I
profess that I believe in God
And that
my faith roots on my human experience.
I
believe that God is the power which connects us with
the
entire human race, and even with the entire universe.
God is the
power which creates.
Is the
power which built an equal relationship in history.
God is
the tongue which binds us to one another,
that
each of us is enabled to grow,
to work,
to play, to love, and to be loved.
God
created the right and equal relationship amongst us.
He does
not only become a power which connects us,
He is
even the source of power;
He is
the fountainhead of power to know ourselves
as
people who relate.
To this
God we pray. He is God who flows prosperity
and who
endlessly helps us. We love Him, and we trust,
that he
loves us as well, He is our mother or sister,
He is
our brother, father, or friend.
(Isabel Carter Heyward)1
1
Quoted from Marie C. Barth with further citation from Isabel Carter Heyward. The Redemption of God, A Theology of Mutual
Relation. (University Press of America, 1982). Marie Claire Barth Frommel, Hati Allah
Bagaikan Hati Seorang Ibu (Jakarta : BPK Gunung Mulia, Cet-2, 2006),145-146.
Pada
hakikatnya manusia diciptakan laki-laki dan perempuan. Sejauh yang kita
ketahui, sejarah mencatat dengan pasti (sebagai realitas yang diciptakan oleh
kaum laki-laki), bahwa kaum laki-laki menentukan pola masyarakat dan kaum
perempuan disubordinasikan. Dominasi kaum laki-laki atas kaum perempuan pada
umumnya dibenarkan oleh paham kodrat.
Menurut paham ini, kodrat laki-laki adalah kuat, pemberani, rasional,
produktif, menciptakan kebudayaan, dan sanggup membuat perencanaan. Sedangkan
kodrat perempuan adalah lemah lembut, penakut, perasa, reproduktif, memelihara
dan merawat kehidupan, biasa melayani dan suka dipimpin. Dengan pandangan
seperti ini, tempat kaum laki-laki
adalah di ruang publik, dalam
masyarakat luas sementara kaum perempuan
di ruang domestik atau privat (di rumah dan sekitarnya).Masalah-masalah
”besar” seperti membeli rumah atau tanah, pengelolaan saham atau keuangan
keluarga, adalah masalah yang menyangkut laki-laki. Masalah-masalah perempuan,
seperti pemeliharaan anak, masak, pendidikan anak dan urusan rumah tangga yang
lainnya jarang disinggung, dan sering ”disembunyikan.”
Pandangan
ini dibenarkan oleh filsafat klasik,
baik di Barat mau pun di Timur. Menurut Aristoteles, ”Alangkah layak dan tepat bahwa tubuh dipimpin oleh jiwa
dan perasaan oleh pemikiran yang berakal; seandainya keduanya sejajar, bahkan
jika tatanannya terbalik, maka pasti akan menimbulkan kecelakaan. Menyangkut
kelamin pun laki-laki lebih tinggi secara naluri dan perempuan lebih rendah;
laki-laki memerintah dan perempuan diperintah. Hal yang sama berlaku dalam filsafat Tionghoa
: Yang (maskulin) dihubungkan dengan
dunia atas (langit) dan Yin (feminin)
dengan dunia bawah. Dengan demikian kaum laki-laki memerintah perempuan, dan
tatanan ini ditekanlah dalam tradisi Confucinisme. Muncul
kecenderungan untuk menilai kaum
perempuan dari sudut pandang laki-laki dengan menekankan
”kekurangan-kekurangannya” dibandingkan
dengan ”laki-laki.” Akibatnya, hanya kaum laki-laki saja yang dipandang sebagai
manusia sejati sementara perempuan hanyalah pelengkap.
Dalam naskah-naskah yang penting di bidang hukum, sejarah, filsafat dan agama (sebagai
realitas yang diciptakan oleh laki-laki) sering dipakai istilah ”manusia” dan sebenarnya yang dimaksudkan
hanyalah laki-laki dewasa yang mampu
menentukan kehidupannya sendiri, dan pokok tentang perempuan ”tidak kelihatan”
karena dianggap sudah termasuk dalam konsep tentang ”manusia.”
