Oleh: Pdt. Maryam Kurniawati D.Min
Dalam kehidupan keluarga, gereja dan masyarakat, semua orang pasti pernah mengalami ketidakbaikan, atau pengalaman yang buruk, yang meninggalkan bekas-bekas luka yang sulit dipahami dan diterima. Bisa jadi seseorang pernah disakiti, disalahpahami, dikecewakan, kehilangan kepercayaan, ditertawakan, diejek, kehilangan muka, dan ditindas. Semua orang pernah mengalami penderitaan semacam itu, namun penderitaan juga dapat diwarnai oleh gender (atau masalah jenis kelamin : laki-laki dan perempuan). Bagi laki-laki, kejahatan adalah sesuatu yang dibuat dan dapat dihilangkan lagi. Tetapi bagi kaum perempuan, ketidakbaikan atau ketidakadilan itu terjalin dalam dirinya. Keperempuanan itu sendiri kerapkali dipandang tidak baik, atau paling tidak merupakan suatu tembok atau batas kemanusiaan. Bila seorang perempuan melakukan sesuatu yang buruk, hal itu dipandang sebagai ’kodratnya’ yang memang dipenuhi oleh ketidakbaikan, karena perempuan bertanggungjawab atas kejatuhan manusia ke dalam dosa.
Kekerasan merupakan masalah di mata Allah, karena menyangkut hidup dan kehidupan (perempuan dan anak-anak). Kekerasan adalah penghancuran hak manusia yang paling hakiki, yaitu hak untuk hidup dengan aman.
Kekerasan adalah masalah iman. Karena manusia (baik laki-laki maupun perempuan adalah gambar dan rupa Allah). Oleh karena itu kekerasan adalah penghancuran akan gambar dan citra Allah itu. Inilah yang menjadi alasan utama mengapa segala bentuk kekerasan harus dihentikan dari kehidupan manusia di dunia ini, baik di dalam kehidupan rumah tangga, keluarga, dan bahkan gereja. Bentuk-bentuk kekerasan atau penindasan itu dapat kita lihat dalam 5 bentuk :
(1) Dominasi/Subordinasi. Laki-laki adalah tuan, dan majikan (karena tempatnya adalah di luar/publik), dan perempuan adalah kaum yang lemah, karena itu tempatnya adalah di rumah (memasak, mengurusi suami dan anak dsb).
(2) Marginalisasi. Marginalisasi bisa dalam bentuk diskriminasi. Sikap kita sebagai orangtua, kerapkali tidak adil. Anak laki-laki boleh melakukan apa saja, termasuk hal-hal yang buruk, karena dia adalah laki-laki. Sedangkan anak perempuan, harus pandai mematut-matut diri dan tunduk kepada ayahnya. Upah buruh perempuan sangat rendah dibandingkan dengan laki-laki, karena dia dianggap punya suami, dan lebih bodoh dari laki-laki. Di gereja, tempat perempuan hanya di bagian konsumsi dan sekretariat. mereka tidak dilibatkan untuk mengambil keputusan, karena mereka tidak tahu apa-apa.
(3) Stereotyping. Cap atau stempel, bahwa perempuan itu lemah, dan kurang terdidik dalam menangani masalah-masalah sosial-ekonomi dan politik. Pekerjaan perempuan hanya memasak dan mengurusi suami, anak dan keluarganya.
(4) Unjust burden (beban yang tidak adil antara laki-laki dan perempuan). Bila seorang istri bekerja sebagai pegawai atau guru dan karyawan, dia dituntut untuk bisa menangani sekaligus urusan di dalam keluarganya. Melayani suami dan anak-anaknya, bahkan mertuanya. (5) Kekerasan, baik secara fisik (dengan memukul, menampar dan sebagainya) maupun secara psikis (dengan kata-kata kasar, umpatan, caci maki, tidak memberi nafkah kepada istri dsb)
Dalam kaitan itu, Gereja seharusnya adalah pihak pertama yang harus bertanggung jawab untuk terlibat secara aktif dalam upaya penghentian kekerasan. Gereja adalah saudara dan saya, dan bukan bangunan gereja ini. Kita harus merombak atau mengubah entah itu ajaran, tradisi atau budaya yang telah secara langsung atau pun tidak langsung mengakibatkan kekerasan terhadap umatnya, khususnya kaum perempuan dan anak-anak. Karena terbukti, dan Gereja tidak bisa mengingkari, bahwa telah terjadi begitu banyak kekerasan yang dilakukan di dalam keluarga-keluarga kita, bahkan di dalam gereja-gereja dan lembaga-lembaga pendidikan kita. Anna Julia Cooper, seorang pendidikan perempuan, lebih dari seratus tahun lalu sudah menuliskan, ”dunia perlu mendengar suara perempuan” yang sekian lama dibungkam, termasuk di dalam membaca ”teks-teks Kitab Suci” untuk menempatkan pengalaman manusia secara keseluruhan baik laki-laki maupun perempuan.”
Kejadian 1:27 mencerminkan eksistensi manusia yang terdalam. Bahwa manusia adalah ciptaan Allah dan manusia ciptaan Allah itu adalah laki-laki dan perempuan. Kredo ini menggarisbawahi kesamaan harkat dan martabat laki-laki dan perempuan di hadapan Allah. Tidak ada yang lebih tinggi atau yang lebih rendah terhadap yang lain, keduanya diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kejadian 1:26). Gambaran bahwa perempuan diciptakan dari rusuk laki-laki memperlihatkan bahwa keduanya mempunyai sumber yang sama, mereka adalah kesatuan, suatu keutuhan dan bukan menunjuk bahwa perempuan lebih rendah dari laki-laki, sebagaimana yang diikrarkan sendiri oleh Adam, ”Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku” (Kej. 2:23). Namun dalam kenyataannya, kredo ini sering tidak diimplementasikan, lain kata, lain tindakan.
Penyebab utamanya adalah pengaruh kuat budaya patriarkhal yang telah merasuk dan berakar kuat dalam pemikiran kita, mempengaruhi sistem nilai yang kita anut dan tercermin secara jelas dalam pola relasi yang kita kembangkan baik terhadap laki-laki maupun perempuan, termasuk dalam membesarkan dan mendidik anak-anak kita. Kristus membebaskan manusia dari segala bentuk perbudakan dan diskriminasi yang didasarkan atas perbedaan-perbedaan suku dan ras, status sosial-ekonomi, jenis kelamin (gender) dsb, yang tidak memanusiakan manusia, sebagaimana disaksikan Paulus, ”... kamu semua, yang dibaptis dalam Kristus, telah mengenakan Kristus. Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus” (Galatia 3:27-28). Berita Injil yaitu ”Kabar Baik” atau berita pembebasan bagi manusia dan seluruh ciptaan perlu kita garisbawahi dan menjadi kacamata dalam kita membaca dan memahami berita Alkitab.
Para penulis Alkitab pada umumnya dipengaruhi oleh budaya jamannya yang patriarkhal. Berita Injil mengenai manusia laki-laki dan perempuan sebagai gambar Allah (Kejadian 1-2) dan kesamaan martabat manusia perempuan dan laki-laki di dalam Kristus (Galatia 3:28) sering dikaburkan oleh ayat-ayat Alkitab lainnya yang mengagungkan laki-laki dan merendahkan perempuan. John S. Pobee menandaskan bahwa, ”Firman Allah termuat dalam Alkitab, tetapi tidak sama (identik) dengan Alkitab.” Ia melanjutkan ”sejak kejatuhan ke dalam dosa bahasa Alkitab yang menyapa manusia laki-laki dan perempuan telah diganti oleh bahasa yang terpusat pada laki-laki, dengan demikian dominasi laki-laki atas perempuan menjadi norma.
Acapkali bahkan selalu terjadi bahwa atas nama Alkitab perempuan dikesampingkan dan dikorbankan. Pobee melihat pentingnya menempatkan percakapan mengenai laki-laki dan perempuan dalam terang manusia sebagai gambar Allah dan dalam konteks komunitas, sehingga hubungan yang saling tergantung antara laki-laki dan perempuan serta kesatuan mereka diutamakan. Perbedaan yang ada di antara laki-laki dan perempuan adalah kenyataan, tetapi perbedaan itu tidak menempatkan yang satu lebih tinggi daripada yang lainnya (perbedaan hierarkhis). Perbedaan itu terutama harus dilihat dalam konteks hubungan yang dinamis, timbal balik dan saling melengkapi.
Injil Lukas menempatkan seorang perempuan Maria, ibunda Yesus dan seorang laki-laki, yaitu Yohanes Pembaptis, yang membuka jalan bagi Yesus. Keduanya memperlihatkan tempat laki-laki dan perempuan yang setara dalam terang manusia sebagai gambar Allah. Maria menerima berita, bahwa ia diberikan karunia dan disertai Allah, yang berarti bahwa ia dipilih demi tugas yang penting. Ia akan mengandung dan melahirkan seorang anak yang diberi nama Yesus (Tuhan yang menyelamatkan) dan yang akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi, dan yang akan diberikan takhta Daud leluhurnya, sebagai Mesias yang dinanti-nantikan oleh umat Israel dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan.
Sama seperti para nabi, Maria menyatakan keberatan terhadap tugas panggilannya dan ia pun diberi tanda dan janji. Ia menerimanya dan menjawab, ”Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu” (Lukas 1:38). Dengan menyetujui rencana Allah, Maria ikut menyongsong zaman baru dan menjadi pelopor sekalian orang yang percaya pada Anak-Nya serta melayani demi nama-Nya. Tidak ada syarat tertentu yang Maria harus penuhi di mana Allah mempercayakan tugas mulia atau pun sederhana. Maria tidak meminta apapun, selain kerelaan menerima ajakan dan janji Allah. Demikian juga untuk kita.
Dengan demikian pemahaman dan pandangan kita tentang identitas Hawa, sebagai perempuan berdosa yang melambangkan perempuan yang lainnya, ibu sekalian orang yang hidup, seorang yang bersuami dengan kekuatan besar, yang biasa bekerja keras dan menderita, yang dilihat secara negatif sebagai penyebab atau yang memasukkan dosa ke dalam dunia, patut kita ubah menjadi Maria, yang manis dan pasrah memasukkan hidup kekal ke dalam dunia melalui Anak-Nya, Yesus Kristus. Dengan kata lain, paradigma kita yang lama, yang memandang kaum perempuan sebagai kaum yang lemah, yang penuh dengan ketidakbaikan atau keburukan, sebagai penyebab yang memasukkan dosa ke dalam dunia, kita ganti dengan paradigma baru, yang memandang kaum perempuan sebagaimana Maria, yang merelakan dan menyerahkan hidupnya kepada Yesus Kristus, Anak-Nya. Menurut saya, selama kita masih menempatkan kaum perempuan sebagaimana Hawa, yang perlu kita singkirkan dan kita kambinghitamkan sebagai penyebab dosa ke dalam dunia, selama itu pula keberadaan kita, sebagai Gereja akan terus disingkirkan dan dikambinghitamkan, dan dianiaya. Karena itu kita perlu mengganti kaca mata dan paradigma kita, dengan memandang kaum perempuan sebagai Maria dan Anak-Nya yang melambangkan kasih Allah Bapa kepada kita. Kehadiran perempuan yang membawa inspirasi, yang rahmani (penuh dengan belas kasih) di hadapan Allah. Soli Deo Gloria!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar