Kehadiran seorang
Ibu, pasti selalu mempunyai arti dan makna yang sangat mendalam di dalam
kehidupan kita. Mengapa? Karena betapa besar pengorbanan dan kasih sayang Ibu
kepada kita. Masih ingatkah kita, bagaimana Ibu membujuk kita untuk makan
ketika kita sakit? Bagaimana Ibu memeluk kita erat-erat ketika kita sedih dan
takut? Bagaimana Ibu harus bekerja keras membanting tulang, untuk mencukupi
semua kebutuhan kita? Bagaimana Ibu harus ke pasar, dan membuat makanan-makanan
yang bergizi untuk kita? Dan masih banyak lagi. Di antara sekian banyak orang,
mungkin saya, kakak dan adik saya adalah orang yang paling beruntung. Mengapa?
Karena kami memiliki seorang Ibu, yang sangat sederhana, tetapi bagi kami, Ibu
sangat luar biasa. Di usia yang relative masih sangat muda (enam belas tahun),
Ibu harus meninggalkan bangku sekolah untuk mengurus ayah, kakak dan adiknya,
karena Ibunya meninggal dunia, saat melahirkan adik yang bungsu. Setiap hari,
Ibu melihat teman-teman, kakak dan adik-adiknya sekolah, dan Ibu harus tinggal
di rumah. Diam-diam Ibu sering menangis.
Di usia 22 tahun, Mama (begitu sebutan manis kami) menikah dengan Papa, lahirlah delapan anak, tiga anak laki-laki dan lima anak perempuan. Saya adalah anak ketujuh Mama. Sejak kami kanak-kanak, Mama pandai berhemat dan rajin menabung, karena itu makanan kami sehari-hari sangat sederhana. Tempe, tahu dan telor. Selalu home made, karena delapan anak Mama. Namun Mama sangat pandai memasak, sehingga bagi kami, masakan Mama was the best one in the world! Sampai kami menikah dan mempunyai anak, Mama selalu mengingat kesukaan setiap anak dan cucu-cucunya, sehingga hari-hari Mama selalu disibukkan dengan berbagai aktivitas, untuk suami, anak-anak, menantu dan cucu-cucunya. Di usia 79 tahun Mama masih senang beraktivitas, menjahit dan memasak. Sekalipun pada bulan Juni 2004, kakak perempuan tertua kami meninggal dunia karena sakit, dan Papa meninggalkan kami semua pada bulan Juli 2007. Mama menghadapi semua ujian dan cobaan itu dengan hati pasrah. Yang membuat Mama masih terus bersemangat dalam menjalani hidup ini, adalah karena kami, anak-anak, menantu dan cucu-cucunya.
Pada tanggal 18 September 2009, Mama telah kembali ke pangkuan Bapa di sorga. Kepergian Kakak, Papa dan Mama, khususnya Mama menimbulkan kesedihan yang mendalam di hati kami. Empat tahun sudah berlalu, namun ada saat-saat (khususnya Natal) di mana kami sangat merindukannya. Bagi kami, Mama adalah segala-galanya. Sumber cinta, berbelas kasih, penghibur dan tumpuan harapan kami! Kalau saja, kami diberi waktu yang lebih lama, untuk mengurus Mama. Kepada kami, anak-anak perempuannya, Mama selalu berkata, “Sekolah yang pinter. Jangan seperti Mama, tidak sekolah dan tidak bisa cari uang!” Cita-cita Mama dan Papa, adalah kami semua dapat menyelesaikan sekolah dan meraih masa depan, yang lebih baik dari Mama dan Papa yang hanya berpendidikan SD. Karena itu setiap kali kami menghadapi masalah, suara Mama bergema di dalam hati kami, “Sekolah yang pinter, jangan seperti Mama …” I love you Mom!
Di usia 22 tahun, Mama (begitu sebutan manis kami) menikah dengan Papa, lahirlah delapan anak, tiga anak laki-laki dan lima anak perempuan. Saya adalah anak ketujuh Mama. Sejak kami kanak-kanak, Mama pandai berhemat dan rajin menabung, karena itu makanan kami sehari-hari sangat sederhana. Tempe, tahu dan telor. Selalu home made, karena delapan anak Mama. Namun Mama sangat pandai memasak, sehingga bagi kami, masakan Mama was the best one in the world! Sampai kami menikah dan mempunyai anak, Mama selalu mengingat kesukaan setiap anak dan cucu-cucunya, sehingga hari-hari Mama selalu disibukkan dengan berbagai aktivitas, untuk suami, anak-anak, menantu dan cucu-cucunya. Di usia 79 tahun Mama masih senang beraktivitas, menjahit dan memasak. Sekalipun pada bulan Juni 2004, kakak perempuan tertua kami meninggal dunia karena sakit, dan Papa meninggalkan kami semua pada bulan Juli 2007. Mama menghadapi semua ujian dan cobaan itu dengan hati pasrah. Yang membuat Mama masih terus bersemangat dalam menjalani hidup ini, adalah karena kami, anak-anak, menantu dan cucu-cucunya.
Pada tanggal 18 September 2009, Mama telah kembali ke pangkuan Bapa di sorga. Kepergian Kakak, Papa dan Mama, khususnya Mama menimbulkan kesedihan yang mendalam di hati kami. Empat tahun sudah berlalu, namun ada saat-saat (khususnya Natal) di mana kami sangat merindukannya. Bagi kami, Mama adalah segala-galanya. Sumber cinta, berbelas kasih, penghibur dan tumpuan harapan kami! Kalau saja, kami diberi waktu yang lebih lama, untuk mengurus Mama. Kepada kami, anak-anak perempuannya, Mama selalu berkata, “Sekolah yang pinter. Jangan seperti Mama, tidak sekolah dan tidak bisa cari uang!” Cita-cita Mama dan Papa, adalah kami semua dapat menyelesaikan sekolah dan meraih masa depan, yang lebih baik dari Mama dan Papa yang hanya berpendidikan SD. Karena itu setiap kali kami menghadapi masalah, suara Mama bergema di dalam hati kami, “Sekolah yang pinter, jangan seperti Mama …” I love you Mom!
Setiap kita pasti
memiliki kenangan manis bersama Ibu, dan jejak-jejak kasihnya sungguh menggores
batu hati kita. Dalam saat-saat tertentu, ketika kita dihadang oleh kejam dan
kerasnya badai kehidupan, kita sungguh membutuhkan kehadiran Ibu, yang menjadi sumber
cinta, berbelas kasih, penghibur dan tumpuan harapan kita. Pengorbanan dan
cinta kasih Ibu itulah yang selalu membawa kita pulang kembali ke rumah, ke
dalam dekapan Ibu, betapa pun jarak yang memisahkan kita dengan Ibu. Betapa pun
banyaknya sikap dan ulah kita yang kerapkali mendukakan dan melukai hati Ibu.
Bagaimana pun juga, bagi seorang Ibu yang melahirkan dan membesarkan anak-anaknya
dengan penuh kasih sayang, tidak ada perkataan lelah atau tidak mungkin bagi
kita anak-anaknya. Nah gambaran Ibu seperti ini pula, yang kita lihat di dalam
Kisah Perempuan Siro Fenisia (Markus 7:24-29).
Sebagai orang Fenisia, atau orang Kanaan, perempuan itu pasti terasing dari kumpulan orang-orang Yahudi. Terasing, karena mereka berbicara dengan bahasa yang berbeda, makanan mereka juga berbeda, dan mereka pun menyembah allah yang lain dari Allah Israel Yang Mahakudus. Namun dari banyak orang, perempuan Siro Fenisia itu telah mendengar kabar, bagaimana Yesus menyembuhkan banyak orang yang sakit, bahkan orang yang kerasukan roh jahat, dan sekarang, anaknya sendiri sedang kerasukan roh jahat. Maka kata Perempuan Siro Fenisia itu kepada Yesus, “Tuan, tolong sembuh anakku, sebab hanya Tuan yang dapat menyembuhkannya, jika Tuan mau …!” Lalu kata Yesus kepadanya, “Biarlah anak-anak kenyang dahulu, sebab tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing!” Bagi kita mungkin sebutan “anjing” itu sangat kasar, dan mungkin ini, ucapan Yesus yang paling kasar, yang pernah kita dengar. Namun ternyata, tidaklah demikian adanya. Di jaman itu, orang-orang Yahudi biasanya memelihara anjing, yang tinggal bersama dengan anak-anak mereka di dalam rumah. Maka sikap eksklusif orang-orang Yahudi terhadap orang-orang bukan Yahudi, seperti Perempuan Siro Fenisia dan anak perempuannya itu sebagai orang-orang yang tidak pantas untuk bergaul dan ada bersama-sama dengan mereka. Tempat mereka hanya lah di bawah meja atau di halaman rumah, sama seperti anjing-anjing mereka. Dengan demikian, apa yang dikatakan Yesus, sungguh-sungguh menguji “iman dan hati” perempuan Siro Fenisia tersebut. Namun bagi perempuan Siro Fenisia itu, anak perempuannya adalah segala-galanya. Apa pun juga akan dia perbuat untuk menyelamatkan nyawa anaknya. “Tuan, aku tidaklah pantas untuk mengambil makanan anak-anak, tetapi anjing di bawah meja juga makan remah-remah yang dijatuhkan anak-anak …” (Markus 7:28).
Sebagai orang Fenisia, atau orang Kanaan, perempuan itu pasti terasing dari kumpulan orang-orang Yahudi. Terasing, karena mereka berbicara dengan bahasa yang berbeda, makanan mereka juga berbeda, dan mereka pun menyembah allah yang lain dari Allah Israel Yang Mahakudus. Namun dari banyak orang, perempuan Siro Fenisia itu telah mendengar kabar, bagaimana Yesus menyembuhkan banyak orang yang sakit, bahkan orang yang kerasukan roh jahat, dan sekarang, anaknya sendiri sedang kerasukan roh jahat. Maka kata Perempuan Siro Fenisia itu kepada Yesus, “Tuan, tolong sembuh anakku, sebab hanya Tuan yang dapat menyembuhkannya, jika Tuan mau …!” Lalu kata Yesus kepadanya, “Biarlah anak-anak kenyang dahulu, sebab tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing!” Bagi kita mungkin sebutan “anjing” itu sangat kasar, dan mungkin ini, ucapan Yesus yang paling kasar, yang pernah kita dengar. Namun ternyata, tidaklah demikian adanya. Di jaman itu, orang-orang Yahudi biasanya memelihara anjing, yang tinggal bersama dengan anak-anak mereka di dalam rumah. Maka sikap eksklusif orang-orang Yahudi terhadap orang-orang bukan Yahudi, seperti Perempuan Siro Fenisia dan anak perempuannya itu sebagai orang-orang yang tidak pantas untuk bergaul dan ada bersama-sama dengan mereka. Tempat mereka hanya lah di bawah meja atau di halaman rumah, sama seperti anjing-anjing mereka. Dengan demikian, apa yang dikatakan Yesus, sungguh-sungguh menguji “iman dan hati” perempuan Siro Fenisia tersebut. Namun bagi perempuan Siro Fenisia itu, anak perempuannya adalah segala-galanya. Apa pun juga akan dia perbuat untuk menyelamatkan nyawa anaknya. “Tuan, aku tidaklah pantas untuk mengambil makanan anak-anak, tetapi anjing di bawah meja juga makan remah-remah yang dijatuhkan anak-anak …” (Markus 7:28).
Melihat cinta dan iman yang begitu besar di hati
perempuan Siro Fenisia itu, maka hati Yesus tergerak oleh belas kasihan dan Ia
menyembuhkan anak yang kerasukan setan itu. Perjumpaan Yesus
dengan Perempuan Siro Fenisia tsb memperlihatkan, bagaimana Perempuan Siro
Fenisia itu menjadi Sumber cinta, berbelas kasih, penghibur dan
tumpuan harapan bagi anak perempuannya. Pada akhirnya, kegigihan dan kebesaran
hati Perempuan itu memulihkan dan menyembuh diri-nya dan juga anak
perempuannya. Lalu bagaimanakah sikap kita terhadap Ibu? Seberapa banyak waktu, cinta dan perhatian
yang kita berikan kepada Ibu? Kapan kita terakhir kali menelpon Ibu? Kapan kita
terakhir mengundang Ibu? Kapan terakhir kali kita mengajak Ibu jalan-jalan? Dan
kapan terakhir kali kita memberikan kecupan manis dan ucapan terima kasih
kepada Ibu kita dan kapan kita terakhir kali berdoa untuk Ibu kita? Sahabat, kita akan bisa lebih membahagiakan Ibu kita, apabila kita mau memberikan
sebagian waktu dan cinta kita untuknya. Waktu dan cinta nilainya adalah jauh
lebih besar daripada bunga atau pun hadiah, karena bagi Ibu kita adalah
segala-galanya. Berikanlah kasih sayang selama Ibu kita masih hidup, karena
waktu itu tidak pernah kembali.
Poems :
When Mother prayed, she found sweet rest,
When Mother prayed, her soul was blest;
Her heart and mind on Christ were stayed,
And God was there when Mother prayed!
Our thanks, O God, for mothers
Who show, by word and deed,
Commitment to Thy will and plan
And Thy commandments heed.
A thousand men may build a city,
but it takes a mother to make a home.
No man is poor who has had a godly mother!
-Johnson-
When Mother prayed, her soul was blest;
Her heart and mind on Christ were stayed,
And God was there when Mother prayed!
Our thanks, O God, for mothers
Who show, by word and deed,
Commitment to Thy will and plan
And Thy commandments heed.
A thousand men may build a city,
but it takes a mother to make a home.
No man is poor who has had a godly mother!
-Johnson-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar