Hidup kita tampaknya tidak pernah sepi dari yang namanya susah dan derita,
keberhasilan dan kegagalan baik dalam kehidupan keluarga, pekerjaan, dan bahkan dalam pelayanan kita.
Sekali waktu, mungkin kita sudah bekerja keras, berupaya
seoptimal mungkin untuk membangun usaha,
pekerjaan atau masa depan keluarga kita. Lalu
tiba-tiba
saja, ada orang menjahati kita, dan merampas semua kebahagiaan hidup kita. Hidup
kita jadi morat marit. Jangankan untuk keperluan yang lain, untuk makan pun
susah. Belum lagi, biaya untuk anak-anak sekolah, bayar listrik, telpon dan air. Kepala kita jadi
pusing tujuh keliling. Keadaan kita, mungkin sama dengan si
anak muda dalam cerita tadi. Sedih, kecewa, dan sakit hati, menghadapi pahit getirnya hidup ini. Akibatnya,
hati kita jadi kosong dan hampa diperhadapkan pada kesulitan,
keras dan kejamnya kehidupan ini.. Bagaikan minum
segelas air dengan segenggam garam.
Kita tidak pernah menduga, bahwa prestasi, kerja keras kita selama bertahun-tahun akan dihancurkan dalam sekejab mata. Rumah pun tak
pernah sepi dari pertengkaran dan kesalahpahaman.
Saya jadi ingat sebuah kisah. Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Suatu pagi, datanglah seorang anak muda yang sedang dirundung banyak masalah. Langkahnya gotai dengan air muka muram. Anak muda itu tampak seperti orang yang tak bahagia. Tanpa membuang waktu, ia segera menceritakan semua masalahnya. Pak Tua yang bijak hanya mendengarkannya dengan saksama. Ia lalu mengambil segenggam garam, dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya garam itu ke dalam gelas, lalu diaduknya perlahan. “Coba, minum ini dan katakan bagaimana rasanya …”, ujar Pak Tua itu. “Asin dan pahit. Pahit sekali,” jawab anak muda itu, sambil meludah ke lantai.
Saya jadi ingat sebuah kisah. Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Suatu pagi, datanglah seorang anak muda yang sedang dirundung banyak masalah. Langkahnya gotai dengan air muka muram. Anak muda itu tampak seperti orang yang tak bahagia. Tanpa membuang waktu, ia segera menceritakan semua masalahnya. Pak Tua yang bijak hanya mendengarkannya dengan saksama. Ia lalu mengambil segenggam garam, dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya garam itu ke dalam gelas, lalu diaduknya perlahan. “Coba, minum ini dan katakan bagaimana rasanya …”, ujar Pak Tua itu. “Asin dan pahit. Pahit sekali,” jawab anak muda itu, sambil meludah ke lantai.
Pak Tua sedikit tersenyum. Ia lalu mengajak tamunya ini
untuk berjalan ke tepi telaga di dalam hutan dekat tempat tinggalnya. Kedua
orang itu berjalan berdampingan, dan akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga
yang tenang itu. Pak Tua itu kembali menaburkan segenggam garam ke dalam
telaga. Dengan sepotong kayu dibuatnya gelombang mengaduk-aduk dan tercipta
riak air, mengusik ketenangan telaga itu. “Coba,
ambil air dari telaga ini, dan minumlah.”
Saat anak muda itu selesai mereguk air itu, Pak Tua berkata lagi, “Bagaimana rasanya ?” “Segar,” sahut tamunya. “Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu ?” tanya Pak Tua itu.
“Tidak,” jawab si anak muda. Dengan bijak Pak Tua itu
menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan,
bersimpuh disamping telaga itu dan berkata, “Anak
muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan adalah layaknya segenggam garam, tak lebih
dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan
tetap sama. Tapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari
wadah yang kita miliki.”
Kepahitan itu didasarkan pada perasaan, tempat kita
meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu
merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa
kamu lakukan. ”Lapangkanlah dadamu
menerima semuanya … “ Pak Tua itu lalu kembali memberikan nasihat. “Hatimu adalah wadah itu .. Jadi, jangan
jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam
setiap kepahitan itu dan mengubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.” Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka telah belajar sesuatu
yang penting hari itu.
Dari kisah Pak Tua kita diajak untuk mengubah paradigma
atau cara berpikir kita. Caranya, dengan melapang dada. Menerima semua kenyataan,
bahkan kepahitan hidup kita dengan berjiwa
besar, dan tidak putus asa. Kita jadikan hati kita laksana
telaga, yang mampu meredam setiap kepahitan dan mengubahnya menjadi peluang
atau kesempatan, yang akan membawa kebahagiaan bagi
kita di masa depan. Hidup kita mungkin
akan makin susah, tapi berkat Tuhan toh tak pernah berkurang. Kita tidak selalu dapat melihat tangan Tuhan bekerja, dan tangan-Nya tidak pernah berhenti bekerja. Itulah
sebabnya, mengapa Yesus katakan, kita harus punyai iman (dalam arti tetap
percaya dan bersandar kepada Allah). Sebab bila kita punya iman sebesar biji
sesawi saja, iman itu akan dapat memindahkan ”gunung” persoalan kita dan tidak
ada yang mustahil bagi Allah (Lukas 17:6).
Alkitab memperlihatkan kepada kita orang-orang yang dipilih
Allah sebagai kakek moyang Israel. Namun toh hidup mereka tidak selalu indah
dan manis. Contohnya adalah Yakub. Berapa banyak persoalan yang harus Yakub hadapi. Karena
mengambil secara paksa hak kesulungannya, hidup Yakub jauh dari rasa aman,
nyaman dan tentram. Ia harus meninggalkan keluarganya.
Diburu rasa takut, kalau-kalau Esau akan membunuhnya. Di rumah Laban, pamannya, ia
harus bekerja selama 7 tahun untuk menyunting Rahel. Namun Lea yang diperoleh.
Ia harus bekerja kerasa lagi selama 7 tahun pada Laban. Sesudah menikah dengan
Rahel dan punya 12 anak, Yakub dikhianati oleh anak2nya sendiri yang cemburu
kepada Yusuf, anak kesayangannya. Begitulah kenyataan hidup Yakub. Tidak bebas
dari kesulitan, kesalahan2 dan kekeliruan2. Namun Allah membentuk Yakub menjadi
lebih matang dan dewasa secara rohani.
Pengalaman manis, positif dan luar biasa bersama Tuhan itu, menjamin
bahwa kenyataan2 hidup yang paling pahit sekalipun bermanfaat, dan berbuah
manis bagi umat-Nya. Hal ini dijamin dengan kuat, karena
kebangkitan Kristus Yesus sendiri. Kenyataan pahit dalam kehidupan-Nya, ketika
dijalani dengan setia, berbuah manis, bukan hanya untuk diri-Nya sendiri,
tetapi juga untuk seluruh dunia. Itulah sebabnya mengapa Rasul Paulus berkata,
” Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus?
Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan,
atau bahaya, atau pedang?” (Roma 8:35)
Dengan pertanyaan itu, Rasul Paulus mau mengatakan, bahwa
hidup beriman tidak secara otomatis membuat kita menjadi nyaman dan aman. Sebab
kekuatan yang menghancurkan kehidupan kita terus bekerja. Namun semuanya berada
di bawah kasih karunia Allah. Jaminan bahwa Allah setia mengasihi serta setia
kepada umat-Nya digambarkan secara dramatis, bahwa “Anak-Nya” sendiri saja
diberikan, tentu Ia tidak akan membiarkan penganiayaan, kelaparan,
ketelanjangan, bahaya, atau pedang menjadi kekuatan yang menghancurkan
kehidupan kita. Kalau seorang berobat ke dokter, lalu dokter itu memberikan
kepadanya obat yang pahit dan tidak enak, atau bahkan memutuskan untuk
melakukan operasi, toh pasien harus menerimanya, karena akibat yang diharapkan,
adalah pulihnya kesehatan. Dengan demikian, keadaan yang tidak baik dalam
pandangan manusia, bisa menjadi berguna bagi manusia di tangan Allah. Dalam
perumpamaan tentang biji sesawi dan ragi, Yesus mau mengatakan kepada kita,
bahwa kuasa Kerajaan Allah itu mengubahkan karakter kehidupan seseorang. Dalam
takaran yang tepat ragi mengubah adonan menjadi roti yang sedap. Ketika seorang
pengikut Kristus hidup dengan nilai-nilai sorgawi (atau berlaku seperti ragi sorgawi), maka
karakter atau kondisi lingkungannya akan mengalami perubahan ke arah yang lebih
baik. Kecil tetapi berakibat besar dan berguna. Begitulah pesan dari
perumpamaan itu. Karya penyelamatan Allah yang istimewa tidak selalu hadir
dalam bentuk-bentuk yang spektakuler
dan kolosal, tetapi juga lewat perkara-perkara yang sangat sederhana.
Dalam
Mazmur 105:4, Firman Tuhan berkata, “Carilah
TUHAN dan kekuatan-Nya, carilah wajah-Nya selalu!” Dengan demikian, lakukanlah POWER. P adalah
Positif. Berpikirlah secara positif dalam menghadapi kenyataan hidup ini.
Keberhasilan dan kegagalan, kesedihan dan kegembiraan merupakan bagian dari
kehidupan. Sebab itu terimalah dengan lapang hati manis dan pahitnya kehidupan
ini, sebagai kesempatan untuk mematangkan keimanan kita. O adalah Opportunity.
Dalam menghadapi setiap permasalahan dan pergumulan, setiap kita tidak hanya
diperhadapkan dengan ancaman ataupun bahaya, tapi juga peluang untuk menjadi
lebih dewasa dan arif dalam menjalani kehidupan ini. W adalah Will, dengan
berpikir secara positif dan melihat setiap persoalan hidup kita sebagai peluang
atau kesempatan untuk bertumbuh, maka Tuhan pasti akan memberikan kekuatan dan
kemampuan kepada kita. E adalah Energy, tetaplah bersemangat dalam menjalani
kehidupan ini. R adalah Reality. Berpikir dan bersikaplah secara realitis dalam
menghadapi kehidupan ini. Bukankah tidak selamanya kita susah, dan tidak
selamanya juga kita senang? Ketika kita susah, ingatlah saat-saat yang
menyenangkan dan menggembirakan dalam hidup kita, sehingga kita tidak putus
asa. Dan pada saat kita senang, ingatlah saat-saat yang sulit dan pahit dalam
hidup kita, sehingga kita tidak takabur dan bersyukur kepada Tuhan atas setiap
anugerah dan berkat-Nya dalam kehidupan kita. Semoga kasih Allah dalam Kristus Yesus
selalu menjadi topangan yang meneguhkan dan menguatkan kita dalam menghadapi keras
dan kejamnya hidup ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar