QUO VADIS SISTEM PENDIDIKAN
DI INDONESIA
Oleh: Maryam Kurniawati
D.Min
Sistem pendidikan di
Finlandia merupakan salah satu sistem pendidikan yang terbaik di dunia.[1]
Hal ini terbukti dengan nilai yang baik yang selalu dicetak peserta didik
Finlandia dalam Program Penilaian Peserta didik International untuk mata
pelajaran membaca, matematika dan ilmu pengetahuan alam. Jutaan orang tua di
seluruh dunia mencoba untuk mencari tahu sistem pendidikan yang lebih baik
untuk anak-anak mereka. Menurut Pasi Schelberg, akademisi Finlandia dan dosen
tamu di Universitas Harvard, ada tiga hal yang membedakan sistem pendidikan di
Finlandia dengan Amerika Serikat mau pun negara lain (termasuk Indonesia).[2]
Pertama, Finlandia telah
membangun sistem sekolah yang mendukung pemerataan pendidikan bagi semua anak.
"Pendidikan anak usia dini bagi semua anak, difokuskan agar sesuai dengan
anak-anak berkebutuhan khusus, serta kurikulum mereka lebih mengutamakan
kemampuan seluruh anak dibandingkan hanya menitikberatkan prestasi," kata
Schelberg.
Kedua, penguatan kerja sama
antar guru. "Rata-rata beban mengajar guru SMP di Finlandia setengah kali
lebih sedikit dibandingkan beban mengajar guru di Amerika Serikat, sehingga
guru-guru punya waktu untuk berdiskusi dan berbagi ide untuk meningkatkan
kualitas mengajar," ujar Schelberg. Tidak heran bila sistem pendidikan di
Finlandia adalah sistem pendidikan yang diimpikan banyak guru. Di Finlandia,
profesi sebagai guru adalah profesi yang paling bergengsi serta dipercaya oleh
pihak berwenang.
Ketiga, sistem belajar
sambil bermain yang tepat guna terbukti ampuh untuk meningkatkan kemampuan para
peserta didik di Finlandia. Ambil saja contohnya, semua sekolah di Finlandia
menerapkan waktu istirahat selama 15 menit setiap kali mata pelajaran berganti.
Waktu belajar di sekolah Finlandia juga lebih pendek dibandingkan dengan waktu
sekolah di Amerika Serikat. Selain itu, semua sekolah dasar di negara itu
memberikan beban pekerjaan rumah seminim mungkin agar peserta didik memiliki
waktu untuk mengembangkan hobi dan bermain dengan teman-teman mereka ketika jam
sekolah usai. Berbeda halnya dengan sekolah dasar di Amerika Serikat (dan juga
Indonesia), yang memberikan banyak pekerjaan rumah agar peserta didik belajar
di rumah. "Edukasi di negara lain hanya mementingkan ujian dan nilai.
Sekolah swasta juga dianggap lebih baik dari pada sekolah negeri. Ini tidak
terjadi di Finlandia," kata Schelberg. Hasil Program Penilaian Peserta
didik International tahun 2012 menunjukkan Finlandia menduduki peringkat ketiga
setelah Korea dan Jepang untuk mata pelajaran membaca, matematika dan sains.[3]
Bagaimana dengan sistem
pendidikan di Indonesia? Indonesia adalah sebuah negara
kepulauan terbesar di dunia, yang terbentang dari Sabang hingga Merauke, dengan
jumlah penduduk terbesar keempat di dunia. Di Indonesia, Sumber daya Manusia
(SDM) merupakan salah satu faktor kunci dalam pembangunan negara dan bangsa.
Harus diakui sistem pendidikan Indonesia selama ini belum didukung oleh SDM
yang berkualitas. Rendahnya kualitas SDM Indonesia terkait dengan faktor
pendidikan yang belum sepenuhnya mendukung pembentukan kepribadian peserta
didik sebagaimana tujuan Pendidikan Nasional "membentuk manusia yang
beriman daan berwatak mulia kepada Tuhan Yang Maha Esa" (UU No. 20 Tahun
2003 tentang Sisdiknas, pasal 4 ayat 1).
Ketidakmampuan
sistem pendidikan di Indonesia untuk menciptakan SDM yang berkualitas
disebabkan karena sistem pendidikan kita yang masih berorientasi pada
pengetahuan (aspek kognitif), bukan berdasarkan aspek afektif dan motoris
(penghayatan dan pengalaman) nilai-nilai yang luhur dan mulia. Oleh karena itu
menurut saya, untuk mengingkatkan kualitas SDM, langkah pertama yang harus
dilakukan, adalah mengubah sistem sistem pendidikan di Indonesia dari
"model menabung" (banking concept of education) menjadi "model
hadap masalah" (problem posing method).[4]
Dalam
"model menabung," proses belajar di dalam kelas berlangsung satu
arah, yaitu mengajar dan menasehati. Guru diyakini memiliki banyak sekali
pengetahuan, yang kemudian dibagikan kepada peserta didik. Metode manabung ini
membuat peserta didik bersikap pasif, dan tidak mampu berefleksi kritis
terhadap dunia yang tidak adil dan berusaha mengubahnya. Sedangkan dengan
"model hadap masalah," peserta didik menjadi peserta aktif dan kritis
terhadap realitas kehidupan yang mereka hadapi. Guru menjadi "rekan,"
"mitra yang sejajar" yang
menyampaikan materi kepada peserta didik untuk dipertimbangkan, sehingga
peserta didik dan guru saling belajar satu sama lain melalui dialog dan
diskusi, sehingga "pengetahuan" tidak menjadi monopoli guru. Melalui
"model hadap masalah," peserta didik belajar untuk bertanya secara
kritis tentang kenyataan hidup yang mereka hadapi dan mencari cara alternatif
untuk mengubahnya.[5]
Hingga
saat ini, Kurikulum
di Indonesia telah mengalami pergantian beberapa kali hingga pada saat ini
kurikulum yang bertahan adalah Kurkulum Tingkat Satuan Pendidikan. Kurikulum
ini disinyalir sebagai kurikulum yang paling baku diterapkan di Indonesia.
Ketika Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) digulirkan, banyak pihak yang
merasa senang bahwa sekolah mendapatkan kesempatan untuk menentukan sendiri
arah atau model pendidikan disekolahnya. Namun, kemudian harapan itu sirna
kembali ketika ternyata masih ada ujian nasional atau UAN yang membuat model
pendidikan yang diberikan sekolah harus kembali lagi seragam. Tak terbayangkan
memang ketika KTSP ini harus dilakukan disekolah-sekolah swasta dan
sekolah-sekolah negeri yang satu kelas muridnya bisa sampai 40-50 orang,
sementara gurunya hanya satu orang. Sungguh bagai punguk merindukan bulan!
Selain di Finlandia, Indonesia juga bisa belajar dari negara-negara lain
yang memiliki sistem pendidikan yang sangat bagus. Menurut saya, kita harus
bertindak dari sekarang, kita bisa belajar dari sistem yang diterapkan di
Finlandia. Selain itu, dalam hal proses pembelajaran peserta didik tidak boleh
dipaksa untuk mempelajari pelajaran yang tidak mereka sukai, setiap peserta
didik memiliki kelebihan tersendiri di bidang tertentu. Kita tidak bisa
memaksakan semua peserta didik harus suka belajar matematika, karena ada peserta
didik yang tidak memiliki keahlian sama sekali di bidang matematika, akan
tetapi orang tersebut memiliki keahlian di bidang seni misalnya. Oleh karena
itu, sistem pendidikan yang selama ini hanya melakukan pembagian jurusan ketika
SMA, mungkin mulai sekarang, sistem pembagian jurusan itu sudah dilakukan di
bangku SMP (Sekolah Menengah Pertama). Di sini, peserta didik bebas menentukan
kelas jurusan apa yang ingin mereka masuki sesuai dengan minat dan bakatnya.
Dengan begitu, saya sangat yakin bahwa peserta didik akan belajar dengan santai
serta peserta didik tidak akan mengalami yang namanya stres Karena bidang yang
mereka pilih adalah bidang yang mereka memang sukai, mereka pilih tanpa ada
paksaan dari siapapun.
Pendidikan di Indonesia seharusnya memang seperti itu, kita mengarahkan
setiap peserta didik untuk focus ke bidangnya masing-masing, sehingga dengan
begitu, nantinya kita akan lahirkan para pelajar yang ahli di bidangnya
masing-masing. Untuk apa kita memaksa seseorang untuk belajar sesuatu yang
tidak dia inginkan, hal tersebut sama saja kita membunuh kreativitas peserta
didik tersebut, serta secara perlahan kita akan membuatnya menjadi gila. Selain
itu, untuk apa kita mempelajari banyak hal kalau ternyata ilmu yang kita
dapatkan mengenai pelajaran tersebut hanya kulitnya saja, tanpa kita
mempelajari secara mendalam ilmu yang kita pilih. Akan tetapi, ketika kita
sudah bagi dari awal, maka kita akan focus ke bidang kita masing-masing untuk
bukan hanya sekedar mempelajari kulitnya, akan tetapi kita akan bisa memahami
sampai isi terdalamnya. Sistem seperti inilah yang banyak diterapkan di
negara-negara maju seperti Amerika dan China. Mereka memang mempersiapkan
masyarakatnya untuk dididik di satu bidang, yang nantinya diharapkan orang
tersebut akan menjadi orang yang ahli di bidangnya yang dapat memberikan
kontribusi untuk bangsa dan negaranya. Tidak ada kemustahilan di dunia ini,
dalam hal ini, saya secara pribadi sangat mengharapkan Indonesia dapat belajar
dari pengalaman Finlandia tersebut serta negara-negara maju lainnya khususnya
dalam bidang pendidikan.
[3] Ibid
[4] Paulo Freire,
Pedagogy of the Oppressed (New York: A Continum Book The Seabury Press,
1970), 57-58.
[5] Ada 3 tahapan
kesadaran sosial manusia, yaitu magis, naïf dan
kritis. Pada tahap kesadaran magis, seseorang tidak mampu menemukan kaitan
antara ketidakadilan
sosial, penindasan dan kemiskinan dengan struktur sosial, ekonomi dan budaya
yang mengkondisikannya. Kemiskinan diterima sebagai kodrat yang tidak bisa
diubah. Kesadaran naïf menyalahkan manusia sebagai sumber kemiskinan,
keterbelakangan, dan ketidakberdayaan. Tahap kesadaran kritis melihat struktur
politik, sosial, ekonomi dan budaya sebagai akar penindasan, kemiskinan dan
keterbelakangan. Pendidikan untuk Pembebasan memfasilitasi pesertadidik untuk bergerak dari tahap kesadaran magis
dan naïf menuju kesadaran kritis agar bisa “membaca,” memahami dan memetakan
situasi struktur sosial, politik, ekonomi dan budaya yang manipulatif dan
menawarkan candu. Ibid, 128-129.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar