By: Maryam Kurniawati
Fakta Mary Jane
Pada tanggal 28 April 2015, eksekusi
Mary Jane Veloso, terpidana mati asal Filipina, tertunda karena ada permintaan
dari Filipina terkait proses hukum yang sedang berjalan di negara tersebut.
Permintaan tersebut diajukan Benigno Aquino, Presiden Filipina, setelah
tersangka perekrut Mary Jane, Maria Kristina Sergio, menyerahkan diri kepada
kepolisian Filipina. Mary Jane diperlukan untuk memberikan kesaksian dalam
pemeriksaan terhadap Sergio. Menurut sebuah lembaga advokasi buruh migran di
Filipina, polisi Filipina sebelumnya sudah menuntut Sergio dan dua orang
lainnya atas penipuan, perekrutan tenaga kerja ilegal, dan perdagangan manusia.
Alasan
lain penundaan eksekusi Mary Jane, menurut Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg)
Pratikno, karena Presiden Jokowi mendengar suara dari berbagai kalangan aktivis
(termasuk PGI) yang terus menyuarakan penundaan eksekusi mati terhadap Mary
Jane. Warga asal Filipina itu dianggap bukan aktor yang terlibat langsung dalam
kasus yang dihadapinya. Penundaan eksekusi Mary Jane mendapatkan apresiasi
dari banyak kalangan. Namun, keputusan Indonesia untuk tetap mengeksekusi
delapan napi lainnya mendapat kecaman dari para pemimpin dunia dan
aktivis internasional.
Menteri
Luar Negeri Selandia Baru, Murray McCully, menyatakan kekecewaannya atas
eksekusi mati tersebut. Dilma Rousseff, Presiden Brasil mengatakan,
eksekusi warga Brasil kedua di Indonesia tahun ini menandai persoalan serius dalam
hubungan antara kedua negara. Sementara itu, Tony Abbott, Perdana Menteri
Australia menggambarkan, eksekusi adalah hal yang "kejam dan tidak
perlu." Abbott bahkan bertindak lebih jauh dengan menarik pulang Duta
Besar Australia dari Jakarta. Direktur Eksekutif Drug Policy Alliance yang
berbasis di New York, Ethan Nadelmann mengungkapkan, eksekusi terhadap delapan
narapidana tidak akan menghasilkan apa-apa untuk mengurangi konsumsi narkoba di
Indonesia atau negara lain, dan juga tidak melindungi orang dari penyalahgunaan
narkoba.
Sedangkan
Sekretaris Jenderal Dewan Gereja Dunia DGD (World
Council of Churches/WCC) Pendeta
Dr Olav Fykse Tveit mengirimkan surat guna mengajukan grasi untuk 10 orang
terpidana mati yang dijadwalkan untuk dieksekusi dalam waktu dekat, dan mendesak
Presiden Joko Widodo segera menyatakan moratorium eksekusi hukuman mati sebagai
langkah untuk penghapusan hukuman tersebut dan bergabung dengan kesepakatan
global yang yang berusaha menghapus sanksi pidana paling ekstrim ini.
“Keputusan negara Anda untuk melanjutkan eksekusi terpidana mati menempatkan
Indonesia berlawanan arus global yang berusaha menghapus hukuman mati,” kata
Tveit dalam suratnya.
Dewasa ini ada
140 negara yang telah menghapuskan hukuman mati sepenuhnya dalam praksis hukum
mereka. Hukuman mati pernah dihapuskan di Indonesia pada tahun 2008 namun
kembali diberlakukan pada tahun 2013. Pada bulan Januari 2015, lima warga
negara asing dan Indonesia dieksekusi mati karena terlibat dalam perdagangan
narkoba. Dalam kasus hukuman mati, sebenarnya Indonesia telah meratifikasi
Kovenan Sipil Politik dan konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan serta
penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat kemanusiaan. Oleh karena
itu PGI dan juga Komnas Perempuan melakukan advokasi dan merekomendasikan
pengampunan bagi Mary Jane Veloso, seorang buruh migran asal Filipina, yang
diduga keras menjadi korban human
trafficking di negaranya.
Komnas Perempuan mengungkap
fakta Mary Jane Veloso setelah Maria Kristina Sergio, perempuan yang menjadi
majikan dan merekrut Mary Jane Veloso untuk bekerja di Malaysia, telah
menyerahkan diri kepada kepolisian Cabantuan, Filipina (28/4). Mary Jane adalah
satu korban pemiskinan. Perempuan Filipina ini hanya menyenyam pendidikan
hingga kelas 1 Sekolah Menengah Pertama (SMP). Mata pencahariannya adalah
pengumpul dan penjual barang bekas. Menikah pada usia 16 tahun dan merupakan
perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kemiskinan dan KDRT
memaksa Mary Jane untuk bekerja dan mencari nafkah di luar Filipina. Di Dubai,
Mary Jane diduga mengalami trauma akibat pelecehan dan tindak kekerasan seksual
yang dilakukan oleh majikannya, sehingga ia harus dirawat di rumah sakit selama
satu bulan. Setiap melihat laki-laki berwajah India, trauma muncul. Karena itu,
ia memilih berangkat ke Indonesia daripada menunggu calon majikan (di Malaysia)
yang konon masih berada di luar negeri.
Kemudian Mary Jane direkrut oleh
Maria Kristina P. Sergio, tetangga suaminya, untuk bekerja di Malaysia sebagai
pekerja rumah tangga (PRT) dengan visa turis namun tanpa dokumen kerja yang
resmi. Mary Jane membayar biaya keberangkatan dengan menyerahkan sepeda motor
dan telepon genggam senilai 700 Peso atau sekitar 205 ribu Rupiah pada
Kristina. Ia dijanjikan akan dipekerjakan sebagai PRT di Malaysia dan
kekurangan biaya akan dibayar dengan pemotongan 3 bulan gaji saat bekerja. Mary
Jane direkrut bekerja di Malaysia, kemudian ia diminta oleh perekrutnya untuk
ke Indonesia dengan janji akan segera dipekerjakan setelah kembali sepulang
dari Indonesia. Namun ternyata, ia malah dijadikan kurir narkoba. Sebab itu Mary
Jane merupakan korban perdagangan manusia untuk tujuan perdagangan narkotika
internasional, dan bukan gembong narkotika.
Selama proses peradilan, ibu tunggal
dari dua anak ini tidak didampingi ahli bahasa atau penerjemah sehingga
tidak memahami Berita Acara Pemeriksaan dan proses persidangan atas kasusnya
sendiri. Hal ini memperlihatkan bahwa peradilan di Indonesia dalam proses
penyidikan, penangan, penuntutan, dan penghukuman belum menggunakan kerangka
Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang telah
diratifikasi dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 1984.[7] Menurut
Komnas Perempuan, pengampunan Mary Jane dapat memberikan legitimasi moral bagi
pemerintah Indonesia untuk melakukan pembebasan bagi buruh migran yang terancam
hukuman mati, termasuk korban trafficking yang terjebak dalam sindikat narkoba yang
merendahkan martabat kemanusiaan.