Takut akan
TUHAN adalah didikan yang mendatangkan hikmat, dan kerendahan hati mendahului
kehormatan
(Amsal
15:33)
Di Mesir
hidup seorang sufi tersohor bernama Zun-Nun. Pada suatu hari, seorang pemuda
datang menjumpainya dan bertanya, “Guru, saya tidak mengerti mengapa orang
seperti Anda koq berpakaian amat sederhana. Bukankah di masa seperti sekarang
ini, penampilan diperlukan untuk banyak tujuan lain yang baik.” Sang sufi hanya
tersenyum; lalu ia melepaskan cincin dari salah satu jarinya. Ia berkata,
“Sobat muda, aku akan menjawab pertanyaanmu, tetapi lebih dulu lakukan satu hal
untukku. Ambillah cincin ini dan bawalah ke pasar di seberang sana. Bisakah
kamu menjualnya seharga satu keping emas?” Melihat cincin Zun-Nun yang kotor,
pemuda itu merasa ragu-ragyu, “Satu keping emas? Saya tidak yakin cincin ini
bisa dijual seharga itu.” Tapi Zun-Nun berkata, “Cobalah dulu sobat muda. Siapa
tahu kamu berhasil.”
Pemuda itu
segera bergegas ke pasar. Ia menawarkan cincin itu kepada pedagang kain,
pedagang sayur, penjual daging dan ikan, serta kepada yang lainnya. Ternyata
tak satu pun dari mereka yang berani membeli cincin itu seharga satu keping
emas. Mereka menawarnya hanya satu keping perak. Tentu saja, pemuda itu tak
berani menjualnya dengan harga satu keping perak. Ia kembali ke padepokan
Zun-Nun dan melapor, “Guru, tak seorang pun berani menawar lebih dari satu
keping perak.” Zun-Nun, sambil tetap tersenyum arif, berkata, “Sekarang pergilah
kamu ke toko emas di belakang jalan ini. Coba perlihatkan kepada pemilik toko
atau tukang emas di sana. Jangan buka harga, dengarkan saja bagaimana ia
memberikan penilaian.”
Pemuda itu
pun pergi ke toko emas yang dimaksud. Ia kembali kepada Zun-Nun dengan raut
wajah yang lain. Ia kemudian melapor, “Guru ternyata para pedagang di pasar
tidak tahu nilai sesungguhnya dari cincin ini. Pedagang emas menawarnya dengan
harga seribu keping emas. Rupanya nilai cincin ini seribu kali lebih tinggi
daripada yang ditawar oleh para pedagang di pasar.”
Zun-Nun
tersenyum simpul sambil berujar lirih, “Itu jawaban atas pertanyaanmu tadi
sobat muda. Seseorang tak bisa dinilai dari pakaiannya. Emas dan permata yang
ada dalam diri seseorang, hanya bisa dilihat dan dinilai, jika kita mampu
melihat ke kedalaman hati dan jiwa seseorang. Kita tidak bisa menilainya hanya
dengan tutur kata dan sikap yang kita lihat dan kita dengar secara sekilas.”
Dalam
kehidupan sehari-hari, kerapkali kita menilai seseorang mungkin hanya dari
penampilannya, dari baju yang dipakainya, atau mungkin dari tutur kata dan
sikapnya yang kita lihat dan kita dengar, hanya sekilas. Akibatnya, sama
seperti para pedagang di pasar tadi, kita jadi suka keliru, karena penampilan
mereka, baju mereka, tutur kata dan sikap mereka, bisa saja mengelabui mata dan
telinga kita. Mungkin sama seperti Samuel yang pada mulanya, terpikat oleh
penampilan dan perawakan Eliab dan Abinadab yang tampan dan gagah perkasa.
Namun ternyata bukan mereka, tetapi Daud-lah yang dipilih dan diurapi menjadi
raja Israel. Karena itu dalam 1 Sam. 16:7b dikatakan, “Manusia melihat apa yang
di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati.”
Sebab itu, jangan melihat seseorang hanya dari penampilannya, atau dari
bajunya, atau kemasannya. Mengapa? Karena terus terang saja, pendengaran kita
terbatas dan penglihatan kita sering keliru. Emas dan permata yang ada dalam
diri seseorang, ternyata hanya bisa kita lihat dan kita nilai, jika kita mampu
melihat ke kedalaman hati dan jiwa seseorang.
Untuk melihat ke dalaman dan jiwa seseorang, sebenarnya dibutuhkan
kerendahan hati. Dalam PL kerendahan hati (modesty) diperlihatkan dengan sikap
menangis, berpuasa dan mengoyakkan jubah (1 Raj. 21:29; 2 Raj. 22:11-20; Amsal 3:34). Dalam PB kerendahan
hati adalah merasa tidak berdaya seperti “anak-anak” (Mat. 18:4); tidak
mempertahankan kedudukan (Flp. 2:8-9); tidak merendahkan martabat orang lain
(Luk. 14:11; 18:4). Dengan demikian kerendahan hati adalah bersikap ramah,
terbuka, tidak sombong/tinggi hati, mampu menghargai martabat dan kelebihan
orang lain, dan mudah menyesuaikan diri. Kerendahan hati seperti ini berkenan
kepada Allah (Ef. 4:2) Itulah sebabnya mengapa dalam Yakobus 4:6b dikatakan,
bahwa “Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah
hati.”
Tampaknya tidak
sedikit orang yang memandang dirinya lebih dari orang2 lain. Baik dalam
penampilan, bakat, kemampuan yang dimiliki, prestasi yang dihasilkan, jabatan
dan kedudukan yang diraihnya, status hidup yang didapatnya, atau popularitas
dan prestise yang dicapainya di tengah masyarakat. Dengan hal2 tsb orang lalu
memandang dan menilai dirinya lebih hebat dan lebih tinggi derajatnya dari
orang lain. Karena itu dalam Alkitab, kesombongan atau tinggi hati dipandang sebagai
“akar dosa” karena mengesampingkan orang lain dan Allah (Bnd. Ester 5:9-14 :
Haman dan Mordekhai). Sebaliknya kerendahan hati tidak dipahami sebagai rendah
diri atau menghinakan diri. Hidup dengan rendah hati akan membuat seseorang :
menghargai dirinya dan bebas dari perangkap kesombongan. Dengan kerendahan hati
orang dapat menerima dan menghargai dirinya dan menghargai orang lain, dengan
segala kelebihan dan kekurangannya.
Dengan
kerendahan hati, akan terbentuk hati yang penuh cinta dan memiliki cinta untuk
semua orang. Dalam Amsal 29:23 dikatakan, “Keangkuhan merendahkan orang, tetapi
orang yang rendah hati menerima pujian.” Dengan kata lain, perasaan lebih
tinggi daripada orang lain dapat membuat orang merendahkan orang lain. Perasaan
lebih rendah dapat membuatnya iri hati terhadap orang lain. Iri hati adalah
perasaan tidak puas karena keberuntungan orang lain. Perasaan iri terbentuk
ketika orang berpikir bahwa keberuntungan dan kebahagiaan orang lain mengurangi
atau menurunkan kehormatannya. Akar iri hati terdapat pada perasaan rendah diri
atau menghinakan diri.
Dalam Filipi
2:7 Paulus menggunakan istilah “kenosis” (pengosongan diri atau pengingkaran
diri dari segala arogansi insani). Menurut Paulus, Yesus telah mengosongkan
dirinya. Ia menerima rupa seorang hamba. Merendahkan diri dan mati. Ketakjuban
Paulus akan pengorbanan Kristus di kayu salib telah melenyapkan segala bentuk
kesombongan dirinya. Bagi Isaac Waat, berhadapan dengan salib Kristus, kita
semua bagaikan cacing (makhluk hina, rendah dan tak berharga). When I survey
the wondrous cross, for such a worm as I? (Yesaya 41:14). Oleh karena itu, dari
Yesus kita belajar untuk mengosongkan diri, dalam arti menghapuskan semua
pikiran mengenai diri sendiri dan mencurahkan diri habis2an untuk memperkaya
orang lain (kenotic intelligence : 2 Kor. 8:9, Ef. 1:23; 4:10). Bagi kita ini
berarti, “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil” atau menjadi
pribadi yang berkarakter positif dan kooperatif (Yoh. 3:30) di dalam setiap
aspek kehidupan kita, baik secara individual maupun secara kolektif.
Akhirnya,
ada kalimat bijak yang berkata demikian, “Tempat yang bisa digunakan untuk
mengubah duniamu adalah hatimu (heart), isi pikiranmu (mind), dan tindakanmu
(hands).” Apa yang mau dikatakan oleh perkataan bijak ini? Jika kita
menginginkan kehidupan bersama kita lebih baik, mulailah melakukan perubahan
dari diri kita terlebih dahulu. Kita dapat melakukan sesuatu yang baik bagi
orang lain, ketika kita sudah mengalami pembaruan hati, pikiran dan tindakan kita.
Itulah transformasi kehidupan yang seutuhnya. Karena itu kita harus mengubah
dunia ini menjadi lebih baik, dengan kerendahan hati. Mulailah dari diri kita.
Memang bukan hal yang mudah, tetapi mungkin untuk dilakukan. Inilah wujud
konkret iman kita kepada Tuhan Yesus, Sang Pembaru Kehidupan.