Pendahuluan
Rekonstruksi peran suami di tengah masyarakat &
budaya patriarkhi, memperhadapkan kita pada kehidupan seharian istri atau
keperempuanan yang terdiskriminasi oleh budaya dan tradisi, dan hampir dapat
dipastikan di dalam diskriminasi terdapat kekerasan atau opresi secara fisik,
psikis, mental dan spiritual, baik secara perseorangan
maupun komunitas perempuan. Dalam budaya patriarkhi,
dominasi suami atas istri pada umumnya dibenarkan oleh paham kodrat, sebab
kodrat suami (sebagai laki-laki) diyakini
kuat, pemberani, rasional, produktif, dan sanggup membuat perencanaan. Sedangkan
kodrat istri (sebagai perempuan) adalah
lemah lembut, penakut, perasa, reproduktif, memelihara dan merawat kehidupan,
biasa melayani dan suka dipimpin. Akibatnya tempat suami (dan
atau laki-laki) adalah di area publik, sementara istri di ruang domestik
(di rumah dan sekitarnya).
Adapun pengambilan keputusan dalam masalah-masalah
besar seperti membeli rumah, pengelolaan saham atau keuangan keluarga, ada di
dalam otoritas suami karena ia adalah kepala keluarga. Dalam konteks budaya
kita, sistem patriarkhal memberikan seorang suami kekuasaan
penuh atas istri dan anak-anaknya. Sedangkan hal-hal yang berkaitan
dengan pemeliharaan dan pendidikan anak dan urusan rumah tangga lainnya,
dianggap tidak cukup berharga untuk dilirik, apalagi untuk diketahui orang
lain, karena posisi istri sebagai perempuan, ditempatkan dalam posisi rendah
dan lemah. Sebab itu, tugas utama dalam kehidupan seorang istri adalah dalam kekuasaan
ayahnya (ketika ia belum menikah), dalam kekuasaan suami (ketika ia menikah),
dan dalam kekuasaan anak laki-laki (ketika ia tua).
Menurut Tissa Balasuriya dalam bukunya Teologi Ziarah (2004), diskriminasi
terhadap istri dan atau perempuan terdapat dalam banyak masyarakat Asia (termasuk
di Indonesia). Dalam kenyataannya, para suami sering berlaku kasar dan tidak
adil terhadap istri mereka, sekalipun mereka menaruh sikap hormat terhadap
perempuan dan ibunya sendiri. Hal ini disebabkan karena sejak lahir, anak
perempuan diperlakukan secara berbeda, tidak diinginkan dan kurang diasuh,
sedangkan anak laki-laki selalu diperlakukan secara istimewa, disambut dengan
gembira dan diutamakan oleh keluarganya. Sepanjang hidupnya kaum perempuan diatur sedemikian rupa
agar cocok dengan peran rumah tangga yang disediakan bagi mereka. Mereka tidak
diizinkan untuk mengatur langkahnya sendiri dan mengambil keputusan.[2] Perasaan takut senantiasa ditanamkan. Sebab itu secara piskologis dan
fisik, mereka menjadi sangat bergantung pada kaum laki-laki. Menjelang
akil-balik, para gadis didesak agar segara menikah dan ”berumah-tangga.” Dengan
demikian para orangtua terbebas dari tanggung jawab untuk mengasuh anak
gadisnya. Setelah berumah-tangga, maka tempatnya adalah di rumah, menjadi alat
prokreasi untuk melahirkan anak, serta memelihara suami dan keluarganya.[3]
Mereka diharuskan untuk memilih peran ”bergantung sepenuhnya” kepada suaminya,
di mana mereka merasa dipelihara, dan berperan sebagai ibu dan pengasuh, serta
dapat menyatakan perasaan keibuannya, kesabaran, kelemah-lembutan, dan sambutan
hangatnya kepada suami dan anak-anaknya.
Demikianlah identitas perempuan telah direkonstruksi oleh
budaya, sehingga mereka mengalami subordinasi dan marginalisasi. Hal ini
membuka ruang terjadinya kekerasan psikologis, psikis, mental dan spiritual terhadap
seorang perempuan.[4]
Perubahan demi perubahan telah terjadi, namun nilai budaya dalam keluarga dan
masyarakat, sehingga sebagai perempuan, mereka mengalami berbagai tindak
kekerasan budaya.[5]
Untungnya hal ini tidak membuat mereka berdiam diri sebagai korban yang pasif.
Berbekalkan pendidikan yang memadai, seorang perempuan dapat menyusun dan
mengaplikasikan berbagai strategi untuk mengatasi kekerasan budaya dengan cara
yang tidak frontal. Keperempuantionghoaan terlihat melalui cara mereka
membentuk identitas baru yang terus menjadi. Sebab itu kemampuan perempuan untuk
memakna-ulang budaya patriarkhi menjadi modal utama untuk menuju ranah publik.
Refleksi
Dominasi dan subordinasi laki-laki terhadap perempuan
berada dalam susunan dan jaringan sosial berlapis-lapis dan kompleks, karena
menempatkan laki-laki sebagai penguasa, pembesar, tuan, pemilik, majikan dan
suami menurut tradisi dan budaya. Perjuangan kaum perempuan, adalah membangun
egalitarian community (suatu komunitas yang sederajat antara laki-laki dan
perempuan). Selanjutnya, adalah menumbuhkan kesadaran dan kepekaan kaum
perempuan, dan menantang kaum laki-laki untuk melancarkan kritik, serta
merekonstruksi bangunan-bangunan teoritis dan metodologis (dalam berbagai
disiplin ilmu) yang melestarikan dominasi, ketimpangan dan ketidakadilan dalam
realitas hubungan laki-laki dan perempuan, tekstual dan kontekstual.
Merekonstruksi peran suami di tengah masyarakat dan budaya patriarkhi, berarti menempatkan baik laki-laki maupun
perempuan, sebagai manusia yangs etara dan sederajat (equality) dalam kesamaan dan perbedaan mereka, dan menghayati
kemanusiaan mereka dalam hubungan timbal balik (mutuality).[6] Rosemary Radford Ruether dalam bukunya Sexism and God-Talk: Toward
a Feminist Theology, mengatakan bahwa : upaya apapun yang
mengurangi kemanusiaan kaum perempuan harus dianggap bukan “merefleksikan yang
ilahi” atau “relasi yang otentik” dengan yang ilahi.
Prinsip kemanusiaan yang penuh didasarkan pada konsep “imago Dei,” bahwa perempuan secara setara dibebaskan oleh Kristus
dan secara setara dikuduskan oleh Roh Kudus. Berikutnya, kita perlu mengangkat
serta menilai kaum perempuan ke dalam kesadaran masyarakat agar berkembang
suatu hubungan baru yang didasarkan pada kesederajatan dan kesetaraan antara
laki-laki dan perempuan, sehingga terbuka suatu cara berpikir yang terbuka dan
inklusif demi terwujudnya keadilan, kebenaran, perdamaian serta keutuhan
ciptaan.
[1] Dalam tulisan ini, kata “patriarkhi” menunjuk pada arti “pola atau tatanan yang
ditentukan oleh kaum laki-laki.” Dalam masyarakat patriarkhal, kaum laki-laki
menentukan pola masyarakat dan kaum perempuan dinomorduakan.
[2] Dalam
tradisi keluarga Tionghoa tradisional, seorang istri harus tunduk dan patuh
kepada suami dan keluarganya, sehingga hal-hal yang berkaitan dengan
penatalayanan dan pengelolaan kehidupan keluarga, ada dalam kekuasaan suami dan
keluarganya.
[3] Dalam bidang pekerjaan, perempuan tidak dianjurkan atau diharapkan
mendapat pekerjaan tetap diluar rumah. Kalau mereka diperkerjakan, mereka
sering mendapat upah yang lebih sedikit, atau bahkan tidak mendapatkan bayaran
yang sepantasnya, ketimbang kaum laki-laki untuk jenis pekerjaan yang sama.
Kaum perempuan sering dipekerjakan sebagai tenaga yang kurang trampil; pada
umumnya menangani urusan administrasi atau pengawasan yang dianggap sepele oleh
kaum laki-laki. Kaum perempuan juga dieksploitasi dalam zona-zona perdagangan
bebas di hotel-hotel, restoran-restoran, dan pusat-pusat pariwisata,
kadang-kadang sebagai pelacur (atau PSK), terutama kalau mereka tidak punya
pekerjaan dan keluarganya sangat kekurangan.
[4] Menurut Tissa Balasuriya, seksisme adalah
sistem budaya yang dikuasai laki-laki, yang menentukan tujuan, peran, dan
nilai-nilai dari kehidupan perempuan. Perempuan dilihat lebih banyak sebagai
pembantu (bnd. dalam sistem budaya Tionghoa yang bercorak
paternalistik-hierarkhis). Kepribadian perempuan dipaksa mencari dan menemukan
pemenuhannya dalam hubungannya dengan laki-laki. Laki-laki adalah norma-norma,
perempuan adalah ’pihak lain.’ Pekerjaan
laki-laki dianggap lebih produktif dan dibayar lebih mahal dibandingkan dengan
perempuan. Secara ekonomis, politis dan sosial kebutuhan perempuan dianggap
lebih rendah dari laki-laki. Karena itu, pada umumnya perempuan tidak mendapat
kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan menjadi pejabat lebih sulit bagi
perempuan. Mereka tidak diikut-sertakan dalam proses pengambilan keputusan,
karena dianggap tidak memahami pelbagai kebijakan politik dan ekonomi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar