REVITALISASI DAN REKONSEPTUALISASI PERAN SUAMI :
MEREKONSTRUKSI BUDAYA PATRIARHI
Pdt. Maryam Kurniawati Tjandra Kusuma
Pendahuluan
Di
dalam kehidupan sehari-hari, peran dan fungsi perempuan kerapkali
"terpinggirkan" oleh budaya dan tradisi. Dalam kepemimpinan sebuah
organisasi misalnya, biasanya laki-laki lebih dominan, serta mengambil peran
untuk mengambil keputusan dan menentukan kebijakan. Sedangkan perempuan,
ditempatkan pada posisi yang kurang strategis, seperti misalnya di bagian
administrasi atau keuangan (sebagai Bendahara, atau Pembukuan) serta pengadaan
konsumsi. Tidak heran bila sering terjadi tindak kekerasan terhadap perempuan,
baik secara fisik, psikis, mental mau pun spiritual baik secara perseorangan
mau pun dalam komunitas perempuan.
Dalam
budaya patriarkhi (pola atau tatanan masyarakat yang ditentukan oleh
laki-laki," sikap dominan suami terhadap istri pada umumnya dibenarkan oleh paham kodrat, sebab
kodrat suami (sebagai
laki-laki) diyakini kuat,
pemberani, rasional, produktif dan konseptual. Sedangkan kodrat istri, sebagai
perempuan adalah lemah lembut, penakut, tidak mandiri, dan reproduktif. Sebab
itu biasanya perempuan lebih suka melayani dan dipimpin. Peran dan fungsi serta
tempat suami (dan atau
laki-laki) adalah di
area publik (seperti bekerja, mencari nafkah), sementara istri di ruang domestik
(di rumah dan sekitarnya).
Tidak
hanya itu saja. Pengambilan
keputusan dalam masalah-masalah
besar seperti membeli rumah, pengelolaan saham atau keuangan keluarga, ada di dalam otoritas suami karena ia adalah sumber nafkah dan kepala keluarga
sehingga seorang suami memiliki kekuasaan penuh atas istri dan anak-anaknya. Hal-hal yang berkaitan pendidikan anak dan urusan rumah
tangga lainnya, dianggap tugas dan tanggung jawab istri
karena kehidupan seorang istri atau perempuan adalah berada dalam kekuasaan
ayahnya (ketika ia belum menikah), dalam kekuasaan suami (ketika ia menikah),
dan dalam kekuasaan anak laki-laki (ketika ia lanjut usia).
Tissa Balasuriya dalam bukunya Teologi Ziarah (2004) mengatakan, sikap diskriminasi
terhadap istri dan atau perempuan terdapat dalam banyak masyarakat Asia (termasuk di Indonesia). Dalam kenyataannya, para suami sering berlaku kasar dan tidak adil terhadap istri
mereka, sekalipun mereka
menaruh sikap hormat
terhadap perempuan dan ibunya sendiri. Hal ini disebabkan karena sejak lahir,
anak perempuan diperlakukan
secara berbeda, tidak diinginkan dan kurang diasuh, sedangkan anak laki-laki
selalu diperlakukan secara istimewa, disambut dengan gembira dan selalu
diutamakan oleh keluarganya.
Sepanjang hidupnya kaum perempuan diatur sedemikian rupa agar cocok dengan peran rumah tangga yang disediakan
bagi mereka. Mereka tidak diizinkan untuk mengatur langkahnya sendiri dan mengambil keputusan. Perasaan
takut senantiasa ditanamkan. Sebab itu secara
piskologis dan fisik, mereka menjadi sangat bergantung pada kaum laki-laki.
Menjelang akil-balik, para gadis didesak agar segara menikah dan ”berumah-tangga"
agar para orangtua terbebas dari tanggung jawab untuk mengasuh anak gadisnya. Setelah berumah-tangga, maka tempat
perempuan adalah di dalam
rumah, menjadi alat prokreasi untuk melahirkan anak,
serta memelihara suami dan keluarganya. Mereka
diharuskan untuk memilih
peran "bergantung sepenuhnya” kepada suaminya, serta menjalankan peran dan fungsi
sebagai ibu dan pengasuh, yang harus memperlihatkan perasaan keibuannya, sabar,
lemah-lembut dan hangat kepada suami dan anak-anaknya.
Pergulatan Perempuan :
Mencari Identitas Di Tengah Budaya
Erni
adalah seorang notaris PPAT lulusan sebuah universitas negeri ternama di Depok.
Ia berusia 59 tahun. Erni dilahirkan sebagai seorang Tionghoa peranakan
generasi keempat. Ayahnya adalah seorang kepala sekolah di sebuah sekolah
negeri di Sukabumi. Ibunya adalah seorang guru di sekolah yang sama. Sebagai
seorang anak dengan latar keluarga pendidik, Erni tidak ingin mengecewakan
orangtuanya dalam menempuh pendidikan. Ia berusaha keras untuk menjadi siswa
yang terbaik di setiap jenjang pendidikan yang ia tempuh. Ia harus selalu
membuktikan bahwa ia adalah seorang anak kepala sekolah yang berprestasi.
Sejak
di SMU, ia aktif dalam bermacam organisasi sekolah. Ia mengikuti ekstra
kulikuler Pandu yang membawanya pada persahabatan dengan semua orang tanpa
memandang ras dan agama yang berbeda. Ketika ia menjadi seorang notaris, ia
menjadi anggota aktif dalam ikatan profesinya.
Tiga
puluh tahun yang lalu, ia menikah dengan seorang laki-laki yang juga lulus
perguruan tinggi ternama di Jakarta. Mereka dikaruniai dua orang anak; seorang
anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Anak perempuan yang dilahirkannya
adalah seorang anak yang tidak diinginkan kehadirannya oleh suaminya. Bagi
suaminya, mempunyai anak perempuan sama dengan membesarkan manusia secara
percuma, yang kelak akan diambil oleh laki-laki lain.
Sebagai
seorang istri, Erni harus patuh dan tunduk terhadap kehendak suami. Padahal,
sebagai seorang notaries, keluwesan dan fleksibilitas dalam pergaulan
dibutuhkannya untuk membangun jaringan yang kuat dengan kliennya. Namun,
keluwesan pergaulan yang dimiliki Erni dipandang suaminya sebagai ancaman yang
perlu distimulir oleh tindak kekerasan. Bersama dengan kedua anaknya, Erni
telah hidup dalam lingkungan keluarga di mana suaminya tak hentinya melakukan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) terhadap dirinya.
Pengalaman
KDRT telah mentransformasikan Erni untuk menjadi seorang konselor informal.
Selama menjalankan profesinya sebagai notaris, ia membuka pintu bagi klien,
teman dan koleganya untuk curhat. Ia menyadari bahwa KDRT bukan persoalan
pribadi. Cukup banyak perempuan dengan status social menengah dan tinggi
mengalami berbagai bentuk KDRT. Berpangkal dari pengalaman pribadi, ia telah
banyak menguatkan temannya untuk menjadi survivor KDRT. Berjejaring dengan Women
Crisis Centre (WCC) merupakan salah satu strategi yang dibangunnya, agar ia
dapat memberikan solusi informal bagi perempuan korban KDRT.
Dari kisah pergulatan Erni, kita dapat menarik kesimpulan
: 1) Terlahir sebagai seorang perempuan, sebagai orang Tionghoa, bukan pedagang
dan beragama minoritas, adalah suatu perjuangan tersendiri dalam upaya
merekonstruksi identitas. Persoalan gender, seksualitas, budaya, ras,
etnisitas, dan agama merupakan persoalan keseharian yang harus dihadapi dan
disiasati oleh seorang perempuan Tionghoa. Sejak ia dilahirkan dalam keluarga
Tionghoa, kehadirannya tidak disambut dengan gembira karena dipandang tidak
cukup berharga dibandingkan dengan anak laki-laki. Dalam tradisi keluarga
Tionghoa, perempuan kerapkali ditempatkan sebagai “liyan” (the other).
Diskriminasi terhadap perempuan
terdapat di dalam masyarakat Tionghoa. Hal ini
pertama-tama terjadi karena budaya Konfusius menuntut perempuan untuk mentaati
dan melanggengkan nilai dan norma yang telah ditentukan dan diberlakukan bagi
mereka dalam keluarga dan dalam masyarakat. Mengambil contoh yang paling
sederhana, budaya yang kurang menghargai kehadiran perempuan dalam keluarga Tionghoa dapat
ditemukan melalui penyebutan antar saudara sekandung. Kakak perempuan biasanya disebut “cici” dan kakak laki-laki “koko.” Namun
adik laki-laki bisa memanggil kakak perempuannya, dengan nama. Cara memanggil
saudara sekandung atau semarga dapat menggambarkan bagaimana pentingnya
kedudukan seorang anak dalam sebuah keluarga Tionghoa.
Anak laki-laki bagi keluarga tradisional Tionghoa
merupakan penerus keturunan. Merekalah yang akan mewarisi dan mempertahankan
nama marga. Oleh sebab itu, orang Tionghoa meyakini bahwa bayi laki-laki yang
diberi nama tertentu, setelah dewasa akan mempunyai karakter sesuai dengan arti
namanya. Sebab itu pemberian nama terhadap mereka harus dipilih dengan
hati-hati, karena nama menunjukkan harapan orangtua untuk masa depan
keturunannya. Tetapi tidaklah demikian bagi anak perempuan. Anak
perempuan biasanya diberikan nama apa adanya. Apalagi ketika seorang anak
perempuan tidak diharapkan kehadirannya di dalam keluarga tersebut, pemberian
nama baru diberikan setelah anak lahir.
Seperti keluarga tradisional
Tionghoa pada
umumnya,
maka lahirnya seorang perempuan
dan tidak adanya laki-laki dalam sebuah keluarga, dapat melegitimasi seorang
laki-laki untuk melakukan poligami. Hal ini dilakukan untuk memperoleh keturunan
laki-laki. Dengan demikian tradisi dan budaya telah memberikan hak istimewa
kepada laki-laki sebagai pembawa nama dan kehormatan keluarga. Namun di lain pihak, perempuanlah yang
sebenarnya meneruskan dan yang mempertahankan tradisi keluarga. Melalui
perempuan, tradisi keluarga dipertahankan, dan nilai-nilai dalam tradisi
keluarga itu diinternalisasikan terutama pada anak perempuan.
Beberapa
tradisi keluarga yang masih dipertahankan adalah sin ciah dn sembayang leluhur setiap ce it cap goh. Selain itu perayaan cengbeng, pecun
peringatan hari kelahiran dan kematian dari anggota keluarga juga dirayakan.
Melalui berbagai kegiatan dalam mempersiapkan upacara berbagai peringatan dan
sembahyang leluhur tersebut, de facto,
perempuan adalah pemegang dan pewaris tradisi keluarga, walau de jure, anak laki-laki wajib yang
berhak mewarisi harta pusaka serta mengurus budaya leluhurnya.
Selanjutnya,
nilai-nilai patriarkhi dalam keluarga Tionghoa dilanggengkan dengan berbagai
cara. Salah satunya adalah dengan menggunakan kekerasan dalam mendidik anak
perempuan. Bila anak laki-laki diperkenankan untuk bermain sekehendak hatinya,
maka seorang anak perempuan sedapat mungkin tidak diizinkan bermain keluar
rumah. Pada usia tertentu, anak perempuan dikondisikan untuk meneruskan
peradaban manusia, yaitu menikah dan menjalankan fungsi reproduksi untuk
melahirkan anak. Dalam keluarga tradisional Tionghoa, peran orangtua cukup
dominan, sebab itu anak perempuan dijodohkan dengan seorang laki-laki, yang
mungkin baru pertama kali dilihatnya ketika upacara perkawinan dilakukan.
Dampaknya,
poligami di kalangan Tionghoa menjadi hal yang biasa terjadi di kalangan
Peranakan Tionghoa kaya. Bila istri adalah pilihan orangtua, istri muda adalah
pilihan suami itu sendiri. Ketika seorang istri tidak dapat melahirkan
anak-anak atau tidak dapat melahirkan anak laki-laki, maka mengambil istri
kedua, merupakan hal yang biasa di kalangan mereka. Adakah perempuan Tionghoa
yang bersedia suaminya melakukan poligami? Tentu ada, barangkali banyak juga.
Tetapi tidak otomatis perempuan Tionghoa suka menjalan kehidupan yang demikian.
Mereka lebih banyak memandam luka batin karena tidak mampu berbicara. Dalam
mengusung supremasi laki-laki, tentu masuk akal pula bila perempuan mengizinkan
suami menikah lagi, atau beradaptasi dan hidup rukun dengan istri-istri yang
lain bila ia sendiri dimadu.
Demikianlah identitas perempuan Tionghoa telah
direkonstruksi oleh budaya, sehingga mereka mengalami subordinasi dan
marginalisasi. Hal ini membuka ruang terjadinya kekerasan psikologis, psikis,
mental dan spiritual terhadap seorang perempuan Tionghoa. Perubahan demi
perubahan telah terjadi, namun nilai budaya dalam keluarga dan masyarakat
Tionghoa, sehingga sebagai perempuan dan sebagai orang Tionghoa, mereka
mengalami berbagai tindak kekerasan budaya. Namun
hal ini tidak membuat mereka berdiam diri sebagai korban yang pasif.
Berbekalkan pendidikan yang memadai, mereka dapat menyusun dan mengaplikasikan
berbagai strategi untuk mengatasi kekerasan budaya dengan cara yang tidak
frontal. Keperempuantionghoaan terlihat melalui cara mereka membentuk identitas
baru yang terus menjadi. Sebab itu kemampuan perempuan Tionghoa untuk
memakna-ulang budaya patriarkhi menjadi modal utama untuk menuju ranah publik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar