Bacaan Alkitab: Matius 28:16-20
Pada hari Jumat malam, di Trans TV saya melihat seorang bocah yang bernama Aam, dengan Ibunya, Siami. Mereka dimarah-marahi dan diusir oleh warga sekampungnya, gara-gara melaporkan praktik2 curang dalam Ujian Nasional SDN Gadel 2, Surabaya. Menurut kisah Aam, ketika UN, ia dipaksa oleh gurunya untuk memberikan contekan kepada teman-temannya, sebagai balas budi kepada sang guru. Ia menuturkan kejadian itu kepada Ibunya dan mereka mengadukan praktik curang UN di SDN Gadel 2 itu kepada Dinas Pendidikan, Surabaya dan mengusulkan Ujian ulang. Tidak dinyana, hal itu membuat warga di kampungnya marah. Ironisnya, Kemendisnas juga membantah laporan praktik kecurangan tersebut. Sungguh menyedihkan. Ketika ditanya apa yang hendak dilakukannya, Siami berharap agar masalah yang menimpa mereka segerai selesai. Hebatnya, ia tidak menyalahkan para tetangga yang mengusir mereka. Kata Siami, "Mungkin saat ini mereka belum memahami apa yang saya lakukan itu benar adanya. Tapi saya yakin, suatu saat mereka bisa paham arti sebuah kejujuran."
Sudah lama kita mendengar usul agar Ujian Nasional (Unas) dihapuskan. Karena dalam praktiknya justru menciptakan banyak penyimpangan dan praktik-praktik curang. Ada apa sebenarnya dengan negeri ini? Kejujuran dan kerja keras, seolah-olah tidak mendapat tempat. Sebaliknya praktik-praktik curang dan ketidakjujuran malah diagungkan! Tidak heran bila, banyak orang semakin apatis melihat segala bentuk kecurangan dan tingkah polah para pemangku jabatan di negeri ini. Buah pendidikan dan budaya yang mementingkan kerja gampangan, hanya akan menghasilkan orang-orang yang permisif. Kasus korupsi merebak di mana-mana, seolah tiada akhir. Para penegak hukum semakin tidak punya wibawa dan keinginan untuk menunaikan tugas dengan sungguh-sungguh, jujur dan setia semakin sirna. Konon zaman edan, nek ora edan, ora keduman. Kebagian.
Hal ini sangat berbeda dengan Zhung Rongji ketika dilantik menjadi Perdana Menteri China tahun 1997. Ia mengatakan, “Beri saya 100 peti mati, 99 akan saya kirim untu koruptor, dan satu lagi untuk saya jika saya pun melakukan hal yang itu.”
Begitulah kenyataan hidup yang kita hadapi saat ini. Banyak orang yang perilakunya ingin yang serba gampang saja. Ingin hasil ujian bagus, tanpa harus kerja keras dan belajar. Nyontek, dan beli soal serta jawabannya menjadi sebuah keharusan. Nyogok polisi ketika ditilang, dan cari pengacara ketika punya masalah, jauh lebih mudah daripada harus mengikuti persidangan. Ingin menikmati hidup mewah? Ngapain kerja keras? Kalau ada kesempatan untuk meraup uang perusahaan. Kenapa tidak? Toh semua orang melakukannya?! Bekerja keras kalau bisa dihindari. Yang penting, punya uang yang banyak, investasi rumah, jalan-jalan ke luar negeri dan nikmati saja hidup. Muncul pertanyaan, “Mengapa semua orang mempunyai kecenderungan seperti itu?” Jawabannya satu, yakni karena perspektif manusia terhadap kerja itu negatif.
Bekerja, dipahami sebagai kutukan Tuhan. Setelah Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa, Allah memberi hukuman kepada mereka. Sejak saat itu Adam harus bersusah payah mencari rejeki dengan mengolah tanah seumur hidupnya (Kejadian 3:17). Sampai hari ini, masih banyak orang yang memahami bahwa pekerjaan yang dilakukannya adalah sebuah beban yang berat (dan bukan anugerah). Pagi siang dan malam mereka harus bekerja keras untuk membanting tulang dan mencari nafkah. Nah, jika pandangan mereka terhadap pekerjaan atau bekerja seperti itu, bagaimana mereka dapat bekerja dengan sukacita?
Padahal menurut Alkitab, bekerja adalah hakikat manusia karena Allah Sang Pekerja Agung itu telah menciptakan manusia segambar dengan Dia (Kej 1:26-27). Bekerja merupakan homo faber atau hakikat kemanusiaan, karena manusia adalah the maker (sang pembuat). Dengan otak dan tangannya, manusia membuat perkakas kerja (ilmu pengetahuan dan tehnologi). Lalu dengan perkakas itu manusia mengubah hidupnya, dan mengubah dunia sekaligus. Oleh karena itu, manusia yang tidak bekerja, bukanlah insan yang segambar dan srupa dengan Allah. Jadi, bila manusia ingin membuktikan dirinya sebagai ciptaan Allah yang serupa dan segambar dengan Dia, maka hal itu hanya dapat dilakukannya dengan bekerja sebaik mungkin mengikuti teladan-Nya (baik cara, siklus maupun bentuknya, Kel. 20:9, 11).
Pada hakikatnya manusia adalah mitra kerja Allah. Ketika Allah menciptakan manusia, Ia tidak sekedar mencipta, tapi punya tujuan, yaitu supaya manusia menjadi rekan kerja-Nya, berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara (Kej. 1:26). Bukan itu saja. Alkitab juga menyatakan bahwa Allah masih terus bekerja dan berkarya bagi umat-Nya. Sesudah kejatuhan manusia ke dalam dosa, Ia terus bekerja dengan menebus dan menyelamatkan manusia serta seluruh ciptaan dari kuasa dan efek dosa. Ia terus berkarya mewujudkan karya penyelamatan-Nya sampai akhir zaman (Mat. 28:20). Dan manusia diberi mandat dan kepercayaan untuk menjadi kawan sekerja-Nya (1 Kor. 3:9).
Selanjutnya, Allah tidak membeda-bedakan pekerjaan. Allah telah berkarya dengan mengerjakan berbagai pekerjaan, dan itu merupakan teladan bagi manusia. Pekerjaan Allah yang demikian beragam (mencipta, memelihara, menjaga, memulihkan, menyembuhkkan dst) adalah bukti penting bahwa Allah tidak membeda-bedakan manusia menurut pekerjaan-Nya. Bekerja sebagai pengusaha, pejabat, karyawan, guru, pengacara, pendeta dan lain sebagainya, seharusnya dapat meyakinkan kita, bahwa apapun pekerjaan kita, pekerjaan kita adalah pekerjaan Allah. Dengan demikian, semua pekerjaan harus kita lakukan untuk kemuliaan Allah dan demi perluasan Kerajaan Allah. Dalam Kolose 3:23 Rasul Paulus berkata, “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia
Kesempurnaan karya Allah dalam Kristus adalah teladan kita. Kristus dengan ketaatan-Nya yang aktif, secara sempurna menyelesaikan pekerjaan yang diberikan Bapa kepada-Nya (Yoh. 17:4). Puncak dari karya-Nya adalah pengorbanan-Nya di kayu salib, kebangkitan-Nya dari kematian, kenaikan-Nya ke sorga, dan penebusan umat-Nya serta kedatangan-Nya kelak untuk kedua kalinya, menyempurnakan pembangunan Kerajaan Allah.
Allah dan manusia bekerja di dunia. Gambaran Allah sebagai Pekerja menunjukkan kepada kita tentang lokus pekerjaan manusia. Dalam kitab Kejadian, setelah Allah menyelesaikan karya kreatif-Nya. Kejadian 1:31 berkata, “Maka Allah melihat segala yang dijadikanNya itu, sungguh amat baik.” Allah melihat dunia ini baik dan Ia menciptakannya dengan baik. Maka jika dalam beberapa warisan tradisi, dunia material telah dipandang sebagai buruk dan kotor, yang selanjutnya menghasilkan pandangan negatif atas dunia fisik dan pekerjaan yang bersifat fisik, kini kita jelas melihat bahwa Allah sendiri telah menciptakan dunia ini dengan baik, sehingga seharusnya tidak ada dikotomi atau pemisahan antara pekerjaan duniawi dan rohani. Saudara2, Alkitab menunjukkan kepada kita bahwa Allah bekerja dengan spektrum pekerjaan yang luas. Mulai dari yang kita kenal sebagai pekerjaan kerah putih: merancang, mencipta, dan berstrategi, hingga pekerjaan kerah biru: berkebun, merawat tumbuhan, dan memelihara hewan. Bagi Allah tidak ada dikotomi tentang pekerjaan sekuler dan sakral, pekerjaan otot dan pekerjaan otak, kerah biru atau putih, sebab Alkitab mengisahkan: Allah menekuni semua hal itu. Sampai hari ini Allah yang terus berkarya melibatkan manusia dalam pekerjaan-Nya itu. Melalui Roh Kudus, Allah menginginkan setiap kita saat ini untuk terlibat aktif dalam karya Allah untuk memperjuangkan kebenaran, keadilan dan keutuhan ciptaan. Jika Allah mau melibatkan manusia bukan berarti Allah tidak mampu melakukannya sendiri, sebaliknya dari sudut pandang manusia harus dipahami: inilah anugerah atau kehormatan yang diberikan Allah kepada manusia. Tinggal sekarang, manusianya mau menyambutnya atau mengabaikannya. Oleh karena itu ketika hati kita dipenuhi dengan berbagai kecemasan, kekuatiran, ketakutan, ingatlah bahwa Allah sampai saat ini masih terus berkarya di dalam kehidupan kita. Dalam Matius 28:20, Yesus berkata, “… ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” Soli Deo Gloria!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar