Dalam kosa kata Bahasa Indonesia, kata "pentas" merupakan kata benda,
yang menunjuk pada arti lantai atau panggung yang agak tinggi (di gedung pertunjukkan), yang biasa dipergunakan sebagai tempat memainkan sandiwara. Sedangkan dalam Bahasa Jawa, kata "pentas" berarti naik panggung, atau tampil. Oleh karena itu dibalik tema "Pentas Kehidupan" ini saya menangkap ada sebuah konsep berpikir tertentu yang melatar belakangi munculnya tema tersebut. Paling tidak ada sebuah pemikiran, bahwa kehidupan ini bagaikan sebuah panggung sandiwara. Kata "sandiwara" kalau diterjemahkan secara terpisah, artinya adalah “pertunjukan lakon, drama aitau cerita yang dimainkan oleh orang."
Persoalannya adalah, jika hidup ini panggung sandiwara, maka setiap kita adalah pemain atau lakonnya. Benarkah demikian? Jika kita semua adalah pemain sandiwara dan dunia ini adalah panggungnya, lalu siapakah penontonnya? Tuhan? Bukankah Tuhan yang menciptakan dunia, dan seluruh isinya, termasuk kita manusia? Berarti Dialah Sang "Sutradara." Jadi siapa penontonnya, yang bisa memberikan apresiasinya (entah sedih dan kecewa, atau jadi senang dan bangga oleh karenanya)? Ada banyak orang yang meyakini hidup ini sebagai sandiwara dan Tuhan adalah "Sutradaranya," sehingga mereka bersikap pasif, tidak mau berbuat banyak. Cukup jalani saja kehidupan yang sekarang, dan tidak usah melakukan aktivitas lainnya karena takdir, jalan hidup mereka sudah ditentukan oleh Tuhan.
Saya jadi ingat sebuah tembang lawas yang dipopulerkan oleh Achmad Albar pada awal tahun 1970. Lagunya adalah Panggung Sandiwara. Lirik dari lagu tersebut mengatakan bahwa, dunia ini panggung sandiwara dan setiap kita adalah pemainnya. Ada satu peran yang kita mainkan. Kita bisa berpura-pura, bersikap kocak sehingga membuat banyak orang terbahak-bahak, bahkan kita pun dapat membuat orang mabuk kepayang, dan di bagian akhir lagu itu, dikatakan "Mengapa kita bersandiwara?" Mungkin pengarang lagu ini punya pengalaman dipermainkan atau dikhianati oleh seseorang, dan pengalaman itu sungguh membuat ia sedih, kecewa dan marah.
Dalam kehidupan sehari-hari kita, mungkin kita juga pernah menyaksikan dan mengalami hal yang kurang lebih sama. Kita lihat saja, berapa banyak lakon yang dimainkan oleh para pejabat tinggi negara ini, sehingga muncul kelompok-kelompok ekstrim yang melakukan berbagai tindak kekerasan dengan dan atas nama agama. Nah apa yang dikatakan oleh Alkitab tentang hal ini? Yang pasti Alkitab mengatakan kepada kita, bahwa dunia ini adalah bukan panggung sandiwara, dan kehidupan kita adalah bukan suatu pertunjukkan atau lakon yang kita mainkan. Bapak Gereja kita, Calvin melukiskan hal ini dengan sangat indah melalui metafora bahwa dunia ini adalah "panggung drama kemuliaan Allah." Oleh karena itu, kehidupan kita (pribadi dan juga komunitas) menurut Calvin, harus menjadi "theater of God's glory" karena Allah adalah penggagas ide cerita, penilis skenario, sutradara bahkan menjadi aktor utama dalam drama akbar ini. Bagaimana drama itu dimainkan? Drama ini dimainkan oleh Allah Sang Pencipta; oleh Yesus Kristus di dalam kehidupan, kematian dan kebangkitan-Nya; serta oleh Roh Kudus yang merestorasi dan mentransformasikan dunia dan kita manusia sampai kepada kesempurnaan yang diwujudnyatakan melalui karya penebusan Yesus Kristus. Itulah sebabnya mengapa kita manusia diciptakan serupa dan segambar dengan Allah. Tujuannya adalah supaya kita beroleh bagian di dalam kehidupan Allah, dan mencerminkan kepribadian Allah di dalam diri kita.
Menurut Calvin, kita harus in communio dengan Allah: memiliki hubungan yang baik dengan Allah, tetapi juga membangun relasi yang baik dengan manusia lainnya. Sebab itu kita dapat berkomunikasi dengan Allah melalui firman-Nya. Mempelajari dengan baik segala petunjuk yang ada di alam Alkitab, berlatih terus untuk melakukannya serta hidup di dalam kebenaran, kekudusan, keadilan dan perdamaian, sehingga kehidupan kita di dunia ini sungguh-sungguh memperlihatkan kemuliaan Allah. Oleh sebab itu kehidupan Saudara dan saya adalah bukan panggung sandiwara. Segala sesuatu yang kita pikirkan dan lakukan, senantiasa akan berdampak pada diri kita, pada Tuhan dan juga pada orang-orang yang ada di sekitar kita. Apapun bentuknya. Dalam Yesaya 43:7 dikatakan, bahwa tujuan Tuhan untuk menciptakan kita,
yaitu melihat kemuliaan-Nya dalam diri orang lain dan dirinya.
Salah satu contoh yang diperlihatkan Alkitab kepada kita adalah kehidupan Abraham. Di dalam Kejadian 12:10-20, Alkitab mengisahkan kepada kita bagaimana kehidupan Abraham, dan persoalan-persoalan yang dihadapinya. Setelah mengalami perjumpaan dengan Tuhan dan menerima berkat-Nya, Abraham menyerahkan Sara istrinya kepada Firaun, Raja Mesir. Koq bisa? Abraham melakukan hal itu karena dia takut dibunuh. Sara istrinya adalah seorang perempuan yang cantik jelita, dan ketika mereka tiba di Mesir, Raja Firaun berniat untuk mengambil Sara sebagai istrinya. Karena takut, Abraham tidak mengakui Sara sebagai istrinya, tetapi sebagai adiknya. Mungkin kita bertanya-tanya dalam hati, bagaimana mungkin orang yang dipilih oleh Tuhan untuk menjadi berkat bagi semua bangsa, bisa berbohong dan menyerahkan istrinya begitu saja. Abraham ternyata adalah seorang laki-laki yang tidak berjiwa kesatria, dan Abraham mengulang lagi perbuatannya. Di dalam Kejadian 20:1-8 dikatakan, Abraham menyerahkan Sara istriya kepada Abimelekh, Raja Filistin, lagi-lagi karena dia takut dibunuh.
Di dalam dua peristiwa ini Abraham mengatakan kepada kedua raja tersebut, bahwa Sara bukanlah istrinya, melainkan adiknya, dan hal itu dilakukan untuk menyelamatkan dirinya. Bukankah seharusnya Abraham, Bapa orang percaya itu berserah dengan segenap hati kepada Tuhan yang pasti menolongnya? Mengapa Abraham harus berbohong atau bersandiwara, seolah-olah Sara adalah adiknya, dan bukan istrinya? Satu hal yang menarik, jika Ishak puteranya, teryata juga melakukan hal yang sama karena takut dibunuh. Kebohongan ini tidak hanya berhenti sampai di sini saja, karena Yakub juga membohongi Esau kakaknya dan ayahnya sendiri, Ishak, untuk mendapatkan berkat kesulungan. Selanjutnya, 10 anak laki-laki Yakub berbohong kepada Yakub dan mengatakan bahwa Yusuf adik kandung mereka telah dimakan binatang buas. Padahal mereka telah menjualnya sebagai budak.
Diane M. Komp, seorang psikiater dari Yale Medical School yang menulis buku "Anatomy of Lie: The Truth About Lies and Why Good People Tell Them" menguraikan alasan-alasan psikologis, mengapa seseorang "berbohong" dalam berbagai hubungan antar manusia. Perasaan tidak nyaman, kerapkali membuat orang berbohong lebih dari yang mereka inginkan. Jadi orang berbohong karena merasa takut atau terancam. Sebab itu banyak orang berbohong, atau bersandiwara, mulai dari hal-hal yang sepele, sampai pada hal-hal yang besar. Ada sebuah penelitian di Amerika ang dilakukan oleh National Institute of Mental Healthy, menunjukkan bahwa dalam seminggu, orang berbohong kepada 30% di dalam komunitasnya. Mahasiswa malah menunjukkan angka yang lebih besar, ada 38% jumlah orang yang mereka bohongi.
Kebohongan menjadi sangat masif dilakukan karena dapat melindungi diri sendiri dari rasa malu, kehilangan muka, atau terlihat buruk. Kebohongan dapat melindungi diri sendiri dari rasa luka, ketidaknyamanan dan membuat terlihat lebih baik dari yang sebenarnya. Kebohongan juga dapat membantu orang mendapatkan apa yang diinginkan, melindungi dia dari ancaman hukuman fisik, melindungi dari kehilangan status dan posisi tertentu,atau melindungi dari sesuatu yang menganggu atau sesuatu yang tidak ingin dilakukan.
Namun dari Abraham kita belajar bahwa kebohongan, apa pun bentuknya, akan melahirkan kebohongan-kebohongan lainnya, dan pada akhirnya, kita sendirilah yang akan menuai hasilnya, lebih dari yang kita duga dan lebih dari yang kita pikirkan. Oleh karena itu, nasihat yang diberikan oleh Alkitab pada pagi hari ini, adalah jangan jadikan kehidupan kita sebagai sebuah panggung sandiwara. Pilihan yang terbaik, adalah menjadikan kehidupan kita sebagai cerminan dari kepribadian Allah, sehingga kita dapat hidup di dalam kebenaran, kekudusan, keadilan dan perdamaian dengan diri kita, dengan Tuhan dan dengan semua orang yang dihadirkan Tuhan dalam kehidupan kita. Di dalam Mazmur 34:10-11 Firman Tuhan berkata, "Takutlah akan Tuhan, hai orang-orang-Nya yang kudus, sebab tidak berkekurangan orang yang takut akan Dia. Singa-singa muda merasa kelaparan, tetapi orang-orang yang mencari Tuhan tidak berkekurangan
sesuatu pun yang baik." Soli Deo Gloria!
Jakarta, 4 Juni 2012*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar