Bacaan:
Yohanes 15:9-17
Dahulu kala ada sebuah desa di mana hanya diisi oleh
orang-orang yang pendek dan gemuk atau yang jangkung dan kurus. Tidak ada jenis orang lain selain itu. Si ”Pendek” dan
”Jangkung”, begitu mereka disebut tidak saling menyukai. Orang-orang Pendek selalu mengejek orang-orang Jangkung
dengan sebutan ”tiang bendera” bila mereka sedang membicarakan kesombongan
orang-orang Jangkung. Sementara orang-orang Jangkung akan mengejek orang-orang
Pendek dengan sebutan ”udang” karena ukuran tubuh yang pendek itu. ”Tiang
bendera” dan ”udang” selalu bertengkar dan berkelahi, tidak pernah ada
kedamaian di desa tersebut.
Si Pendek dan Si Jangkung tidak pernah saling mengenal
dengan baik. Mereka tidak pernah mencoba menjalin persahabatan. Bahkan, mereka
menolak bekerja sama. Si Pendek tidak ingin tinggal di rumah yang bersebelahan
dengan Si Jangkung, demikian pula sebaliknya. Mereka tidak ingin berbelanja di
toko yang sama, selalu memilih toko yang didatangi oleh sesama Pendek atau
Jangkung. Anak-anak mereka pun bersekolah di dua sekolah yang berbeda pula.
Gereja-gereja dan tempat-tempat ibadah selalu dibangun khusus untuk Si Pendek
dan Si Jangkung. Semakin banyak orang yang meminta agar desa dibelah saja
menjadi dua bagian, dan mulai terdengar desas-desus akan adanya perang antara
”tiang bendera” dengan ”udang.” Kedua belah pihak mulai membeli senjata.
Pemimpin desa tidak pernah membantu menyelesaikan masalah. Bahkan, ia pun
kadang menyalahkan Si Jangkung atas semua masalah yang terjadi di desa. Semakin
menipisnya toleransi di desa ini, sampai anak-anak kecil pun selalu
diberitahukan oleh orangtua mereka bahwa pihak yang satu lagi bukanlah orang yang
baik. Anak-anak Si Pendek tidak boleh bersahabat dengan anak-anak Si Jangkung,
dan begitu pula sebaliknya.
Kemudian suatu hari, terjadi sesuatu yang aneh. Semua orang di desa itu mendadak menjadi buta. Tidak ada
satu orang pun yang bisa melihat. Kehidupan semua orang menjadi jungkir balik.
Orang-orang terpeleset dan terjatuh, mencoba berjalan dari satu tempat ke
tempat yang lain. Mereka saling bertabrakan dan terpelanting. Semua anak-anak
kecil, para remaja, dan orang-orang dewasa membutuhkan bantuan, dan mereka pun
akhirnya saling membantu. Orang-orang dewasa meminta tolong pada semua orang
yang kebetulan bertabrakan dengan mereka, agar diberitahukan jalan yang
benar. Anak-anak kecil dibantu oleh
anak-anak yang lebih dewasa, dan ibu-ibu kaum Pendek maupun Si Jangkung saling
membantu menemukan anak-anak mereka.
Awalnya, Si Pendek tidak sadar bahwa mereka kadang
dibantu oleh ”tiang bendera,” dan Si Jangkung kadang tidak sadar bahwa mereka
dibantu oleh ”udang”. Mereka sangat menghargai semua orang yang membantu mereka
dalam kebutaan mereka. Tetapi ketika mereka saling membantu dengan menggunakan
tangan mereka, mereka mulai menyadari bahwa beberapa dari tangan-tangan
tersebut ada yang panjang dan kurus, dan ada tangan-tangan yang pendek dan
gemuk.
”Hmmph,” kata Miriam, salah seorang Pendek pada dirinya
sendiri, ”aku berani bertaruh pasti Si Jangkung, yang tadi membantuku adalah
satu-satunya ”tiang bendera” yang baik hati.” Tetapi Miriam sangat terkejut
ketika ia menyadari bahwa ia baru saja dibantu oleh orang Jangkung yang lain
ketika ia mencoba berbelanja di toko.
Ali, salah seorang Jangkung, juga terkejut. ”Udang-udang
itu ternyata tidak begitu jahat,” pikirnya suatu hari ketika salah seorang
Pendek membantunya menemukan adik kecilnya.
Satu, dua minggu sudah berlalu, dan semua orang mulai
menyadari bahwa bentuk dan ukuran orang-orang yang ada di sekitar mereka sama
sekali bukan masalah. Mereka mulai membangun pendapat tentang semua orang yang
mereka temui berdasarkan perilaku dan bukan penampilan – yaitu apakah
orang-orang tersebut baik hati atau pendengki. Mereka mulai menghargai
teman-teman baru mereka dan memahami bahwa karakter seseorang ternyata jauh
lebih penting daripada ukuran tubuh – dan bahwa sifat-sifat baik bisa ditemui
dalam diri semua orang.
Dengan kesadaran ini, hati semua orang Pendek dan gemuk
maupun Jangkung dan kurus mulai luluh. Mereka pun menjadi semakin baik hati
terhadap semua orang yang mereka temui. Ketika mereka mulai bisa saling bersahabat, penglihatan mereka pun mulai
kembali! Mereka tertawa senang ketika sudah bisa kembali melihat, dan mereka
berjanji tidak akan lagi membiarkan mata mereka membohongi mata mereka.
Dari kisah si Pendek dan si Jangkung tadi, kita menangkap
makna : Persahabatan kerapkali tidak terjalin secara otomatis, tapi membutuhkan
proses yang panjang seperti besi menajamkan besi. Persahabatan sering
menyuguhkan beberapa cobaan, tetapi persahabatan yang sejati bisa mengatasi
semua cobaan itu, bahkan bertumbuh bersama karenanya. Kunci dari semuanya itu
adalah Kasih. Kasih mampu meredam perbedaan, dan membangun kebersamaan. Kasih
mempertautkan, dan bukan memisahkan, sehingga semua orang, baik yang pendek dan
gemuk, mau pun yang jangkung dan kurus dapat hidup dalam relasi yang sangat
akrab, dekat dan terbuka. Kasih seperti itulah sebenarnya yang kita perlukan
untuk membangun dunia yang lebih indah dan nyaman ...
Menurut
kesaksian Alkitab, manusia
diciptakan Allah dalam relasi yang sangat akrab, dekat dan terbuka
dengan Allah dan sesamanya. Namun oleh karena dosa, relasi itu menjadi rusak, karena manusia hanya memikirkan dirinya sendiri. Persahabatan tidak
lagi mendapat ruang dan tempat, karena persahabatan hanya berada di kulit luar, tidak sampai ke
dalam hati, kepada pengenalan antar pribadi yang mendalam dan penuh kasih. Bagi
Tuhan Yesus, persahabatan itu nilainya sangat mahal, luhur dan mulia. Sebab itu
Dia rela mati bagi kita sahabat-sahabat-Nya. Standard kasih seperti kasih Tuhan
Yesus dimulai dengan hati. Hati yang mau mengasihi dengan segenap hati. Hati
yang mau mengasihi Allah, yang diwujudkan dengan kasih kepada sesama. Siapakah
sesama itu? Dia adalah orang-orang yang kita jadikan sebagai sahabat kita, dan
bukan hamba. Bagi seorang sahabat, ada keterbukaan, kejujuran, ketulusan, dan
kepedulian. Ada kedekatan yang tak ternilai selain dengan diri dan hidupnya.
Sahabat berbeda dengan seorang hamba, yang memiliki status yang lebih rendah
dengan tuannya. Tuhan Yesus mengajak kita untuk melihat sesama bukan dengan kaca-mata
“tuan dan hamba”, tetapi dengan kacamata “sahabat” (Yohanes 15;15-17).
Dengan kacamata “sahabat” kita diajak untuk melihat dan menempatkan orang-orang
yang ada di sekitar kita dan menjadi sahabat di tengah-tengah segala kesulitan
dan pergumulan hidup mereka. Dalam surat 1 Yohanes 3:18 Firman Tuhan berkata, “Anak-anakku, marilah kita
mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan
dalam kebenaran.”
The greatest
healing therapy
Is friendship
and love
(Hubert H.
Humphrey)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar