Entah mengapa, banyak di antara kita yang masih merasa enggan, dan bahkan merasa tidak nyaman, ketika menggunakan istilah ”feminisme atau feminis” dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa atribut yang dikenakan kepada feminisme, misalnya, ”datang dari Barat,” ”tidak membumi di Indonesia,” ”terlalu radikal,” ”aliran kiri,” akan membatasi ruang gerak kita untuk berdiri, melompat, berlari, dan menari dalam keseharian kita dalam proses mendefinisikan ulang istilah ”feminisme,” berangkat dari realitas hidup kita sebagai kaum perempuan dan kaum laki-laki.
Constance Singam, seorang feminis dari Singapura, mengungkapkan betapa istilah tersebut masih menjadi momok yang menakutkan,
bahkan oleh kaum perempuan sendiri, yang tidak ingin dicap feminis.
Berangkat dari ketakutan dan kecurigaan yang seperti itulah, Constance
kemudian menantang pembaca artikelnya, dan termasuk kita supaya :
"...
before you turn away from feminist, think for a moment what they are
trying to accomplish and the work that still needs to be done. You can’t
sit back and hope things will change. You only have to look at history
to conclude that reform is not handed to you on a plate and equality is
something that must be fought for again and again and is retained only
by watchfulness."
Pernyataan Constance memperlihatkan antara lain, dua unsur yang menjadi perjuangan kaum feminis, yaitu “transformasi” dan “kesetaraan laki-laki dan perempuan” yang beraras dalam setiap segi kehidupan. Stigma sosial yang
dikenakan kepada kaum perempuan sebagai kaum yang dikesampingkan dan
dipinggirkan, kerapkali diabaikan dan tidak tersentuh, apalagi teratasi
dengan membaca Alkitab hanya dari perspektif kaum laki-laki. Hal ini
disebabkan karena sikap dominasi laki-laki, yang mendominasi dan
meminggirkan kaum perempuan itu sudah sangat berakar dalam kehidupan
masyarakat. Selanjutnya, yang lebih ironis lagi, Alkitab sendiri
mengandung banyak teks yang secara sepintas atau pun langsung
meminggirkan, dan bahkan menindas kaum perempuan (1 Kor. 14:34 dan
sebagainya). Teks-teks semacam itu sudah sangat sering digunakan untuk
memperkokohsubordinasi kaum
perempuan dalam masyarakat maupun gereja. Menurut Marie C. Barth, “Di
satu segi Alkitab melukai kita sebagai perempuan dan mengaburkan kasih
Allah, di segi lain ia justru menolong kita memahami kemerdekaan yang
kita cari.”
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, S. Fiorenza menciptakan sebuah metode yang dinamai “a hermeneutic of suspicion,”tafsiran
yang meragukan atau mempertanyakan naskah untuk memahami di mana dan
apa sebabnya pengalaman perempuan hilang dan sejauh mana masih terdapat
sisa yang dapat digali dan diangkat untuk memperoleh suatu gambaran yang
lebih utuh. Menurut S. Fiorenza, “menganalisis secara kritis naskah
Alkitab yang androsentris berguna secara positif untuk merekonstruksi kembali
(membangun) dari permulaan umat Kristen untuk mengembangkan suatu
kesadaran alkitabiah yang feminis.”[8] Perempuan mengalami solidaritas
dan persatuan sebagai golongan sosial bukan berdasarkan perbedaan
biologis dibandingkan dengan laki-laki, tetapi berdasarkanpengalaman sejarah sebagai golongan yang tertindas dan yang berjuang untuk menentukan sejarah (menjadi full historical subjects).
Teologi Feminis bagi kebanyakan orang Timur diasosiasikan dengan pemikiran Barat yang memperjuangkan hak-hak dan kebebasan perempuan dalam berbagai bidang, dan karena itu banyak yang ”bias” terhadap istilah ini, mencapnya sebagai produk masyarakat Barat. Terlepas dari benar atau tidak sinyalemen ini, banyak kalangan yang mengkuatirkan bahwa teologi ini cenderung dikotomi dan konfrontatif dalam pendekatan, berbau individualistik serta condong menjadi eksklusif perempuan. Bagi masyarakat Timur yang lebih menekankan dimensi kehidupan komunitas tampaknya pendekatan gender dianggap lebih cocok. Namun banyak teolog feminis yang menganggap bahwa pendekatan ini terlalu lunak untuk dapat membongkar sistem patriarkhal yang telah mendarah daging, karena itu mereka lebih condong menggunakan istilah teologi feminis, sekalipun tidak semuanya seragam dalam pendekatan maupun fokus utamanya. Pluralitas teologi feminis maupun pendekatan tersebut dapat saling memperkaya dan saling mengoreksi.
Teologi Feminis bagi kebanyakan orang Timur diasosiasikan dengan pemikiran Barat yang memperjuangkan hak-hak dan kebebasan perempuan dalam berbagai bidang, dan karena itu banyak yang ”bias” terhadap istilah ini, mencapnya sebagai produk masyarakat Barat. Terlepas dari benar atau tidak sinyalemen ini, banyak kalangan yang mengkuatirkan bahwa teologi ini cenderung dikotomi dan konfrontatif dalam pendekatan, berbau individualistik serta condong menjadi eksklusif perempuan. Bagi masyarakat Timur yang lebih menekankan dimensi kehidupan komunitas tampaknya pendekatan gender dianggap lebih cocok. Namun banyak teolog feminis yang menganggap bahwa pendekatan ini terlalu lunak untuk dapat membongkar sistem patriarkhal yang telah mendarah daging, karena itu mereka lebih condong menggunakan istilah teologi feminis, sekalipun tidak semuanya seragam dalam pendekatan maupun fokus utamanya. Pluralitas teologi feminis maupun pendekatan tersebut dapat saling memperkaya dan saling mengoreksi.
Teologi
Feminis membuat refleksi kritis atas budaya patriakhi dan membangun
kesadaran baru dan penuh (=konsientisasi) dengan tujuan membebaskan kaum
perempuan dari belenggu budaya yang menindasnya dan mengembangkan suatu
hubungan baru di antara mitra yang sederajat sebagai sesama makhluk
Allah dan saudara Yesus. Meskipun terdapat sejumlah teori sesuai dengan
situasinya yang berlainan, mereka “semua setuju, yakni mencari dan
membela martabat manusia serta kesetaraan semua perempuan dan
laki-laki.” Karena itu teologi feminis tertuju pada “suatu visi masa
depan yang di dalamnya maksud Allah bagi ciptaan-Nya yang diperbarui
akan tampak. Tatanan patriarchal Kitab
Suci, tradisi gerejawi dan teologi sedemikian kebal, sehingga, untuk
memberikan kepada perempuan tempat yang layak di dunia laki-laki,
dibutuhkan iman yang utopis, yaitu iman yang menemui Allah dalam keakanan, suatu dorongan yang mengubah apa yang kini ada.”
Teolog
feminis di Asia dan Afrika menghadapi tugas yang lebih sulit lagi.
Sebab selain usaha menyingkirkan sikap patriarkhal dan androsentris,
mereka juga harus mengatasitradisi Barat yang berpikir secara eksklusif (yaitu yang tidak benar harus dinyatakan salah) dan individualis untuk
menemukan kembali paham inklusif menuju persekutuan yang pluralis
(hidup dalam kepelbagaian). Mereka mengalami sendiri suatu tradisi yang
pernah memperalat Alkitab – dalam pemahaman Barat – sebagai tolok ukur
atas budaya dan agama di Asia, Afrika dan Amerika Latin.
Kwok
Pui-Lan, seorang teolog perempuan dari Hongkong, mengingatkan kita,
bahwa Alkitab dibawa oleh kaum kolonial. Sama seperti kaum Barat yang
memerintah menurut polanya sendiri, demikian juga para penginjil memakai
Alkitab untuk membenarkan diri danmenguasai orang
Kristen baru menurut pola mereka. Agama, kitab suci atau tradisi lisan,
warisan hikmat leluhur, kedudukan tinggi perempuan dalam kebudayaan
tertentu, semuanya diremehkan atas nama suatu ”etnosentrisme” yang berinti pada tradisi umat Kristen Barat sebagai umat pilihan Allah.
Kaum
feminis meninggalkan warisan pemikiran eksklusif yang menentukan
kebudayaan Barat yang dominan itu dan mencari pemikiran inklusif, yang
menerima kepelbagaian sebagai kekayaan dan dorongan untuk mencari
kebenaran yang lebih dalam dan utuh. Menurut Kwok Pui-Lan, ”Alkitab itu
terlalu penting untuk ditaklukkan pada satu pola tafsir yang tunggal
saja.” Metode ilmiah (historis-kritis) hanya dapat dilihat
sebagai salah satu cara, ”hasilnya harus diuji oleh umat beragama di
setiap tempat, oleh mereka yang membaca ulang Alkitab setiap hari serta
berusaha menyalin sejarah dan perjuangannya sendiri dengan cerita
Alkitab.”
Sehubungan dengan hal tersebut, Elisabeth Schussler Fiorenza terus menerus memberikan tantangan kepada kita “… to
challenge white Eropean and American feminist movements and
articulations to abandon their cultural imperialism, white supremacy,
and exclusivist definition of feminism in terms of middle-class white women’s experiences.” Hal ini mau menegaskan, bahwa kita tidak dapat menguniversalisasikan pengalaman
perempuan, atau mencoba menggolongkan realitas perempuan ke dalam satu
kata “tertindas,” atau “korban” atau “menderita,” karena dengan
melakukan kedua hal tersebut di atas, itu berarti kita mengabaikan bahwa
setiap teori tentang apa pun terbatas secara kultural dan historis,
termasuk tentang perempuan. Schussler Fiorenza membedakan tiga aliran
tafsiran yang berbeda : 1)
aliran doktriner yang menempatkan nas dalam kerangka ajaran gereja, 2)
aliran histories yang menempatkan nas dalam lingkungan sejarah zamannya,
dan 3) aliran pastoral teologi yang bertanya apa yang hendak dikatakan
Allah kini pada gereja atau orang Kristen dalam situasinya.
Kecenderungan
yang sama menentukan sebagian besar tafsiran Alkitab, nas tertentu
dipakai untuk membatasi kebebasan dan hak perempuan : a) Meskipun
dominasi laki-laki atas perempuan dilihat sebagai akibat dosa dalam Kej.
3:16, ia sering dipandang sebagai ”hukum Allah.” b) Yesus memanggil dua
belas orang laki-laki untuk tinggal bersama Dia dan untuk diutus
memberitakan Kerajaan Allah (Mrk. 6:7). Berdasarkan fakta itu hanya
mereka sajalah yang dianggap sebagai rasul (ditambah Paulus sebagai
pengganti Yudas). Pada saat Yesus mengumpulkan para murid-Nya untuk
Perjamuan Kudus (Mrk. 14:22-25) atau menghembuskan Roh dan memberikan
kepada mereka hak untuk mengampuni dosa (Yoh. 20:19-23), maka tradisi
memberi tempat hanya bagi kedua belas rasul tanpa memperhatikan bahwa
perempuan-perempuan pun termasuk murid-murid Yesus, dan mereka hadir
pada Perjamuan Kudus pertama. c) Ketika Paulus meminta agar perempuan
berdiam diri dalam pertemuan jemaat (1 Kor. 14:34), kita lupa bahwa
nasihat itu ditujukan pada istri yang dapat ”menanyakan suaminya di
rumah” (ay. 35) dan tidak boleh membantah pandangan suami di depan umum.
Terlebih-lebih diabaikan bahwa Paulus mengenal perempuan yang berdoa
dan bernubuat di depan jemaat (11:5). Nasihat Paulus dipakai sebagai
larangan, yakni perempuan tidak boleh memegang jabatan di gereja
(kecuali dalam pelayanan diakonia-sosial dan dalam pembinaan anak-anak
serta perempuan). Nas yang sama dipakai untuk menolak hak suara para
perempuan dan menghindarkan mereka untuk memilih dan dipilih dalam
masyarakat umum (sampai pertengahan abad ke-20 di Barat).
Perlu kita pahami bahwa Alkitab
dibentuk oleh kaum laki-laki dalam budaya patriarkhal, sehingga banyak
pengalaman dan pernyataan ditafsirkan oleh kaum laki-laki dari sudut
pandang patriarkhal. Usaha penafsiran dari abad ke abad dan penentuan
kitab-kitab mana yang diterima oleh umat (dalam ”kanon”) menunjang
pemahaman patriarkhal dan meniadakan apa yang masih tersirat tentang
pengalaman perempuan atau, saat ia masih terpelihara, ia ditafsirkan
secara androsentris. Akibatnya Alkitab menjadi sumber yang membenarkan
konsep patriarkhat dalam masyarakat Yahudi dan Kristen. Apakah
pentingnya Alkitab itu bagi kita? Ia menentukan iman dan jati diri
Kristen dan ”Kitab yang merupakan dasar keterikatan kita (pada
tradisi-tradisi patriarkhal) serentak merupakan sumber pembebasan kita,
yaitu sumber utama kritik feminis terhadap penindasan patriarkhal.
Inti berita Alkitab dan iman Kristen membebaskan, menyembuhkan dan membangun manusia yang utuh menurut pola kasih dan keadilan Allah. Karena itu bagi kaum feminis, Alkitab adalah ”buku yang berbahaya karena sering digunakan untuk menasihati kaum bawahan dan kaum perempuan agar mereka tunduk pada tuan-tuannya serta mengagumkan peperangan serta memberkatinya.” (Letty M. Russel). Dengan kata lain ”di satu pihak Alkitab ditulis dalam bahasa androsentris, berasal dari budaya patriarkhal zaman dulu dan digunakan sepanjang sejarah untuk meremehkan kaum perempuan dan membenarkan penindasan terhadap mereka. Namun di pihak lain, kaum perempuan, laki-laki dan kaum yang terpinggirkan lainnya, mengalami Alkitab sebagai sumber inspirasi yang mendukung perjuangannya melawan penindasan. Jati dirim Kristen yang berakar dalam Alkitab sebagai pola dasar yang menentukannya itu harus senantiasa dibongkar dan dibangun kembali dalam rangka praktik global untuk membebaskan tidak hanya kaum perempuan tetapi juga semua orang yang kemanusiaannya diancam oleh masyarakat dan agama yang patriarkhal.” (Schussler Fiorenza).
Inti berita Alkitab dan iman Kristen membebaskan, menyembuhkan dan membangun manusia yang utuh menurut pola kasih dan keadilan Allah. Karena itu bagi kaum feminis, Alkitab adalah ”buku yang berbahaya karena sering digunakan untuk menasihati kaum bawahan dan kaum perempuan agar mereka tunduk pada tuan-tuannya serta mengagumkan peperangan serta memberkatinya.” (Letty M. Russel). Dengan kata lain ”di satu pihak Alkitab ditulis dalam bahasa androsentris, berasal dari budaya patriarkhal zaman dulu dan digunakan sepanjang sejarah untuk meremehkan kaum perempuan dan membenarkan penindasan terhadap mereka. Namun di pihak lain, kaum perempuan, laki-laki dan kaum yang terpinggirkan lainnya, mengalami Alkitab sebagai sumber inspirasi yang mendukung perjuangannya melawan penindasan. Jati dirim Kristen yang berakar dalam Alkitab sebagai pola dasar yang menentukannya itu harus senantiasa dibongkar dan dibangun kembali dalam rangka praktik global untuk membebaskan tidak hanya kaum perempuan tetapi juga semua orang yang kemanusiaannya diancam oleh masyarakat dan agama yang patriarkhal.” (Schussler Fiorenza).
Oleh karena itu kita perlu melihat adanya realitas yang multi wajah (perspektif feminis yang beragam) ketika kita berbicara tentang budaya patriarkhi sebagai
sistem yang membelenggu terciptanya realitas kesetaraan dalam relasi
laki-laki dan perempuan, karena keberagaman setiap kelompok masyarakat
dan budaya, karena tidak ada pengalaman perempuan yang tunggal atau
berwajah sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar