APA ITU KEBUDAYAAN?
Kebudayaan
merupakan sebuah system arti dan makna yang tercipta secara historis, yang
mewujud dalam pada satu system keyakinan dan praktek, yang mengatur dan
menstrukturkan kehidupan individual dan kolektif manusia. Dengan demikian
istilah kebudayaan selalu merujuk pada keyakinan-keyakinan dan praktek.
Kebudayaan
juga merupakan sebuah cara, baik untuk memahami maupun untuk mengorganisasikan kurang
lebih keseluruhan kehidupan manusia. Istilah budaya bisnis, budaya obat, dan moral, politis, akademis
atau seksual mengacu pada lembaga kepercayaan dan praktek yang mengatur bidang
kehidupan manusia yang relevan, termasuk cara bagaimana budaya-budaya ini
dikonsptualisasikan, dibatasi, distrukturkan, dan diatur.
Istilah
kebudayaan “kita” bukan mengacu pada salah satu kebudayaan yang di dalamnya kita
dilahirkan, karena kita berpindah atau mengadopsi dan dibesarkan dalam
kebudayaan lain, tetapi kebudayaan yang digunakan untuk memahami dan
mengorganisasikan kehidupan kolektif dan individual kita. Kebudayaan “kita”
adalah kebudayaan yang kita diami, yang telah membentuk kita, dan yang kita
manfaatkan untuk mengidentifikasi, dan kita mengakuinya sebagai anggota dari
komunitas budaya yang berbagi bersama kepercayaannya dan berpartisipasi dalam
prakteknya.
KOMUNITAS
BUDAYA
Komunitas
budaya merupakan sebuah kumpulan masyarakat yang berbagi pengetahuan,
kepercayaan, agama dsbnya, yang bersatu menurut budaya yang sama. Walaupun budaya lain memberi pengaruh dan memberi
banyak kesenangan, namun tidak menjadi bagian dari kebudayaan kolektif mereka.
Dilahirkan
dan dibesarkan dalam komunitas budaya berarti dipengaruhi secara mendalam oleh
isi kebudayaan dan dasar komunalnya. Manusia dilahirkan dengan kumpulan
kapasitas dan tendensi dan ditransformasikan secara perlahan oleh kebudayaan
mereka ke dalam pribadi-pribadi rasional dan bermoral, dan kebudayaan membentuk
dan menstrukturkan kepribadian mereka. Anggota komunitas budaya belajar untuk
melihat dunia dengan cara yang khusus mengindividuasikan dan memberikan arti
dan makna tertentu pada aktivitas dan hubungan manusia, dan untuk melangsungkan
aktivitas dan hubungan manusia menurut norma-norma tertentu (=memberikan isi
atau identitas kepadanya). Sebab itu Identitas dan identifikasi terkait erat
dengan kebudayaan. Seseorang teridentifikasi sebagai laki-laki atau perempuan
karena memiliki identitas yang sama dengan mereka, dan identifikasi seseorang
memberikan sebuah dasar social, kekuatan emosi dan ukuran stabilitas serta
obyektivitas pada identitas tersebut.
Meskipun
manusia dibentuk oleh kebudayaan mereka, mereka tidak dibentuk atau ditentukan
oleh kebudayaan, dalam pengertian tidak mampu memberikan pandangan kritis atau
menonjolkan keyakinan dan aktivitas yang mendasar serta menggapai
kebudayaan-kebudayaan lain. Determinisme budaya masuk akal hanya jika kita
mengasumsikan bahwa kebudayaan merupakan suatu keseluruhan yang melekat dan
keutuhan terstruktur yang dengan erat tidak terpengaruh oleh apa pun di
luarnya, dan bahwa individu merupakan materi pasif dan liat yang tidak berpikir
mandiri. Kebudayaan
tidak hidup dengan sendirinya. Kebudayaan
terikat menjadi satu dan dipengaruhi oleh susunan ekonomi dan politik,
tingkat perkembangan tehnologi, dsb yang dijalankan oleh masyarakat.
ARTIKULASI KEBUDAYAAN
Kebudayaan
diartikulasikan dalam beberapa level. Pada level paling dasar budaya
direfleksikan dalam bahasa, termasuk cara-cara sintaksisnya, tata bahasa dan
kosa kata dalam membagi dan mendeskripsikan dunia. Kebudayaan juga ditanamkan
dalam peribahasa, pepatah, mitos, ritual, symbol, memori kolektif, lelucon,
bahasa tubuh, model komunikasi non-linguistik, adat, tradisi, institusi dan
cara bertegur sapa. Pada level yang sedikit berbeda, budaya ditanamkan dalam
literature seni, music, karya sastra lisan dan tulisan, kehidupan moral,
cita-cita, dll. Dalam struktur dan tatanan kehidupan manusia, budaya juga
diartikulasikan dalam peraturan-peraturan dan norma-norma yang mengatur
hubungan social dan aktivitas dasar seperti bagaimana, di mana, kapan dan
dengan siapa orang bergaul dan bercinta, bagaimana orang berkabung ddan
melupakan kematian, dan memperlakukan orang tua, anak, istri, tetangga-tetangga
dan orang asing.
Setiap
kebudayaan berkembang sepanjang waktu, karena itu kebudayaan tetap menjadi
keseluruhan yang kompleks dan tidak tersistematisasikan. Setiap budaya berubah
secara internal, berbicara dalam sejumlah bahasa, dan rentangan kemungkinan
interpretatifnya sering tidak menentukan.
KEBUDAYAAN
DAN MASYARAKAT
Kebudayaan
dan masyarakat tidak terpisahkan dalam pengertian bahwa tidak ada masyarakat
tanpa budaya atau pun budaya yang tidak berhubungan dengan beberapa masyarakat,
namun keduanya memiliki focus dan orientasi yang berbeda. Pada umumnya
masyarakat mengacu pada kelompok manusia dan struktur hubungan di dalamnya di
mana kebudayaan mengacu pada isi dan prinsip-prinsip pengorganisasian dan
pengesahan hubungan tersebut.
Masyarakat
terutama berhubungan dengan struktur pratek dan dengan mengandalkan keyakinan
budayanya, masyarakat juga memiliki system sanksinya sendiri dalam bentuk
pengasingan, pencabutan status social dan bermacam-macam kritik yang mereka
andalkan untuk menegakkan praktek kebudayaan. Contohnya, praktek monogami,
ditanamkan dalam arti dan makna yang ditetapkan oleh kebudayaan kita menyangkut
masalah perkawinan dan hubungan jender. Manusia mungkin mengikuti monogamy
karena berbagi dan menghormati kepercayaan tersebut, dank arena tidak ingin
tampak aneh, mengundang perhatian yang bermusuhan atau menghadap cemooh dari
para sahabat dan orang tuanya. Dalam hal perkawinan, orang mengikuti aturan
tersebut karena alasan budaya; dalam hal hubungan antar gender orang melepaskan
arti budaya, memandangnya sebagai praktek social daripada praktek budaya, dan
mengikutinya karena alasan sosial.
KEBUDAYAAN
DAN AGAMA
Kebudayaan
berkaitan dengan arti dan makna tentang aktivitas dan relasi manusia, dan karena
ini menjadi perhatian sentral bagi agama, keduanya cenderung terkait erat.
Hampir tidak ada budaya yang dalam penciptaan, penyusunan dan keberlangsungannya,
agama belum memainkan peranan penting sehingga kita bisa memiliki beberapa
contoh dalam kebudayaan kaum humanis atau sekuler secara keseluruhan. Walau
tampaknya memberi sifat seperti halnya kebudayaan, modernitas dalam
kenyataannya mewarisi dan dibentuk secara mendalam oleh nilai-nilai,
kepercayaan, dan mitos agama Kristen.
Baik peran
agama maupun kebudayaan berbeda. Tidak ada kebudayaan yang dapat diperoleh
seluruhnya dari agama, betapa pun detailnya, karena agama tidak pernah meliputi
semua bidang kehidupan manusia dan mengantisipasi semua situasi. Hampir tidak
ada agama mengatakan kepada para pengikutnya tentang bagaimana cara makan,
berpakaian, berbicara, duduk, tidur, menggosok gigi, atau bercinta. Kendati mungkin menetapkan
bermacam-macam norma umum seperti menghormati orang tua, agama tidak mengatakan
kepada para pemeluknya apakah penghormatan itu meliputi penahanan diri untuk
tidak merokok di tengah-tengah kehadiran orang tua atau tetap duduk ketika
orang tua sedang berdiri.
Kebudayaan
dan agama mempengaruhi satu sama lain pada berbagai level. Agama membentuk
system kepercayaan dan praktek pada satu kebudayaan, ketika para individu atau
komunitas berpindah pada agama lain, cara berpikir dan hidup mereka mengalami
perubahan penting. Pda bagian-bagiannya, kebudayaan mempengaruhi bagaimana
agama diinterpretasikan, ritual dilakukan, tempatnya ditetapkan dalam kehidupan
masyarakat, dan sebagainya. Contohnya ;
bentuk Kristianitas orang Cina, Mesir, Amerika dan Indonesia. Tidak ada agama
dapat bebas dari kebudayaan, dan kehendak mulia tidak bisa memperoleh arti
manusia yang sudah tetap tanpa mediasi budaya. Kristus itu ilahi tetapi
kristianitas adalah fenomena budaya.
Tidak ada
kebudayaan yang dapat secara eksklusif didasarkan pada agama, kebudayaan dapat
dibentuk oleh agama dengan derajat dan cara yang berbeda. Beberapa kebudayaan
pada dasarnya berasal dari agama dan sangat bergantung pada agama, namun di
tempat lain, agama hanya merupakan salah satu sumber pengaruh dan terus menerus
ditantang oleh pengaruh sains, moralitas sekuler dan akal budi kritis.
Kita dapat
mengabstrasikan dasar budaya sebuah praktek dan mengikutinya untuk alasan
social semata. Kita dapat memisahkan basis religious dan mengikuti atau
menghormati alasan budaya atau bahkan secara eksklusif alasan social. Contohnya
: orang-orang pergi ke gereja karena percaya pada Tuhan sebagai bagian dari
komitmen religiusnya, atau karena hal itu bersifat integral denga budaya, dan
menjaga kelangsungan komunitas budayanya, atau untuk meningkatkan status
sosialnya. Orang merayakan Natal karena makna religious yang dalam, atau karena
perayaan Natal merepresentasikan momen budaya penting dalam sejarah seseorang,
atau karena perayaan ini merupakan jalan lain untuk mempertegas keanggotaan
dalam masyarakat atau bukan untuk menarik perhatian.
Menjadi
bagian dari komunitas budaya membuat kita mengikuti variasi dan tidak menjadi
homogen secara alamiah. Keanggotaan satu komunitas budaya dengan demikian
bervariasi dalam jenis dan tingkat. Individu mengalami konflik budaya ketika
mereka menganut atau hidup dengan dua system arti dan makna yang berbeda, entah
secara keseluruhan ataupun sebagian.
DINAMIKA
KEBUDAYAAN
Tidak ada
budaya yang bebas dari persaingan dan perubahan. Konflik kelas, gender, generasi dan konflik lainnya mewabah
dalam semua masyarakat dan berusaha menemukan ekspresi budaya yang sesuai sudut
pandang pengetahuan dan situasi yang
baru. Setiap anggota komunitas budaya
tidak dapat menghindari merentangnya batas system praktek dan
kepercayaan yang berlaku dan membuka kemungkinan interpretasi baru. Kebudayaan,
dengan demikian, bukan merupakan warisan pasif, tapi satu proses aktif dalam
menciptakan arti (bukan yang diberikan) tetapi secara konstan diartikan dan
disusun ulang (=media kreativitas).
Kebudayaan
masyarakat juga berubah sebagai tanggapan terhadap beberapa factor lain,
seperti tehnologi, perang, dan bahkan bencana alam, sering dengan suatu cara
yang tidak dipahami atau tidak dimengerti oleh masyarakat tersebut.
(Disarikan
dari Pareh, Bikhu. Rethinking
Multiculturalism, Cultural Diversity and Political Theory. Yogyakarta: Kanisius, 2008)