No Child Left Behind
By: Maryam Kurniawati D.Min
By: Maryam Kurniawati D.Min
Pendidikan adalah salah satu aspek
yang sangat penting bagi kehidupan manusia, karena pendidikan merupakan sebuah alat transformasi yang memupuk daya
analisis dan refleksi atas interaksi yang terjadi di tengah-tengah komunitas
manusia. Pendidikan menjadi sangat penting bagi setiap orang karena pendidikan
dapat menjelaskan nilai-nilai dan kemampuan yang dibutuhkan dalam menghadapi
situasi dunia yang senantiasa mengalami perubahan. Berbagai situasi yang ada di
sekeliling manusia, baik itu kepelbagaian budaya, pemikiran, pendidikan, agama,
suku, perubahan sosial, tuntutan yang terus meningkat terhadap kehidupan
masyarakat yang multikultural dan multietnik.
Pendidikan bukan sekadar persoalan
pengembangan kecerdasan otak, melainkan proses memanusiakan manusia (humanis).
Pendidikan dalam segala bentuknya dan pendekatannya, harus menjadikan manusia
berkualitas dengan berbekal kesadaran untuk terus menerus mengembangkan potensi
dirinya. Dengan demikian, pendidikan harus meletakkan nilai dasar yang akan
membentuk kepribadian, karakter maupun kemampuan berpikir seseorang, sehingga
mereka dapat menemukan apa yang menjadi potensi dirinya. Bila potensi itu sudah
ditemukan, perlu diolah dan dikembangkan secara optimal, agar sungguh-sungguh
dapat memberikan manfaat bagi kedirian dan kehidupan bersama orang lain. Gereja
(termasuk individu yang ada di dalamnya) seringkali menganggap pendidikan hanya
sebagai pelayanan pelengkap di antara sekian banyak pelayanan gerejawi lainnya.
Pendidikan
seolah-olah hanya berkaitan dengan bagaimana isi Alkitab diajarkan atau
diberitakan melalui kotbah, katekisasi, sekolah minggu, pelajaran agama,
pemahaman Alkitab, yang semuanya lebih bersifat memperkenalkan pokok-pokok
ajaran Alkitab, dogma gereja, tokoh-tokoh Alkitab dan tokoh-tokoh gereja.
Padahal makna dan tujuan pendidikan lebih dalam dari sekadar “transfer of knowledge.” Aklibatnya
pesertadidik, tidak memiliki kemampuan untuk menganalisa serta mengambil keputusan
yang paling penting bagi dirinya, gereja dan komunitas yang lebih luas serta
mengembangkan potensinya.
Ivan
Ilich, dalam bukunya Deschooling Society,
1971 melontarkan koreksinya terhadap peran sekolah atau pendidikan formal yang
dinilainya lebih banyak membuat masyarakat hanya mengagumi sertificat ketimbang
kemampuan nyata seseorang dalam berkarya sehingga meningkatkan kualitas
kehidupan.[1] Ia mengkritik pandangan yang
beranggapan, semakin banyak mata pelajaran yang diajarkan di sekolah, semakin
pintar pesertadidik dan pendidikan formal yang hanya menekankan pengetahuan dan
ketrampilan tanpa memperhatikan aspek kejiwaan dan spiritualitas. Dalam Buku
“Bebas dari Sekolah” tsb ia memaparkan berbagai kesalahan yang membuat
pendidikan formal semakin jauh dari tujuan. Ia menghimbau masyarakat untuk
melakukan "revolusi budaya"
untuk mengkaji kembali mitos pendidikan formal. Seakan-akan tanpa sekolah orang
tidak akan berhasil dalam hidup dan meraih prestasi tinggi di bidangnya. Kajian
itu perlu dilakukan karena sekolah telah menciptakan komersialisasi pendidikan
dan alienasi bagi kaum yang tidak mampu. Di mata rohaniwan itu, sekolah bukan
hanya gagal menjadi wahana pembebasan, melainkan juga menjadi proses
dehumanisasi.
Mencermati
fenomena seperti itu, sudah selayaknya bila pendidikan dikembalikan pada
nilai-nilai kemanusiaan (humanis);
pendidikan kembali menatap manusia sungguh-sungguh sebagai manusia dengan segala potensinya.
Sejak lahir, manusia telah diciptakan sebagai
homo educandum yang
harus dididik serta dikembangkan segala potensi yang dimilikinya. Manusia tidak
bisa berkembang secara alamiah sebagaimana makhluk lainnya. Karena itu,
dibutuhkan peran orang lain untuk mengembangkan potensinya itu. Manusia
sebagai homo educandum haruslah menjadi pusat dari pendidikan. Itu
berarti, peserta atau pesertadidik adalah obyek sekaligus subyek pendidikan.
Konsekuensinya, orangtua dan para pendidik berfungsi “hanya” sebagai
fasilitator, dan bukannya pemegang
mutlak kendali proses pendidikan. Tugas orangtua, fungsionaris gereja dan
pendidik lainnya selain memberikan berbagai macam pengetahuan, adalah
memberikan dorongan (support),
menggali bakat pesertadidik, membimbing dan mengarahkannya. Sehubungan
dengan hal tersebut, John Dewey menuliskan, ”Education
is a constant reorganizing or reconstructing of experience. It has all the time
an immediate, and so far as activity is educative, it reaches that end – the
direct transformation of the quality of experience …”
Untuk merekonstruksi pengalaman dalam proses pembelajaran, sistem pendidikan di keluarga, gereja dan sekolah harus memusatkan perhatiannya kepada pesertadidik, dan pesertadidik dituntut untuk lebih aktif dalam mengolah/merefleksikan pengalamannya. Sedangkan para pendidik
atau fungsionaris gereja “hanyalah” membimbing serta mengarahkan ke mana pesertadidik
harus mengembangkan diri. Jadi
pengetahuan dan pemahaman benar-benar diperoleh
sendiri oleh pesertadidik. Adapun para pendidik dan fungsionaris gereja
”hanya” memberikan bahan belajar untuk memperkuat
pengetahuan dan pemahaman pesertadidik (Bandingkan dengan pendekatan Berbagi Praksis Kristen, yang diperkenalkan oleh Thomas Groome).
Dengan
sistem belajar seperti ini, kesadaran pesertadidik untuk belajar dapat terus
bertumbuh. Belajar tidak lagi sebagai kebutuhan yang bersifat mendesak, namun
belajar menjadi kebutuhan pokok yang selalu dipenuhi setiap hari. Itulah
hakikat pendidikan yang memanusiakan manusia (humanis). Disamping itu, pendidikan juga membawa setiap pesertadidik
untuk menciptakan relasi yang harmonis dengan Allah dan sesama. Letty
M. Russell mengatakan, ”Christian
education has always been a concern of the church, for it is the way by which
men and women are nurtured in the
Christian life.” Dengan demikian pendidikan merupakan wujud partisipasi
kita pada “undangan Allah,” undangan kebebasan untuk ikut serta dalam karya
kasih Allah yang penuh dengan kedamaian, keadilan, dan kebebasan bagi seluruh
ciptaan dan komunitas yang ada di dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar