Doa adalah unsur hakiki dalam kehidupan orang Kristen. Sebab itu doa sering
kita sebut sebagai “nafas iman” atau laksana udara, untuk menyebutkan betapa
penting dan mutlaknya doa bagi orang beriman. Mulai sejak kecil kita diajari
berdoa dan setelah besar juga masih selalu didorong untuk berdoa. Kita
sama-sama tahu, bahwa orang Kristen harus menyediakan saat teduh atau waktu
khusus setiap hari untuk berdoa, walaupun dalam kenyataannya, tidak semua dari
kita melakukannya. Setiap pertemuan atau rapat-rapat orang Kristen selalu
dibuka dan diakhiri dengan doa. Dan yang paling menarik, bila ada masalah atau
kesulitan, banyak orang spontan berdoa. Sebagian orang berdoa bahkan semalam
suntuk. Namun apakah sebenarnya doa itu?
1. DOA LEBIH DARI SEKEDAR ALAT MENDAPATKAN SESUATU
Banyak orang Kristen menghayati dan menggambarkan doa seperti alat (tools).
Ibarat cangkul dan sekop untuk menggali harta karun, kunci untuk membuka pintu
rumah atau lemari, galah dan tangga untuk memetik buah-buahan. Doa adalah alat
untuk mendapatkan berkat Tuhan dan harta sorgawi. Semakin panjang galah atau
tangganya, makin banyak dapat buahnya. Makin panjang doanya, makin banyak pula
dapat berkatNya? Gambaran doa sebagai alat ini tidaklah salah. Yesus sendiri
mengatakan “mintalah, maka kamu akan mendapat”. Namun menggambarkan doa sekedar
alat untuk memperoleh sesuatu bukan saja mendangkalkan makna doa tetapi sangat riskan dan berbahaya. Mengapa?
Jika ada alat lain yang lebih canggih, tentu kita akan meninggalkan yang lama.
Jika untuk mendapat kesehatan, kekayaan, kesuksesan dan kebahagiaan ada alat
yang lebih cepat, murah dan efektif : untuk apa berdoa? Selanjutnya, alat dapat
disimpan di gudang bila tidak dipergunakan. Jika doa digambarkan laksana alat:
Apakah kita hanya berdoa bila kita memerlukan sesuatu, dan berhenti berdoa bila
merasa tidak butuh apa-apa? Di sini kita dapat terjebak memanipulasi doa untuk
kepentingan diri sendiri semata, dan itulah yang seringkali terjadi.
2. DOA ADALAH UNGKAPAN DIRI
Alkitab dan khususnya Kitab Mazmur, mengajak kita menjadikan doa sebagai
ungkapan diri kita seutuhnya dan sepenuhnya di hadapan Allah. Doa bukanlah
sekedar “kata-kata mantra” untuk menyulap atau mewujudkan sesuatu keinginan,
tetapi merupakan seluruh ungkapan keberadaan (eksistensi) diri dan hidup kita
di hadapan Tuhan. Berdoa berarti membuka pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan
kita yang paling mendalam dan tersembunyi kepada Tuhan. Sebab itu doa pada
hakikatnya bukan seni ketrampilan berkata-kata, namun seni mengungkapkan
perasaan yang paling dalam di hadapan Tuhan. Dalam doa, yang penting bukanlah
“kata yang indah” tetapi “kata yang tepat” menggambarkan isi hati yang terdalam
atau realitas hidup si pendoa. Karena itu pertanyaan yang harus kita ajukan:
apakah doa kita keluar dari pikiran dan hati yang terdalam, atau cuma kata-kata
kosong belaka?
Barangkali jika
kita jujur, tidak selamanya dan tidak seluruhnya diri kita ingin kita buka di
hadapan Tuhan. Kadang atau selalu ada hal-hal yang ingin kita sembunyikan, agar
Tuhan tidak usah “tahu” apalagi mencampurinya. Kadang kita tidak ingin bisnis
kita, adat-istiadat, permainan politik, dan seksualitas kita atau urusan-urusan
sangat pribadi lainnya dicampuri Tuhan sebab itu tidak mau kita beritahu dan
sampaikan kepadaNya dalam doa-doa kita. Di sini kita disadarkan tentang
pemahaman kekristenan tentang penyatuan ibadah dan hidup sehari-hari: agenda
doa harus sama dengan agenda kerja. Apa yang kita doakan itulah yang kita
kerjakan. Apa yang kita kerjakan itulah yang kita doakan.
Berbeda halnya dengan apa yang
dilakukan oleh orang-orang Farisi. Bagi mereka, doa adalah alat untuk mendapatkan
sesuatu dan memanipulasi doa untuk kepentingan diri sendiri. Dalam doa, mereka
tergila-gila untuk pamer dan dihormati orang lain. Tidak segan-segan mereka
mengubah tujuan doa, dari tujuan memuliakan Tuhan, menjadi tujuan untuk
memuliakan diri sendiri (=mencuri kemuliaan Tuhan). Pendekatan pribadi kepada
Tuhan, menjadi pendeklamasian untaian kata-kata yang indah di dengar, namun
dalam kenyataannya, sikap, ucapan dan perilaku mereka menjadi batu sandungan.
Tuhan Yesus mengajar kita, untuk menjadikan hidup kita seutuhnya dan seluruhnya
sebagai sebuah doa, melalui doa dan di dalam doa, Tuhan masuk ke dalam hati
kita dan berkomunikasi dengan perasaan-perasaan yang terdalam dari pikiran
kita. Karena itu Tuhan Yesus mengajar kita Doa Bapa Kami. Dengan Doa Bapa kami,
Tuhan Yesus mau mengajar kita, untuk menjadikan seluruh hidup kita – seutuhnya
dan sepenuhnya – sebagai sebuah doa, sehingga apa yang kita doakan itulah yang
kita kerjakan, dan apa yang kita kerjakan itulah yang kita doakan. Tentang hal
ini Bapa Gereja kita, Martin Luther berkata, “Melalui doa, seharusnya kita
lebih mewajibkan diri kita sendiri, daripada mewajibkan Dia!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar