru sedikit excuse, kalau tidak
mau disebut malu....
“Terus buat apa kalimat ini ditempelkan di sini Bu, (Kantor
Kemendiknas, red)?” kejar bocah sambil memukul papan besar itu. Suasana
menjadi rumit. Ia baru sadar pertanyaan bocah SD lebih sulit ketimbang profesor
sekalipun. Keringat dingin sang guru
mulai bercucuran. Ia mulai mencabik-cabil tisu yang ada di tangannya...
Dialog sang guru dan bocah tadi
sejatinya hanya representasi berbagai motto yang mencekoki pendidik dan peserta didik kita dari kecil sampai
dewasa, tanpa memahami apa arti, makna dan sejarahnya.
Ing Ngarso Sung Tulodo: Ing (di) Ngarsa (depan) Sung (menjadi) Tulodo (contoh/panutan),
Ing Madyo Mangun Karso: Ing (di)
Madya (tengah) Mangun (membangun) Karso (penjalar/penghubung), Tut Wuri Handayani: Tut (di) Wuri (dibelakang) Handayani (mendorong/dorongan). Bila
digabungkan maknanya adalah "Di depan Sebagai Panutan/Teladan, Di Tengah
Menjadi Penghubung/Membangun Keseimbangan. Dibelakang Memberikan Dorongan." Kalimat ini dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional Indonesia. Salah satu pernyataan Ki Hajar Dewantara yang sangat terkenal adalah,
"Berilah kemerdekaan kepada anak-anak kita, buka kemerdekaan yang leluasa, tetapi yang terbatas oleh tuntutan-tuntutan kodrat alam yang nyata, dan menuju ke arahkebudayaan, yaitu keluhuran dan kehalusan hidup manusia. Kemudian agar kebudayaan itu dapat menyelamatkan dan membahagiakan hidup dan penghidupan diri dan masayarakat, maka perlulah dipakai dasar kebangsaan, tetapi dasar tersebut jangan sekali-kali melanggar atau bertentangan dengan dasar yang lebih luas, yaitu dasar kemanusiaan" (Ki Hajar Dewantara)
Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara (selanjutnya KHD) merupakan
sebuah proses untuk mengembangkan kebudayaan, untuk menumbuh-kembangkan daya
cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif) serta
nilai-nilai luhur manusia dalam kehidupan masyarakat. Menurut KHD, pendidikan
jika hanya mengutamakan aspek intelektual (kognirif) saja, dapat dipastikan
akan menjauhkan manusia dari masyarakatnya. Oleh karena itu pengembangan jati
diri manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya (baik cita, karsa dan
karya) secara seimbang. Pendidikan hendaknya menghasilkan pribadi-pribadi yang
lebih manusiawi, berguna dan berpengaruh di masyarakatnya, yang
bertanggungjawab atas hidup sendiri dan orang lain, serta berwatak luhur dan
mulia.
Sekarang ini,
sebagian besar manusia dipengaruhi perilakunya oleh pesatnya perkembangan ilmu
pengetahuan dan tehnologi. Banyak orang terbuai dengan kemajuan tehnologi,
sehingga melupakan aspek-aspek lain dalam kehidupannya, seperti pentingnya
membangun relasi dengan orang lain, perlunya melakukan aktivitas sosial di
dalam masyarakat, pentingnya menghargai sesama dan lain sebagainya. Keberadaan
seseorang misalnya, seringkali diukur dari "to have" (apa saja yang dimilikinya, secara materi), dan "to do" (apa yang telah
berhasil/tidak berhasil dilakukannya) dari pada keberadaan atau jati dirinya
("to be" atau "being"nya). Jika keadaan ini
berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi.
Kekhasan manusia,
yang membedakannya dengan makhluk lainnya, menurut KHD adalah bahwa manusia itu
berbudaya, sedangkan makhluk lain tidak berbudaya. Sebab itu salah satu cara
effektif untuk menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan mengembangkan
kebudayaannya. Persoalannya, budaya dalam masyarakat Indonesia itu
berbeda-beda. Dalam kehidupan masyarakat Indonesia berlaku pepatah,
"Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya." Manusia akam benar-benar menjadi manusia kalau ia hidup dalam budayanya sendiri ditambah dengan budaya masyarakat yang melingkupinya. Sebab itu dalam konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara, ada 2 hal yang harus dibedakan yaitu sistem “Pengajaran” dan “Pendidikan” yang harus bersinergis satu sama lain. Pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan). Sedangkan pendidikan lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir, mengambil keputusan, martabat, dan mentalitas).
"Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya." Manusia akam benar-benar menjadi manusia kalau ia hidup dalam budayanya sendiri ditambah dengan budaya masyarakat yang melingkupinya. Sebab itu dalam konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara, ada 2 hal yang harus dibedakan yaitu sistem “Pengajaran” dan “Pendidikan” yang harus bersinergis satu sama lain. Pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan). Sedangkan pendidikan lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir, mengambil keputusan, martabat, dan mentalitas).
Konsep-Konsep Dasar Pengajaran KHD
1.
a. Sistem Among
Metode
yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode
pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care
and dedication based on love). Sistem Among berasal dari bahasa Jawa yaitu mong ataumomong, yang artinya mengasuh anak.
Para guru disebut pamong yang bertugas untuk menjaga,
membina dan mendidik anak dengan kasih sayang.
Di
dalam sikap Momong, Among, dan Ngemong, terkandung nilai yang sangat mendasar, yaitu pendidikan tidak
memaksa namun bukan berarti membiarkan anak berkembang bebas tanpa arah.
b. Tri Sakti Jiwa
Salah
satu konsep budaya KHD dikenal dengan ”Konsep Trisakti Jiwa” yang terdiri
dari cipta, rasa, dan karsa. Maksudnya, untuk melaksanakan segala sesuatu maka
harus ada kombinasi yang sinergis antara hasil olah pikir, hasil olah rasa,
serta motivasi yang kuat di dalam dirinya.
(Disarikan dari berbagai sumber)