Stigma
sosial yang dikenakan kepada kaum perempuan sebagai kaum yang dikesampingkan dan
dipinggirkan (karena dianggap ”tidak kelihatan” dan ”tidak ada”) kerapkali
diabaikan dan tidak tersentuh, apalagi teratasi dengan membaca Alkitab hanya
dari perspektif kaum laki-laki. Hal ini disebabkan karena corak budaya dan
sikap kaum laki-laki yang mendominasi dan
meminggirkan kaum perempuan itu sudah sangat berakar dalam ”jantung” kehidupan masyarakat. Perempuan
disamakan dengan nature (alam, segala
sesuatu yang naluriah) dan laki-laki dengan culture
(kebudayaan dan penanaman). Dalil ini sangat berpengaruh di Barat. Antara
abad ke-16 dan ke-19, jutaan perempuan dihukum mati dan dibakar hidup-hidup
sebagai ”tukang sihir” yang dianggap membahayakan masyarakat. Hal itu didukung
oleh ajaran rasional baru dan ajaran gereja.Akibatnya, ialah perempuan membenci dirinya sendiri.Dalam bukunya Sexism and God Talk, Rosemary Radford Ruether menyatakan,
“Jika seksisme berarti kekerasan dan
pelanggaran terhadap integritas tubuh perempuan, kemanusiaan, dan kapasitas
untuk pengembangan diri, seksisme
juga menjadi distorsi bagi kemanusiaan laki-laki. Meski pun laki berusaha untuk
memonopoli tugas-tugas kemanusiaan yang paling dihargai, … untuk menguasai
kebudayaan dan kreativitas, mereka tidak berhasil dalam mengaktualisasikan
suatu kemanusiaan yang kita cita-citakan. Dalam kebrutalan dan dalam abstraksi
intelektualnya seksisme mendistorsi kemanusiaan laki-laki dan dengan demikian
mendistorsi semua kegiatan manusia. Bila distorsi terhadap kemanusiaan
perempuan merupakan suatu tragedi menjadi korban dalam banyak segi, maka
distorsi terhadap kemanusiaan laki-laki merupakan suatu penyakit endemis yang
akan menghancurkan baik kemanusiaan dan dunia kita sendiri jika tidak terjadi
pertobatan yang dramatis.
Selanjutnya,
yang lebih ironis lagi, Alkitab sendiri mengandung banyak teks yang secara
sepintas atau pun langsung meminggirkan,
dan bahkan menindas kaum perempuan.
Teks-teks semacam itu sudah sangat sering digunakan, dan dilegitimasi
(dijadikan sebagai pengesahan atau pembenaran) untuk memperkokoh subordinasi kaum perempuan dalam masyarakat maupun gereja. Para penulis Alkitab pada umumnya dipengaruhi oleh budaya
jamannya yang patriarkhal. Sebab itu berita Injil mengenai manusia
laki-laki dan perempuan sebagai gambar Allah (Kejadian 1-2) dan kesamaan martabat
manusia perempuan dan laki-laki di dalam Kristus (Galatia 3:28) sering
dikaburkan oleh ayat-ayat Alkitab lainnya yang mengagungkan laki-laki dan
merendahkan perempuan.
Hal itu
disebabkan karena Alkitab bernada androsentris (andros=laki-laki, sentris=berhubungan dengan inti) menentukan budaya, yakni segala
peristiwa dilihat dari sudut laki-laki. Pandangan perempuan tersembunyi. Sama halnya dengan naskah dasar agama-agama
yang lain, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru bersifat androsentris. Naskahnya ditulis oleh laki-laki dengan pandangan
laki-laki dan mula-mula dialamatkan terutama bagi kaum laki-laki sebagai imam,
pengajar dan pemberita. Oleh karena
itu :
1. Dalam Sepuluh Firman (Kel. 20:17), dikatakan, ”Janganlah mengingini istri sesamamu.” Larangan itu dialamatkan pada kaum laki-laki dan tidak terdapat larangan yang sepadan untuk perempuan.
2. Laki-laki (Ibr : isy) sering dipakai dalam arti manusia, misalnya dalam perintah Kel. 21:12, 18, 20, 22, 26, 33; kebijaksanaan, misalnya Ams. 12:25, Mzm. 37:7; rumus berkat Mzm. 1:1, 112:1,5 dsb.; kutukan Ul. 27 dst. Di situ ”perempuan” termasuk secara tersembunyi atau kurang penting. Hal yang sama terdapat dalam Perjanjian Baru dengan adelphos, saudara laki-laki dalam surat rasuli, misalnya, Rm. 8:19, 9:3; 14:10, 13, 15 dsb.
3. Nama murid perempuan sering dilupakan, sedangkan nama murid laki-laki diingat. Bnd. Mrk. 14:3; Kis. 1:14.
4. Kotbah di Bukit merupakan pembicaraan dari seorang laki-laki kepada laki-laki lainnya (Mat. 5:21-26, antara saudara laki-laki; Mat. 5:27-30 dan 5:31-32, suami).
5. Perempuan-perempuan sering ”disembunyikan,” misalnya makanan dibagikan kepada 5.000 orang laki-laki (Mrk. 6:44; Luk. 9:14; Yoh. 6:10; hanya Mat. 14:21 yang menambahkan informasi bahwa perempuan dan anak-anak ikut serta.
6. Kita ”kebetulan” mendengar tentang mertua Simon Petrus (Mrk. 1:29-34), tetapi isterinya tidak ditampilkan, entah hidup entah mati. Akan tetapi, Paulus mengatakan bahwa rasul-rasul, termasuk Simon Petrus, sering berjalan bersama isteri mereka (1 Kor. 9:5). Nada tersebut dipertajam lagi oleh tafsiran patriarkhal yang ditemukan dalam Alkitab sendiri :
1. Hawa dianggap orang kedua, pelengkap belaka. Ia pun menjadi orang pertama yang dicobai (2 Kor. 11:3) dan yang jatuh ke dalam dosa (1 Tim. 2:13, 14). Baik Kej. 1:26 tentang laki-laki dan perempuan yang dijadikan bersama menurut gambar Allah maupun Rm. 5:12 (tentang maut yang masuk ke dalam dunia melalui Adam) diabaikan. Sebab itu perempuan dipimpin oleh laki-laki karena Hawalah yang menjatuhkan Adam ke dalam dosa (Gal. 3:16; Ef. 5:21-33; Kol. 3:18-25; Titus 2:2-5). Jadi tugas perempuan adalah memelihara anak dan hidup patuh pada laki-laki.
2. Sejak Hosea menyamakan Israel dengan seorang istri yang berzinah (Hos. 2), seluruh sejarah Israel dipandang dalam kiasan itu. Bnd. Yer. 3:1-2; 2:20-25 dan Yeh. 16. Bila kiasan Allah sebagai suami dan umat sebagai istri dikenakan pada Kristus dan Gereja, maka ia dipakai untuk mengesahkan secara rohani tatanan keluarga patriarkhal : ”Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan” (Ef. 5:22).
3. Kedua belas rasul, pemimpin utama Gereja, adalah laki-laki (wakil para kepada 12 suku Israel); generasi pemimpin berikutnya juga laki-laki (Timotius, Titus dsb.).
4. Allah juga digambarkan sebagai laki-laki (abba) dan tentu Yesus sendiri.
5. Paulus menggantikan dewi kesuburan Asia (Artemis) dengan Allah Bapa orang Yahudi (Kis. 19:23-27). Paulus mengandaikan tatanan sosial hierarkhis-patriarkhal yang bersifat “alamiah” dan dibenarkan oleh agama (1 Kor. 11:7-9; 14:34-36).
1. Dalam Sepuluh Firman (Kel. 20:17), dikatakan, ”Janganlah mengingini istri sesamamu.” Larangan itu dialamatkan pada kaum laki-laki dan tidak terdapat larangan yang sepadan untuk perempuan.
2. Laki-laki (Ibr : isy) sering dipakai dalam arti manusia, misalnya dalam perintah Kel. 21:12, 18, 20, 22, 26, 33; kebijaksanaan, misalnya Ams. 12:25, Mzm. 37:7; rumus berkat Mzm. 1:1, 112:1,5 dsb.; kutukan Ul. 27 dst. Di situ ”perempuan” termasuk secara tersembunyi atau kurang penting. Hal yang sama terdapat dalam Perjanjian Baru dengan adelphos, saudara laki-laki dalam surat rasuli, misalnya, Rm. 8:19, 9:3; 14:10, 13, 15 dsb.
3. Nama murid perempuan sering dilupakan, sedangkan nama murid laki-laki diingat. Bnd. Mrk. 14:3; Kis. 1:14.
4. Kotbah di Bukit merupakan pembicaraan dari seorang laki-laki kepada laki-laki lainnya (Mat. 5:21-26, antara saudara laki-laki; Mat. 5:27-30 dan 5:31-32, suami).
5. Perempuan-perempuan sering ”disembunyikan,” misalnya makanan dibagikan kepada 5.000 orang laki-laki (Mrk. 6:44; Luk. 9:14; Yoh. 6:10; hanya Mat. 14:21 yang menambahkan informasi bahwa perempuan dan anak-anak ikut serta.
6. Kita ”kebetulan” mendengar tentang mertua Simon Petrus (Mrk. 1:29-34), tetapi isterinya tidak ditampilkan, entah hidup entah mati. Akan tetapi, Paulus mengatakan bahwa rasul-rasul, termasuk Simon Petrus, sering berjalan bersama isteri mereka (1 Kor. 9:5). Nada tersebut dipertajam lagi oleh tafsiran patriarkhal yang ditemukan dalam Alkitab sendiri :
1. Hawa dianggap orang kedua, pelengkap belaka. Ia pun menjadi orang pertama yang dicobai (2 Kor. 11:3) dan yang jatuh ke dalam dosa (1 Tim. 2:13, 14). Baik Kej. 1:26 tentang laki-laki dan perempuan yang dijadikan bersama menurut gambar Allah maupun Rm. 5:12 (tentang maut yang masuk ke dalam dunia melalui Adam) diabaikan. Sebab itu perempuan dipimpin oleh laki-laki karena Hawalah yang menjatuhkan Adam ke dalam dosa (Gal. 3:16; Ef. 5:21-33; Kol. 3:18-25; Titus 2:2-5). Jadi tugas perempuan adalah memelihara anak dan hidup patuh pada laki-laki.
2. Sejak Hosea menyamakan Israel dengan seorang istri yang berzinah (Hos. 2), seluruh sejarah Israel dipandang dalam kiasan itu. Bnd. Yer. 3:1-2; 2:20-25 dan Yeh. 16. Bila kiasan Allah sebagai suami dan umat sebagai istri dikenakan pada Kristus dan Gereja, maka ia dipakai untuk mengesahkan secara rohani tatanan keluarga patriarkhal : ”Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan” (Ef. 5:22).
3. Kedua belas rasul, pemimpin utama Gereja, adalah laki-laki (wakil para kepada 12 suku Israel); generasi pemimpin berikutnya juga laki-laki (Timotius, Titus dsb.).
4. Allah juga digambarkan sebagai laki-laki (abba) dan tentu Yesus sendiri.
5. Paulus menggantikan dewi kesuburan Asia (Artemis) dengan Allah Bapa orang Yahudi (Kis. 19:23-27). Paulus mengandaikan tatanan sosial hierarkhis-patriarkhal yang bersifat “alamiah” dan dibenarkan oleh agama (1 Kor. 11:7-9; 14:34-36).
Kecenderungan yang sama menentukan
sebagian besar tafsiran Alkitab, nas tertentu dipakai untuk membatasi kebebasan
dan hak perempuan :
1. Meskipun dominasi
laki-laki atas perempuan dilihat sebagai akibat dosa dalam Kej. 3:16, ia sering
dipandang sebagai “hukum Allah,” dengan menjustifikasikan surat rasuli, “Hai
istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan” (Ef. 5:22).
2. Sistem dominasi
laki-laki mengajarkan sikap yang negatif tentang tubuh perempuan : pendarahan
perempuan adalah najis, melahirkan sebagai masalah, dan alat-alat reproduksinya
sebagai hal yang kotor. Karena itu perempuan dinyatakan najis selama haid dan
setelah melahirkan (Bil. 12:1-8), dan mereka tidak diperbolehkan ikut serta
dalam ritual-ritual keagamaan selama masa kenajisan tersebut. Perempuan yang
sedang menstruasi dilarang beribadah di dalam gereja masih dipraktikkan di
beberapa gereja di Afrika, di dalam beberapa gereja di Indonesia pendeta
perempuan yang sedang hamil dilarang memimpin ibadah di gereja. Bahkan ada
gereja yang tidak memperbolehkan pendeta perempuan melayani sakramen disebabkan
pemahaman yang negatif itu.
Penghinaan terhadap perempuan dan tubuhnya telah melegitimasikan misogyny
(kebencian terhadap perempuan) dan kekerasan terhadap perempuan. Rosemary R.
Ruether, misalnya mengatakan : ”Sejarah Kekristenan menyebut perempuan sebagai
lebih rendah, subordinat, dan cenderung kepada kejahatan. Citra-citra ini
membenarkan kekerasan yang hampir tidak terbatas terhadap perempuan bila
perempuan bersebrangan dengan kemauan laki-laki di rumah atau di masyarakat.
Perempuan sebagai korban adalah kaum pinggiran dalam sejarah yang patriarkhal
...”
3. Yesus memanggil
dua belas orang laki-laki untuk tinggal bersama Dia dan untuk diutus
memberitakan Kerajaan Allah (Mrk. 6:7). Berdasarkan fakta itu hanya mereka sajalah
yang dianggap sebagai rasul (ditambah Paulus sebagai pengganti Yudas). Pada
saat Yesus mengumpulkan para murid-Nya untuk Perjamuan Kudus (Mrk. 14:22-25)
atau menghembuskan Roh dan memberikan kepada mereka hak untuk mengampuni dosa
(Yoh. 20:19-23), maka tradisi memberi tempat hanya bagi kedua belas rasul tanpa
memperhatikan bahwa perempuan-perempuan pun termasuk murid-murid Yesus, dan
mereka hadir pada Perjamuan Kudus pertama.
4. Ketika Paulus
meminta agar perempuan berdiam diri dalam pertemuan jemaat (1 Kor. 14:34), kita
lupa bahwa nasihat itu ditujukan pada istri yang dapat ”menanyakan suaminya di
rumah” (ay. 35) dan tidak boleh membantah pandangan suami di depan umum.
Terlebih-lebih diabaikan bahwa Paulus mengenal perempuan yang berdoa dan
bernubuat di depan jemaat (11:5). Nasihat Paulus dipakai sebagai larangan,
yakni perempuan tidak boleh memegang jabatan di gereja (kecuali dalam pelayanan
diakonia-sosial dan dalam pembinaan anak-anak serta perempuan). Nas yang sama
dipakai untuk menolak hak suara para perempuan dan menghindarkan mereka untuk
memilih dan dipilih dalam masyarakat umum (sampai pertengahan abad ke-20 di
Barat).
Bagi kaum feminis, Alkitab adalah
”buku yang berbahaya karena sering digunakan untuk menasihati kaum bawahan dan
kaum perempuan agar mereka tunduk pada tuan-tuannya serta mengagumkan
peperangan serta memberkatinya.” Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Elisabeth Schussler Fiorenza menciptakan sebuah metode yang dinamai “a hermeneutic of suspicion,”tafsiran
yang meragukan atau mempertanyakan naskah untuk memahami di mana dan apa
sebabnya pengalaman perempuan hilang dan sejauh mana masih terdapat sisa yang
dapat digali dan diangkat untuk memperoleh suatu gambaran yang lebih utuh.
Menurut Elisabeth Schussler
Fiorenza, “menganalisis secara kritis naskah Alkitab yang androsentris berguna secara positif untuk merekonstruksi kembali (membangun) dari permulaan umat Kristen
untuk mengembangkan suatu kesadaran alkitabiah yang feminis.” Perempuan mengalami solidaritas dan persatuan sebagai
golongan sosial bukan berdasarkan perbedaan biologis dibandingkan dengan
laki-laki, tetapi berdasarkan pengalaman
sejarah sebagai golongan yang tertindas dan yang berjuang untuk menentukan sejarah (menjadi full historical subjects). Sehubungan
dengan hal tersebut, para teolog feminis Dunia Ketiga (di Asia dan Afrika)
menghadapi tugas yang lebih sulit lagi. Sebab selain usaha menyingkirkan sikap patriarkhal dan androsentris, mereka juga harus mengatasi tradisi Barat yang berpikir secara eksklusif (yaitu yang tidak benar harus dinyatakan salah) dan individualis untuk menemukan kembali
paham inklusif menuju persekutuan yang pluralis (hidup dalam kepelbagaian). Mereka mengalami sendiri suatu tradisi yang
pernah memperalat Alkitab – dalam pemahaman Barat – sebagai tolok ukur atas
budaya dan agama di Asia, Afrika dan Amerika Latin.
Kwok
Pui-Lan,
seorang teolog perempuan dari Hongkong, mengingatkan kita, bahwa Alkitab dibawa
oleh kaum kolonial. Sama seperti kaum Barat yang memerintah menurut polanya
sendiri, demikian juga para penginjil memakai Alkitab untuk membenarkan diri dan menguasai orang Kristen baru menurut
pola mereka. Agama, kitab suci atau tradisi lisan, warisan hikmat leluhur,
kedudukan tinggi perempuan dalam kebudayaan tertentu, semuanya diremehkan atas
nama suatu ”etnosentrisme” yang
berinti pada tradisi umat Kristen Barat sebagai umat pilihan Allah. Kaum
feminis meninggalkan warisan pemikiran eksklusif yang menentukan kebudayaan
Barat yang dominan itu dan mencari pemikiran inklusif, yang menerima
kepelbagaian sebagai kekayaan dan dorongan untuk mencari kebenaran yang lebih
dalam dan utuh. Menurut Kwok Pui-Lan, ”Alkitab itu terlalu penting untuk
ditaklukkan pada satu pola tafsir yang tunggal saja.” Metode ilmiah (historis-kritis) hanya dapat dilihat
sebagai salah satu cara, ”hasilnya harus diuji oleh umat beragama di setiap
tempat, oleh mereka yang membaca ulang Alkitab setiap hari serta berusaha
menyalin sejarah dan perjuangannya sendiri dengan cerita Alkitab.”
Sehubungan dengan hal tersebut, Elisabeth
Schussler Fiorenza terus menerus memberikan tantangan kepada kita “… to challenge white Eropean and American
feminist movements and articulations to abandon their cultural imperialism,
white supremacy, and exclusivist definition of feminism in terms of middle-class
white women’s experiences.”Hal ini mau menegaskan, bahwa kita tidak
dapat menguniversalisasikan
pengalaman perempuan, atau mencoba menggolongkan realitas perempuan ke dalam
satu kata “tertindas,” atau “korban” atau “menderita,” karena dengan melakukan
kedua hal tersebut di atas, itu berarti kita mengabaikan bahwa setiap teori
tentang apa pun terbatas secara kultural dan historis, termasuk tentang
perempuan.
Kita perlu melihat adanya realitas
yang multi wajah (perspektif feminis yang beragam) ketika
kita berbicara tentang patriarkhi sebagai
sistem yang membelenggu terciptanya realitas kesetaraan dalam relasi laki-laki
dan perempuan, karena keberagaman setiap kelompok masyarakat dan budaya, karena
tidak ada pengalaman perempuan yang tunggal atau berwajah sama. Menurut Banawiratma, patriarkhi berarti ‘hak bapak kekuasaan
bapak’ yang sebenarnya memperlihatkan bahwa sebelumnya bapak dan juga suami
adalah juga tuan. Karena itu analisis baru muncul dengan istilah ‘kyriarkhi’ (Yun. Kyrios=tuan, arkhe=kuasa,
penguasa) yang memperlihatkan bahwa dominasi dan subordinasi laki-laki terhadap
perempuan berada dalam susunan dan jaringan sosial berlapis-lapis dan kompleks,
menjadi satu dengan kolonialisme, penghisapan kelas, rasisme, dominasi dari
penguasa, pembesar, tuan, pemilik, majikan dan juga suami. Yang paling
dipedulikan adalah mereka yang hidup pada lapisan dasar dari susunan dan
jaringan-jaringan sosial itu dengan segala bentuk dominasi, subordinasi dan
penindasan yang diderita oleh perempuan dan laki-laki yang dipinggirkan, guna mencapai egalitarian community (suatu komunitas
yang sederajat antara laki-laki dan perempuan).
Berangkat dari realitas gender
sebagai struktur sosial yang mengatur fungsi sosial laki-laki dan perempuan,
oleh kaum feminis Dunia Ketiga, khususnya di Asia telah dipakai sebagai alat
analisis untuk melihat ketidakadilan yang berlangsung dalam masyarakat di mana
peran perempuan dan laki-laki dibedakan, antara lain dalam bidang domestic/privat dan public. Namun demikian, harus diakui bahwa hidup dan suara
perempuan tidak mempunyai satu entitas
yang tunggal (seragam) melainkan jamak (beragam). Pluralitas atau kemajemukan ini
mendorong para feminis untuk menekankan aspek kemajemukan dalam metode mereka,
dan perbedaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa “there are women’s ways of knowing.” Metode-metode ini (khususnya dalam antropologi
feminis) bertujuan untuk mentransformasikan dan memberdayakan kaum
perempuan; menyebarkan pengertahuan tentang perempuan yang dapat memberi
kontribusi pada pemberdayaan dan pembebasan perempuan demi kesetaraannya dengan laki-laki yang
harus diwujudkan dalam seluruh aspek kehidupan.
Bahasa, juga menjadi substansi atau
jalan masuk yang krusial (karena bias androsentrisme
dan arogansi maskulin yang mengasingkan perempuan) bagi kaum feminis dalam
proses menumbuhkan kesadaran dan kepekaan kaum perempuan, dan menantang
kaum laki-laki, untuk melancarkan kritik, merekonstruksi bangunan-bangunan
teoritis, metodologis (dalam berbagai disiplin ilmu) yang melestarikan
dominasi, ketimpangan dan ketidakadilan dalam realitas hubungan laki-laki dan
perempuan, tekstual dan kontekstual. Rekonstruksi bahasa dilakukan dengan memakai bahasa yang inklusif yang menempatkan diri pribadi
dalam relasi yang lebih utuh dengan sesama dan alam, dengan menerima dan
memakai kekayaan pengalaman, perspektif setiap orang, terutama perempuan dalam
realitas yang plural. Inklusivitas itu bermuara pada hadirnya shalom dalam komunitas yang egaliter,
di mana setiap laki-laki dan perempuan dapat mengalami makna kesetaraan dan
setiap orang dapat mengalami realitas keadilan. Pendekatan kritis ini menjadi
penting dalam rangka melihat dan memaknakan “pengalaman perempuan” sebagai titik berangkat klaim feminisme,
juga titik berangkat teologi feminis untuk kita refleksikan dan
kontekstualisasikan di Indonesia.
Teologi feminis tertuju pada “suatu visi masa depan yang di
dalamnya maksud Allah bagi ciptaan-Nya yang diperbarui akan tampak. Tatanan patriarchal Kitab Suci, tradisi gerejawi
dan teologi sedemikian kebal, sehingga, untuk memberikan kepada perempuan
tempat yang layak di dunia laki-laki, dibutuhkan iman yang utopis, yaitu iman yang menemui Allah dalam keakanan,
suatu dorongan yang mengubah apa yang kini ada.” Karena itu,
meskipun terdapat sejumlah teori sesuai dengan situasinya yang berlainan,
mereka “semua setuju, yakni mencari dan membela martabat manusia serta
kesetaraan semua perempuan dan laki-laki.” Oleh
karena itu perlu dipertanyakan, mengapa,
banyak di antara kita yang masih merasa enggan, dan bahkan merasa tidak nyaman,
ketika menggunakan istilah ”feminisme
atau feminis” dalam kehidupan
sehari-hari? Beberapa atribut yang dikenakan kepada feminisme, misalnya, ”datang dari
Barat,” ”tidak membumi di Indonesia,” ”terlalu radikal,” ”aliran kiri,” akan membatasi
ruang gerak kita untuk berdiri, melompat, berlari, dan menari dalam keseharian
kita dalam proses mendefinisikan ulang istilah ”feminisme,” berangkat dari realitas hidup kita sebagai kaum
perempuan dan kaum laki-laki.
Constance Singam, seorang feminis dari Singapura, mengungkapkan
betapa istilah tersebut masih menjadi momok
yang menakutkan, bahkan oleh kaum perempuan sendiri, yang tidak ingin dicap
feminis. Berangkat dari ketakutan dan kecurigaan yang seperti itulah, Constance kemudian menantang pembaca artikelnya, dan
termasuk kita supaya :
... before you turn away from
feminist, think for a moment what they are trying to accomplish and the work
that still needs to be done. You can’t sit back and hope things will change.
You only have to look at history to conclude that reform is not handed to you
on a plate and equality is something that must be fought for again and again
and is retained only by watchfulness.
Kesimpulan Constance memperlihatkan
antara lain, dua unsur yang menjadi perjuangan kaum feminis, yaitu “reformasi” dan “kesetaraan laki-laki dan perempuan” yang beraras dalam setiap segi
kehidupan. Bagi kaum feminis keyakinan yang paling fundamental ialah bahwa
perempuan adalah manusia sepenuhnya
dan harus diperlakukan demikian.Keyakinan ini menyangkut dua segi, yakni laki-laki dan perempuan, keduanya
manusia setara dan sederajat (equality) dalam kesamaan dan perbedaan
mereka, adalah mereka menghayati kemanusiaannya dalam hubungan timbal balik (mutuality). Rosemary Radford Ruether menyatakan, bahwa apa pun yang mengurangi kemanusiaan
penuh kaum perempuan harus dianggap bukan merefleksikan yang ilahi atau relasi
yang otentik dengan ilahi atau kabar baik dari penebus yang otentik.” Prinsip
kemanusiaan yang penuh didasarkan pada konsep “imago dei” : bahwa perempuan secara setara dibebaskan oleh
Kristus, dan secara setara dikuduskan oleh Roh Kudus.
1. Dalam tradisi Kristen selalu
terdapat dua aliran :
1) yang pertama, mementingkan segi kelembagaan, ia berwujud hierarkhis dan konservatif dan
2) yang kedua bersifat nabiah, kritis terhadap ketidakadilan dan penggunaan kekuasaan.
1) yang pertama, mementingkan segi kelembagaan, ia berwujud hierarkhis dan konservatif dan
2) yang kedua bersifat nabiah, kritis terhadap ketidakadilan dan penggunaan kekuasaan.
2. Ada kecenderungan di kalangan masyarakat dan juga di kalangan warga gereja
untuk berpikir bahwa teologi feminis adalah teologi yang berat sebelah, yang
hanya berbicara tentang perempuan yang mempromosikan kedudukan perempuan saja.
Namun hal itu tidak seluruhnya benar. Harus diakui, bahwa teologi feminis
bersumber pada, bertumbuh dari pengalaman riel kaum perempuan yang merasa
tertindas, yang merasa dilecehkan dalam kehidupan bersama, tetapi fokus dan
orientasi dari teologi feminis ini telah berkembang sedemikian rupa sehingga ia
juga berorientasi bagi manusia dan keseluruhan alam semesta secara utuh.
3. Ada
lima teori
feminis yang dapat kita jadikan perbandingan, antara lain :
(1) Liberal Feminism (Social discrimination, Sexist socialization);
(2) Traditional Marxist Feminism (Class society, capitalism);
(3) Radical Feminism (Patriarchy, women’s biology, sex roles, ecspecially forced motherhood and sexual slavery);
(4) Socialist Feminism (Capitalism and Patriarchy);
(5) Third World Feminism (Imperialism, national oppression, class, gender, race/ethnicity).
Teori feminisme Dunia Ketiga, melihat masalah gender sebagai salah satu sumber penindasan perempuan bersama dengan imperialisme, penindasan nasional, kelas dan etnisitas/ras di Dunia Ketiga. Dalam paparan ini, penulis menggunakan perspektif feminisme dunia ketiga, yang memperjuangkan keadilan dan kesetaraan perempuan dan laki-laki.
(1) Liberal Feminism (Social discrimination, Sexist socialization);
(2) Traditional Marxist Feminism (Class society, capitalism);
(3) Radical Feminism (Patriarchy, women’s biology, sex roles, ecspecially forced motherhood and sexual slavery);
(4) Socialist Feminism (Capitalism and Patriarchy);
(5) Third World Feminism (Imperialism, national oppression, class, gender, race/ethnicity).
Teori feminisme Dunia Ketiga, melihat masalah gender sebagai salah satu sumber penindasan perempuan bersama dengan imperialisme, penindasan nasional, kelas dan etnisitas/ras di Dunia Ketiga. Dalam paparan ini, penulis menggunakan perspektif feminisme dunia ketiga, yang memperjuangkan keadilan dan kesetaraan perempuan dan laki-laki.
4. Teologi Feminis bagi kebanyakan
orang Timur diasosiasikan dengan pemikiran Barat yang memperjuangkan hak-hak
dan kebebasan perempuan dalam berbagai bidang, dan karena itu banyak yang
”bias” terhadap istilah ini, mencapnya sebagai produk masyarakat Barat. Terlepas
dari benar atau tidak sinyalemen ini, banyak kalangan yang mengkuatirkan bahwa
teologi ini cenderung dikotomi dan konfrontatif dalam pendekatan, berbau
individualistik serta condong menjadi eksklusif perempuan. Bagi masyarakat
Timur yang lebih menekankan dimensi kehidupan komunitas tampaknya pendekatan
gender dianggap lebih cocok. Namun banyak teolog feminis yang menganggap bahwa
pendekatan ini terlalu lunak untuk dapat membongkar sistem patriarkhal yang
telah mendarah daging, karena itu mereka lebih condong menggunakan istilah
teologi feminis, sekalipun tidak semuanya seragam dalam pendekatan maupun fokus
utamanya. Pluralitas teologi feminis maupun pendekatan tersebut
dapat saling memperkaya dan saling mengoreksi.
5. Di kalangan masyarakat Muslim, muncul feminisme Muslim pada tahun 90-an
karena kaum perempuan menekuni studi kajian tafsir Al-Qur’an, sekali pun
kegiatan ini menghadapi perlawanan seperti yang dialami oleh Fatima Mernissi
(Sherine Hafez, The Term of Empowerment :
Islamic Women Activist in Egypt, Cairo : AUC Press, 2003). Di
Maroko, Fatima Mernissi memprakarsai suatu gerakan perempuan untuk membela
hak-hak perempuan. Usaha ini menghasilkan revisi Undang-undang
Personal oleh pemerintah Maroko pada tahun 2004. Ini berarti bahwa
Undang-undang Perkawinan di Maroko menyediakan lebih banyak hak dan
perlindungan kepada kaum perempuan dibandingkan dengan kebanyakan negara
Muslim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar