Pendahuluan
Saat ini peran istri di dalam
hidup perkawinan, tampaknya menjadi semakin sulit. Selama tahun pertama dan
tahun kedua perkawinan pasangan suami istri biasanya harus melakukan
penyesuaian utama satu sama lain, terhadap anggota keluarga masing-masing dan
teman-temannya. Sementara mereka sedang melakukan penyesuaian, sering timbul
ketegangan emosional karena baik suami mau pun istri mempunyai konsep yang
tidak realistis tentang makna perkawinan berkenaan dengan pekerjaan, deprivasi,
pembelanjaan uang, atau perubahan dalam pola hidup. Seorang suami yang
dibesarkan dalam keluarga yang menempatkan laki-laki sebagai “tuan” atau
“majikan” misalnya, akan mengalami kesulitan ketika keluarga, teman dan
rekannya memperlakukannya sebagai “suami Jane.” Demikian pula seorang perempuan
karier yang berhasil, ia bisa saja kehilangan identitas dirinya sebagai
individu yang sangat dijunjung dan dinilai tinggi sebelum perkawinan, ketika
keluarga, teman dan rekannya menganggap dirinya hanya sebagai “ibu rumah
tangga.” Kecenderungan terhadap perubahan peran dalam perkawinan bagi laki-laki
dan perempuan, dan konsep yang berbeda tentang peran ini yang dianut kelas sosial
dan kelompok religius yang berbeda, membuat penyesuaian dalam perkawinan
semakin sulit sekarang daripada di masa lalu ketika peran masih begitu ketat diatur
oleh adat istiadat dan budaya[2].
Oleh karena itu konsep perkawinan yang tidak realistik, khususnya yang
berkenaan dengan masalah keuangan keluarga, dapat menimbulkan hambatan dan
rintangan dalam proses penyesuaian perkawinan.
Pandangan
Alkitab tentang Kesetaraan Harkat Perempuan dan Laki-laki
Alkitab memberikan gambaran
kepada kita, bahwa perempuan diciptakan dari rusuk laki-laki. Hal ini mau
memperlihatkan, bahwa keduanya mempunyai sumber yang sama, dan mereka adalah
suatu kesatuan dan keutuhan, sebagaimana yang diikrarkan sendiri oleh Adam,
“Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku” (Kej. 2:23).
Keyakinan yang paling fundamental yang terungkap di sini ialah bahwa perempuan
adalah manusia sepenuhnya dan harus diperlakukan demikian.[3]
Hal ini menunjukkan kepada kita, bahwa
laki-laki dan perempuan, keduanya diciptakan Allah sebagai manusia yang setara
dan sederajat (equality) dalam
kesamaan dan perbedaan mereka, dan mereka akan menghayati kemanusiaannya dalam
hubungan timbal balik (mutuality).[4]
Rosemary
Radford Ruether, dalam bukunya yang berjudul Perempuan dan Tafsir Kitab Suci
(1998) menyatakan, bahwa “apa pun yang mengurangi kemanusiaan penuh kaum
perempuan harus dianggap bukan merefleksikan yang ilahi atau relasi yang
otentik dengan yang ilahi” dan prinsip kemanusiaan yang penuh didasarkan pada
konsep “imago Dei,” bahwa perempuan secara setara dibebaskan oleh Kristus, dan
secara setara dikuduskan oleh Roh Kudus.
Eksistensi manusia yang terdalam, bahwa manusia adalah ciptaan Allah dan
manusia ciptaan Allah itu adalah laki-laki dan perempuan terungkap di dalam
Kejadian 1:27. Kredo ini menggaris bawahi kesamaan harkat dan martabat
laki-laki dan perempuan di hadapan Allah. Sebab itu tidak ada yang lebih tinggi atau yang lebih rendah terhadap yang lain,
keduanya diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kejadian 1:26).
Merekonstruksi Peran Istri Di Dalam Masyarakat & Budaya Patriarkhi
Saat ini peran dan fungsi seorang
isteri, tidak lagi ditentukan oleh adat. Setiap pasangan hendaknya mempunyai
konsep yang pasti mengenai bagaimana seharusnya peranan seorang suami dan
istri, atau setiap orang mengharapkan pasangannya memainkan perannya. Penyesuaian
terhadap pasangannya, berarti mengorganisasikan pola kehidupan, merubah
persahabatan dan kegiatan-kegiatan sosial, serta merubah persyaratan pekerjaan,
terutama bagi seorang istri. Penyesuaian-penyesuaian ini mungkin akan diikuti
oleh konflik emosional. Akan tetapi dengan latar belakang pendidikan yang baik,
konflik dan penyesuaian yang buruk akan teratasi.
Di dalam masyarakat modern, suami
dan isteri dapat bekerja sama secara seimbang demi kepentingan bersama.
Dominasi pada satu pihak dan kepasrahan di pihak yang lain dapat dinilai
sebagai kegagalan dalam usaha mempertahankan hubungan timbal balik antara suami
dan isteri sebagai dua subyek yang sejajar. Iman Kristen menemukan kembali
keyakinan bahwa baik laki-laki mau pun perempuan diciptakan sebagai gambar
Allah (imago Dei) setingkat dalam
perbedaan mereka dan sama-sama dipanggil untuk mengasihi dan berkarya menurut
kemampuan masing-masing. Kesadaran ini mengubah pengertian tentang hubungan
pernikahan. Hal ini diperkuat oleh kenyataan bahwa Yesus tidak membenarkan
keluarga patriarkhal. Itu sebabnya makin banyak orang Kristen yang
mencita-citakan model pernikahan yang di dalamnya suami dan isteri dapat mengikat
hubungan timbal balik sebagai dua subyek yang saling menghormati dan menerima
dengan kekuatan dan kelemahan masing-masing. Mereka harus saling mencintai dan
mengasihi, serta bersama-sama mengatur rumah tangga mereka.[5]
Pembagian tugas akan berubah, sesuai
dengan situasi dan umur, keberadaan anak kecil atau yang sudah besar, adanya
dan perlunya pekerjaan di luar rumah untuk salah satu atau keduanya, adanya
tugas lain dalam keluarga, masyarakat dan gereja. Usaha ini tidak dapat dinilai
tinggi atau rendahnya, atau apakah harus dilakukan laki-laki atau perempuan,
sebab semuanya penting untuk kehidupan bersama dan itulah yang menentukan
nilainya. ***
Dalam
tulisan ini, kata “masyarakat patriarkhi” menunjuk pada arti “pola atau
tatanan yang ditentukan oleh kaum laki-laki.” Dalam masyarakat patriarkhal, kaum laki-laki menentukan pola masyarakat dan
kaum perempuan dinomorduakan. Dominasi kaum laki-laki atas kaum
perempuan pada umumnya dibenarkan oleh paham kodrat. Menurut paham ini, kodrat
laki-laki adalah kuat, pemberani, rasional, produktif, menciptakan kebudayaan,
dan sanggup membuat perencanaan. Sedangkan kodrat perempuan adalah lemah
lembut, penakut, perasa, reproduktif, memelihara dan merawat kehidupan, biasa
melayani dan suka dipimpin. Dengan pandangan seperti ini, tempat kaum laki-laki
adalah di ruang publik, dalam masyarakat luas sementara kaum perempuan di ruang
domestik atau privat (di rumah dan sekitarnya). Masalah-masalah
”besar” seperti membeli rumah atau tanah, pengelolaan saham atau keuangan
keluarga, adalah masalah yang menyangkut laki-laki. Masalah-masalah perempuan,
seperti pemeliharaan anak, masak, pendidikan anak dan urusan rumah tangga yang
lainnya jarang disinggung, dan sering ”disembunyikan.”
Dalam perundang-undangan kebanyakan Negara di Eropa tidak
ada lagi “suami sebagai kepala keluarga” dan isteri “sebagai pengatur rumah
tangga.” Perkawinan adalah persekutuan
suami isteri demi kepentingan bersama. Mereka bebas mengaturnya sesuai
dengan keinginan mereka. Dalam masyarakat patriarkhal, suami menjadi kepala
rumah tangga dan berwibawa di hadapan isteri dan anak-anaknya yang harus tunduk
padanya. Teologi Feminis, yang tidak lagi rela memahami perempuan sebagai obyek
(yang ditentukan oleh masyarakat), melainkan sebagai subyek yang sedang mencari
sejarah serta jati dirinya sendiri dan tidak bersedia menyamakan dirinya dengan
laki-laki saja. Perempuan membebaskan diri dari pola dan tatanan yang
ditentukan oleh kaum laki-laki atau paling sedikit, sedang berusaha membebaskan
dirinya. Anna Nasimiyu-Wasika, seorang biarawati dari Kenya dalam Feminism and African Tehology membuat
definisi sebagai berikut : “Femenisme menuju suatu masyarakat yang di dalamnya
semua orang mampu mewujudkan keutuhan hidupnya. Semua orang berperan menghayati
bakat dan kesempatannya sejauh mungkin dan dengan itu menunjang pembangunan
kemanusiaan secara utuh. Karena feminisme menunjang hidup ... ia menentang
dengan tegas segala lembaga yang mengeksploitasi perempuan, membatasi mereka
pada peran tertentu, menyangkal kesempatan bahwa mereka dapat mewujudnyatakan
bakat dan kemungkinannya sambil menempatkan mereka pada kedudukan yang rendah.”