Oleh: Pdt. Maryam Kurniawati D.Min
Pada hakikatnya manusia diciptakan laki-laki dan perempuan. Sejauh yang kita ketahui, sejarah mencatat dengan pasti (sebagai realitas yang diciptakan oleh kaum laki-laki), bahwa kaum laki-laki menentukan pola masyarakat dan kaum perempuan disubordinasikan. Dominasi kaum laki-laki atas kaum perempuan pada umumnya dibenarkan oleh paham kodrat. Menurut paham ini, kodrat laki-laki adalah kuat, pemberani,rasional, produktif, menciptakan kebudayaan, dan sanggup membuat perencanaan. Sedangkan kodrat perempuan adalah lemah lembut, penakut, perasa, reproduktif, memelihara dan merawat kehidupan, biasa melayani dan suka dipimpin. Dengan pandangan seperti ini, tempat kaum laki-laki adalah di ruang publik, dalam masyarakat luas sementara kaum perempuan di ruang domestik atau privat (di rumah dan sekitarnya). Sungguh menarik, bila kemudian justru ditemukan gejala matrifokalitas (pola kesetaraan yang menempatkan setiap anggota keluarga - suami dan isteri - dalam posisi yang kurang lebih seimbang) dalam sistem peran sosial secara umum.
Masalah-masalah ”besar” seperti membeli rumah atau tanah, pengelolaan saham atau keuangan keluarga, adalah masalah yang menyangkut laki-laki. Masalah-masalah perempuan, seperti pemeliharaan anak, masak, pendidikan anak dan urusan rumah tangga yang lainnya jarang disinggung, dan sering ”disembunyikan.” Pandangan ini dibenarkanoleh filsafat klasik, baik di Barat mau pun di Timur. Menurut Aristoteles, ”Alangkah layak dan tepat bahwa tubuh dipimpin oleh jiwa dan perasaan oleh pemikiran yang berakal; seandainya keduanya sejajar, bahkan jika tatanannya terbalik, maka pasti akan menimbulkan kecelakaan.
Menyangkut kelamin pun laki-laki lebih tinggi secara naluri dan perempuan lebih rendah; laki-laki memerintah dan perempuan diperintah. Hal yang sama berlaku dalam filsafat Tionghoa : Yang (maskulin) dihubungkan dengan dunia atas (langit) dan Yin (feminin) dengan dunia bawah. Dengan demikian kaum laki-laki memerintah perempuan, dan tatanan ini ditekanlah dalam tradisi Confucinisme. Muncul kecenderungan untuk menilai kaum perempuan dari sudut pandang laki-laki dengan menekankan ”kekurangan-kekurangannya”dibandingkan dengan ”laki-laki,” disamping upaya membangun interelasi yang eksklusif. Akibatnya, hanya kaum laki-laki saja yang dipandang sebagai manusia sejati sementara perempuan hanyalah pelengkap.
Dalam naskah-naskah yang penting di bidang hukum, sejarah, filsafat dan agama (sebagai realitas yang diciptakan oleh laki-laki) sering dipakai istilah ”manusia” dan sebenarnya yang dimaksudkan hanyalah laki-laki dewasa yang mampu menentukan kehidupannya sendiri, dan pokok tentang perempuan ”tidak kelihatan” karena dianggap sudah termasuk dalam konsep tentang ”manusia.”
Stigma sosial yang dikenakan kepada kaum perempuan sebagai kaum yang dikesampingkan dan dipinggirkan (karena dianggap ”tidak kelihatan” dan ”tidak ada”) kerapkali diabaikan dan tidak tersentuh, apalagi teratasi dengan membaca Alkitab hanya dari perspektif kaum laki-laki. Hal ini disebabkan karena corak budaya dan sikap kaum laki-laki yang mendominasi dan meminggirkan kaum perempuan itu sudah sangat berakar dalam ”jantung” kehidupan masyarakat.
Perempuan disamakan dengan nature (alam, segala sesuatu yang naluriah) dan laki-laki dengan culture (kebudayaan dan penanaman). Dalil ini sangat berpengaruh di Barat. Antara abad ke-16 dan ke-19, jutaan perempuan dihukum mati dan dibakar hidup-hidup sebagai ”tukang sihir” yang dianggap membahayakan masyarakat. Hal itu didukung oleh ajaran rasional baru dan ajaran gereja.Akibatnya, ialah perempuan membenci dirinya sendiri. Dalam bukunya Sexism and God Talk, Rosemary Radford Ruether menyatakan,
“Jika seksisme berarti kekerasan dan pelanggaran terhadap integritas tubuh perempuan, kemanusiaan, dan kapasitas untuk pengembangan diri, seksisme juga menjadi distorsibagi kemanusiaan laki-laki. Meski pun laki berusaha untuk memonopoli tugas-tugas kemanusiaan yang paling dihargai, … untuk menguasai kebudayaan dan kreativitas, mereka tidak berhasil dalam mengaktualisasikan suatu kemanusiaan yang kita cita-citakan. Dalam kebrutalan dan dalam abstraksi intelektualnya seksisme mendistorsi kemanusiaan laki-laki dan dengan demikian mendistorsi semua kegiatan manusia. Bila distorsi terhadap kemanusiaan perempuan merupakan suatu tragedi menjadi korban dalam banyak segi, maka distorsi terhadap kemanusiaan laki-laki merupakan suatu penyakit endemis yang akan menghancurkan baik kemanusiaan dan dunia kita sendiri jika tidak terjadi pertobatan yang dramatis.
Menurut Tissa
Balasuriya, diskriminasi terhadap perempuan terdapat dalam banyak
masyarakat Asia. Mereka sering berlaku tidak adil terhadap perempuan,
sekalipun ada sikap hormat terhadap perempuan dan kaum ibu. Sejak lahir,
anak perempuan kurang diharapkan, dan kurang diasuh. Anak laki-laki
disambut dengan gembira. Sepanjang hidupnya kaum perempuan diatur agar
cocok dengan peran rumah tangga yang disediakan bagi mereka. Mereka
tidak diizinkan untuk mengatur langkahnya sendiri. Perasaan takut
senantiasa ditanamkan. Secara piskologis dan fisik mereka menjadi sangat
bergantung pada kaum laki-laki. Menjelang akil-balik, para gadis
didesak agar segara menikah dan ”berumah-tangga.” Dengan demikian para
orangtua terbebas dari tanggung jawab untuk mengasih anak gadisnya.
Dalam bidang pekerjaan, perempuan tidak dianjurkan atau diharapkan
mendapat pekerjaan tetap diluar rumah. Kalau mereka diperkerjakan,
mereka sering mendapat upah yang lebih sedikit, atau bahkan tidak
mendapatkan bayaran yang sepantasnya, ketimbang kaum laki-laki untuk
jenis pekerjaan yang sama. Kaum perempuan sering dipekerjakan sebagai
tenaga yang kurang trampil; pada umumnya menangani urusan administrasi
atau pengawasan yang dianggap sepele oleh kaum laki-laki. Kaum perempuan
juga dieksploitasi dalam zona-zona perdagangan bebas di hotel-hotel,
restoran-restoran, dan pusat-pusat pariwisata, kadang-kadang sebagai
pelacur (atau PSK), terutama kalau mereka tidak punya pekerjaan dan
keluarganya sangat kekurangan. Kadang-kadang kaum perempuan memilih
peran ”bergantung sepenuhnya” kepada laki-laki, di mana mereka merasa
dipelihara, dan berperan sebagai ibu dan pengasuh, di mana mereka dapat
menyatakan perasaan keibuannya, kesabaran, kelemah-lembutan, dan
sambutan hangat. Media massa, dengan orientasi para pembelinya,
menekankan citra seks dari kaum perempuan, dan sejumlah perempuan
bertanggung-jawab sama seperti laki-laki atas perendahan harkat
perempuan lainnya.
Ironisnya, Alkitab sendiri mengandung banyak teks yang secara sepintas atau pun langsung meminggirkan, dan bahkan menindas kaum perempuan. Teks-teks semacam itu sudah sangat sering digunakan, dan dilegitimasi (dijadikan sebagai pengesahan atau pembenaran) untuk memperkokoh subordinasi kaum perempuan dalam masyarakat maupun gereja. Para penulis Alkitab pada umumnya dipengaruhi oleh budaya jamannya yang patriarkhal. Sebab itu berita Injil mengenai manusia laki-laki dan perempuan sebagai gambar Allah (Kejadian 1-2) dan kesamaan martabat manusia perempuan dan laki-laki di dalam Kristus (Galatia 3:28) sering dikaburkan oleh ayat-ayat Alkitab lainnya yang mengagungkan laki-laki dan merendahkan perempuan.
Hal itu disebabkan karena Alkitab bernada androsentris (andros=laki-laki,sentris=berhubungan dengan inti) menentukan budaya, yakni segala peristiwa dilihat dari sudut laki-laki. Pandangan perempuan tersembunyi. Sama halnya dengan naskah dasar agama-agama yang lain, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru bersifat androsentris.Naskahnya ditulis oleh laki-laki dengan pandangan laki-laki dan mula-mula dialamatkan terutama bagi kaum laki-laki sebagai imam, pengajar dan pemberita. Oleh karena itu :
- Dalam Sepuluh Firman (Kel. 20:17), dikatakan, ”Janganlah mengingini istri sesamamu.” Larangan itu dialamatkan pada kaum laki-laki dan tidak terdapat larangan yang sepadan untuk perempuan.
- Laki-laki (Ibr : isy) sering dipakai dalam arti manusia, misalnya dalam perintah Kel. 21:12, 18, 20, 22, 26, 33; kebijaksanaan, misalnya Ams. 12:25, Mzm. 37:7; rumus berkat Mzm. 1:1, 112:1,5 dsb.; kutukan Ul. 27 dst. Di situ ”perempuan” termasuk secara tersembunyi atau kurang penting. Hal yang sama terdapat dalam Perjanjian Baru dengan adelphos, saudara laki-laki dalam surat rasuli, misalnya, Rm. 8:19, 9:3; 14:10, 13, 15 dsb.
- Nama murid perempuan sering dilupakan, sedangkan nama murid laki-laki diingat. Bnd. Mrk. 14:3; Kis. 1:14.
- Kotbah di Bukit merupakan pembicaraan dari seorang laki-laki kepada laki-laki lainnya (Mat. 5:21-26, antara saudara laki-laki; Mat. 5:27-30 dan 5:31-32, suami).
- Perempuan-perempuan sering ”disembunyikan,” misalnya makanan dibagikan kepada 5.000 orang laki-laki (Mrk. 6:44; Luk. 9:14; Yoh. 6:10; hanya Mat. 14:21 yang menambahkan informasi bahwa perempuan dan anak-anak ikut serta.
- Kita ”kebetulan” mendengar tentang mertua Simon Petrus (Mrk. 1:29-34), tetapi isterinya tidak ditampilkan, entah hidup entah mati. Akan tetapi, Paulus mengatakan bahwa rasul-rasul, termasuk Simon Petrus, sering berjalan bersama isteri mereka (1 Kor. 9:5).
Nada tersebut dipertajam lagi oleh tafsiran patriarkhal yang ditemukan dalam Alkitab sendiri :
- Hawa dianggap orang kedua, pelengkap belaka. Ia pun menjadi orang pertama yang dicobai (2 Kor. 11:3) dan yang jatuh ke dalam dosa (1 Tim. 2:13, 14). Baik Kej. 1:26 tentang laki-laki dan perempuan yang dijadikan bersama menurut gambar Allah maupun Rm. 5:12 (tentang maut yang masuk ke dalam dunia melalui Adam) diabaikan. Sebab itu perempuan dipimpin oleh laki-laki karena Hawalah yang menjatuhkan Adam ke dalam dosa (Gal. 3:16; Ef. 5:21-33; Kol. 3:18-25; Titus 2:2-5)[14]. Jadi tugas perempuan adalah memelihara anak dan hidup patuh pada laki-laki.[15]
- Sejak Hosea menyamakan Israel dengan seorang istri yang berzinah (Hos. 2), seluruh sejarah Israel dipandang dalam kiasan itu. Bnd. Yer. 3:1-2; 2:20-25 dan Yeh. 16. Bila kiasan Allah sebagai suami dan umat sebagai istri dikenakan pada Kristus dan Gereja, maka ia dipakai untuk mengesahkan secara rohani tatanan keluarga patriarkhal : ”Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan” (Ef. 5:22).
- Kedua belas rasul, pemimpin utama Gereja, adalah laki-laki (wakil para kepada 12 suku Israel); generasi pemimpin berikutnya juga laki-laki (Timotius, Titus dsb.).
- Allah juga digambarkan sebagai laki-laki (abba) dan tentu Yesus sendiri.
- Paulus menggantikan dewi kesuburan Asia (Artemis) dengan Allah Bapa orang Yahudi (Kis. 19:23-27). Paulus mengandaikan tatanan sosial hierarkhis-patriarkhal yang bersifat “alamiah” dan dibenarkan oleh agama (1 Kor. 11:7-9; 14:34-36).
Kecenderungan yang sama menentukan sebagian besar tafsiran Alkitab, nas tertentu dipakai untuk membatasi kebebasan dan hak perempuan :
- Meskipun dominasi laki-laki atas perempuan dilihat sebagai akibat dosa dalam Kej. 3:16, ia sering dipandang sebagai “hukum Allah,” dengan menjustifikasikan surat rasuli, “Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan” (Ef. 5:22).
- Sistem dominasi laki-laki mengajarkan sikap yang negatif tentang tubuh perempuan : pendarahan perempuan adalah najis, melahirkan sebagai masalah, dan alat-alat reproduksinya sebagai hal yang kotor. Karena itu perempuan dinyatakan najis selama haid dan setelah melahirkan (Bil. 12:1-8), dan mereka tidak diperbolehkan ikut serta dalam ritual-ritual keagamaan selama masa kenajisan tersebut. Perempuan yang sedang menstruasi dilarang beribadah di dalam gereja masih dipraktikkan di beberapa gereja di Afrika, di dalam beberapa gereja di Indonesia pendeta perempuan yang sedang hamil dilarang memimpin ibadah di gereja. Bahkan ada gereja yang tidak memperbolehkan pendeta perempuan melayani sakramen disebabkan pemahaman yang negatif itu. Penghinaan terhadap perempuan dan tubuhnya telah melegitimasikan misogyny (kebencian terhadap perempuan) dan kekerasan terhadap perempuan. Rosemary R. Ruether, misalnya mengatakan : ”Sejarah Kekristenan menyebut perempuan sebagai lebih rendah, subordinat, dan cenderung kepada kejahatan. Citra-citra ini membenarkan kekerasan yang hampir tidak terbatas terhadap perempuan bila perempuan bersebrangan dengan kemauan laki-laki di rumah atau di masyarakat. Perempuan sebagai korban adalah kaum pinggiran dalam sejarah yang patriarkhal ...”
- Yesus memanggil dua belas orang laki-laki untuk tinggal bersama Dia dan untuk diutus memberitakan Kerajaan Allah (Mrk. 6:7). Berdasarkan fakta itu hanya mereka sajalah yang dianggap sebagai rasul (ditambah Paulus sebagai pengganti Yudas). Pada saat Yesus mengumpulkan para murid-Nya untuk Perjamuan Kudus (Mrk. 14:22-25) atau menghembuskan Roh dan memberikan kepada mereka hak untuk mengampuni dosa (Yoh. 20:19-23), maka tradisi memberi tempat hanya bagi kedua belas rasul tanpa memperhatikan bahwa perempuan-perempuan pun termasuk murid-murid Yesus, dan mereka hadir pada Perjamuan Kudus pertama.
- Ketika Paulus meminta agar perempuan berdiam diri dalam pertemuan jemaat (1 Kor. 14:34), kita lupa bahwa nasihat itu ditujukan pada istri yang dapat ”menanyakan suaminya di rumah” (ay. 35) dan tidak boleh membantah pandangan suami di depan umum. Terlebih-lebih diabaikan bahwa Paulus mengenal perempuan yang berdoa dan bernubuat di depan jemaat (11:5). Nasihat Paulus dipakai sebagai larangan, yakni perempuan tidak boleh memegang jabatan di gereja (kecuali dalam pelayanan diakonia-sosial dan dalam pembinaan anak-anak serta perempuan). Nas yang sama dipakai untuk menolak hak suara para perempuan dan menghindarkan mereka untuk memilih dan dipilih dalam masyarakat umum (sampai pertengahan abad ke-20 di Barat).
Oleh karena itu bagi kaum feminis, Alkitab menjadi ”buku yang berbahaya karena sering digunakan untuk menasihati kaum bawahan dan kaum perempuan agar mereka tunduk pada tuan-tuannya serta mengagumkan peperangan serta memberkatinya.” Elisabeth Schussler Fiorenza menciptakan sebuah metode yang dinamai “a hermeneutic of suspicion,” tafsiran yang meragukan atau mempertanyakan naskah untuk memahami di mana dan apa sebabnya pengalaman perempuan hilang dan sejauh mana masih terdapat sisa yang dapat digali dan diangkat untuk memperoleh suatu gambaran yang lebih utuh.
Teologi feminis tertuju pada “suatu visi masa depan yang di dalamnya maksud Allah bagi ciptaan-Nya yang diperbarui akan tampak. Tatanan patriarchal Kitab Suci, tradisi gerejawi dan teologi sedemikian kebal, sehingga, untuk memberikan kepada perempuan tempat yang layak di dunia laki-laki, dibutuhkan iman yang utopis, yaitu iman yang menemui Allah dalam keakanan, suatu dorongan yang mengubah apa yang kini ada.”[25] Karena itu, meskipun terdapat sejumlah teori sesuai dengan situasinya yang berlainan, mereka “semua setuju, yakni mencari dan membela martabat manusia serta kesetaraan semua perempuan dan laki-laki.”
Menurut Elisabeth Schussler Fiorenza, “menganalisis secara kritis naskah Alkitab yang androsentris berguna secara positif untuk merekonstruksi kembali (membangun) dari permulaan umat Kristen untuk mengembangkan suatu kesadaran alkitabiah yang feminis.” Perempuan mengalami solidaritas dan persatuan sebagai golongan sosial bukan berdasarkan perbedaan biologis dibandingkan dengan laki-laki, tetapi berdasarkan pengalaman sejarah sebagai golongan yang tertindas dan yang berjuang untuk menentukan sejarah (menjadi full historical subjects.
Sehubungan dengan hal tersebut, Elisabeth Schussler Fiorenza terus menerus memberikan tantangan kepada kita “… to challenge white Eropean and American feminist movements and articulations to abandon their cultural imperialism, white supremacy, and exclusivist definition of feminism in terms of middle-class white women’s experiences.”[30]Hal ini mau menegaskan, bahwa kita tidak dapat menguniversalisasikan pengalaman perempuan, atau mencoba menggolongkan realitas perempuan ke dalam satu kata “tertindas,” atau “korban” atau “menderita,” karena dengan melakukan kedua hal tersebut di atas, itu berarti kita mengabaikan bahwa setiap teori tentang apa pun terbatas secara kultural dan historis, termasuk tentang perempuan.
Kita perlu melihat adanya realitas yang multi wajah (perspektif feminis yang beragam) ketika kita berbicara tentang budaya patriarkhi sebagai sistem yang membelenggu terciptanya realitas kesetaraan dalam relasi laki-laki dan perempuan. Hal ini disebabkan karena keberagaman setiap kelompok masyarakat-budaya, dan pengalaman perempuan tidak ada yang tunggal atau berwajah sama.[31] Menurut Banawiratma, patriarkhi berarti ‘hak bapak kekuasaan bapak’ yang sebenarnya memperlihatkan bahwa sebelumnya bapak dan juga suami adalah juga tuan. Karena itu analisis baru muncul dengan istilah ‘kyriarkhi’(Yun. Kyrios=tuan, arkhe=kuasa, penguasa) yang memperlihatkan bahwa dominasi dan subordinasi laki-laki terhadap perempuan berada dalam susunan dan jaringan sosial berlapis-lapis dan kompleks, menjadi satu dengan kolonialisme, penghisapan kelas,rasisme, dominasi dari penguasa, pembesar, tuan, pemilik, majikan dan juga suami. Yang paling dipedulikan adalah mereka yang hidup pada lapisan dasar dari susunan dan jaringan-jaringan sosial itu dengan segala bentuk dominasi, subordinasi dan penindasan yang diderita oleh perempuan dan laki-laki yang dipinggirkan, guna mencapai egalitarian community (suatu komunitas yang sederajat antara laki-laki dan perempuan).
Berangkat dari realitas gender sebagai struktur sosial yang mengatur fungsi sosial laki-laki dan perempuan, oleh kaum feminis Dunia Ketiga, khususnya di Asia telah dipakai sebagai alat analisis untuk melihat ketidakadilan yang berlangsung dalam masyarakat di mana peran perempuan dan laki-laki dibedakan, antara lain dalam bidang domestic/privat dan public. Namun demikian, harus diakui bahwa hidup dan suara perempuan tidak mempunyai satu entitas yang tunggal (seragam) melainkan jamak (beragam).
Pluralitas atau kemajemukan ini mendorong para feminis untuk menekankan aspek kemajemukan dalam metode mereka, dan perbedaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa“there are women’s ways of knowing.” Metode-metode ini (khususnya dalamantropologi feminis) bertujuan untuk mentransformasikan dan memberdayakan kaum perempuan; menyebarkan pengetahuan tentang perempuan yang dapat memberi kontribusi pada pemberdayaan dan pembebasan perempuan demi kesetaraannya dengan laki-laki yang harus diwujudkan dalam seluruh aspek kehidupan.
Bahasa, juga menjadi substansi atau jalan masuk yang krusial (karena bias androsentrismedan arogansi maskulin yang mengasingkan perempuan) bagi kaum feminis dalam proses menumbuhkan kesadaran dan kepekaan kaum perempuan, dan menantang kaum laki-laki, untuk melancarkan kritik, merekonstruksi bangunan-bangunan teoritis, metodologis (dalam berbagai disiplin ilmu) yang melestarikan dominasi, ketimpangan dan ketidakadilan dalam realitas hubungan laki-laki dan perempuan, tekstual dan kontekstual. Rekonstruksi bahasa dilakukan dengan memakai bahasa yang inklusif yang menempatkan diri pribadi dalam relasi yang lebih utuh dengan sesama dan alam, dengan menerima dan memakai kekayaan pengalaman, perspektif setiap orang, terutama perempuan dalam realitas yang plural.
Inklusivitas itu bermuara pada hadirnya shalom dalam komunitas yang egaliter, di mana setiap laki-laki dan perempuan dapat mengalami makna kesetaraan dan setiap orang dapat mengalami realitas keadilan. Pendekatan kritis ini menjadi penting dalam rangka melihat dan memaknakan “pengalaman perempuan” sebagai titik berangkat klaimfeminisme, juga titik berangkat teologi feminis untuk kita refleksikan dan kontekstualisasikan di Indonesia.