Kita hidup dalam budaya yang disebut sebagai budaya menyalahkan. Budaya ini telah berkembang selama bertahun-tahun, sehingga ketika ada sesuatu yang keliru, kita cenderung mencari orang yang akan kita salahkan. Kita lebih senang menunjuk dan melimpahkan kesalahan. Bahkan kita merasa tidak sabar dan tidak puas bila kita belum dapat menemukan orang yang dapat kita persalahkan. Ironisnya, hampir semua orang terjebak dalam budaya menyalahkan seperti ini, atau paling tidak tergoda untuk melakukannya: politisi, pemuka agama, wartawan, editor, komentator, akademisi, dan yang paling memprihatinkan, gereja. Namun, Yesus tidak melakukannya. yesus tidak menuding orang. Yesus tidak mencari-cari dan menghukum para pendosa. Yesus melihat mereka sebagai orang yang terluka, tersakiti, atau hilang. Ketika kita mencari-cari orang untuk dipersalahkan, kita tidak akan memperoleh padangan yang objektif tentang dunia, dan kita tidak akan dapat melihat tangan Allah bekerja dalam dunia kita. Kehidupan kita sebagai orang Kristen, bisa menjadi kesaksian profetik yang menentang budaya menyalahkan ini. Saya jadi ingat kisah ini. Seorang sufi tua mendapatkan penghasilan dari menjual barang-barang antik dan bekas. Para pembeli sering membayar dengan uang yang sudah lecek, robek, bahkan kadaluwarsa. Bahkan sebagian pembeli mengaku sudah membayar belanjaannya, padahal belum. Penjual barang-barang antik dan bekas membuang jauh-jauh prasangka buruk pada para pembelinya. Saat ajalnya hampir menjelang ia menengadahkan tangannya ke surga sambil berseru, "Tuhan, selama hidupku aku menerima uang lecek, robek, bahkan kadaluwarsa. Sebagian bahkan lupa untuk membayar barang yang dibelinya. Mereka kemungkinan lupa membayar. Tuhan, aku mohon Engkau jangan menghakimiku. Aku ini ibarat uang yang lecek juga." Suara dari surga menanggapi doanya, "Bagaimana mungkin Aku menghakimi orang yang tidak pernah menghakimi orang lain?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar