Dalam
kehidupan keluarga, gereja dan masyarakat, semua orang pasti pernah
mengalami ketidakbaikan, atau pengalaman yang buruk, yang meninggalkan
bekas-bekas luka yang sulit dipahami dan diterima. Bisa jadi seseorang
pernah disakiti, disalahpahami, dikecewakan, kehilangan kepercayaan,
ditertawakan, diejek, kehilangan muka, dan ditindas. Semua orang pernah
mengalami penderitaan semacam itu, namun penderitaan juga dapat diwarnai
oleh gender (atau masalah jenis kelamin : laki-laki dan perempuan).
Bagi laki-laki, kejahatan adalah sesuatu yang dibuat dan dapat
dihilangkan lagi. Tetapi bagi kaum perempuan, ketidakbaikan atau
ketidakadilan itu terjalin dalam dirinya. Keperempuanan itu sendiri
kerapkali dipandang tidak baik, atau paling tidak merupakan suatu tembok
atau batas kemanusiaan. Bila seorang perempuan melakukan sesuatu yang
buruk, hal itu dipandang sebagai ’kodratnya’ yang memang dipenuhi oleh
ketidakbaikan, karena perempuan bertanggungjawab atas kejatuhan manusia
ke dalam dosa.
Kekerasan merupakan masalah di mata Allah, karena
menyangkut hidup dan kehidupan (perempuan dan anak-anak). Kekerasan
adalah penghancuran hak manusia yang paling hakiki, yaitu hak untuk
hidup dengan aman.
Kekerasan adalah masalah iman. Karena
manusia (baik laki-laki maupun perempuan adalah gambar dan rupa Allah).
Oleh karena itu kekerasan adalah penghancuran akan gambar dan citra
Allah itu. Inilah yang menjadi alasan utama mengapa segala bentuk
kekerasan harus dihentikan dari kehidupan manusia di dunia ini, baik di
dalam kehidupan rumah tangga, keluarga, dan bahkan gereja. Bentuk-bentuk
kekerasan atau penindasan itu dapat kita lihat dalam 5 bentuk :
(1) Dominasi/Subordinasi.
Laki-laki adalah tuan, dan majikan (karena tempatnya adalah di
luar/publik), dan perempuan adalah kaum yang lemah, karena itu tempatnya
adalah di rumah (memasak, mengurusi suami dan anak dsb).
(2) Marginalisasi.
Marginalisasi bisa dalam bentuk diskriminasi. Sikap kita sebagai
orangtua, kerapkali tidak adil. Anak laki-laki boleh melakukan apa saja,
termasuk hal-hal yang buruk, karena dia adalah laki-laki. Sedangkan
anak perempuan, harus pandai mematut-matut diri dan tunduk kepada
ayahnya. Upah buruh perempuan sangat rendah dibandingkan dengan
laki-laki, karena dia dianggap punya suami, dan lebih bodoh dari
laki-laki. Di gereja, tempat perempuan hanya di bagian konsumsi dan
sekretariat. mereka tidak dilibatkan untuk mengambil keputusan, karena
mereka tidak tahu apa-apa.
(3) Stereotyping. Cap atau
stempel, bahwa perempuan itu lemah, dan kurang terdidik dalam menangani
masalah-masalah sosial-ekonomi dan politik. Pekerjaan perempuan hanya
memasak dan mengurusi suami, anak dan keluarganya.
(4) Unjust burden
(beban yang tidak adil antara laki-laki dan perempuan). Bila seorang
istri bekerja sebagai pegawai atau guru dan karyawan, dia dituntut untuk
bisa menangani sekaligus urusan di dalam keluarganya. Melayani suami
dan anak-anaknya, bahkan mertuanya.
(5) Kekerasan, baik secara fisik
(dengan memukul, menampar dan sebagainya) maupun secara psikis (dengan
kata-kata kasar, umpatan, caci maki, tidak memberi nafkah kepada istri
dsb)
Dalam kaitan itu, Gereja seharusnya adalah pihak
pertama yang harus bertanggung jawab untuk terlibat secara aktif dalam
upaya penghentian kekerasan. Gereja adalah saudara dan saya, dan bukan
bangunan gereja ini. Kita harus merombak atau mengubah entah itu ajaran,
tradisi atau budaya yang telah secara langsung atau pun tidak langsung
mengakibatkan kekerasan terhadap umatnya, khususnya kaum perempuan dan
anak-anak. Karena terbukti, dan Gereja tidak bisa mengingkari, bahwa
telah terjadi begitu banyak kekerasan yang dilakukan di dalam
keluarga-keluarga kita, bahkan di dalam gereja-gereja dan
lembaga-lembaga pendidikan kita. Anna Julia Cooper, seorang pendidikan
perempuan, lebih dari seratus tahun lalu sudah menuliskan, ”dunia perlu
mendengar suara perempuan” yang sekian lama dibungkam, termasuk di dalam
membaca ”teks-teks Kitab Suci” untuk menempatkan pengalaman manusia
secara keseluruhan baik laki-laki maupun perempuan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar