Hari
Rabu, tanggal 7 Desember 2011 yang lalu, saya bersama dua orang Pengurus berada
di Nanggroe Aceh Darussalam. Kami melakukan kunjungan dan evaluasi terhadap
tiga orang guru yang dikirimkan dari Jakarta untuk membantu Sekolah Metodist di
Banda Aceh, dan kami sungguh menikmati pelayanan ini. Proyek kerjasama dengan
Sekolah Metodist telah dilakukan sejak tahun 2005, sesudah peristiwa Tsunami.
Bekerjasama dengan sekolah Ipeka, Lemuel, dan sekolah Ketapang, kami melakukan
pembinaan dan pelatihan guru-guru di sana dan mendatangkan guru-guru dari
Jakarta untuk kelangsungan hidup Sekolah tersebut. Hari itu kami dikejutkan
dengan berita dari Jakarta. Seorang
laki-laki membakar dirinya di depan Istana Merdeka, sebagai protes keras atas
korupsi dan pelanggaran Hak-hak Azasi Manusia yang dilakukan oleh para pejabat
tinggi di negara ini. Siapakah laki-laki itu? Dia adalah Sondang Hutagalung,
salah seorang mahasiswa Universitas Bung Karno. Selain itu, ia adalah salah
seorang sahabat Munir, yang telah tewas dibunuh beberapa tahun yang lampau.
Hari Sabtu malam, bersama seluruh rakyat Indonesia yang pernah berjuang
bersamanya, kita turut berduka, karena Sondang Hutagalung telah menghembuskan
nafas terakhirnya dan pengorbanannya, sungguh amat menyesakkan hati kita,
karena kasus-kasus korupsi dan pelanggaran Hak-hak Azasi Manusia masih
terus-menerus dibiarkan terjadi di negara ini. Bagaimana pun juga Sondang
adalah pribadi yang heroik, yang berani menolak dengan tegas ketidakadilan dan
dosa yang dilakukan oleh para pejabat tinggi negara ini.
Alkitab
memperlihatkan kepada kita dua pribadi yang radikal dan heroik, yaitu Yohanes
Pembaptis dan Elia. Bertahun-tahun lamanya sebelum kelahiran Yesus Kristus,
nabi Maleakhi mempermaklumkan, bahwa nabi Elia akan datang kembali ke dunia
sebelum kedatangan hari Tuhan. Dalam kitab Maleakhi 4:5 dikatakan,
“Sesungguhnya Aku akan mengutus nabi Elia kepadamu menjelang datangnya hari
Tuhan yang besar dan dasyat itu.” Empat ratus kemudian, Simon Petrus
memproklamasikan bahwa “Yesus adalah Mesias, Anak Allah yang hidup.” (Matius
16:16) Namun bukankah Elia harus datang dulu sebelum kedatangan Sang Mesias?
Hal ini membingungkan para murid, sehingga Yesus menjelaskan kepada para murid
bahwa Elia telah datang dan menderita di tangan orang-orang yang tidak percaya
(Matius 17:12). Dari kata-kata Yesus itu, para murid memahami bahwa yang
dimaksudkan oleh Yesus adalah Yohanes Pembaptis, bentara Tuhan yang dipenggal kepalanya
oleh Herodes (Matius 14:1-12).
Baik
Yohanes Pembaptis maupun Elia dipandang sebagai pribadi-pribadi yang radikal.
Kedua-duanya tinggal di padang gurun; menghayati suatu kehidupan yang ekstrim
dan keras; tidak memiliki apa-apa; dan jauh dari hiruk-pikuknya kehidupan kota
(lihat Matius 3:4, 1 Raja-raja 17:1-7). Dua-duanya adalah nabi, yang menolak
dengan tegas ketidakadilan dan dosa yang ada dalam kehidupan mereka yang
berkuasa. Yohanes Pembaptis melihat dosa Herodes, karena mengambil istri saudaranya
sebagai “istri,” dan Yohanes Pembaptis kemudian melakukan penentangan dan
protes keras terhadap sang Raja (Matius 14:3-5). Sedangkan Elia, ia mengenali
tipu muslihat yang dilakukan oleh para nabi Baal, dan ia menantang para nabi
Baal itu dalam sebuah “duel mati-hidup ilahi” (1 Raja2 18:17-39). Ia juga
melakukan penentangan dan protes keras terhadap Raja Ahab da istrinya yang
bernama Izebel, karena pembunuhan atas diri Nabot untuk mendapatkan kebun
anggurnya (1 Raja2 21:17-29).
Bagaimana
pun juga Yohanes Pembaptis dan Elia adalah pribadi-pribadi yang radikal dan
heroic, yang menempatkan diri mereka dalam resiko – untuk setia
memproklamasikan Sabda Allah. Di atas segalanya, taat kepada Allah adalah hal
yang terpenting bagi mereka. Dalam masa Adven ketiga ini, kita diingatkan untuk
meneruskan apa yang telah dilakukan oleh Yohanes Pembaptis, dan juga Elia.
Membuat Kristus sungguh-sungguh hidup, nyata dan dialami oleh banyak orang,
melalui kesaksian hidup kita itu adalah tugas terpenting bagi kita. Nah apa yang
harus kita lakukan agar orang dapat melihat Kristus hidup, dan nyata dalam
kehidupan kita? Sampai hari ini kita memang tidak makan belalang dan madu,
hidup menyendiri di padang gurun, atau seorang diri melawan para penguasa jahat
seperti yang dilakukan oleh Yohanes Pembaptis atau Elia. Namun demikian, kita
semua dipanggil untuk mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hati kita, seperti
kedua nabi itu. Dalam kehidupan kita yang lebih “biasa-biasa/normal”, kita
dapat mohon kepada Allah agar memberikan kepada kita suatu visi yang lebih
besar tentang apa artinya melayani Tuhan dalam situasi kita sehari-hari.
Seringkali kita membatasi diri kita karena pandangan yang keliru - karena kita
tidak dapat sehebat atau sebesar Yohanes Pembaptis atau Elia di masa lampau, maka
tidak banyaklah yang dapat kita persembahkan. Akan tetapi, apabila kita membuka
diri bagi kehendak Bapa, maka Dia dapat bekerja melalui kita sehebat yang telah
dilakukan-Nya melalui Elia dan Yohanes Pembaptis. Contohnya adalah Florence
Nightingale.
Pada
masa Perang Krim, Perang yang terjadi sekitar tahun 1853-1856 yang melibatkan
Kekaisaran Rusia melawan sekutu: Perancis, Britania Raya, Sardinia, dan
kesultanan Utsmaniayah. Ada tokoh yang mencuat dan menjadi terkenal. Florence Nightingale, wanita cantik kelahiran tahun 1820
yang kelak menjadi pelopor pendidikan keperawatan modern. Ia juga dikenal
sebagai seorang ahli statistik. Lahir dari keluarga bangsawan Italia. Tuan
tanah yang kaya raya. Namun, hatinya terenyuh pada penderitaan yang terjadi di hadapannya. Peperangan telah
membuat banyak orang menderita. Ia tidak memilih hidup di istana atau kastil. Ia memilih menjadi seorang juru rawat. Pada masa itu
profesi perawat bukanlah sebuah profesi yang dapat dibanggakan. Tidak ada orang
tua bangsawan yang rela apalagi bangga, jika anaknya memutuskan menjadi
perawat. Pekerjaan perawat hampir sama dengan pekerjaan budak.
Pada
suatu malam, Nigthingale
berjalan di dalam rumah sakit. Ia menyempatkan diri untuk berhenti sejenak di
samping tempat tidur seorang prajurit yang luka parah. Ketika ia membungkuk
mendekati prajurit itu, maka prajurit itu menengadah kepadanya dan berkata
:”Bagiku Anda sungguh nampak seperti Kristus.” Florence Nigthingale telah membuat Kristus menjadi hidup,
nyata, dan dialami oleh orang yang ia layani. Nah sekarang, bagaimanakah halnya
dengan kita? Apakah yang akan kita lakukan, agar Kristus menjadi hidup, nyata
dan dialami oleh banyak orang? Maukah kita membuka visi kita lebar-lebar
tentang melayani Tuhan dalam situasi hidup kita sehari-hari, seperti halnya
Yohanes Pembaptis dan Elia?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar