Kompetisi atau persaingan merupakan kenyataan hidup yang tak dapat kita hindari. Definisi "persaingan" menurut KBBI adalah upaya yang dilakukan untuk memperlihatkan keunggulan masing-masing pihak di dalam pekerjaan, posisi, jabatan, pelayanan, pemilikan uang, harta dan kekayaan. Persaingan terjadi di seluruh bidang dan area kehidupan, baik di dalam keluarga, rumah tangga, pekerjaan, dunia usaha, dunia politik bahkan di dalam gereja Tuhan.
Sebagai sebuah upaya untuk memotivasi seseorang untuk meningkatkan kompetensi dan kinerja yang dibuat di dalam pekerjaan, pelayanan terhadap publik dan masyarakat, persaingan adalah sebuah kenyataan yang positif. Sayangnya, untuk menunjukkan keunggulannya, orang kerapkali tergoda untuk menghalalkan semua cara asal tujuan tercapai. Mereka tidak segan-segan untuk melakukan cara-cara yang licik, manipulatif dan culas. Mereka melihat orang lain, bukan lagi sebagai kawan melainkan lawan.
Untuk bersaing secara sehat, orang perlu memiliki konsep atau gambar diri yang positif karena setiap orang banyak kelebihannya, tetapi tidak sedikit kekurangan dan kelemahannya. Menjadikan lawan sebagai kawan, serta tetap fokus pada tujuan merupakan sikap yang positif, yang dapat mencegah seseorang untuk melakukan cara-cara yang licik, manipulatif dan culas. Langkah berikutnya adalah terbuka pada auto-kritik untuk memperbaiki serta meningkatkan kompetensi dan kinerja yang telah dilakukan.
Saya jadi teringat sikap mental kepiting. Talangka adalah sejenis kepiting sawah yang hidup di Filipina. Orang Filipina kerapkali menggunakan Talangka untuk menggambarkan keadaan sosial-politik di negerinya. Mengapa? Kalau orang mengangkap Talangka, ia tidak perlu repot-repot menjaganya Ditinggalkan sajadi dalam ember, pasti tidak ada yang kabur karena Talangka akan berebut naik. Mereka akan saling sikat, sikut, tendang dan gigit untuk bisa naik ke atas Hasilnya, sampai pagi tidak ada seekor pun Talangka yang berhasil dan lolos. Talangka akan terdiam kelelahan dan siap untuk direbus dan dimasak. Nah bagaimana dengan kita? Apakah kita memiliki gambar diri yang positif, yang memampukan kita untuk bersaing secara sehat serta menjauhkan diri dari sikap dan mentalitas kepiting Talngka? Semoga.
Dalam Alkitab, persaingan yang tidak sehat terjadi antara Daud dan Saul. Saul tidak ingin Daud menggantikan posisinya sebagai raja Israel. Sebab itu ia berusaha untuk membunuh Daud. Begitu pula dengan Salomo dan Adonai. Salomo membunuh Adonia untuk mempertahankan tahtanya. Sedangkan Yoram, ia membunuh semua saudara-saudaranya agar tidak menjadi ancaman baginya. Yakub mengelabui Esau dan menipu Ishak untuk memperoleh hak kesulungan. Hal yang sama terjadi pada Yusuf. Saudara-saudaranya merasa iri hati dan dengki karena Yakub mengasihi Yusuf lebih dari anak-anak lainnya. Mereka menjual Yusuf sebagai budak, dan membohongi ayah dan ibu mereka. Ketika bayi Yesus lahir di Betlehem, Raja Herodes merasa takut dan terancam. Oleh karena itu ia memerintahkan untuk menghukum mati semua bayi laki-laki yang baru lahir di Betlehem. Persaingan/kompetisi yang tidak sehat selalu menimbulkan kekacauan, kejahatan, kekejaman dan kehancuran dalam segala bentuknya.
Nah bagaimana dengan kita? Persaingan terjadi dalam kehidupan keluarga dan rumah tangga kita (antara orangtua dan anak, suami dan istri, kakak dan adik dsb). Dalam pekerjaan dan bidang usaha, jangan ditanya lagi. Sikut-menyikut dan saling menjatuhkan, dan semua cara dijadikan halal untuk menncapai tujuan. Dalam pelayanan, persaingan yang tidak sehat sering terjadi di semua arasy, baik di dalam ke-Panitiaan, ke-Pengurusan, ke-Majelisan bahkan di antara para Pelayan Tuhan). Dalam kehidupan masyarakat, persaingan sangat keras dan menakutkan terjdi dalam Piilpres 2014. Segala upaya dilakukan untuk mengaburkan hasil Pemilu yang obyektif, bahkan mekmbentuk kelompok perlawanan yang permanen untuk mengantisipasi kemenangan lawan.
Ada banyak peristiwa yang terjadi dalam kehidupan dan pelayanan kita, yang memperlihatkan bahwa persaingan yang tidak sehat akan selalu menimbulkan kekacauan baik dalam pekerjaan maupun dalam relasi kita dengan orang-orang di sekitar kita. Kita pun mungkin pernah menghadapi situasi seperti ini… Orang mungkin memfitnah, menjelek-jelekan, bahkan mencari-cari kesalahan dan memperlakukan kita dengan buruk dan tidak manusiawi. Menerima dengan lapang hati dan berupaya untuk mengampuni adalah pilihan yang terbaik, daripada membenamkan diri dan tenggelam dalam kepahitan, dendam dan luka-luka di dalam hati. Ini adalah salah satu bentuk penyangkalan diri, memikul salib dan setia mengikut Kristus. Satu hal yang harus kita yakini, bahwa Tuhan tidak buta dan tuli. Manusia dapat mereka-reka yang buruk, tetapi Tuhan sanggup mengubah semua hal yang buruk itu menjadi berkat yang luar biasa dalam kehidupan kita. Asal kita setia dan memberlakukan Firman-Nya.
Menurut Rasul Paulus, kita harus menanggalkan kemanusiaan (=manusia lama) kita, dan memberi diri untuk dipimpin oleh Roh Kudus agar kita sungguh-sungguh dimampukan untuk melanjutkan tugas panggilan hidup kita. Pilihan selanjutnya, adalah kita belajar dari Yesus. Ia tidak pernah
berupaya untuk memperlihatkan bahwa Ia lebih unggul (atau tidak mau kalah) dari Yohanes Pembaptis, atau Musa dan Elia lalu menfitnah, menjelek-jelekan, dan mencari-cari kesalahan mereka. Yesus juga tidak pernah mendiskreditkan orang berdasarkan "label" atau "stigma" yang dibuat manusia (seperti pemungut cukai, pelacur, dsb). Buktinya, Ia menyerahkan diri-Nya untuk difitnah secara keji oleh para pemuka agama Yahudi, dikhianati oleh murid-Nya, serta disiksa dan mati disalibkan di Bukit Golgota. Untuk apa? Untuk memberi pelajaran kepada kita, bahwa segala karunia, berkat dan talenta yang diberikan oleh Tuhan kepada setiap orang tidak pernah ada yang sama. Sebab itu, jangan berkecil hati atau iri hati dan dengki bila ada sebagian orang yang dipercayakan bakat, talenta, dan berkat yang lebih besar dari yang kita miliki.
Terus memotivasi diri untuk mengembangkan diri dan kreatif, memupuk sikap senasib sepenanggungan, setia kawan dan solider adalah pilihan yang terbaik bagi kita. Bukankah persaingan yang tidak sehat hanya akan melahirkan kebencian, permusuhan, dan kehancuran dan tidak akan pernah ada pihak yang diuntungkan? Tidak hanya itu saja. Hati, jiwa dan spiritualitas kita akan seperti pohon ara yang dari jauh mungkin tampak hijau tapi tidak berbuah. Yesus mengajar kita untuk mendengar dan memberlakukan Firman-Nya, agar kita semua "menjadi tanah yang subur." Untuk dapat menjadi tanah yang subur kita harus bekerja keras untuk menjaga dan memelihara benih yang sedang bertumbuh. Memberi pupuk dan air dan sinar matahari yang cukup, mengusir hama dan burung yang mengganggu, sehingga benih itu akan terus tumbuh dan akhirnya berbuah seratus kali lipat, enam puluh kali lipat, tiga puluh kali lipat (Matius 13:23). Oleh karena itu, kita harus mendidik anak-anak kita untuk berjiwa besar, dan bersaing secara sehat. Soal menang dan kalah sebenarnya adalah biasa. Semua pihak, harus tetap mengembangkan diri dan menjadi lebih baik lagi. Dalam Roma 14:19, dikatakan,"Marilah kita mengejar apa yang mendatangkan damai sejahtera dan yang berguna untuk saling membangun." Soli Deo Gloria!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar